Surobodong-12 Geger Pusaka Matsuri


GEGER PUSAKA MATSURI

Djvu by Abu Keisel

Edited by Fujidenkikagawa

Pdf  by Dewi KZ

l

Suara itu mengaku dari Lembah Matsuri. Bergema dan cukup merindingkan bulu roma. Arya Somar, pimpinan pasukan berkuda dari Kesultanan Praja, terpaksa membelalakkan mata dan memandang liar ke sekelilingnya. Tak ada manusia seujung rambut pun yang ada di situ. Tetapi, sudah dua kali Arya Somar merasa dihantam dadanya hingga terasa perih. Bahkan yang terakhir, Arya Somar merasa ditendang dagunya hingga bibirnya yang tebal itu berdarah. Sedangkan suara seorang perempuan masih terdengar sesekali. Nada suara itu seperti milik seorang perempuan yang punya kharisma tinggi.

"Kalau kau tidak mau bicara, maka kau akan mati!"

Nafas Arya Somar terengah-engah dalam ketegangan. Ia memang cepat menjadi tegang jika mengalami sedikit keanehan yang membingungkan. Tetapi, sering kali ia mampu menutup ketegangan itu dengan kepura-puraannya dalam bersikap tenang. Hanya saja, kali ini, ia berhadapan dengan lawan yang tak diketahui bagaimana ujudnya. Ia hanya mendengar nama lembah Matsuri, dan mendapat beberapa kali serangan yang tak mampu ditangkis atau dielakkan. Arya Somar mencoba mendelikkan matanya untuk melihat dari mana arah datangnya serangan itu. Tetapi, ia tak pernah mampu mengetahui datangnya serangan lawan. Tahu-tahu punggungnya bagai dihantam palu godam yang berat, dan Arya Somar berguling-guling sambil memekik kesakitan. Sebuah tendangan yang tak diketahui pemiliknya itu telah membuat Arya Somar terguling beberapa kali. Lalu, sebuah suara perempuan terdengar lagi dengan nada penuh wibawa:

"Jangan menunggu kami tak sabar lagi. Lekas katakan, kau kah yang bernama Suro Bodong? Atau mungkin orang lain yang bernama itu? Jika orang lain, yang mana dia Suro Bodong? Orang yang mana?! Ayo, katakan sekarang juga!"

Arya Somar terpaksa bicara dengan suara tertahan, karena tendangan di punggungnya bagai telah meremukkan tulang di bagian belakang tubuhnya itu.

"Suro Bodong bukanaku! Aku Arya Somar!"

"Jadi, di mana dan yang mana Suro Bodong itu?" suara tersebut semakin, bersifat mendesak, dan Arya Somar masih tegang. Ia mengendalikan pernafasannya untuk mengurangi rasa sakit yang diderita.

"Suro Bodong tidak ada di sini..."katanya."Suro Bodong sedang pergi!"

"Kau bohong, Arya Somar. Dan, aku paling benci dengan orang yang coba-coba membohongiku. Hiiat...!"

"Aaaoow...!"

Arya Somar mengerang panjang dengan kepala mendongak ke atas, mulut ternganga menyerukan erangan kesakitan itu. Sekali lagi, tahu-tahu ia seperti ditendang dengan kaki yang kekar. Dadanya bagai hendak jebol, dan nafasnya seperti tinggal seujung kuku lagi.

"Aku tahu, Suro Bodong berbadan besar dan berkumis tebal. Pasti kaulah yang bernama Suro Bodong! Kaulah orangnya, bukan?! Kau mempunyai tubuh yang sama dengan ciri-ciri yang kukatakan tadi. Hanya saja, mungkin kau menghilangkan kumismu belum lama ini. Tetapi, aku... Ira Lembayung, tidak mungkin bisa kau kelabuhi dengan penampilanmu!"

"Aaahh...!"

Arya Somar yang lemas jadi terpental sendiri sampai kepalanya membentur pohon kecil yang ada di sudut taman. Malam yang gelap, sekali pun ada semburat sinar yang membias dari lampu penerangan taman, tetapi tetap saja membuat lawan yang mengaku bernama Ira Lembayung itu mampu menendang dengan tepat. Bahkan kali ini sebuah pukulan yang tak diketahui asalnya telah berhasil membuat hidung Arya Somar berdarah. Kemudian, sudut matanya pun merah karena pukulan yang berikutnya.

Malam yang sepi itu, sepertinya telah dibalut baja, hingga suara Arya Somar yang beberapa kali terpekik sakit tidak dapat membangunkan penghuni Dalem Kesultanan dan sekitarnya. Menyesal sekali Arya Somar keluar dari kamarnya untuk menengok ke kandang kuda, sebab sudah beberapa kali ia mendengar suara kuda meringkik gelisah. Kalau saja ia tidak keluar dari kamarnya, mungkin ia tidak akan mendapat serangan aneh yang sukar dielakkan dan sukar ditangkis. Ujud penyerang itu benar-benar tidak dapat dilihat oleh matanya, sekali pun ia sudah berusaha membuka mata lebar-lebar.

"Aaaoow...!"

Arya Somar mengerang lagi karena ia bagai mendapat pukulan telak di pelipisnya, hingga menimbulkan memar yang amat menyakitkan. Arya Somar terhuyung sebentar, kemudian jatuh lagi untuk yang kesekian kalinya.

"Cukup...! Kurasa dia memang bukan Suro Bodong."

"Sebaiknya kita geledah saja tempat ini."

"Tapi aku masih yakin kalau orang inilah yang bernama Suro Bodong."

"Bukan. Tentu bukan dia, Ira Lembayung."

Arya Somar menangkap suara perempuan yang diperkirakan lebih dari tiga orang. Ia baru sadar bahwa sebenarnya ia dikerumuni beberapa perempuan. Hanya saja pandangan matanya tak mampu menembus suatu dunia lain. Alam di mana perempuan-perempuan itu berada, sepertinya dilapis kaca berkabut dan sukar dijamah. Arya Somar tak mampu berpikir lagi lebih baik. Kepalanya pusing. Pandangan matanya jadi semakin kabur. Beberapa pukulan dan tendangan membuat nafasnya sesak dan penglihatannya suram.

Ia ditemukan oleh petugas perawat kuda pada keesokan harinya dalam keadaan pingsan. Beberapa anak buahnya segera merawat Arya Somar yang bertubuh kekar kendati tak sekekar Suro Bodong. Rasa kagetnya semakin menghentak jantung, karena ketika ia siuman, ia mendengar suara ribut-ribut yang kedengarannya cukup kacau.

"Siapa yang menyerangmu?" tanya Ginan Sukma, orang yang menjadi wakil pimpinan pasukan berkuda.

Dengan suara masih melemas, Arya Somar menjawab lirih:

"Perempuan yang bernama...Ira...Ira Lembayung..."

"Kau tahu ciri-cirinya?"

Arya Somar menggeleng. Lalu, katanya lagi:

"Ada lebih dari tiga orang yang menyerangku, tetapi semua perempuan itu tidak bisa kusentuh."

"Kenapa?"

"Mereka tidak kelihatan. Seperti siluman di balik kaca."

Semua yang mengerumuni Arya Somar menjadi tegang. Mereka saling pandang. Mulut mereka seakan ragu untuk melontarkan kata apa pun.

Arya Somar dihadapkan kepada Sultan Jurujagad yang kali ini berwajah lesu. Murung tak terbendung. Namun demikian, Sultan Jurujagad masih sempat bertahan untuk menjaga kewibawaan dan kesabarannya. Ada beberapa hal yang ditanyakan kepada Arya Somar, dan sama halnya dengan yang lain, Sultan itu pun tertegun ketika Arya Somar menjelaskan bahwa beberapa perempuan yang menyerangnya tadi malam sulit dilihat oleh mata.

"Mereka seperti siluman, Kanjeng."

"Tak ada ciri-ciri yang bisa kau ingat?" tanya Patih Danupaksi.

"Tidak ada, kecuali nama Ira Lembayung dan nama tempat: Lembah Matsuri."

"Lembah Matsuri...?!" Eyang Penembahan Purbadipa menggumam begitu mendengar nama tempat yang disebutkan Arya Somar. Semua mata segera tertuju Eyang Penembahan.

Arya Somar sempat menyela kata: "Mereka mencari Suro Bodong. Bahkan aku disangkanya Suro Bodong," Arya berpaling kepada Ginan Sukma yang bersila di sampingnya. Sementara itu, tujuh anak buah Arya Somar ikut hadir pula dalam paseban itu.

"Eyang tahu nama itu?" tanya Sultan Jurujagad dengan lesu, dan hal ini membingungkan Arya Somar: mengapa Sultan sampai selesu itu? Adakah hal lain yang berkaitan dengan dirinya?

Eyang Panembahan, sebagai juru nasihat Sultan, dan sesepuh Kesultanan Praja itu,kali ini bicara seperti sedang menggumam. Ia berdiri sambil membelai-belai jenggot putihnya yang panjang.

"Nama itu cukup aneh. Hemm... Lembah Matsuri. Sepertinya cukup asing bagi pendengaranku. Tapi, aku yakin... Suro Bodong mampu mencari nama perempuan tersebut, dan mampu menemukan di mana letak Lembah Matsuri."

"Di mana Suro Bodong?" tanya Sultan Jurujagad kepada putrinya yang menjadi istri Suro Bodong.

"Sudah tiga hari ia tidak pulang, Rama. Tapi, menurut janjinya, ia akan pulang sore ini dari Benteng Batu."  Sendang Wangi berkata dengan nada bicara seakan ikut larut dalam kegelisahan.

Arya Somar masih belum bisa mengerti, mengapa orang-orang menjadi cemas dan gelisah semua. Bahkan Sultan Jurujagad kelihatan menyembunyikan kesedihan di balik ketenangannya itu. Ada apa sebenarnya?

"Kalau Suro datang, suruh dia selekasnya pergi ke Lembah Matsuri itu," kata Sultan. Arya Somar mohon izin untuk bicara, lalu ia diizinkan bicara kepada Sultannya.

"Mengapa Suro Bodong harus pergi ke Lembah Matsuri, Kanjeng? Bukankah perempuan-perempuan yang menganiaya saya sudah pergi ke asalnya semua?"

"Ya. Tapi pusaka Tombak Jatayu dicuri oleh mereka!"

Terbelalak seketika mata Arya Somar demi mendengar kata-kata Sultannya.

"Jadi, perempuan-perempuan itu mencuri tombak kita?!" Arya Somar bicara kepada Patih Danupaksi.

"Begitulah keadaannya, Somar. Pusaka itu dicuri oleh mereka, dan harus segera kita rebut kembali. Kurasa, hanya Suro Bodong yang mampu melakukan hal itu."

Arya Somar memandang Patih Danupaksi dengan wajah tegang dan mulut luka yang terbengong.

Hilangnya tombak pusaka, membuat semua orang melayangkan pikirannya ke Lembah Matsuri. Tombak itu adalah pusaka kejayaan Sultan Jurujagad, di mana negeri akan menjadi tetap kuat, tak mampu diserang atau dihancurkan lawan jika Tombak Jatayu masih berada di Dalem Kadipaten. Karena itu, pusaka Sang Sultan itu harus direbut kembali demi menjaga kejayaan Kesultanan Praja. Tapi, di mana Lembah Matsuri itu? Suro Bodong sendiri bingung.

"Kalau tombak pusaka itu sampai jatuh ke tangan golongan sesat, maka hancurlah seluruh tanah Jawa ini. Bisa tenggelam ke dasar bumi karena penyalahgunaan Tombak Jatayu."

Sultan Jurujagad berbicara di depan Suro Bodong, pada waktu Suro Bodong sudah tiba kembali dari kepergiannya. Tubuhnya yang besar, tapi bukan gemuk dan bukan gendut itu, disandarkan pada sebuah tiang berukir indah. Ia berdiri sambil bersandar ketika mendengar keterangan dari Sultan, yang juga sebagai mertuanya itu. Sikap tenang dan seenaknya, alias cuek, selalu menyertai penampilannya walau ia berhadapan dengan kepala pemerintahan di Kesultanan Praja itu. Dan Sultan Jurujagad serta pejabat lainnya tidak pernah memperdulikan sikap Suro Bodong yang selalu tampil dalam pakaian celana biru, baju merah panjang yang tak pernah dikancingkan, sehingga perutnya kelihatan sedikit menonjol bersama pusernya.

Ketika ia mendengar tombak pusaka Kesultanan, yang merupakan tombak keramat leluhur istrinya itu dicuri orang, Suro Bodong sempat terperanjat sesaat. Kemudian segera kembali bersikap tenang, sebab ia tidak menyukai kegugupan, sekali pun sebenarnya ia sering pula terjebak dalam kegugupan, namun ia selalu berusaha untuk menguasai diri.

Sultan Jurujagad berkata dengan nada dukanya:

"Tugasmu adalah merebut kembali tombak pusaka Jatayu, Suro. Pergilah ke Matsuri dan rebut kembali tombak kejayaan kita."

Sambil sesekali garuk-garuk kumisnya yang tebal, Suro Bodong akhirnya tersenyum sendiri dan berkata:

"Tugasku ini sebagai Senopati perang, atau sebagai mandor jalan?!"

Eyang Panembahan, Patih Danupaksi, Demang Sabrangdalu, Sendang Wangi dan beberapa orang lainnya sempat tertawa lirih sewaktu mendengar kata-kata Suro Bodong. Sultan sendiri sempat tersenyum tipis disela dukanya. Suro Bodong melanjutkan kata:

"Dari dulu kok kerjaku hanya pergi-pergi terus. Baru saja datang sudah harus pergi lagi."

Banyak juga kepala yang manggut-manggut membenarkan ucapan Suro Bodong. Tetapi, Eyang Panembahan segera berkata dalam sifat menghibur Suro Bodong:

"Ini menyangkut soal jatuh bangunnya kejayaan Kesultanan kita, Suro. Memang, seharusnya kau beristirahat dulu, paling tidak melepas kerinduan dengan istrimu. Tetapi, tugas negara telah mendesak, bahkan menuntutmu untuk segera menunaikan tugas; merebut tombak pusaka di Matsuri. Rasa-rasanya, orang secerdas kamu bisa memaklumi keadaan seperti ini, kan?"

Suro Bodong hanya melirik istrinya.

Sendang Wangi mengedipkan mata dan berkata pelan:

"Pergilah, Kangmas. Aku memaklumi keadaanmu. Aku yakin, setelah tugas ini selesai, kita bisa berlibur ke Puri Khayangan untuk melepas rindu..."

"Rinduku sudah lepas sendiri begitu melihat kau dalam keadaan sehat-sehat saja, Sendang Wangi."

Pengabdian Suro kepada pemerintahan mertuanya memang cukup besar. Ia merasa tidak punya negeri, tidak punya tempat berteduh selain Kesultanan Praja itu. Karenanya, Suro merasa perlu menuangkan segala pengabdian dan pembelaannya kepada Kesultanan Praja, paling tidak demi kebahagiaan istrinya. Tombak pusaka Jatayu bukan harus direbut demi kejayaan dan kedamaian Kesultanan Praja saja, melainkan juga harus segera diselamatkan dari tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Apabila tombak pusaka itu disalahgunakan, maka Tanah Jawa ini dapat hancur karena sewenang-wenang salah satu oknum yang menggunakan kesaktian tombak pusaka tersebut.

Menurut keterangan, tombak Jatayu dapat berubah bentuk apa saja sesuai dengan ucapan orang yang memegangnya. Tombak Jatayu dapat melayang, terbang sendiri mencari nama mangsanya yang disebutkan oleh pemegangnya. Juga tombak itu dapat menikam lawan seribu orang jumlahnya dalam satu kali lemparan. Banyak lagi kesaktian dari tombak Jatayu itu yang dijelaskan oleh Sultan Jurujagad dan Eyang Panembahan kepada Suro Bodong, sebelum tugas negara itu dikerjakan oleh Suro.

"Lalu di mana letaknya Lembah Matsuri itu?" tanya Suro kepada Eyang Panembahan.

"Tempat itu sulit dilacak. Bahkan indra ketujuhku pun tak mampu menembus tempat itu. Agaknya Matsuri terletak di suatu tempat yang sangat rahasia. Dan orang-orang Matsuri juga bukan orang-orang murahan. Tentunya mereka punya sesuatu yang perlu kau perhitungkan sebelumnya."

Kepala Suro Bodong manggut-manggut. Kemudian ia garuk-garuk kumisnya yang tebal sambil menikmati jagung bakar kesukaannya.

"Bawalah pasukan berkuda untuk keperluan di perjalanan," kata Sultan Jurujagad. "Arya Somar pernah bertarung dengan perempuan Matsuri, tapi dia babak belur."

Eyang Panembahan menambahkan kata, "Arya Somar tahu, bagaimana tanda-tandanya jika perempuan Matsuri itu sudah berada di sekeliling kita. Mereka memang tidak bisa disentuh, tapi barang kali dengan satu cara yang ada padamu, kau bisa menyentuh dan melihatnya,Suro."

Setelah beberapa saat mereka berembuk, akhirnya Suro menyetujui usulan untuk membawa pasukan berkuda. Sebab tempat yang dinamakan Lembah Matsuri itu, mungkin cukup jauh dari Kesultanan Praja, sehingga perlu ditempuh dengan menggunakan kendaraan berkuda.

Orang-orang yang siap mengikuti Suro Bodong adalah anak buah Arya Somar sendiri. Mereka ada enam orang pilihan yang sudah cukup berpengalaman dalam hal melacak lawan dan menembus perang. Mereka adalah: Ginan Sukma, ahli penakluk racun. Baderi Darus, pemanah unggulan. Emandanu, ahli dibidang senjata rahasia. Arya Somar, ahli strategi perang berkuda. Dodot Pamasar, penjinak jebakan segala jenis. Pembudi Tulus, menguasai segala macam bahasa hewan.

Genderang bertalu serempak mengiringi 7 pendekar berkuda yang keluar melalui pintu gerbang Kesultanan. Sultan Praja dan beberapa punggawa negeri melepas kepergian tujuh pendekar yang masing-masing mempunyai ilmu pedang dan tenaga dalam cukup tinggi, terlebih pada diri Suro Bodong, sebagai pemimpin dari 7 pendekar yang siap merebut tombak pusaka di Lembah Matsuri. Lambaian tangan massa, merupakan ucapan selamat jalan bagi 7 pendekar, seolah rakyat pun turut mengucapkan selamat bertempur di Matsuri bagi mereka.

Derap kaki kuda mengepulkan debu jalanan. Suaranya bergemuruh bagai gunung berapi bergolak. Mereka menuju ke arah Selatan, mencari keterangan dari siapa saja dan apa saja tentang di mana letak Lembah Matsuri. Namun sampai setengah hari ini, mereka belum menemukan tanda-tanda yang dapat membawa mereka ke Lembah Matsuri.

Menjelang sore, kuda-kuda itu terpaksa berhenti karena tangan kanan Suro Bodong terangkat ke atas, tanda semua harus berhenti. Mata mereka menatap dua orang yang tengah bertarung di lembah bukit yang tandus. Mereka adalah seorang lelaki tua dengan perempuan berpakaian serba kuning.

"Barangkali perempuan itu salah satu dari orang Matsuri," ujar Ginan Sukma.

"Kalau begitu, mari kita serang dia," kata Dodot Pamasar dengan gerakan hendak menarik tali kekang kuda. Tetapi, Suro Bodong segera berpaling ke arah Dodot dan berkata dengan tegas:

"Jangan gegabah!Perempuan itu bukan orang Matsuri."

"Dari mana kau bisa tahu?" sela Emandanu.

"Aku kenal perempuan itu. Dan... justru aku harus membantunya. Dia adalah Dewi Gading. Perempuan itu pernah menolong nyawaku dari ancaman maut orang-orang kerajaan Lesanmitra."

"Sepertinya aku pernah mendengar namanya: Dewi Gading." Pambudi Tulus menggumam dan mengingat-ingat. Suro menjelaskan:

"Dewi Gading dan aku pernah sama-sama melawan orang-orang Lesanmitra, yaitu merubuhkan Raden Puger dan Dandung Wungu. Dia yang menyembunyikan aku di Lereng Sewu dan..."

"Dan yang menjadikan kenangan indah bagi kalian berdua, begitu, kan?" Baderi menyahut dengan tawa. Suro Bodong hanya tersenyum tipis.

Mereka masih berada di punggung kuda. Mata mereka masih memandang pertarungan antara Dewi Gading dengan seorang lelaki tua berjubah putih. Suro Bodong menggumam dalam hati, masa indah bersama Dewi Gading terkenang dan menggoda benaknya. (dalam kisah: RACUN MADU MAYAT).Lalu, Suro Bodong turun dari kudanya setelah Arya Somar berkata:

"Mungkin kita bisa bertanya kepada Dewi Gading tentang Lembah Matsuri...."

Lelaki tua berjubah putih itu mengibaskan tongkatnya yang berbentuk kepala naga. Dewi Gading yang berambut ikal itu segera merendahkan badan dan memukul perut lawannya. Tetapi, gerakan tongkat begitu cepat menghantam tangan Dewi Gading, sehingga perempuan bertubuh menggairahkan itu menyeringai kesakitan. Tangannya didekap oleh tangan satunya, karena tulang tangan itu bagaikan patah terkena pukulan tongkat lawan. Kesempatan tersebut digunakan oleh lelaki berjubah putih untuk menghantam kepala Dewi Gading. Tongkatnya melesat dengan cepat. Dan... sebuah batu sebesar genggaman telah lebih bulu menghantam tongkat itu, menahan gerakan agar tidak sampai mengenai kepala Dewi Gading. Dengan cepat lelaki berjubah putih mendelik ke arah Suro Bodong yang terlihat melemparkan batu penahan tongkat itu.

"Bangsat! Apa urusanmu ikut campur urusan ini, hah?!"

Suro Bodong tidak bermaksud menyerang jubah putih. Ia berjalan mendekat dengan langkah-langkah santai dan seulas senyum di bibir kepada Dewi Gading. Perempuan berambut sepanjang bahu itu berseru kaget:

"Suro...?!" Ia kegirangan.

Tetapi, lelaki berjubah putih itu segera menyerang Suro Bodong dengan satu loncatan cepat.

"Hiaaaat...!!"

Di luar dugaan, Emandanu melemparkan senjata rahasianya dari punggung kuda berupa sebentuk bintang bersudut delapan. Zing... ziing... zing...! Tiga kali Emandanu mengirimkan senjata rahasianya, karena ia khawatir kalau Suro Bodong sampai diserang dalam keadaan tidak siap. Dua senjata memang bisa ditangkis dengan kibasan tongkat, tetapi satu senjata yang terakhir tepat menancap mengenai leher lelaki berjubah putih.

"Aaaaakhh...!!"

Suro Bodong kaget sekali melihat lelaki itu rubuh dengan senjata rahasia tertancap di leher. Ia segera berpaling kepada Emandanu, matanya memandang garang, sementara Emandanu yang tersenyum puas karena bisa menggagalkan serangan jubah putih kepada Suro, tiba-tiba senyumannya itu pun pudar, berganti rasa was-was yang menggelisahkan.

"Ceroboh...!!" bentak Suro Bodong. "Kenapa kau bertindak tanpa persetujuanku, hah? Lihat...! Dia mati karena senjatamu, sedangkan kita tidak punya urusan apa-apa dengannya! Goblok...!!"

"Dia mau menyerangmu, Suro, dan kau kelihatannya tidak siap, maka....."

"Aku lebih siap daripada kau, Emandanu! Bahkan otakku pun sudah siap memperhitungkan tindakan yang harus kulakukan. Tapi, bukan dengan cara harus membunuhnya begini. Goblok tujuh turunan kau!!"

"Suro Bodong...!" Dewi Gading berlari menghampirinya, dan Suro Bodong segera menyusutkan kemarahannya.

"Syukurlah kau segera datang, Suro."

"Siapa lelaki berjubah putih ini?!"

"Dia bermaksud ingin memaksaku agar dibawa ke Pondok Lereng Sewu. Ia mengincar beberapa pusaka mendiang guruku."

Suro Bodong menggumam pendek, kemudian menatap Dewi Gading. Sebaris ingatan indah kembali menggoda benaknya. Ingatan indah itu adalah saat-saat Suro Bodong yang berujud menjadi Tole, anak kecil, yang sempat menikmati masa khayalannya di dalam Kamar Madu Mayat bersama Dewi Gading. Namun, demi tugasnya merebut tombak pusaka, Suro Bodong segera membuang ingatan itu, yang dapat menjadi racun bagi perjalanannya.

"Dewi Gading... aku punya masalah lain yang berbeda dengan masalahmu. Aku ingin minta bantuan kau."

"Masalah apa? Perkawinan?"

Suro Bodong menggeleng, sekali pun Dewi Gading tersenyum nakal.

"Kau pernah mendengar Lembah Matsuri?!"

"Matsuri...?!" Dewi Gading berkerut dahi dan sedikit memiringkan kepala saat memandang Suro Bodong.

"Kau pernah mendengar nama itu tentunya," kata Suro.

Dewi Gading manggut-manggut dalam renungannya.

"Kau ingin ke sana, Suro?"

"Ya. Tapi aku tidak tahu di mana tempatnya."

"Aku juga tidak tahu tempatnya. Tetapi, kau bisa mencari seorang lelaki tua yang tinggal di gunung Sembur. Namanya: Empu...."

"Empu Segah...?!"sahutSuro Bodong.

"O, kau telah mengenalnya?"

Suro mengangguk. "Dia pernah menolongku ketika aku menyerang Istana Awan," jawab Suro (dalamkisah:TUMBAL MAHKOTA RATU).

"O, kalau begitu, kau bisa langsung bertanya kepadanya tentang letak Lembah Matsuri. Tapi... agaknya kau harus hati-hati ke sana."

"Kenapa?"

"Menurut kabar yang pernah kudengar, Lembah Matsuri adalah sebuah perguruan yang mempunyai banyak orang berilmu tinggi. Orang-orang Matsuri sukar dijamah, kecuali dengan cara tersendiri yang tentu saja mahal tebusannya."

"Kalau begitu, kami akan ke gunung Sembur sekarang juga," kata Suro Bodong. Dengan mata memandang ke langit, melihat alam mulai redup.

"Kau akan kemalaman, Suro. Sebaiknya singgah dulu ke Pondok Lereng Sewu."

Suro Bodong menghela nafas. Ada kebimbangan yang sedang dipertimbangkan, walau akhirnya ia berkata:

"Aku bersama enam anak buahku. Mereka tak mungkin kutinggalkan. Juga tak mungkin harus singgah ke Lereng Sewu, tempatmu. Barangkali selesai acara ini aku bisa singgah sebentar ke Pondokmu."

Dewi Gading juga menghela nafas, dan berkata, "Kalau begitu, selamat jalan...! Aku akan berdoa untuk keselamatanmu, supaya kau bisa benar-benar singgah ke Pondok Lereng Sewu. Aku akan menunggu di sana, Suro...!"

Setelah tangan Suro Bodong menjamah pipi Dewi Gading, Baderi terdengar batuk-batuk kecil dan mendehem beberapa kali, suatu sindiran yang patut ditertawakan dalam senyum. Lalu, perempuan berpakaian serba kuning itu segera melesat meninggalkan rombongan tujuh pendekar Kesultanan Praja.

Suro Bodong memandangi beberapa saat kepergian Dewi Gading, kemudian segera naik ke atas punggung kuda. Ia bicara kepada teman-temannya:

"Kita ke gunung Sembur, menemui Empu Segah, kenalanku. Menurut perempuan itu, Empu Segah dapat menunjukkan di mana letak Lembah Matsuri."

"Lebih baik secepatnya kita ke sana," ujar Pambudi.

Dan kuda mereka pun terpacu dengan cepat bagai berlomba dengan malam.

Sebelum memasuki hutan di bawah kaki gunung Sembur, keadaan bumi sudah semakin meremang. Arya Somar mengusulkan agar jangan meneruskan perjalanan di waktu malam. Separuh lebih mereka menyetujui untuk bermalam di kaki gunung, di tepian hutan. Maka, mau tidak mau Suro Bodong berhenti memacu kuda mereka.

"Esok pagi kita menerobos masuk ke hutan, dan berhenti di suatu tempat yang layak jadi perlindungan. Sementara aku dan Arya Somar naik ke pondok Empu Segah," kata Suro di depan api unggun.

"Aku juga ikut naik!" kata Ginan Sukma. "Mungkin ada beberapa hal yang bisa kuketahui maknanya."

"Baiklah...!"kata Suro. "Jadi, empat orang menunggu di bawah, sambil menjaga kuda-kuda kita."

Tetapi, suatu kejadian yang sangat di luar dugaan telah mengejutkan mereka. Ketika fajar menyingsing, dan mereka terbangun, maka ricuhlah mereka karena salah seorang dari mereka tidak diketemukan raganya.

Emandanu, ahli di bidang senjata rahasia, telah hilang tanpa jejak yang pasti. Pakaian dan persenjataan Emandanu ditemukan oleh Arya Somar. Tetapi raga Emandanu tidak ditemukan sekalipun sudah dicari ke mana-mana.

"Jangan sentuh pakaian itu!" teriak Suro Bodong dari tempat sedikit jauh. Semua masih mencoba memeriksa keadaan sekeliling. Menggeledah hutan. Tetapi raga Emandanu tidak ditemukan oleh siapa pun.

"Kurasa ada satu kekuatan yang mampu mengambil raga Emandanu," ujar Pambudi Tulus. "Lihat saja posisi pakaian dan senjata Emandanu, seolah-olah masih dalam posisi telentang dalam tidurnya. Ini berarti ada kekuatan yang mampu memusnahkan atau mengambil lolos tubuh Emandanu dalam keadaan tanpa pakaian."

Baderi Darus menggeram dengan wajahnya yang berkumis menampakkan kemarahannya. Sementara itu, Suro Bodong memanjat pohon dan menyelidiki hutan tersebut. Tetapi, tetap saja tak ada tanda-tanda yang dapat dijadikan petunjuk, ke mana perginya Emandanu.

"Aku harus segera naik, menemui Empu Segah. Kurasa Empu Segah dapat membantu kesulitan kita," kata Suro Bodong.

"Sebaiknya kita naik bersama-sama," kata ' Ginan Sukma.

"Jangan," Arya Somar mencegah. "Kita mencari dan menyelidiki tempat ini seteliti mungkin, sementara Suro Bodong biarkan naik menemui Empu Segah."

Kemudian, hal itu disepakati bersama, dan Suro Bodong melesat dalam satu lompatan, meninggalkan teman-temannya. Gerakan Suro Bodong seperti kelinci dikejar harimau, begitu cepat sehingga mirip sebatang anak panah dilemparkan. Ia harus segera menemui Empu Segah, sebab ia yakin bahwa Empu Segah akan dapat menolongnya dalam hal menemukan Emandanu kembali. Paling tidak melalui Empu Segah, Suro dapat mengetahui arah kepergian raga Emandanu, atau penyebab hilangnya Emandanu.

"Empu Segah...! Aku datang! Aku Suro Bodong...!!" teriak Suro ketika memasuki halaman pondok yang terbuat dari kayu-kayu berjajar itu. Keadaan sepi adalah wajar, karena memang demikianlah keadaan sehari-hari di rumah Empu Segah. Suro pernah merasakan kesepian di rumah itu ketika ia diselamatkan oleh Empu Segah dari ancaman racun Jarum Malaikat milik Laras Peri, (dalam kisah:TUMBAL MAHKOTARATU).

"Empu Segaaah...!!" teriak Suro Bodong setelah tak mendapat jawaban. Ia nekad memasuki pondok itu, dan matanya menjadi terbelalak ketika melihat Empu Segah telah terbujur menjadi mayat berbau busuk.

Hampir Saja Suro Bodong kaget dalam hentakan rasa muntah ketika ia melihat bangkai manusia dengan kepala yang terpisah dari lehernya. Empu Segah sudah tidak lagi berujud seorang lelaki tua yang bersimpati kepada Suro Bodong. Wajah pada kepala itu hancur, dan badannya pun telah mulai berbelatung di beberapa tempat.

Suro Bodong tak tahan, antara sedih dan ingin muntah. Segera ia melompat ke luar dalam satu teriakan histeris yang menjadikan tanda pelampiasan rasa sedih dan kemarahan. Lemas tubuh Suro Bodong melihat mayat Empu Segah. Siapa yang telah melakukannya? Siapa yang membunuhnya? Suro nyaris tak dapat berpikir apa-apa kecuali terkulai lemas di bawah pohon.

2
 Sosok bayangan yang terlihat di balik semak, di samping rumah mendiang Empu Segah itu sangat mencurigakan. Suro Bodong yang sedang jengkel atas kematian Empu Segah segera melompat dengan kedua tangan menggenggam setengah terentang. Kemudian kakinya menendang salah satu pohon seukuran pahanya yang dekat dengan semak dan sosok manusia itu.

"Hiaaat...!"

"Kraak...! Bruuk...!"

Pohon itu tumbang seketika. Patah pada bagian yang tepat terkena tendangan kaki kanan Suro Bodong. Pohon itu sengaja ditendang agar rubuh menimpa sosok manusia yang ada di balik rimbunan semak itu.

Bagai burung yang mengepaskan sayapnya dengan gagah, seorang berjubah biru melesat dari semak belukar, melayang di udara dan bersalto beberapa kali ke arah Suro Bodong. Kibasan jubahnya sempat mengenai pundak Suro Bodong. Kibasan kain jubah biru itu seperti kibasan pohon roboh yang membuat Suro Bodong terpelanting ke samping, nyaris jatuh ke lereng gunung.

Wow...?! Alangkah hebatnya. Kibasan jubah itu mampu membuat tubuh Suro yang besar jadi sempoyongan, apalagi pukulan dan tendangannya. Suro yakin, lelaki botak berjubah biru itu pasti mempunyai ilmu silat yang tidak tanggung-tanggung kehebatannya.

Lelaki botak plontos berjubah biru itu hanya memegangi sebuah kalung menyerupai tasbih. Manik-manik kalung itu tidak seperti manik-manik kalung biasanya. Ia mempunyai manik-manik kalung yang besar, kira-kira seukuran bola bekel. Warnanya hitam kecoklat-coklatan, dan agaknya terbuat dari jenis batuan langka.

"Kau tak akan mampu menyentuhku, anak muda..." kata lelaki tua yang beralis tebal dan berwarna putih. Ia memandang Suro Bodong dengan ringan. Wajahnya yang tanpa kumis dan jenggot sedikit pun itu membuat Suro Bodong sedikit heran; mengapa hanya ada alis mata yang tumbuh pada bagian kepalanya. Mengapa tidak ada rambut lain yang umumnya di kepala manusia setua lelaki berjubah biru itu?

"Hiaaat...!"ia membuang pikiran itu. Ia yakin, lelaki berjubah biru itulah yang membunuh Empu Segah. Sebab itu, Suro Bodong tak mau memberi kesempatan kepada orang botak plontos itu untuk melancarkan serangan ke arahnya, tetapi Suro lah yang menyerangnya lebih dulu. Pukulan tangan kanannya menjurus ke wajah lelaki botak.

"Plak... plak...!"

Dua pukulan Suro Bodong dalam jarak dekat dapat ditangkis oleh lelaki berjubah biru. Suro Bodong menggerakkan kakinya menekuk di depan perutnya, lalu menghentak lurus ke depan, sasarannya dada lawannya. Tetapi, dengan mudah kaki Suro Bodong itu dapat dielakkan dengan cara memiringkan badan ke samping dalam keadaan melengkung ke belakang. Sebaliknya, kaki kanan lelaki berjubah biru menghentak ke samping, dan sasarannya adalah perut Suro Bodong yang tak pernah tertutup baju itu.

"Huuuugh...!" Mata Suro Bodong sempat mendelik, karena perutnya bagai terseruduk banteng jantan yang sedang mengamuk. Sukar sekali Suro ingin bernafas. Buru-buru ia menguasai keseimbangan nafasnya sambil berdiri sedikit membungkuk. Lelaki botak itu tidak melanjutkan serangannya. Ia bagai menunggu kesanggupan Suro untuk bernafas kembali.

"Percuma saja kau melawanku, anak muda. Kau akan mati dalam usia sepertiga dari umurku..." kata lelaki botak. Tangannya memainkan kalung bermanik-manik besar. Suro Bodong melirik dengan geram, penuh kemarahan yang menggemaskan.

"Kakek sombong...!Pembunuh keji!Terimalah jurus-jurusku kali ini, hiaaat...!!"

Suro Bodong bergerak dengan cepat, bagai lompatan srigala lapar menerkam pisang goreng. Kedua tangannya melesat terarah ke wajah lawan, kakinya lurus ke depan. Namun, sebelum sempat ditangkis, Suro Bodong segera berkelit ke samping, langsung berguling di tanah. Tiba-tiba ia menghentakkan tangan untuk membuat tubuhnya berdiri. Lalu, dengan kecepatan yang tak dapat dilihat oleh mata manusia, kaki kanan Suro Bodong menendang ke arah belakang.

"Hiaaat...!"

"Uuh...!"

Punggung kakek beralis tebal itu tersentak, karena menjadi sasaran tendangan tersebut. Ia ingin berbalik mengibaskan kalungnya ke arah Suro Bodong, namun jurus tendangan Ayam Kawin segera dilancarkan oleh Suro Bodong. Jurus tendangan itu tidak sempat ditangkis atau dielakkan oleh lawan karena kecepatannya. Kaki kanan Suro menendang dengan cepat, tujuh kali beruntun, kemudian disusul dengan tendangan kaki kiri yang begitu cepat, juga tujuh kali beruntun. Baru setelah lawan menjadi gelagapan, sebuah pukulan keras menghantam pipi orang itu tanpa ampun lagi. Tubuh yang dihantam ternyata sukar untuk dijatuhkan. Tubuh tua berjubah biru itu masih saja berdiri dalam posisi kaki merenggang dan sedikit merendah ke bawah.

"Gila...?!" Suro Bodong terheran-heran melihat ketangguhan berdiri lelaki tua itu. Dua kali jurus tendangan Ayam Kawin yang biasanya membuat lawan tunggang-langgang serta jungkir balik, kali ini bagai tidak sanggup menggoyahkan tubuh lelaki berjubah biru itu. Bahkan pukulan Suro yang keras juga tidak mampu mengusik kesigapan berdirinya.

Suro Bodong segera membuka jurus Pukulan Babi Buta. Setelah kedua tangannya terangkat ke atas dengan kaku, dan di tarik ke sisi dada dengan berotot kencang, maka Pukulan Babi Buta pun segera dilancarkan. Tujuh kali dalam keadaan beruntun kedua tangan itu saling bergantian memukul dengan cepat. Dada lelaki berjubah biru menjadi sasaran telak. Tetapi, yang dipukul hanya diam saja, seakan membuka dada, memberi kesempatan Suro untuk memukul sepuas hati. Dan hal itu dilakukan Suro beberapa kali.

Kalau biasanya, Pukulan Babi Buta dapat membuat lawan terjengkang jauh dan muntah darah. Pukulan itu begitu cepat, beruntun sampai tujuh kali bergantian, sukar ditangkis atau dielakkan. Tetapi, kali ini agaknya Suro Bodong menghadapi lawan yang alot. Cukup tangguh. Lelaki tua berjubah biru itu menyunggingkan senyum tipis ketika Suro Bodong terbengong dengan nafas terengah-engah.

"Ini tembok baja! Bukan manusia..." gerutu Suro yang merasa terheran-heran melihat lelaki tua itu hanya tersenyum setelah menerima Pukulan Babi Buta. Ia tetap berdiri tegak, kedua kaki sedikit merenggang dan kedua tangan lurus ke bawah di samping kanan kiri.

"Bruuk...!"

Lelaki berjubah biru itu tiba-tiba jatuh, rubuh. Dan, mata Suro Bodong pun melotot kian lebar. Kemudian hatinya tak dapat menahan geli melihat kenyataan di depannya.

Jubah biru ternyata sejak tadi bertahan diri untuk tetap tegak. Ia ingin menampakkan kekuatannya menahan pukulan Suro Bodong dengan senyum tipis dan tenang. Berdiri bagai tugu yang gagah serta kokoh. Tapi, nyatanya ia pun kini rubuh. Ternyata ia tak sanggup bertahan lebih lama lagi. Ia terpaksa melepas rasa malu untuk segera rubuh karena pukulan dan tendangan Suro Bodong tadi.

Suro Bodong terkekeh-kekeh pelan. Ia berjongkok untuk memeriksa keadaan lelaki tua itu. Ia sedikit mengkhawatirkan kalau lelaki itu mati tanpa diketahui siapa namanya dan dari mana asalnya. Suro ingin bertanya tentang mengapa lelaki tua itu membunuh Empu Segah. Apa alasannya?

Tetapi, pada saat Suro Bodong merundukkan badan untuk berjongkok dan melongo, tahu-tahu kaki kanan lelaki berjubah biru itu menendang keras ke atas.

"Huughh...!!"

Suro Bodong terpental. Melayang bagai seonggok sampah dibuang ke udara. Sedangkan lelaki berjubah biru itu telah meletikkan badan, lalu tubuhnya kembali berdiri dengan sigap. Posisi kakinya merenggang dengan salah satu kaki ditekuk rendah. Tubuhnya sedikit miring, seakan ia sedang mengambil ancang-ancang untuk menyerang. Kedua tangannya mengeras. Yang kiri di depan dada, yang kanan memegangi kalung dalam posisi terulur ke alas kepala. Kalung itu pun diputar-putarnya dengan santai.

Tubuh Suro masih meringkuk di tanah. Ia mengerang tertahan karena perutnya terasa sangat sakit. Seakan seisi perutnya ingin tertuang keluar lewat mulut dan dubur. Suro Bodong meringis dan menggeliat beberapa saat. Kalau saja lelaki berjubah biru itu mau menyerangnya, pasti Suro Bodong dapat mengalami luka yang lebih parah lagi. Namun, ternyata lelaki itu justru menunggu Suro Bodong bangkit dengan tegap, untuk, kemudian akan diserang lagi.

Suro berjuang menahan sakit. Ia berusaha untuk berdiri, walaupun pada kenyataannya ia hanya mampu berdiri dengan kedua lututnya dengan sempoyongan. Maka, lelaki berjubah pun mulai mengendorkan ketegangan tangannya yang siap menyerang itu. Ia tersenyum tipis dan memandang Suro dengan matanya yang ciut.

"Jangan sangka dapat mudah merobohkan aku, anak muda. Mungkin kau memang bisa membantai adikku, Empu Segah itu, dengan sekali gebrak, tapi aku... kakak Segah, adalah orang yang belum pernah jatuh dikalahkan lawan."

Suro Bodong memandang lelaki berjubah biru dengan sedikit sorot mata tercengang. Kata-kata orang tua itu mulai membelai kemarahan Suro Bodong, meredakan kebencian dan kedongkolan di hati Suro Bodong.

"Siapa kau sebenarnya, Kakek alot?!" kata Suro Bodong dengan suara bagai menahan erangan kesakitan. Ia masih memegangi perut dengan menyeringai samar-samar. Matanya menatap tajam-tajam pada lelaki berjubah biru yang berdiri di depannya dengan keteguhan.

"Aku Bayanpati," jawab lelaki berjubah biru. "Orang memanggilku: Begawan Bayanpati. Aku kakak Empu Segah yang kau bunuh dengan keji itu. Sudah sewajarnya kalau aku menuntut balas atas kematian adikku itu, bukan?"

Dengan masih memegangi perut, Suro Bodong memaksakan diri untuk berdiri.

"Begawan Bayanpati..." katanya sambil terbatuk sejenak. "Kalau begitu kita salah anggapan."

"Salah anggapan itu menurutmu, tapi menurutku tidak!"

"Percayalah. Aku menyerangmu tadi, karena aku menyangka kau adalah pembunuh Empu Segah, maka aku marah dan ingin melampiaskan kemarahanku."

Begawan Bayanpati masih mempermainkan kalung di samping perutnya. Ia mendekati Suro Bodong sambil memandang penuh selidik. Beberapa saat kemudian, ia pun berkata:

"Jadi, kau mengira aku yang membunuh Segah?"

"Ya. Dan aku marah sekali karenanya. Sebab Empu Segah pernah menolongku. Kami punya hubungan baik. Akrab dengan masalah kita. Justru aku ke sini juga ingin meminta tolong kepada Empu Segah sahabatku... tapi ternyata, dia sudah menjadi bangkai!" Suro mengucapkan kata terakhir itu dengan nada penuh kesedihan dan penyesalan.

Di bawah pohon, ada batu memanjang. Dulu Suro sering menggunakan batu itu untuk duduk bersama Empu Segah. Namun sekarang, ia duduk bersama kakak Empu Segah, yaitu Begawan Bayanpati.

"Sekali waktu aku pernah mendengar namamu, Suro Bodong. Segah yang menceritakan padaku tentang kamu. Ia juga menceritakan kelegaannya dapat membantumu memusnahkan Istana Awan (dalam kisah : TUMBAL MAHKOTA RATU). Dan... kalau kutahu namamu Suro Bodong,  mungkin aku tidak akan menyerangmu. Ah... sudahlah perlu apa kita bicarakan lagi hal itu. Aku lebih tertarik dengan apa yang kauceritakan, yaitu mengenai perjalananmu ke Lembah Matsuri."

"Ya. Ada persoalan penting di sana yang harus kuselesaikan dengan teman-temanku."

"Dengan teman-temanmu? Maksudmu, kau tidak datang sendirian?!" Begawan Bayanpati bersungut-sungut dan memandang ke sekeliling.

"Di bawah sana," Suro menuding ke lereng gunung. "Ada enam orang temanku yang menungguku. Tapi... yang satu hilang musnah. Baju dan pakaiannya, senjata-senjatanya, ada semua, tetapi raganya hilang tak tahu arah."

Begawan Bayanpati yang beralis tebal tapi putih itu berkerut dahi. Kemudian, ia manggut-manggut, entah apa maksudnya. Suro melanjutkan kata-katanya:

"Aku datang ke pondok Empu Segah hanya untuk bertanya: di mana letak Lembah Matsuri sebenarnya. Tapi sayang... beliau telah tiada. Padahal aku berharap, beliau tahu persis Lembah Matsuri."

Suro Bodong duduk dengan kedua sikunya berada di atas kedua lutut dan pahanya. Badannya membungkuk ke depan, namun matanya memandang lurus ke bawah, seakan ia sedang merenungkan kesialannya.

Begawan Bayanpati berdiri, melangkah ke depan membelakangi Suro Bodong. Kemudian berbalik setelah bungkam sesaat, lalu berkata dengan suara tuanya yang khas:

"Tidak semua orang bisa mencapai Lembah Matsuri."

Kata-katanya diam sampai di situ. Ia memandang Suro Bodong, dan hal itu membuat Suro Bodong menjadi tertarik. Suro mengangkat wajah, memandang Begawan Bayanpati.

"Segah dan aku pernah mencoba ke sana, tapi gagal."

Suro Bodong masih terbungkam beberapa saat. Sepertinya ada keraguan di dalam hatinya. Kemudian Begawan Bayanpati melanjutkan kata-katanya tanpa memandang Suro, melainkan memandang pepohonan yang ada di samping kirinya.

"Tempat itu seperti dalam impian, atau seperti di ujung khayalan. Indah. Memang indah tempat itu. Banyak kesejukan di Lembah Matsuri. Banyak kecantikan di sana, tetapi tidak semua orang bisa menggapainya."

Setelah merenung sesaat, Suro pun bertanya:

"Di mana? Mengapa tidak bisa digapai semua orang?"

Kepala lelaki tua itu berpaling memandang Suro. Diam beberapa lama. Kemudian ia berjalan mendekati Suro, berhenti tepat di depan Suro Bodong, sehingga Suro Bodong terpaksa menegakkan posisi duduknya sambil memandang ke atas. Ke wajah Begawan Bayanpati yang tampak bersungguh-sungguh itu.

"Kau harus menuju ke Barat," ujar Begawan.

"Ke Barat? Apakah ada kehidupan aneh di Barat sana?"

"Banyak kehidupan aneh di sana. Salah satu di antaranya kehidupan di dalam Lembah Matsuri."

Suro Bodong menggumam. Ia merubah sikap duduknya. Kini salah satu kakinya menumpang di salah satu pahanya. Ia bertanya dengan tanpa memandang Begawan Bayanpati:

"Apakah banyak penghalangnya? Apakah untuk menuju Lembah Matsuri harus melalui berbagai rintangan?"

"Ya," jawab Begawan tegas. "Letaknya sendiri pun sukar dicapai, dan tidak setiap waktu kau bisa menuju ke sana."

"Maksudnya?" Suro berkerut dahi, menatap tenang.

"Ada waktu khusus untuk datang, bahkan untuk melihat Lembah Matsuri itu kita membutuhkan kesabaran. Menunggu sampai saat Lembah Matsuri tampak oleh penglihatan kita. Jadi, ada waktu khusus bagi Matsuri untuk buka dan untuk tutupnya pun punya waktu tersendiri."

Kumis yang tebal itu digaruk-garuknya lagi. Suro Bodong masih berkerut dahi pertanda ia dalam era kebingungan yang menggelisahkan.

"Tolong berikan keterangan yang lebih lengkap, Begawan."

"Tekadmu cukup besar," Begawan Bayanpati tersenyum sinis, tapi sebenarnya bukan senyum kebencian atau penghinaan.

"Aku memang harus ke sana. Ini tugas dari Sultanku. Tapi, aku tidak tahu, di mana letak Lembah Matsuri yang sebenarnya."

"Letaknya ada di antara lengkung pelangi."

Kepala Suro Bodong miring-miring dengan dahi berkerut makin tajam. Kumisnya digaruk lagi, karena benaknya bingung mengartikan kata-kata tadi.

"Letaknya di antara lengkung pelangi? Maksudnya, bagaimana itu?"

"Kau hanya bisa melihat Lembah Matsuri bersama kehidupan masyarakatnya, jika kau melihat pelangi membias di langit Barat. Di tepi laut, kau akan dapat melihat Lembah Matsuri dengan jelas pada saat sang Pelangi menampakkan diri. Lembah Matsuri itu sesungguhnya suatu kehidupan di lengkung pelangi senja."

"Aku seperti mendengar sebuah dongeng..."

"Yang menjadi kenyataan," sahut Begawan Bayanpati. Suro hanya diam, termenung dalam kebimbangan. Begawan melanjutkan kata:

"Pergilah ke arah Barat, carilah pantai dan tunggulah di sana sampai terbit bias pelangi senja. Lalu perhatikan di antara lengkung pelangi itu, maka kau akan melihat suatu kehidupan di atas lengkung pelangi. Itulah kehidupan Lembah Matsuri dengan perempuan-perempuan cantiknya yang sukar kau jamah, kecuali dengan syarat yang cukup besar."

"Apa syaratnya?"

"Kesungguhan!"

Memang, hati Suro Bodong sepertinya merasa sedang ditipu oleh sebaris cerita Begawan Bayanpati. Namun, kemudian ia segera bertanya dalam hati: untuk apa Begawan Bayanpati menyebar dongeng bohong seperti itu? Bukankah sikapnya sendiri sudah menampakkan bahwa ia segan berbicara tentang Matsuri? Bukankah ia telah menampakkan kekecewaannya karena gagal datang ke Lembah Matsuri bersama Empu Segah. Dan. Pantaslah kalau Dewi Gading mengatakan, bahwa Empu Segah pernah mencoba untuk datang ke sana.

"Baiklah. Terima kasih atas keteranganmu, Begawan. Aku tetap akan mencobanya untuk datang ke Lembah Matsuri," kata Suro Bodong sambil berdiri dari duduknya."

"Hati-hati dengan perempuan Matsuri."

"Kenapa?"

"Dia bisa menjeratmu dengan mudah, tapi kau belum tentu berhasil menjeratnya. Mungkin menyentuhnya pun sukar."

"Apa saranmu?" Suro Bodong berhenti melangkah setelah ia termenung beberapa saat dan ingin segera pergi.

"Kesungguhan dapat membuatmu sampai ke sana. Dan jangan melupakan bisikan hati nuranimu sendiri, sebab bisikan hati nuranimu sendiri itulah yang akan banyak membantu kesungguhanmu. Buka semua indramu jika ke sana, supaya kau tidak mudah jatuh dalam genggaman perempuan Matsuri."

Suro Bodong manggut-manggut dalam keadaan menerawang. Kemudian ia mengucapkan kata 'selamat tinggal' kepada Begawan Bayanpati, lalu melangkah menuruni lereng gunung.

"Suro...!" seru Begawan. "Temanmu yang hilang itu akan kau temukan lagi dalam waktu dekat."

Suro berhenti melangkah, memandang ragu.

"Dari mana kau tahu, Begawan?"

"Pasti anak buahku. Muridku yang bertindak gegabah, karena mereka juga kukerahkan untuk mencari pembunuh adikku. Akan kusuruh ia mengembalikan temanmu itu. Maaf, kami salah comot...!" Begawan itu sempat menyerukan suara kekeh tawanya yang meggelikan.

Suro Bodong melambai seraya berkata, "Mudah-mudahan kau pun akan berhasil menemukan pembunuh Empu Segah!".

"Saling berdoalah untuk persahabatan baru ini, Suro!" Begawan Bayanpati pun melambaikan tangan.

Langkah Suro Bodong masih kelihatan tegap. Rasa mual di perut masih terasa sedikit. Samar-samar. Tetapi, di dalam hati Suro telah tersimpan kelegaan. Ia telah memperoleh keterangan tentang Matsuri, juga telah mempunyai harapan kembalinya Emandanu yang salah comot. Tentu saja ilmu yang digunakan murid Begawan Bayanpati bukan ilmu kelas kambing. Mungkin ilmu kelas macan. Ilmu tinggi, sampai-sampai bisa menculik Emandanu dalam keadaan raga saja, tanpa mengikutsertakan barang-barang dan pakaiannya. Wow... sungguh hebat ilmu itu. Sayang, Begawan tidak menjelaskan ilmu apa yang digunakan itu. Kalau ada kesempatan dan waktu luang, Suro mau belajar tentang ilmu semacam itu kepada Begawan Bayanpati.

"Wess...!"

Tiba-tiba sebatang dahan seukuran tiga jengkal melayang ke arah Suro Bodong. Suro yang mempunyai kepekaan pada saat itu segera melengkungkan badan ke belakang, dan dahan tiga jengkal itu melesat di depan hidungnya. HampirsajamerobekkulitwajahnyakalauSurotidakcepatmenghindar.

Maka, dengan sigap, Suro Bodong langsung berhenti dengan merenggangkan kaki, sedikit merendah, badannya sedikit membungkuk dengan tangan ke samping, siap menangkis atau menghadapi serangan berikutnya. Ternyata, kesigapannya itu cukup tajam. Sebatang dahan lain di lemparkan dari arah semula, dan Suro Bodongmemukuldahanitudengansatukalihantaman.Pecahlah dahan tersebut.

"Keluar kau, Bangsat...!"

Suro berteriak ke arah rimbunan semak di bawah pohon, tempat datangnya lemparan tadi. Kemudian dari arah semak belukar itu terdengarlah suara:

"Aku malu untuk ke luar...!"

Suro Bodong mengernyitkan alis. Ia mengenal suara itu. Dengan hati-hati ia mendekati rimbunan semak. Matanya bergerak-gerak liar, tangannya siap menangkis atau menyerang jika keadaan memaksa.

"Keluar kau!" hardiknya setelah berada di seberang semak. Kemudian seseorang menongolkan kepalanya dan cengar-cengir di depan Suro, hampir saja Suro menghantam wajah orang yang baru nongol dari rimbunnan semak itu.

"Untuk apa kau sembunyi di sini dan menyerangku, Emandanu?"

"Aku malu..." Emandanu masih menyeringai. "Aku telanjang bulat tanpa pakaian."

Nafas Suro Bodong terhempas kesal. Ia melihat tanaman berdaun lebar sejenis talas. Kemudian Suro berkata kepada Emandanu yang sempat geger dikabarkan hilang tanpa raga itu.

"Ambil daun itu sebagai penutup, dan segera bergabung dengan teman-teman di bawah sana!"

"Baik, Senopati Agung..." kata Emandanu berkelakar.

Suro Bodong menggumam lirih saat Emandanu mengenakan pakaian darurat dari selembar daun lebar. Dalam hati ia mengakui kesungguhan Begawan Bayanpati, bahwa Emandanu akan segera dikembalikan dari tangan anak buahnya yang salah comot itu. Nyatanya, Emandanu bahkan kini tengah berjalan seiring dengan Suro Bodong menuruni lereng gunung.

Tak sempat Suro Bodong menceritakan kisah pertarungannya dengan Begawan Bayanpati, sebab teman-temannya sudah dihinggapi rasa gembira akibat kembalinya Emandanu dan keterangan tentang Lembah Matsuri. Namun, mendadak Emandanu kebingungan dan gaduh sendiri. Ia garuk-garuk sekujur tubuhnya, terutama pada bagian yang ditutupi dengan daun lebar itu. Ginan Sukma bertanya, "Kenapa kau...?"

"Daun ini gatal sekali di kulit, hhuuuh...! Celaka!"

Arya Somar menyahut, "Sudahlah... garuk-garuknya nanti saja di Lembah Matsuri. Sekarang kita berangkat ke Barat...!"

3
 Tujuh sosok kesatria penunggang kuda, masing-masing menyandang pedang di punggung. Pedang keprajuritan. Hanya Suro Bodong yang kelihatan tidak membawa senjata apa pun pada tubuhnya. Baderi Darus, selain pedang di punggung, ia juga membawa busur dan beberapa anak panah dalam tempat khusus di punggung, menyilang dengan pedangnya. Demikian juga Emandanu, selain pedang di punggung, ia juga menyelipkan beberapa macam senjata rahasia di balik bajunya yang berwarna hijau tebal, dan ikat kepalanya yang terbuat dari kulit beruang itu. Dodot Pamasar, selain mempunyai senjata sebuah pedang, juga menyelipkan pisau dua buah di kedua betis sampingnya. Pambudi Tulus, selain pedang juga sebuah cambuk membelit di pinggangnya bagaikan ikat pinggang dari tali kenyal. Sedangkan Ginan Sukma danArya Somar masing-masing bersenjata pedang saja, namun pada Ginan Sukma ia mampu menebarkan racun lewat sabetan pedangnya, dan Arya Somar mampu menyalurkan tenaga dalam berupa suara yang memekakkan telinga dengan cara mengibaskan pedangnya.

Sementara itu, Suro Bodong melenggang. Berada di barisan paling depan. Tak terlihat senjata sekecil jarum pun pada dirinya. Orang akan menyangka, ia adalah prajurit tanpa senjata. Namun, sebenarnya justru Sure Bodonglah yang mempunyai senjata perlu diperhitungkan. Sebuah pusaka yang bernama Pedang Urat Petir, terselip di antara kulit dan daging lengan kirinya. Jika pusaka itu telah dicabut, tak pernah ada lawan yang mampu menandinginya.

Tiga hari perjalanan mereka, sampailah pada sebuah pesisir yang masih termasuk wilayah pesisir Selatan. Suro Bodong memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan menyusuri pantai.

Dengan melanjutkan perjalanan pantai, maka tempat yang dimaksud oleh Begawan Bayanpati suatu saat akan ditemukan juga, di mana dari pantai tersebut mereka dapat melihat Lembah Matsuri yang konon di antara lengkung pelangi.

"Kita harus mempertajam hati nurani. Itu menurut pesan Begawan Bayanpati," ujar Suro Bodong dalam kesempatan mereka beristirahat.

"Itu berarti kita harus melatih kepekaan indra keenam," kata Arya Somar menimpali. Mereka membentuk satu lingkaran mengelilingi api yang dipakai membakar ikan hasil tangkapan di laut.

"Apa yang harus kita lakukan jika begitu?" Baderi bertanya sambil menikmati ikan bakarnya.

Suro Bodong pun menjawab tanpa memandang Baderi:

"Latihan pernafasan dan pemusatan pikiran."

"Kau bisa melatih kami, tentunya," kata Pambudi Tulus.

"Aku akan mencoba, sebab sudah lama aku tidak berlatih pernafasan dalam satu pikiran."

"Sebaiknya, waktu beristirahat jangan terlalu banyak disia-siakan," timpal Ginan Sukma yang bertubuh pendek. Lebih pendek dari Arya Somar, namun kelihatan lebih berotot dari yang lainnya.

Ketika mereka telah melepas lelah untuk beberapa saat, maka Suro Bodong pun memandu teman-temannya untuk berlatih penguasaan nafas dan pemusatan pikiran. Mereka berdiri dengan kedua kaki terbuka, renggang. Tubuh mereka merendah serendah-rendahnya, tetapi telapak kaki tetap sejajar dengan tanah.

"Rentangkan tangan, lalu hiruplah udara sebanyak-banyaknya melalui hidung. Dalam menghirup, tarik kedua tanganmu untuk menyatu di depan dada dalam keadaan lemas. Tahan nafas sampai lama di rongga perut, lebih dekat dengan bagian pusarmu. Tahan nafas di situ, baru lepaskan perlahan-lahan dengan gerakan kedua tangan terbuka ke depan dan kembali menyamping," tutur Suro Bodong memandu teman-temannya.

Hal itu dilakukan oleh mereka berulang-ulang. Bahkan Suro Bodong juga melatihkan beberapa gerakan pernafasan yang cukup aneh bagi keenam prajurit andalan itu. Suro Bodong mengajarkan gerakan tanpa nafas yang cukup lemah. Lamban dalam gerak, namun tajam dalam pemusatan pikiran. Mereka bagai sedang membawakan sebuah tarian gemulai secara bersamaan. Otot-otot mereka mengendur, mata mereka bergerak searah gerakan raut muka. Hentakan-hentakan kecil dilakukan bagai tanpa tenaga, namun justru dengus nafas yang terkendali itu mampu menghasilkan satu tenaga maha dahsyat. Itulah yang dinamakan jurus pukulan Bidadari Pagi, yang pernah dipelajari Suro dari Eyang Panembahan, dan pernah juga dipelajari secara diam-diam oleh perempuan anak seorang Adipati yang bernama Puji Wardani, (dalam kisah: DENDAM PEREMPUAN SEPI).

Malam hari, puncak purnama mengintip di balik mega. Sinar kepucatan bagai perak merona memancar ke permukaan pantai. Hal ini membuat suatu kebetulan bagi mereka untuk bermalam tanpa api unggun. Hawa dingin tidak begitu meresap. Justru panas badan makin mendidih, karena Suro melatih teman-temannya sampai malam menguasai bumi.

Pada hari berikutnya, latihan di tepi pantai berikutnya juga, malam yang selanjutnya pula... mereka berhasil menguasai bahasa naluri. Geming hati dalam berucap kata sempat di dengar oleh telinga hati yang lainnya.

"Apa kau mendengaraku bicara?' kata Suro Bodong dalam hati.

Ginah Sukma dan Dodot Pemasar menjawab sama:

"Ya. Aku mendengar kata hatimu."

Sedangkan yang lain hanya menggunakan kepala sambil memandang Suro Bodong. Arya Somar berbisik dalam hati kepada Suro Bodong.

"Aku jelas mendengar suaramu, entah kalau teman-teman yang lain."

Hati Baderi Darus menjawab, "Aku juga mendengar!"

Suro berkata dalam hati, "Kalau begitu, mari kita bicara tentang seorang janda yang kesepian..." ternyata kata-kata itu di dengar oleh hati mereka, terbukti mereka jadi tertawa serempak dalam suatu kebanggaan yang terselip. Mereka tak tahu bahwa Suro Bodong banyak membantu dalam pelajaran ilmu Serap Hati itu. Tanpa bantuan khusus dari tenaga dalam Suro Bodong, mustahil mereka dapat menguasai ilmu Serap Hati dalam waktu latihan sesingkat itu.

"Aku mendengar suara kegaduhan," ujar Arya Somar dalam hati. Semua jadi memasang telinga, mendengarkan suara gaduh dikejauhan.

"Ya. Sepertinya suara orang-orang dalam kepanikan," kata Baderi Darus dalam hati.

Pambudi Tulus memejamkan mata, lalu mulutnya berkata:

"Seperti suara rumah kebakaran!"

Pambudi Tulus yang semakin tinggi ilmu pendengarannya itu memastikan adanya rumah terbakar di bagian Barat mereka. Lalu, Suro Bodong memberi komando agar mereka segera menuju ke sana.

"Pasti ada perkampungan nelayan yang sedang terbakar," kata Suro Bodong.

Arya Somar memacu kudanya lebih dulu. Kemudian, disusul Baderi Darus dan Ginan Sukma, lalu Dodot Pamasar dan Pambudi Tulus, Emandanu di belakang mereka, bahkan kini mengejar Arya Somar hingga berjajar. Sedangkan Suro Bodong berada paling belakang dari mereka.

Nyala api terlihat berkobar. Mereka semakin mempercepat derap kaki kuda. Makin dekat makin terlihat jelas perkampungan yang terbakar, penduduk yang kalang kabut dalam jeritan kepanikan dan... oh, rupanya mereka bukan hanya panik karena api, melainkan juga panik karena ketakutan.

Arya Somar mengangkat tangan kanannya tanda semua temannya harus mengurangi kecepatan kuda, dan berhenti sejenak. Arya Somar berkata kepada Baderi Darus yang sudah berada di samping kanannya:

"Ada pengacau di sini!"

"Ya, aku melihat orang-orang berbadan besar sedang mengejar-ngejar para perempuan...!"

"Hei, lihat itu...!" seru Emandanu. "Gila! Mereka melakukan pemerkosaan di depan umum dan terang-terangan?!"

"Kau ingin nimbrung?!" gumam Ginan Sukma.

"Benar-benar orang bertubuh kekar dan hitam itu tak lebih dari binatang-binatang buas...!" geram Emandanu.

"Apa yang harus kita lakukan?"

"Mana Suro Bodong? Masih di belakang?!" Arya Somar bimbang menentukan sikap. Tapi akhirnya ia mengambil inisiatip,

"Serbuuuu...!!" teriaknya sambil mengibaskan tangan.

Suatu kerusuhan dilakukan oleh orang-orang bertubuh kekar, besar bagai raksasa manusia. Kulit mereka hitam dan hanya mengenakan cawat kulit dengan topi berbentuk tanduk. Wajah-wajah mereka bengis-bengis, kasar dan menakutkan. Tinggi tubuh mereka pada umumnya lebih dari dua meter. Bahkan salah seorang dari mereka terlihat sedang menikmati biji mata manusia yang digerogot begitu saja. Mereka benar-benar liar dan sangat ganas.

Ginan Sukma yang kecil segera memacu kudanya ke arah salah seorang dari mereka yang sedang menyeret seorang perempuan ke tepi laut. Bersama kudanya itu, Ginan Sukma menabrak orang bertopi tanduk. Kuda melompati, dan kaki belakang kuda menyepak punggung lelaki hitam dengan keras. Pada saat itu Ginan Sukma segera mencabut pedangnya dan menebaskan dengan cepat ke arah pilipis lawan kekarnya.

"Aaawww...!!"

Lelaki itu menjerit mengerikan ketika pelipisnya somplak dibabat pedang Ginan Sukma.

Sementara itu, Pambudi Tulus juga mengendalikan kudanya dengan gerakan khusus. Kuda itu mampu melompati dua orang besar yang hendak membabat punggung Arya Somar dari belakang. Kedua kaki depan kuda itu dapat dikendalikan oleh Pambudi Tulus, sehingga kaki kuda itu mampu menendang dua arah sekali gus. Salah satu orang besar terluka kepalanya, pecah pada bagian tengkuk kepala, sedangkan yang satu hanya terhuyung-huyung ke depan. Tetapi dengan sigap, Arya Somar menyodokkan pedangnya ke arah belakang dan tepat mengenai lawannya.

"Aaawww...!!"

Jeritan itu amat mendirikan bulu kuduk siapa saja yang mendengarnya. Arya Somar segera melompat ke udara, dan bersalto sambil mengibaskan pedangnya pada saat seseorang sedang meluncur dalam satu lompatan ke arah belakang Pembudi Tulus. Kibasan pedang Arya Somar berhasil membelah kepala lawan, hingga orang itu roboh tepat mengenai pantat kuda yang ditunggangi Pambudi Tulus. Setelah menengok sebentar, Pambudi Tulus melajukan kuda ke arah lain, di mana Baderi dan Dodot Pamasar kewalahan disergap tiga orang besar. Mereka memainkan keahlian pedangnya, namun setiap tebasan pedang lawan yang besar itu mampu membuat tubuh Baderi dan Dodot terpelanting.

"Tar...!" Cambuk Pambudi Tulus bicara. Sekali lecut, merobek leher salah seorang lawan yang mengeroyok Baderi dan Dodot. Dua orang yang masih menghadapi Baderi dan Dodot Pamasar itu menjadi semakin berang.

"Haaaahhh...!!"

Mereka berteriak dan melompat, hingga salah satu kaki mereka menjejak dagu Baderi, sementara Dodot Pamasar pun terpelanting jatuh akibat tendangan salah seorang lagi. Pedang besar berujung segitiga itu telah siap dihunjamkan ke tenggorokkan Dodot Pamasar. Tetapi, Emandanu segera mengibaskan tangan kanannya dua kali.

"Ziiing..,! Ziiing...!"

Dua senjata rahasia berbentuk segitiga melesat dari kibasan tangan Emandanu. Keduanya tepat menancap di kening orang yang hendak menikam Dodot Pamasar, sedangkan yang satu lagi menancap pada dadanya dengan terbenam seluruhnya. Orang itu mendelik, masih berdiri dengan mulut ternganga tak mampu berteriak. Dodot Pamasar menendang ulu hati orang itu dengan tendangan dari bawah ke atas. Tendangan itu cukup kuat, namun tidak sampai membuat lawannya terpelanting jauh. Hanya dua langkah dari tempatnya berdiri, lawan itu sempoyongan dan rubuh.

Sedangkan lawan yang sedang menghajar Baderi Darus itu tiba-tiba ikut memekik keras. Posisi berdirinya jadi melengkung ke depan, karena dari belakang sebuah pedang Arya Somar menikamnya dengan mantap dan tanpa ampun lagi. Pada saat itu, Baderi Darus memukul alat vital lawannya dengan keras hingga lawannya terlonjak ke atas. Lalu, ia pun rubuh dengan menggelapar-gelepar bagai sapi disembelih.

"Aaahk...! Aku kenaa, uuh...!"

Emandanu memekik keras. Sebatang tombak bergagang pendek dengan ujung seperti alat pemburu ikan itu menancap di pinggang kirinya. Ia pun rubuh dari atas punggung kuda.

"Emandanu kenaa...!!" teriak Pambudi Tulus. Segara ia menyambar temannya itu dan turun untuk menolongnya. Tetapi sebuah tendangan kasar membuat tubuh Pambudi Tulus terpental menghantam perut kuda.

Sebuah pedang berujung segitiga mengibas, Pambudi Tulus hanya sempat menggeliat, dan punggungnya terpaksa tergores pedang itu tanpa ampun lagi.

"Deri... hantam dengan panahmu. Aku terluka...!" kata Pambudi Tulus dalam hati ketika ia merasa tak mampu lagi menghindari pedang lawannya.

"Juub...!"

"Aaakhh...!" Orang besar yang hendak menikamkan pedangnya dengan kedua tangan terangkat ke atas, siap menghunjam ke tubuh Pambudi, segera terjengkang kaku. Lehernya ditembus anak panah Baderi Darus. Kerongkongannya bagai gedebong pisang yang dengan empuk sekali ditusuk panah Baderi hingga tembus ke belakang. Pambudi Tulus berusaha sekuat tenaga untuk menggelinding ke samping. Tepat pada saat itu lawannya rubuh ke depan, menjatuhi bekas tempat Pambudi terkulai. Pedang yang sudah terlanjur diangkat oleh kedua tangan itu menancap di tanah dan melesat hampir separoh panjangnya. Andai Pambudi tidak mengerahkan tenaga untuk berguling ke samping, maka jelas tubuhnya yang akan kejatuhan ujung pedang itu.

"Hoo... hooooh... hoaah... hoaah...!!"

Suara itu bergema, datang dari perairan laut. Cahaya rembulan menampakkan bayangan manusia-manusia bertubuh besar dan tinggi berdatangan ke pantai. Mereka hendak membantu teman-temannya yang sedang bertempur di pantai. Mereka berlari menyibakkan riak ombak, senjata terhunus dan digenggam di tangan masing-masing. Dua orang teman mereka masih hidup di pantai dan sedang dihajar oleh Ginan Sukma serta Arya Somar. Dodot Pamasar kelabakan ketika melihat orang-orang bertopi tanduk itu berdatangan dari arah laut dengan jumlah lebih dari 25 orang.

Dodot Pamasar segera melemparkan pisaunya yang sejak tadi terselip di betis. "Wess...!" Pisau itu tak lebih dari sejengkal panjangnya, dan dilemparkan dalam gerakan setengah berputar. Pisau itu melayang melewati kepala Ginan Sukma dan merobek leher lawan yang hendak menikamkan pedangnya ke tubuh Ginan Sukma. Pisau itu bagai lewat begitu saja dan kembali ke arah Dodot Pamasar. Dengan melejitkan tubuh, Dodot Pamasar menangkap pisau tersebut. Lalu melemparkan lagi dalam gerakan setengah lingkaran. Sementara itu, lawan Ginan Sukma memegangi lehernya sambil mendelik, dan Ginan memanfaatkan untuk merobek perut lawannya hingga berhamburan isi perut orang besar itu.

Sementara Ginan melompat menjauhi lawannya yang sekarat, Arya Somar melompat menghindari tebasan pedang lawannya. Kakinya terangkat satu dan menjejak tepat di wajah, hingga orang itu tersentak ke belakang. Pada waktu ia tersentak, sebuah benda meleset menggores matanya. Pisau Dodot Pemasar berhasil melayang dengan arah putar dan melukai mata lawan Arya Somar. Pisau itu seperti tadi, membelok arah dan kembali ke tangan Dodot Pamasar. Sedangkan Arya Somar segera menikamkan pedangnya ke arah tenggorokkan lawan, hingga lawan tak mampu berteriak kesakitan, melainkan rubuh dan menggelepar-gelepar sesaat, untuk kemudian enggan bernafas lagi.

"Munduur...!!" teriak Arya Somar setelah mengetahui orang-orang kekar itu telah berhamburan menjejakkan kaki di pasir pantai. Suara mereka seperti gaung sejuta lebah, atau bagai gema gorila seribu berseru.

"Celaka...! Semua orangnya Gupolo turun dari kapal...!" teriak salah seorang penduduk sambil lari tunggang-langgang. Orang itu menabrak perut Suro Bodong yang berdiri menyaksikan pertarungan sejak tadi dengan garuk-garuk kumis.

"Ampunn... ampun, jangan bunuh saya Raden Gupolo...!" penduduk itu ketakutan dan menyembah-nyembah Suro Bodong.

"Hei, jangan ngacau...! Aku bukan Gupolo! Aku Suro Bodong! Enak saja merubah nama orang sembarangan...!" gerutu Suro Bodong. Lalu, ia ikut jongkok di depan lelaki kurus yang ketakutan itu. "Ada apa sebenarnya? Di mana asal mereka? Siapa pemimpinnya? Mengapa...."

"Aduuh... jangan banyak-banyak tuan memberi pertanyaan. Saya kebingungan..." kata orang itu dengan nafas ngos-ngosan.

"Siapa Gupolo itu?" Suro sedikit menenangkan kata.

"Setan laut! Dia penjaga dari seberang yang doyan makan daging manusia...! Dia dan rombongannya adalah pembajak nyawa manusia...! oh, saya takut. Mereka datang. Mereka turun dari kapal...! Permisi, Den...!" orang itu buru-buru berlari ketakutan ke arah kegelapan semak. Sementara itu, Suro Bodong berdiri memandang kedatangan orang-orang Gupolo yang ganas-ganas itu.

Sambil garuk-garuk kumisnya dari kegelapan, Suro Bodong berkata dalam hati:

"Mundur semua, atur jarak. Masing-masing lima langkah dari jarak yang lain. Biarkan mereka berpencar. Karena itu, jika mereka datang mendekat, berlarilah menyebar."

Kata-kata itu jelas ditujukan kepada Arya Somar dan yang lainnya. Agaknya ilmu Serap Hati yang dilatihkan beberapa waktu ini sangat berguna untuk memberi komando secara diam-diam. Dan Arya Somar pun mengikuti perintah Suro Bodong. Mereka berjajar dalam jarak lima langkah dari masing-masingnya. Hanya Pambudi Tulus yang tak mampu bergerak mengatur jarak. Namun, ia masih bisa berdiri dengan lutut sambil memegangi cambuknya. Darah segar mengucur dari punggung kirinya, dan kekuatan Pambudi Tulus mulai rapuh. Sementara, Emandanu diam tak berkutik dengan lembing kanannya dihunjam tombak pendek berujung bengkok.

Pambudi Tulus melecutkan cambuknya ke udara tiga kali. Lima orang Gupolo menerjangnya, namun terhenti ketika Pambudi Tulus mengibaskan cambuknya berulang-ulang, bagai memagari tubuhnya dari serangan lawan yang ganas. Nyala api memercik-mercik dari ujung cambuk, dan orang-orang Gupolo kebingungan untuk menyerang, akhirnya mereka beralih arah menyerang Baderi Darus.

Sementara itu, Baderi Darus sibuk melepaskan beberapa anak panahnya. Namun, ia terpaksa berhenti memanah, karena dari arah samping datang serangan dari lawan yang bersenjata rantai bola berduri. "Heaaaah...!!"

"Wuss...!" Rantai bola berduri berkelebat di atas kepala Baderi Darus. Segera, pedang Baderi bekerja dengan tangkas. Menebas ke depan sambil maju menyerang. Busur panahnya dipakai untuk menangkis, sedang pedang di gunakan untuk menikam dan merobek lawan yang terdekat. Tapi,dadanya pun tak luput dari ujung pedang lawan. Baderi Darus menjerit ketika ujung pedang lawan mampu merobek dadanya, hingga rompi merah yang dikenakan robek sebagian. Ia segera melentikkan badan, melayang dan bersalto ke salah satu atap rumah penduduk yang belum dibakar Gupolo.

Arya Somar dan Ginan Sukma mulai terteter diserang banyak lawan. Ginan melompat ke salah satu pohon dan mengibaskan pedangnya ke arah lawan. Pedang itu mengeluarkan serbuk bercahaya. Berkelip-kelip warna merah, dan menyebar ke arah lawannya.

"Aaaoohh...! Haaaahhh...!!"

Mereka berteriak histeris. Racun pedang Ginan Sukma menempel pada kulit tubuh mereka, dan akibatnya kulit tubuh mereka mulai mengelupas, lalu berkerut-kerut. Daging mereka hangus sedikit demi sedikit. Bahkan ada yang berlari ke pantai lalu menceburkan diri ke laut. Namun, cara itu ternyata malah semakin parah. Bagai batu kapur yang direndam dalam air. Mendidih seketika tubuh lawan yang mencebur ke air laut.

"Aaah...!" Ginan Sukma memekik. Betisnya nyaris terpotong oleh senjata yang mirip piring bertepian tajam itu. Senjata tersebut dilemparkan oleh salah seorang lawan dari bawah, Ginan Sukma terlambat melompat. Betisnya robek. Cukup dalam. Ginan Sukma menyeringai kesakitan sambil bersalto dari dahan pohon yang satu ke dahan pohon yang lain. Ia sempat melihat Dodot Pamasar dikeroyok tujuh orang. Akhirnya Ginan kembali melompat dengan menahan sakit pada betisnya. Lompatan itu berupa gerakan salto beberapa kali dengan pedang dikibaskan ke arah orang-orang yang mengeroyok Dodot Pamasar. Tiga orang melengking karena tergores punggung dan bagian kepalanya oleh pedang Ginan. Kemudian kaki Ginan yang tidak terluka menendang bagai kaki belakang. Tepat mengenai telinga lawan hingga orang itu menjerit kesakitan. Dodot Pamasar pun segera meloloskan diri dari keroyokan mereka, dan melejitkan tubuh ke atas, tepat berada di atap sebuah rumah yang dipakai berdiri Baderi Darus.

"Mereka benar-benar iblis yang ganas!" kata Dodot.

"Kita harus lebih ganas lagi!!" Baderi membidikkan anak panahnya yang berujung merah. Ketika anak panah itu melesat dan menancap pada sebuah pohon yang tak jauh dari sekelompok lawan yang menyerang Ginan, panah itu meledak. Lima orang lawan yang paling dekat dengan pohon terpental dalam keadaan anggota tubuhnya pecah ke mana-mana.

"Mundur semua...!" Ada suara yang di dengar oleh Arya Somar. Maka segera Arya Somar mencari kesempatan untuk meloloskan diri dari kepungan lawan. Suara itu jelas suara Suro Bodong. Dan Arya Somar tak bisa membantah sebab ia benar-benar dalam keadaan terpepet. Ia melejit ke atas, tapi ia disambut oleh pukulan jarak jauh dari salah seorang yang berdiri tak jauh dari pantai. Pukulan itu berupa sinar kuning bening melesat dan menghantam dahan pohon. Kalau saja Arya Somar tidak segera bersalto ke belakang dan segera berguling ke samping, maka tubuhnya itulah yang akan meledak dihantam pukulan jarak jauh. Bumi berguncang saat ledakan itu terdengar. Bahkan air laut bagai mengamuk. Ombaknya bergulung-gulung dari pantai menuju ke tengah laut. Debur ombak bagai irama ledakan gunung yang menggema.

Orang-orang Gupolo pun mundur semua begitu mendengar ledakan yang mengguncangkan bumi. Pambudi Tulus terpental jatuh karena tanah tempatnya berdiri dengan lutut bagai diguncangkan dari bawah.

Orang-orang Gupolo mundur ke pantai, sementara itu, seorang berbadan kekar dan tegap, namun berkulit sawo matang, lebih bersih dari yang lainnya, melangkah ke depan. Ia mengenakan topi berbentuk cula badak. Bagian telinga tertutup topi, namun rambutnya yang panjang sepundak terurai lepas pada bagian bawahnya. Ia mengenakan celana ketat sebatas betis berwarna hijau dalam bentuk sisi keluar dari benang kuning. Gelang kulit beruang melilit di pergelangan tangan kanan kirinya.

Suro Bodong sudah menebak, orang itu pasti yang bernama Gupolo. Pukulan jarak jauhnya sungguh hebat, mampu mengguncangkan bumi dan membuat lautan mengamuk. Pohon yang terkena pukulannya itu bukan hancur, tapi hilang musnah tanpa bekas sedikit pun. Suro Bodong merasa sudah saatnya untuk maju ke depan, berhadapan dengan Gupolo.

"Kau yang bernama Gupolo?!" seru Suro Bodong dengan tenang.

"Benar...! Aku tak perduli siapa kalian, tapi kuminta cukup kali ini kalian mengganggu kami. Jangan pancing kemarahan kami di lain tempat. Sekarang, kalian kuampuni!" Gupolo memberi aba-aba kepada anak buahnya agar naik ke kapal, sementara Suro Bodong malah terbengong-bengong kebingungan. Ia merasa tidak minta ampun!

4
 Ginan Sukma bersungut-sungut ketika Suro Bodong melarangnya untuk mengejar orang-orang Gupolo.

"Mereka meremehkan kita! Mereka mengira kita takut dan minta ampun kepada mereka! Padahal kita masih sanggup bertarung melawan congor mereka, kan?!"

Suro Bodong bicara dengan tenang, "Yang penting mereka telah pergi. Korban tak bertambah banyak. Hanya tiga orang penduduk yang menjadi korban."

"Tapi mereka mengampuni kita, itu berarti kita dianggap takut kepada mereka...!" bantah Ginan Sukma.

"Itu cara Gupolo untuk mundur. Biarkan saja," kata Suro Bodong sambil mengobati luka di dada Baderi Darus. "Gupolo memang orang hebat. Tetapi, ia khawatir kalau kehebatannya mampu kita kalahkan. Maka, sebelum mereka tahu di mana kelemahan kita, mereka menjalankan cara seperti tadi. Berlagak mengampuni dan pergi. Padahal tujuannya hanya untuk melarikan diri dari kita. Lihat saja, berapa anak buahnya yang mati oleh tangan kalian? Banyak juga, kan? Gupolo telah memperhitungkan, kalau pertarungan diteruskan, ia akan kehilangan banyak anak buah. Mungkin kalau dia sendiri yang maju menghadapi aku, bisa-bisa ia akan kehilangan nyawanya sendiri."

"Tapi, bagaimana dengan Emandanu? Ia mati!" kata Baderi.

"Tidak. Ia belum mati. Lukanya terlalu parah, sehingga butuh waktu untuk memulihkan keadaannya. Aku telah memeriksa dan mengobatinya. Ia masih hidup, hanya saja... parah. Ia harus beristirahat lama, karena empedunya tergores senjata itu," kata Suro Bodong dengan tenang.

Kedua tangan Suro Bodong diludahi tujuh kali, kemudian digosokkan tujuh kali pula, dan ditempelkan pada luka itu. Telapak tangan merayap dalam tekanan keras sehingga Baderi Darus menyeringai kesakitan. Namun, ketika telapak tangan itu bergeser terus melewati luka, ternyata luka itu sudah tak ada lagi. Dada Baderi Darus mulus tanpa sedikit pun bekas luka.

Itulah kehebatan Suro Bodong dalam mengobati seseorang. Bukan hanya Arya Somar, Ginan dan yang lainnya yang terbengong terheran-heran, melainkan kepala desa nelayan itu pun ikut menyaksikan cara pengobatan Suro yang unik dan mengagumkan itu. Dan bukan luka di dada Baderi saja yang bisa disembuhkan dengan cara begitu, melainkan semua luka temannya kembali seperti biasa. Diludahi tangannya, dan setelah telapak tangan saling gosok, maka telapak tangan itu bagai menyapu luka. Luka pun hilang tanpa bekas, rasa nyeri berangsur-angsur pudar.

"Mengapa Emandanu tidak kau sembuhkan dengan cara seperti ini juga?" kata Ginan Sukma.

"Aku tidak sanggup meraba Emandanu, Tolol! Geli! Meraba wajahnya saja geli apalagi meraba Emandanu..." jawab Suro Bodong sambil berkelakar. Mau tak mau yang lain terpaksa menyunggingkan senyum pahit.

Ki Lurah Mangunresa kebingungan ketika ditanya tentang Lembah Matsuri.

"Saya malah baru mendengar nama Matsuri sekarang ini," katanya. "Kalau pulau Pocong saya tahu."

"Pulau Pocong?!" Suro Bodong berkerut dahi. "Saya tidak butuh pocongan mayat,  Ki Lurah. Saya butuh perempuan-perempuan Matsuri."

"Pulau Pocong itu apa?" timpal Dodot Pamasar.

"Pulau Pocongitu... pulau yang sekarang, menurut kabar para nelayan, pulau itu menjadi tempat bermukimnya orang-orang Gupolo. Pembajak-pembajak yang haus darah dan doyan daging manusia itu belakangan ini kabarnya menduduki Pulau Pocong. Bentuknya memang mirip pocongan mayat, jadi kita sebut pulau Pocong."

Semua mata tertuju pada Ki Mangunresa. Mereka manggut-manggut sambil membayangkan keganasan orang-orang Gupolo yang bertubuh tinggi besar, seperti raksasa.

"Apakah mereka sering kemari, Ki Lurah?" tanya Arya Somar.

"Baru sekali ini," jawab Ki Lurah Mangunresa. "Kami sendiri tidak menduga kalau keganasan orang-orangnya Gupolo akan menyebar sampai ke desa Srondol ini. Sebab, pulau Pocong terletak jauh dari sini. Den...."

Suro Bodong manggut-manggut. Ia garuk-garuk kumis sebentar. Lalu seorang perempuan muda membawakan jagung bakar kesukaan Suro Bodong. Namun, Arya Somar dan yang lainnya pun menyantap pula jagung bakar itu.

"Yang penting, mereka pasti tidak akan ke mari lagi," ujar Suro Bodong kepada Ki Lurah Mangunresa. Kepada teman-temannya, Suro Bodong berkata:

"Kita lanjutkan perjalanan kita, mencari Lembah Matsuri. Bagaimana? Setuju?"

"Setuju!" jawab yang lain.

"Gin...? Bagaimana, setuju?" Suro bertanya pada Ginan yang sejak tadi ternyata ada main dengan perempuan muda pembawa jagung bakar. Ia terbengong ketika ditanya Suro, "Setuju apa tidak?!"

"Apanya?"

Suro Bodong menggeram jengkel. Dodot Pemasar berkata:

"Makanya kalau melihat perempuan matanya jangan cepat-cepat berubah jadi hijau! Perempuan cantik sedikit mau dilalap saja!"

"Perempuan cantik, itu benar. Tapi kalau soal mau dilalap...ah,  itu juga benar."

Arya Somar geram dan hendak menghantamnya dengan siku.

"Jangan bercanda!"

"Aku tidak bercanda. Aku katakan bahwa perempuan itu tadi memang cantik! Nyata!"

"Itu anak saya. Den..." sahut Ki Lurah Mangunresa dengan menghormat dan merendahkan diri.

"Ooo... anak Ki Lurah? Maaf, saya bicara dengan terang-terangan tadi. Maaf, Ki Lurah..." Ginan tersipu malu. Namun, dasar mata keranjang, tetap saja melirik-lirik mencari anak Ki Lurah yang menghilang di balik penyekat kamar.

Tak ada waktu untuk beristirahat di desa Srondol. Mereka melanjutkan perjalanan ke arah Barat setelah menitipkan Emandanu kepada keluarga Ki Lurah Mangunresa.

"Saya akan rawat Raden Emandanu ini sebaik mungkin. Den Suro," kata Ki Lurah Mangunresa ketika Suro Bodong menitipkan Emandanu yang perlu perawatan beberapa waktu.

Dan mereka pun mulai maju, memacu kuda menyusuri pantai, mencari tempat yang dikatakan Begawan Bayanpati. Beberapa saat kemudian, timbul perkiraan lain di dada Dodot Pamasar:

"Jangan-jangan Begawan Bayanpati membohongi kita."

"Tidak mungkin. Dia tahu siapa aku," kata Suro.

"Dan kau mempercayainya?"

"Ya. Aku mempercayainya!"

"Mengapa kau tidak curiga?!"

"Karena antara aku dan dia ada hubungan saudara yang tak perlu kubeberkan di sini. Terlalu panjang ceritanya."(lihat kisah: TUMBAL MAHKOTARATU).

Kaki kuda bagai tak kenal lelah, melaju dan berpacu seirama debur ombak di pantai. Sampai menjelang senja, mereka masih memacu kuda menuju Barat. Namun, tiba-tiba Arya Somar berseru:

"Hei, berhenti! Kita berhenti dulu! Kita salah arah!"

Tali kekang kuda ditarik. Mereka mulai berhenti dan berkumpul sambil tetap duduk di punggung kuda.

"Dari mana kau tahu kalau kita salah arah?!" tanya Ginan Sukma.

"Lihat, matahari tenggelam di cakrawala. Kalau dia muncul, pasti dari Timur. Kalau dia tenggelam, pasti tenggelam di Barat. Dan sekarang lihatlah... matahari mau tenggelam. Ia berada di batas cakrawala, antara langit dengan laut yang ada di sisi kiri kita itu. Berarti arah Barat ada di sana..." Arya Somar menuding ke arah matahari yang memerah di tengah lautan.

Hal itu membuat semua terbungkam dan memandang dalam keraguan. Tetapi, Pambudi Tulus sempat menggumam:

"Kalau begitu kita harus menyeberangi lautan. Karena di sanalah arah Barat sebenarnya."

"Kita beristirahat saja dulu, sambil mencari jalan terbaik," usul Dodot Pamasar. Lalu, Baderi menyetujui, dan yang lain pun setuju dengan usul Dodot Pamasar.

Suro Bodong mengambil bekal dari kantong pelana kuda. Jagung bakar. Ia memetik-metik biji jagung bakar sambil berdiri memandang matahari senja. Ia sempat mengingat-ingat kata-kata Begawan Bayanpati tentang arah Barat yang harus dituju. Rasa-rasanya, tak mungkin Begawan Bayanpati menipunya.

"Atau, kita bermalam saja di sini sambil menunggu gagasan lebih lanjut," usul Pambudi Tulus.

"Bisa juga," kata Arya Somar. "Kurasa, kalau kita harus menyeberangi lautan, kuda-kuda ini tak mungkin bisa diajak berenang ke sana."

"Dan lagi, belum tentu Lembah Matsuri memang ada di sana," timpal Baderi Darus yang berkumis tipis dan bertubuh kurus.

"Ssst...! Ada binatang yang bergerak-gerak di balik rimbunan pohon itu," bisik Dodot Pamasar.

"Kita sikat saja untuk santapan nanti malam," bisik Ginan Sukma. Pembudi Tulus menyahut:

"Jangan! Itu seekor kelinci hutan. Aku bisa bicara dengannya."

"Kalau begitu tanyakan pada kelinci hutan, di mana arah Lembah Matsuri," Suro Bodong jadi tertarik dengan kelinci hutan itu. Ia tahu, Pambudi Tulus dapat menguasai bahasa binatang dengan ilmunya.

Maka dia dan yang lainnya membiarkan Pambudi Tulus bergerak mendekati rimbunan pohon peredu. Ia mengendap-endap dengan hati-hati, lalu berjongkok di depan gerumbulan dedaunan. Tangannya terulur dari rimbunan pohon itu.

Pambudi Tulus mengusap-usap dengan lembut. Seakan ia sedang bicara dengan hewan sebesar betis perawan itu. Beberapa saat kemudian, ia pun berdiri, kelinci itu dilepaskan, berlari masuk ke hutan. Pambudi Tulus mendekati teman-temannya yang kini mereka tinggal berenam.

"Astaga... benar juga apa kata kelinci itu," ujar Pambudi Tulus.

"Benar, bagaimana?" desak Ginan Sukma.

"Kelinci bilang sebentar lagi akan ada pelangi. Dan ternyata... benar juga kata-katanya. Lihatlah ke arah matahari terbenam itu...!"

Mereka yang semula menghadap ke hutan, kini sama-sama berpaling menghadap ke matahari terbenam. Mata mereka terperangah. Tubuh mereka berdiam kaku. Suro Bodong berhenti mengunyah jagung bakar.

Warna-warna pelangi terlihat membias samar-samar. Letaknya bukan di arah Barat, melainkan di sebelah Utara, yaitu pada arah yang mereka tuju semula. Pantai itu membujur dari Selatan ke Utara.

Kalau mereka meneruskan perjalanan, maka mereka akan tiba di Utara. Dan di sanalah, di langit Utara itu terlihat lengkung pelangi yang kian lama kian jelas.

"Lengkung pelangi telah terlihat jelas..." gumam Baderi tak dilanjutkan, karena mulutnya terperangah lagi ketika samar-samar ia melihat sesuatu di antara lengkung pelangi itu. Bahkan semua mata pun tak mau berkedip memandang sebentuk pepohonan, rumah dan kesibukan orang yang tergambar di atas lengkungan pelangi. Makin lama, suasana kehidupan di atas lengkungan semakin jelas. Ada anak kecil menggiring kambing. Ada beberapa perempuan menapih beras. Ada beberapa orang menimba di sumur. Dan semua itu terjadi di atas lengkung pelangi.

Lama sekali keenam kesatria dari Kesultanan Praja itu terbengong-bengong melihat keadaan seperti itu. Mereka ingin tidak percaya, namun setelah mengedipkan mata berulang kali, mereka dipaksa untuk percaya melihat suatu keajaiban di atas lengkung pelangi.

"Kita dihadapkan oleh suatu kenyataan, Suro. Dan kita tak tahu apa yang harus kita lakukan jika begini."

"Memang begitu keadaannya, Ginan. Ada kalanya manusia tidak bisa berbuat banyak, jika dihadapkan oleh suatu kenyataan yang semula disangsikan," kata Suro Bodong.

"Apakah kita harus membuat tangga untuk mencapai tempat itu?" tanya Dodot Pamasar. Tetapi, Arya Somar yang menjawab dengan tenang, seperti bicara pada diri sendiri:

"Suatu hal yang tidak masuk akal adalah membuat jalan menuju ke langit, sekalipun menggunakan tangga panjang."

Mereka sama-sama terbungkam, sekalipun sama-sama memperhatikan kehidupan di Lembah Matsuri yang terlihat di lengkung pelangi. Keheranan yang terlihat menjadi suatu kebingungan yang memusingkan otak. Suro Bodong termangu-mangu mencari cara untuk sampai ke Lembah Matsuri.

"Ini suatu tantangan," katanya dalam gumam, entah ditujukan kepada siapa. "Tantangan bagi ilmu kita untuk mencapai ke tempat yang sangat ajaib itu."

"Ilmu apa kira-kira yang harus kita pakai untuk ke sana?"tanya Baderi Darus.

Suro Bodong garuk-garuk kumisnya, sepertinya ia sedang bingung tujuh keliling menghadapi pertanyaan Baderi. Memang ia sendiri sedang kebingungan; ilmu apa yang harus dipakai untuk meniti pelangi? Ah, mana ada sepanjang sejarah manusia, pelangi bisa mempunyai tangga untuk dilewati? Terlalu khayal untuk dapat mencapai ke ujung pelangi sekalipun. Apalagi harus sampai ke batas lengkung pelangi yang kira-kira berada sepertiga dari panjang lengkungnya, wah... biar botak kepala Suro yang berambut panjang itu juga tidak akan menemukan jalan menuju ke sana.

"Kesungguhan...!" Suro tiba-tiba menggumam sendiri dalam renungannya. Ia teringat kata-kata Begawan Bayanpati, bahwa untuk mencapai Lembah Matsuri, yang dibutuhkan adalah kesungguhan. Kesungguhan seperti apa? Yah... kesungguhan mencari cara untuk sampai ke sana. Apakah bisa ada cara ke sana sekali pun kita sudah menguras semua kesungguhan? Apakah ada ilmu yang menuju ke sana, walau kita telah memusatkan perhatian?

"Ada...!" tiba-tiba Arya Somar berkata jelas, seakan ia mendengar apa kata hati Suro Bodong. Maka, tak perlu di komando, semua orang berpaling memandang Arya Somar. Sedangkan, Arya Somar sendiri sengaja memperlihatkan senyum tipis, sebagai senyum kelegaan atas gagasan yang ditemukannya baru beberapa detik tadi.

"Ada jalan menuju ke sana: ke Lembah Matsuri!" jelasnya kepada yang lain.

"Kau mengigau, Somar," kata Suro Bodong.

"Justru orang mengigau kadang-kadang ia punya kejujuran yang benar," kilah Arya Somar.

Pambudi Tulus mendekat, dan berbisik, "Bagaimana caranya?"

Arya Somar tersenyum tipis sambil memperhatikan suasana lembah Matsuri di lengkung pelangi. Kemudian dengan tanpa berpaling kepada rekan-rekannya, ia berkata:

"Kalau Lembah Matsuri yang kita lihat itu lama-lama akan hilang, maka aku tahu jalan menuju ke sana."

"Aku kurang jelas dengan maksudmu," kata Suro pelan.

"Kita tunggu saja sampai beberapa saat, apakah Lembah Matsuri yang ada di sana itu tetap, atau hilang?"

Mulut mereka tak ada yang bersuara sekalipun ternganga memandang Lembah Matsuri. Suro Bodong berjalan mondar-mandir dalam kegelisahan, sambil sesekali memetik-metik jagung bakar dan memakannya. Juga, sesekali ia menggaruk kumisnya yang tebal itu. Langkahnya yang mondar-mandir itu selaras dengan gerak pikirannya antara mencari pengertian yang dimaksud Arya Somar, dan mencari jalannya sendiri untuk menuju ke sana.

Tetapi, sampai matahari kian tenggelam, Suro Bodong belum bisa menemukan apa-apa dalam otaknya, kecuali hanya menemukan segenggam kebingungan. Hanya saja, tiba-tiba Dodot Pamasar terdengar berkata kepada siapa saja:

"Kelihatannya semakin pudar."

"Karena hari akan gelap, maka Lembah Matsuri tidak kelihatan," sahut Baderi Darus.

"Kalau begitu, Lembah Matsuri hanya akan muncul bila ada matahari," Pambudi Tulus menyambung kata.

Ginan berseru, "Hei... semakin pudar! Betul, pemandangan di atas pelangi itu semakin membayang dan... dan kurasa sebentar lagi akan hilang!"

"Naah..." Arya Somar berseru kegirangan. "Benar apa dugaanku. Pemandangan di Lembah Matsuri pasti akan pudar."

"Bicaralah dulu yang jelas, baru bersorak! Jangan bicara sambil bersorak, otakku semakin kusut!" kata Suro Bodong yang sudah berhenti dari mondar-mandirnya.

"Somar, pemandangan itu kini makin tipis. Tidak sejelas tadi. Jadi apa kesimpulanmu, hah?" tanya Ginan Sukma. Arya Somar berkata dengan wajah ceria.

"Tipuan mata, bagaimana?" desak Baderi.

"Sebenarnya Lembah Malsuri tidak berada di lengkung pelangi," kata Arya Somar. "Lembah Matsuri bukan negeri atau tempat yang ajaib. Hanya secara kebetulan saja letaknya memungkinkan untuk terlihat di atas lengkung pelangi."

Karena Suro Bodong masih bingung, ia jadi jengkel, dan berkata kepada Arya Somar: "Ngomonglah yang enak di dengar! Jangan seperti penjual jamu gendong!"

"Begini maksudku...." Mereka mengerumuni Arya Somar, dan masing-masing siap menjadi pendengar, yang baik. Arya Somar menjelaskan:

"Lembah Matsuriada di suatu tempat, di bumi ini. Entah di mana, yang jelas bukan di lengkung pelangi. Pelangi ada di langit, dan Lembah Matsuri bukan di langit

"Nyatanya yang kita saksikan bersama Lembah Matsuri ada di langit, di atas lengkungan pelangi," bantah Ginan.

"Itu hanya tipuan. Dalam keadaan tertentu, pelangi akan muncul di langit. Konon, itu akibat ada hujan di suatu tempat. Sinar matahari menembus butiran hujan. Sinar itu beru bah menjadi aneka warna karena menembus butiran hujan. Maka, jadilah pelangi. Itu menurut penjelasan dari seorang Resi yang pernah datang dari Sriwijaya. Aku sempat mendengarkan ajaran-ajaran darinya ketika aku belum menjadi prajurit Kesultanan Praja.

"Aku juga pernah mendengar keterangan seperti itu dari Eyang Panembahan Purbadipa," celetuk Dodot Pamasar.

"Lalu, apa hubungannya dengan Lembah Matsuri?" desak Ginan lagi. Suro garuk-garuk kumis sambil menyimak keterangan dari Arya Somar.

"Menurut dugaanku, lapisan udara di sekeliling kita ini dalam keadaan panas atau kelembaban tertentu dapat berubah menjadi cermin. Cermin itu memantulkan suatu kehidupan di dasar bumi, maksudku kehidupan di suatu tempat. Misalnya kehidupan di sekitar kita ini, mungkin pada suatu saat, atau pada keadaan tertentu, kita bisa terlihat oleh orang di daerah lain. Kita seolah-olah sedang berdiri di langit. Padahal udara di langit yang berubah menjadi cermin itulah yang memantulkan sosok kehidupan kita berenam ini."

Arya Somar diam sebentar, mencoba menunggu kata-kata dari temannya, tapi yang lain hanya bungkam dan termenung. Dahi-dahi mereka berkerut mencerna keterangan Somar. Kemudian, Arya Somar melanjutkan lagi:

"Hal kecil yang pernah kita temui dan sering, ialah bayangan air di tengah perjalanan. Kadang-kadang kita seperti melihat genangan air di tengah jalan pada saat panas terik matahari menghajar kita. Begitu kita dekati, bayangan air itu tidak ada. Hilang. Nah, itu menandakan adanya percobaan pada udara atau hawa di daerah itu. Seperti perubahan cermin. Bisa memantulkan tempat lain yang bisa dijangkau oleh cermin itu. Jelas...?!"

Semua terbungkam. Bengong tapi berpikir. Lalu, Baderi Darus berkata:

"Dulu, kakekku punya cerita turun-temurun tentang seorang Pangeran yang menunggang kuda keliling jagad untuk mencari kekasihnya. Konon, sang Pangeran sering terlihat berganti-ganti bentuk dan rupa, menunggang kuda sampai ke langit. Mencari kekasihnya, katanya. Mungkin seperti itulah kenyataan yang dilihat angkatan kakek buyutku, sampai terjadilah Cerita Sang Pangeran dan kekasihnya. Mungkin pantulan udara yang berubah menjadi cermin itulah yang dilihat oleh orang zaman dulu. Dan... kebetulan yang mereka lihat di langit adalah seorang lelaki menunggang kuda di suatu tempat, yang tempat itu sendiri dapat terpantul melalui cermin udara."

"Nah... begitulah asal cerita leluhur kita," sahut Arya Somar. "Jadi, yang penting bagi kita adalah mencari, di mana daerah yang bisa terpantul lewat cermin? Di mana wilayah yang dapat dilihat melalui cermin udara itu? Yang jelas, menurut dugaanku bukan berada di daerah Barat, sebab matahari sendiri waktu itu, bahkan sekarang ini ada di Barat...."

Semua memandang matahari yang kian tenggelam. Dodot Pamasar sempat berseru, "Lihat... pemandangan itu kian tipis. Sepertinya turun ke kaki pelangi."

"Benar...! Benar dia turun ke kaki pelangi. Jadi, di sanalah... di arah Utara itulah tempat Lembah Matsuri!" kata Baderi Darus dengan penuh semangat dan keyakinan.

"Kita bergerak ke Utara! Ayo...!" Suro melompat ke punggung kuda, diikuti oleh mereka dengan semangat.

Mereka bagai berhasil menemukan suatu teka-teki yang teramat rumit. Begitu terpecahkan, ada rasa gembira dan lega di hati mereka. Lalu, semangat dan kesungguhan mereka mencari Lembah Matsuri begitu berkobar di dalam dada. Kuda dipacu menembus malam. Mereka tak peduli dingin mencekam. Mereka terus menyusuri pantai, melacak daerah demi daerah yang disinggahi. Tanpa terasa, mereka telah melakukan perjalanan pantai selama lima hari, terhitung sejak ditemukannya teori udara berubah menjadi cermin.

Seorang nelayan dari desa lain mengatakan ketika mereka bertanya tentang Lembah Matsuri:

"Perjalanan ke sana memakan waktu dua hari dengan mengendarai kuda. Dengan jalan kaki, bisa lima hari baru sampai ke Lembah Matsuri. Dan... pada hari ke lima orang akan mati memasuki wilayah Lembah Matsuri."

"Kenapa?"

"Perempuan Matsuri ganas-ganas."

Sekalipun mendengar berita menyeramkan seperti itu, namun semangat mereka semakin berkobar. Pambudi Tulus, mulanya hampir patah semangat. Namun, begitu mendengar keterangan seorang nelayan, maka semangatnya berkobar lagi.

Apa kata nelayan itu memang benar. Pada hari kedua sejak ia bertanya kepada nelayan, batas Lembah Matsuri terlihat, yaitu sebuah perbukitan yang memanjang, dari darat menuju pantai. Itulah ciri­ciri wilayah Lembah Matsuri yang dikatakan oleh seorang nelayan dua hari yang lalu.

Senyum dan kebanggaan mereka saling bermekaran. Ginan Sukma sempat berteriak ketika kudanya sampai ke puncak perbukitan dan siap menuruni lereng bukit tandus itu.

"Kita berhasil...!!" teriak Ginan Sukma.

Di sekitar perbukitan itu memang tandus. Tak ada tanaman. Mungkin terpengaruh karang laut. Tetapi di kedalaman sana, jauh di bawah kaki perbukitan yang panjang itu, terlihat serumpun kehijauan daun menggerombol dan menjalar terus ke dalam. Hutan. Ya, ada hutan, tapi bukan hutan yang ganas. Suro Bodong menunjuk ke arah hutan itu, lalu mereka pun menyerbu masuk ke hutan tersebut. Sampai akhirnya ia menemukan sebuah sungai kecil berair bening.

"Susuri sungai ini, pasti ada kehidupan di sana! Di hulu sungai ini! Ayo...!" kata Suro dengan gagahnya.

Kuda berpacu melaju mengikuti tepian sungai, menyongsong arus sungai kecil itu. Enam kesatria dari KesultananPraja berwajah ceria merasa bangga, apa yang dicarinya sudah mereka temukan. Lembah Matsuri.

Sungai itu kian melebar. Semakin dalam semakin melebar, dan mereka tidak menyadari, bahwa mereka telah masuk wilayah terlarang bagi mereka berenam. Mereka tak sadar kalau ada sepasang mata yang mengikuti gerakan mereka dari balik persembunyiannya. Sehingga, pada suatu kesempatan lain mereka dikejutkan oleh pekikan Dodot Pemasar yang mengerang sambil meringis kesakitan, karena sebuah pisau menancap di lengannya. Ia terjatuh dari punggung kuda, dan hal itu membuat yang lain menjadi tegang. Panik.

"Menyebar...! Semua menyebar...! Periksa atas pohon dan setiap semak-semak...!" perintah Suro Bodong sambil melompat turun dari punggung kuda. Baderi dan Ginan juga melompat dari punggung kuda. Pembudi Tulus segera menolong Dodot Pemasar setelah ia melompat turun dari punggung kuda. Ia kelihatan cemas setelah mengetahui lengan kiri Dodot Pemasar menjadi biru legam.

"Ginan...! Racun telah meresap dalam tubuh Dodot!" teriak Pambudi Tulus. Maka, Ginan Sukma segera berlari mendekati tubuh Dodot Pemasar yang terkapar di rerumputan. Mata Ginan jadi terbelalak melihat lengan kiri Dodot Pemasar menjadi biru legam seluruhnya.

"Gawat! Ini racun ganas yang terbuat dari bisa ular! Ular Sanca Welang!" kata Ginan sebagai seorang yang ahli di bidang racun-meracun.

Sementara yang lain sibuk mencari penyerang gelap, Ginan dan Pambudi sibuk menolong Dodot Pamasar. Kata Ginan kepada Pambudi Tulus:

"Ikat kuat-kuat pangkal lengannya! Lekas...!"

Pambudi Tulus melepas ikat kepalanya yang terbuat dari kain warna biru. Kemudian mengikat pangkal lengan Dodot dengan kain itu kuat-kuat. Sementara, Ginan Sukma mencabut pisau beracun ukuran satu jengkal. Ia mengamati pisau itu sebentar, lalu menancapkan pisau pada tanah. Terlihat tanah itu berubah warna, dari merah lempung menjadi kehitam-hitaman. Maka, dengan tergesa-gesa Ginan Sukma berkata:

"Ambil tanah, balurkan ke sekujur lengan dan dada. Jangan lupa lehernya juga harus ditutup dengan tanah...!"

Pambudi Tulus mengikuti saran Ginan Sukma sekalipun ia bertanya, "Mengapa dengan cara begini?"

"Tanah ini ternyata mampu menyedot racun! Lihat pisau yang tadi menancap di lengan Dodot, sekarang kutancapkan ke tanah, dan tanah di sekelilingnya menjadi hitamkan"

"Itu berarti tanah ini telah menghisap racun pada pisau itu. Maka, tubuh Dodot pun harus dilumuri tanah hingga tertutup semua, terutama pada bagian luka dan sekitarnya."

Dodot Pemasar mengerang dengan nafas berat. Keringatnya bercucuran. Ia tak mampu bergerak, menjadi kaku sekujur tubuhnya. Arya Somar berteriak:

"Mampus kau, Bangsat...! Hiaaat...!!" Suaranya bagai menggugah teman-teman lainnya, termasuk Suro Bodong. Semuanya bergerak ke arah Arya Somar, kecuali Ginan. Pambudi sendiri diizinkan Ginan untuk ikut menangkap penyerang gelap yang sudah berhasil ditemukan Arya Somar. Dengan cambuk­nya, Pambudi segera menyerang seorang lelaki berbaju kuning tua dan bercelana coklat tanah yang hendak berlari melintasi depannya. Cambuk itu membuat lelaki yang menyandang trisula di pinggangnya segera melompat bersalto di udara. Cambukan pertama meleset. Cambukan kedua, lelaki itu berguling ke tanah. Cambukan ketiga meleset juga. Dan cambukan keempat... barulah benar-benar meleset jauh.

Diperkirakan, lelaki berbaju kuning itu berusia di atas 40 tahun. Bertubuh sedang dengan kumis tipis dan rambut pendek namun diikat dengan tali dari bahan serai sutra. Gerakannya cukup gesit, lincah. Baderi dan Arya Somar sempat terkena tendangannya ketika hendak menangkap lelaki berbaju kuning itu. Baderi dan Arya mulanya mengejar dari belakang lelaki itu. Namun, di luar dugaan, lelaki itu justru melompat ke depan dan bersalto ke belakang. Kedua kakinya menghentak dalam gerakan merenggang. Tak dapat dielakkan lagi, masing-masing kakinya itu mengenai mulut Arya Somar yang bibirnya tebal dan Baderi terkena pipinya yang kiri. Hampir saja Baderi dan Arya Somar terpelanting saling bertabrakan.

Laki-laki berbaju kuning itu dengan lincah melompat ke atas pohon, dan tahu-tahu kakinya sudah berada di salah satu dahan pohon.

"Jangan lari kau, Bangsat!" teriak Baderi.

"Kalian memasuki wilayah kami! Tak seorang pun boleh masuk daerah Lembah Matsuri tanpa izin dan perundingan terlebih dulu!" teriak lelaki berbr;u kuning dari atas pohon. Kemudian, ia mengibaskan tangannya ke arah Baderi dan Somar. Melesatlah pisau kecil dua arah, yang satu ke arah Baderi, yang satu lagi ke arah Somar. Namun Baderi mampu menangkisnya dengan busur panahnya, dan Arya Somar bersalto ke belakang menghindari lemparan pisau tersebut.

Pembudi Tulus mencambuk ke atas, lelaki berbaju kuning hanya mengangkat salah satu kakinya untuk menghindari ujung cambuk. Sedangkan Baderi siap dengan anak panah dan busur yang telah direntangkan. Lelaki itu mencabut trisulanya yang berujung tajam dan pipih seperti ujung pisau.

Ia merasa heran, karena Baderi tidak jadi meluncurkan anak panahnya, kecuali hanya memandang. Demikian Pambudi yang hendak melecutkan cambuknya, tiba-tiba berhenti, tak jadi melecut cambuk. Padahal lelaki itu sudah siap menangkis segala serangan, tetapi mengapa musuh-musuhnya tak jadi menyerang.

"Turun saja, kita berunding...!"

Lelaki itu terkejut mendengar suara orang yang berada di dahan sampingnya. Ia berpaling, dan membelalakkan mata. Suro Bodong telah berdiri di sana, tepat dalam satu jangkauan dengannya. Suro Bodong menyeringai sinis, menggaruk kumisnya sejenak, dan berkata dengan sikap tenang.

"Aku ingin berembuk denganmu."

"Hiaaat...!!" Lelaki itu menusukkan trisulanya.

"Bandel...!" Suro Bodong menepak tangan lelaki itu, kemudian tangan kirinya menghentak ke depan. Telapak tangan kiri itu mengenai dada lelaki berbaju kuning. Maka, hilanglah keseimbangan lelaki itu, karena hentakan telapak tangan Suro Bodong cukup keras. Dan ia pun terjatuh ke tanah. Baderi serta Arya Somar segera mengacungkan senjata ke leher dan perut lelaki itu, hingga lelaki itu pun tertawan oleh mereka. Ia tak berani bergerak sedikit pun.

5
 Ki Pradoto, nama lelaki berbaju kuning. Jabatannya sebagai penjaga pintu masuk Puri Lembah Matsuri. Ia berhasil ditawan oleh anak buah Suro Bodong. Lalu, dipaksa menunjukkan di mana tombak pusaka Jatayu milik Sultan Jurujagad itu disembunyikan. Ki Pradoto mengaku tidak tahu menahu tentang tombak pusaka tersebut, namun demi menjaga keselamatan hidupnya, ia bersedia mengantar mereka sampai ke Puri Lembah Matsuri.

"Siapa penguasa Matsuri?" tanya Arya Somar. Ki Pradoto yang merasa tidak akan bisa melawan mereka segera berkata dengan sedikit gemetar:

"Penguasa Matsuri, adalah Resi Mahermandika!"

"Hadapkan kami kepada Resi Mahermandika. Kami ingin bicara baik-baik. Tapi, kalau keadaan memaksa, kami akan bicara tidak baik-baik. Mungkin kaki, tangan atau pedang kami yang bicara!" gertak Arya Somar.

Dodot Pamasar tertatih-tatih dengan lemas. Racun yang mengganas di tubuhnya telah berhasil dikeluarkan oleh Ginan melalui lumpur tanah merah itu. Darah sudah tawarakan racun yang berbahaya. Kini tinggal lemasnya saja. Namun demikian, Dodot Pamasar menolak ketika Pambudi Tulus hendak membantunya berjalan.

"Sebentar lagi kekuatanku akan pulih. Tenanglah saja!" kata Dodot kepada Pambudi Tulus. Kemudian, mereka melangkah mengikuti langkah kaki Ki Pradoto. Baderi masih menodongkan pedangnya, sementara Ginan, dan Suro Bodong menuntun kuda mereka. Dodot menolak untuk naik di atas kuda. Ia tidak ingin terlihat lemah diantara teman-temannya.

Puri Lembah Matsuri, sesungguhnya sebuah istana megah di lereng perbukitan. Jauh dari pintu gerbangnya, terdapat pintu gerbang utama yang berupa gapura batu berbentuk candi. Dua orang penjaga gapura itu adalah dua orang perempuan cantik yang bibirnya sangat menggiurkan Ginan Sukma. Bahkan yang lainnya pun ikut berdecak mengagumi kecantikan prajurit wanita yang meman­dang curiga kepada Ki Pradoto. Arya Somar mengancam dengan pedang tersembunyi di balik punggung Ki Pradoto. Mereka tersenyum-senyum ramah, sedikit bernada menggoda, dan terlihat bagai teman baik Ki Pradoto.

"Maaf, kuda dilarang masuk ke halaman Puri," ujar penjaga gapura. "Silahkan ditambatkan di ujung sana."

Pambudi, Ginan dan Suro Bodong menambatkan kuda-kuda mereka di tempat yang sudah disediakan. Kemudian mereka memasuki halaman Puri, melewati gerbang utama yang berbentuk belahan candi itu.

Dodot Pamasar merasa mengalami kesegaran. Kelesuan tubuhnya itu menjadi bergas, waras. Matanya memandang sekeliling, di mana banyak perempuan cantik berlalu lalang, sesuai dengan kesibukannya masing-masing. Dodot Pemasar berbisik kepada Arya Somar,dan Arya Somarpun segera menyingkir. Dodot Pamasar yang menggandeng Ki Pradoto dengan pisau kecil terselip di ketiak Ki Pradoto. Dengan begitu, maka penjaga pintu gerbang Puri, yaitu pintu kedua itu, tidak mencurigai permusuhan apa pun. Mereka mengira Ki Pradoto sedang mengantar tamu baik-baik. Dan sekali lagi, Ginan Sukma nyaris tertinggal karena bergurau sebentar dengan dua penjaga perempuan yang cantik-cantik itu. Suro Bodong jadi kesal, segera menarik baju Ginan Sukma dan berkata dalam bisik yang menggeram:

"Lupakan dulu soal perempuan. Selesaikan tugas, baru mengurus perempuan. Kau pikir aku juga tidak gelisah melihat kecantikannya?"

"Benar-benar hebat. Perempuan di sini banyak, dan wajah mereka mempunyai nilai kecantikan yang berbeda," bisik Ginan sambil melangkah.

"Ssst... jangan bilang orang rumah, ya...? Aku juga naksir tinggal di sini!" bisik Suro Bodong berlagak serius. Ginan Sukma hanya tersenyum geli, tapi ia juga tetap memasang kewaspadaan.

Resi Mahermandika ternyata seorang yang ramah dan menyukai senyum. Ia menerima Suro Bodong dan kawan-kawannya dengan baik, tanpa menunjukkan sikap permusuhan. Tetapi, sayang sekali, Ginan Sukma mengambil sikap yang gegabah. Ia segera meloncat dan menyerang Resi Mahermandika begitu lelaki tua itu memperkenalkan diri sebagai penguasa Matsuri.

Resi Mahermandika menangkis tendangan Ginan Sukma dengan wajah memerah, kaget dan marah.

"Kau pimpinan pencuri itu, hah?! Hiaaat...!" Kembali Ginan Sukma menyerang Resi Mahermandika dengan pukulan gandanya. Tanpa berpikir panjang, Resi Mahermandika meliuk-liukkan badannya dan sekali ia mengibaskan tangannya yang terselubung jubah putih itu, Ginan Sukma terpental dan jatuh terguling-guling di lantai berubin marmer itu.

"Kalau kalian sengaja mencari permusuhan di sini, bukan aku lawan kalian, tetapi anak-anakku itu...!" Resi Mahermandika menuding ke suatu tempat, di mana di sana terdapat sebuah kamar berkaca tebal. Di dalam ruangan berdinding kaca putih bening itu, terlihat oleh Suro dan kawan-kawannya enam perempuan cantik sedang melakukan semadi di atas sebuah papan berduri. Mereka duduk di ujung-ujung duri dengan tenang, tanpa takut akan tertusuk duri tajam.

Suro Bodong bingung untuk memejamkan mata, seakan ia lupa bagaimana caranya mengedipkan mata. Keenam perempuan itu cantik-cantik semua. Wajah dan potongan tubuh mereka sungguh mengagumkan. Apalagi mereka saat ini bersemedi dalam pakaian serba putih, seakan mereka itu bunga-bunga melati di bentangan salju kutub. Segar dan memikat hati.

Resi Mahermandika sedikit membusungkan dada ketika ia menyadari bahwa keenam tamunya yang bermaksud menyerang itu, terkesima melihat kecantikan enam putrinya. Ia masih menampakkan rasa kecewa atas perlakuan Ginan Sukma yang tadi tahu-tahu menyerangnya. Ia sempat berkata kepada Suro Bodong:

"Kalau kalian ingin melawanku, lawan dulu anak-anakku. Belum tentu kalian bisa memenangkan pertarungan kalian. Belum lagi keempat putriku yang sedang pergi. Kalau mereka tahu kau menyerangku, mereka berempat tak akan mau mengampuni kalian semua,tahu?!"

"Boleh aku mencoba salahsatu?" kata Arya Somar dengan hati-hati.

"Silahkan, tapi mati tanggung sendiri! Kau ingin bertarung dengan yang mana?!"

"Yang di sudut sana...!"

"O, itu anakku yang bernama Ira Lembayung...!"

Arya Somar terkejut. Ia ingat, waktu pertama kali ia diserang oleh orang-orang Matsuri, Ira Lembayung itulah nama yang sempat di dengarnya ketika itu, namun mata Somar tidak sempat melihat betapa cantiknya mereka.

"Aku ingin melawan yang itu," kata Baderi Darus dengan berani.

"Baik. Dia anakku yang bernama Susinda Murti. Silahkan pergi ke arena di samping Puri ini. Tunggulah di sana, di tempat pertarungan yang kami sediakan!"

Ginan Sukma berbisik dalam hati kepada Suro Bodong:

"Kita harus melawan satu lawan satu, Suro. Kalau dengan cara keroyokan, kita tak akan berhasil."

"Aku setuju,"jawab Pambudi Tulus yang rupanya juga mendengar suara hati Ginan Sukma. Suro sendiri menganggukkan kepala. Kemudian ia mendengar Dodot Pamasar berkata:

"Aku ingin bertarung dengan salah satu anakmu, Resi. Pilihlah yang mana saja!"

"Baik. Bertarunglah dengan putriku yang kecil manis itu: Susandita Asmoro. Biar kecil tapi belum tentu kau mampu mengalahkannya," ujar Resi Mahermandika.

"Kalau kau ingin bertarung dengan yang mana," kata Ginan Sukma.

"Berangkatlah ke arena samping, kau akan berhadapan dengan Nitaningtyas, putri manjaku. Dan kau, Pak kumis...?" Resi Mahermandika bertanya kepada Suro Bodong. "Apakah kau ingin melawan putriku yang nomor sepuluh itu?"

Suro Bodong garuk-garuk kumis dengan santai. Ia bicara dengan sikap tenang setelah mendekati Resi Mahermandika:

"Aku tidak berani. Aku takut...."

"Agaknya kau paling penakut dari teman-temanmu, ya?"

"Mungkin," jawab Suro seenaknya. "Aku takut kalau aku sampai melukai putrimu itu. Aku tidak berani menyakitinya," bisik Suro yang membuat Resi Mahermandika tercengang sedikit, kemudian segera menyunggingkan senyum sinisnya.

"Dewi Laut, putriku itu, tidak mungkin akan dapat kau sentuh. Tapi, besar kemungkinan ia akan memenggalmu!"

"Wow...?!" Suro Bodong melirik dalam senyum meremehkan. "Menarik sekali kedengarannya. Sudah lama belum ada orang yang mau memenggal kepalaku. Kalau begitu,baiklah...aku akan melawan putrimu itu, Resi Mahermandika..." Suro sengaja tersenyum untuk menunjukkan ketenangannya.

"Pergilah ke arena samping, Dewi Laut akan menemuimu di sana...."

"Dewi..." gumam Suro Bodong seraya melangkah pergi. Ia masih sempat berseru kepada Resi Mahermandika, "Dewi sebuah nama yang cantik seperti orangnya. Hei, terus terang, aku bangga kalau mati di tangan perempuan cantik!"

Resi Mahermandika hanya tersenyum sinis, dan menatap kepergian tamunya yang aneh-aneh itu. Datang-datang bukannya memperkenalkan diri, tapi malahan menyerang, bahkan getol disuruh bertarung. Hemm... dari mana mereka? Resi belum mengetahui asal-usul mereka. Tetapi, dari pertarungannya nanti, Resi Maherman akan mengetahui siapa mereka sebenarnya.

Suro dan yang lainnya berjajar di tengah arena yang agaknya sengaja dibangun untuk acara khusus, pertemuan, atau latihan ilmu kanuragan. Arena itu tanpa atap, dan mempunyai tempat duduk melingkar seperti layaknya sebuah stadion. Letaknya di bawah bangunan Puri yang menyerupai istana itu. Lewat sebuah balkon model kelopak bunga, Resi Mahermandika berdiri memandang ke arah keenam tamunya.

Suro berdiri dengan tenang, seperti yang lainnya. Mereka berjajar cukup jauh dari satu orang ke yang satunya. Mereka menggerak-gerakkan tangan, kaki dan anggauta tubuh seakan sedang melemaskan persendian untuk bertanding. Sampai beberapa lama mereka menunggu, namun lawan mereka belumjuga muncul.

Resi Mahermandika berseru dari balkon istana:

"Hei, mengapa kalian diam saja?! Musuh-musuh kalian sudah ada di depan kalian masing-masing sejak tadi. Mengapa tidak segera menyerang, hah?!"

Maka, Suro dan teman-temannya pun jadi terkejut seketika. Musuh sudah di depan mereka sejak tadi, namun mereka tidak melihat siapa-siapa di sana. Mereka tidak melihat perempuan-perempuan calon lawannya, kecuali hanya udara kosong dan rerumputan menghijau. Suro Bodong segera teringat pengalaman Somar tentang pukulan-pukulan tak terlihat. Maka, hatinya segera berkata kepada yang lain:

"Pejamkan mata dalam melawan mereka. Ikuti naluri dan kata hati. Pusatkan pikiran pada gerak, hembusan angin dan penciuman. Perempuan-perempuan itu pasti berbau wangi. Aku mencium aroma wangi di sini...."

Suara itu didengar oleh hati nurani mereka. Malahan Dodot Pemasar berkata:

"Aku juga mencium bau wangi yang menggairahkan."

Hati Pambudi Tulus mengatakan, "Pasti perempuan yang akan kita hadapi sedang memperhatikan kita dari segala sisi. Cuma sayang, aku tidak tahu siapa nama perempuan yang menjadi lawanku...."

"Hei, hei... Pambudi," hati Ginan berkata, "Aku mendengar seseorang bicara dengan perempuan yang menjadi lawanmu. Ia memanggil perempuan itu: Anjanglisi...."

"Huug...!" tiba-tiba Arya Somar terpelanting jatuh. Ia bagai terkena serangan dari lawan berupa pukulan kuat. Baderi melirik, tak ada manusia lain kecuali mereka berenam. Tetapi, mengapa Arya Somar terjengkang ke belakang? Wah, benar-benar kali ini mereka berhadapan dengan lawan yang tidak kelihatan.

Baderi Darus segera memejamkan mata, memusatkan pikiran dan mengendalikan hati nuraninya. Hembusan angin datang dari arah samping. Pasti sebuah serangan, entah berupa tendangan atau pukulan, yang jelas, Baderi segera menangkisnya dengan mata terpejam.

"Plak...!" Terasa tangkisannya tepat mengenai lengan yang lembut. Lengan Susinda Murti. Baderi salto ke belakang menjaga jarak dengan mata masih terpejam. Demikian juga Ginan dan yang lainnya. Mereka bergerak, memainkan jurus dengan mata terpejam, merasakan gerakan naluri dan hembusan angin. Dodot Pamasar melompat ke samping, waktu itu ia merasa desau angin menyerang di bagian perutnya. Ketika ia melompat, kakinya menjejak ke bawah, dan ia seperti menendang kepala manusia berambut panjang.

Sementara itu, ilmu Serap Hati Suro Bodong lebih tinggi dari yang lainnya, sehingga dialah yang dapat bermain dengan lincah, bertahan dan menyerang lawannya: Dewi Laut. Pukulan Dewi Laut begitu cepat, dan Suro Bodong hampir saja keteter menangkisnya dalam keadaan mata terpejam.

"Haap...!" Suro Bodong bagai menangkap kaki lawannya.

"Aauw...!"

Terdengar suara seseorang menjerit kaget ketika Suro Bodong merayapkan kaki yang dipegang makin ke atas. Saat itu terdengar pula teriakan Resi Mahermandika dari atas:

"Kuminta kalian bertarung secara kesatria, jangan memegang bagian-bagian menjadi kehormatan wanita!"

Suro Bodong dan Ginan tertawa, mengerti maksud Resi Mahermandika. Kemudian, tak sengaja Suro Bodong mengibaskan tangannya ke samping, karena ia bermaksud menangkis pukulan Dewi Laut. Tetapi, ternyata kedua jarinya menyentuh bagian tertentu dengan kuat dan membuat sesuatu yang tak sengaja itu menjadi bahan andalan Suro Bodong. Ia telah menotok peredaran darah Dewi Laut di bagian punggung. Dan totokan itu membuat Dewi Laut menampakkan ujudnya dalam posisi kaku, setengah meliuk ke belakang, dadanya maju ke depan. Suro Bodong terperangah waktu membuka matanya, ia memandang musuhnya dengan girang hati.

"Aku berhasil membuatnya tampak...! Wwow...! Cantik sekali," teriak Suro Bodong kegirangan. Tapi, kemudian ia segera memejamkan mata, karena ia merasakan desiran angin datang dari belakangnya. Sebuah serangan terarah padanya. Entah siapa yang menyerang. Namun dalam keadaan tertentu, ia dengan cepat menggerakkan jurus Totok Bangaunya. Jurus itu juga mengenai sasaran. Dan sebentuk sosok perempuan cantik terlihat oleh mata telanjang. Rupanya perempuan cantik itu adalah lawan Arya Somar yang bernama Ira Lembayung. Perempuan itu diam terpaku karena totokan dalam keadaan kedua tangannya terangkat ke atas.

Untuk selanjutnya, Suro Bodong bergerak cepat. Melompat ke samping dengan mata terpejam, dan berhasil menotok perempuan lain. Namun ia juga sempat jatuh tersungkur karena sebuah tendangan lawan yang belum sempat menampakkan diri.

Suro segera berguling ke tanah. Mengibaskan jurus Totok Bangaunya, dan berhasil mengenai tubuh Susandita. Dodot Pamasar berteriak:

"Naah... ini dia ujud Susandita musuhku!"

Dengan gerakan cepat, akhirnya semua perempuan berhasil terkena jurus Totok Bangau Suro Bodong. Semua yang tidak tampak, kini menjadi tampak jelas. Mewujudkan bentuk tubuh dan kecantikannya yang mengagumkan enam pendekar dari Praja itu.

"Resi Mahermandika...!" teriak Suro Bodong dengan bangga. "Kau telah kalah! Aku bisa membunuh semua anakmu ini. Tetapi, sekarang sebaiknya kita berdamai saja! Serahkan tombak pusaka Jatayu, milik junjungan kami yang dicuri oleh anak-anakmu yang nakal ini! Jika kau tidak mau menyerahkan tombak pusaka Jatayu, maka keenam anakmu ini akan kubunuh...!"

Tak di duga-duga, Resi Mahermandika berkata:

"Bunuhlah...! Bunuhlah mereka! Dan tombak Jatayu tetap akan menjadi milik kami!"

Dalam gerutunya Suro Bodong berkata sambil garuk-garuk kumis, "Wah... celaka...! Membunuhnya memang gampang. Tapi hati ini yang tidak tega untuk melukainya. Perempuan cantik-cantik disuruh membunuh, mendingan dibawa pulang sebagai istri simpanan...!"

Suro Bodong tidak peduli semua temannya menggoda dan tersenyum-senyum di depan perempuan-perempuan cantik yang mematung akibat jurus Totok Bangau. Suro segera membebaskan pengaruh totokannya pada diri Dewi Laut, sehingga perempuan itu dapat bergerak dan bicara seperti wajarnya manusia.

"Kenapa kau tidak membunuhku?!" ketus Dewi Laut yang suaranya sedikit serak menggairahkan birahi itu.

"Aku ingin membunuhmu, tapi tidak sekarang."

"Hiaaaat...!" Dewi Laut menendang Suro Bodong. Namun, dengan tangkas Suro Bodong menangkis tendangan itu dengan kibasan samping tangan kanannya, lalu tangan kirinya segera menangkap tangan Dewi Laut yang hendak memukul ke arah telinga Suro. Kaki Suro Bodong menyengkat kaki Dewi, dan Dewi pun jatuh terguling. Suro menyusulnya dengan menggulingkan tubuh dan menjerat kaki Dewi dengan melilitkan kedua kakinya. Dengan gerakan cepat, Suro Bodong berhasil mengunci tangan Dewi Laut hingga wajah mereka saling berhadapan.

"Aku hanya mencari tombak Jatayu. Serahkan tombak pusaka itu, maka kau dan saudaramu itu akan kubebaskan!"

"Tidak mungkin. Tombak itu harus kami gunakan untuk membunuh Gupolo, lawan kami. Tanpa tombak itu, Gupolo tidak bisa mati oleh senjata apa pun."

Suro Bodong diam. Memandang wajah Dewi yang cantik, bermata bulat dan berhidung mancung. Bibirnya ranum, tidak terlalu mungil, namun tidak juga tebal. Tipis, tapi menarik. Deburan kuat terjadi di dalam dada Suro.

"Kenapa Gupolo harus dibunuh dengan tombak itu?" Suro berkata pelan.

"Karena menurut petunjuk dari Yang Widi, hanya ada satu pusaka yang bisa untuk membunuh Gupolo, yaitu sebuah pusaka yang ada di Kesultanan Praja, dan yang ada pada diri Suro Bodong, Pendekar Tujuh Keliling...."

"Brengsek...!" Suro menggeram dan melepaskan Dewi tiba-tiba. Dewi tidak segera lari, melainkan justru memandang heran kepada Suro Bodong yang menjadi jengkel sendiri itu.

"Kau tahu siapa aku?" Suro Bodong bertanya dengan keras, dan membuat semua mata memperhatikannya. Dewi hanya menggeleng. Lalu, Suro Bodong melanjutkan kata-katanya dengan suara keras pula:

"Aku Suro Bodong! Aku...! Dan kalian telah salah ambil! Tombak itu adalah pusaka milik Sultanku! Bukan milikku!"

Resi Mahermandika berlari-lari menuruni tangga. Ia segera menemui Suro Bodong dengan wajah tegang. Suro Bodong masih melanjutkan kata-katanya kepada Dewi Laut:

"Aku yang bernama Suro Bodong, Dewi...! Dan... dan kau telah mencari penyakit, mencuri tombak pusaka milik Sultan Jurujagad! Seharusnya kau mencuri pusakaku!"

"Aku tidak tahu seperti apa tombak pusakamu!" kata Dewi. "Aku hanya mendengar kabar, bahwa di Kesultanan Praja ada pusaka yang bernama tombak Jatayu!"

"Tapi pusakaku bukan tombak! Bukan! Kau ingin melihatnya? Sekarang...?!"

Resi Mahermandika buru-buru mencegah, "Jangan...jangan! Jangan di sini...!"

Arya Somar menertawakan kegugupan Resi Mahermandika. Resi itu jadi tambah gugup. Ia berkata kepada Dewi,

"Galih Padma dan Kidung Rati telah kembali. Sedangkan kedua kakakmu... mati di tangan Gupolo."

Dewi Laut memekik, "Harmi dan Wasti...?! Ooh..." Dewi limbung dan jatuh terkulai mendengar kedua kakaknya: Hermi dan Westi mati di tangan Gupolo. Untung saja Suro Bodong segera menyahut tubuh perempuan bermata bening itu, hingga tubuh yang hangat itu jatuh dalam pelukan Suro Bodong.

"Somar... bebaskan anak-anak Resi Mahermandika dari pengaruh totokan. Keadaan menjadi kacau, jerit dan tangis mengharu. Sebagian dari mereka melesat meninggalkan arena.

Dodot Pamasar ikut melesat mendampingi Susandita yang marah atas kematian kedua kakaknya. Juga, Ginan ikut melompat ketika Nitaningtyas berteriak:

"Kubunuh kau, Gupolo...!!"

Ginan tak tega jika harus membiarkan perempuan yang menjadi pasangan bertarungnya pergi melawan Gupolo sendirian. Ginan telah tahu masalah sebenarnya; suatu kesalahpahaman, atau tindakan gegabah yang tidak bermaksud jahat dari orang-orang Lembah Matsuri. Mereka melakukan pencurian tombak Jatayu, karena salah mengartikan petunjuk Hyang Widi. Mereka memerlukan tombak atau pusaka itu, karena Gupolo sukar dibunuh. Tanpa mendengar cerita yang sebenarnya, Ginan dan lainnya cepat mengerti, bahwa Gupolo pernah mengamuk di Lembah Matsuri, atau setidaknya mereka ikut prihatin atas kekejaman Gupolo yang menewaskan banyak manusia tak berdosa. Tujuannya baik, tapi mereka salah langkah.

Sebab itu, Suro Bodong pun memberi perintah kepada teman-temannya:

"Cegat Gupolo, bunuh mereka semua...!"

Kedatangan Gupolo ternyata merupakan kedatangan kedua setelah beberapa waktu yang lalu orang-orang Gupolo meminta cukup banyak korban dari Matsuri. Resi Mahermandika menjelaskan kepada Suro Bodong:

"Semua orang kami menjadi incaran Gupolo. Mereka tingggal di pulau Pocong yang terdekat dengan kami. Dan... kekejaman mereka sudah pernah kami rasakan, jadi kami memerlukan pusaka dari Kesulatanan Praja."

"Orang Matsuri cukup hebat, bukan? Anak-anakmu ini bisa bertarung tanpa menampakkan jasadnya."

"Tapi Gupolo tidak bisa mati, selain dengan pusaka dari daerah Praja..." sahut Dewi Laut yang mulai siuman.

"Kami membutuhkan bantuanmu, Suro Bodong. Kalau benar, kau Suro Bodong, maka kaulah yang dapat membunuh Gupolo, tokoh sakti dari seberang itu."

Suro Bodong diam. Berdiri di depan pintu istana bersama Resi Mahermandika dan Dewi Laut. Karena Suro Bodong tidak memberikan jawaban pasti, Dewi Laut masuk, dan tak lama kemudian keluar sambil membawa tombak pusaka Jatayu. Kemudian ia pergi menyongsong Gupolo tanpa menghiraukan panggilan Suro Bodong.Wajah Resi Mahermandika begitu cemas, ia serba bingung. Suro paham akan hal itu, maka ia pun segera melesat menyusul Dewi.

Orang-orang Gupolo yang berkulit hitam dan bertubuh kekar dengan otot-otot dilengan dan dada saling bertonjolan itu semakin mengganas. Namun, Arya Somar dan teman-temannya mampu menandingi kekuatan mereka. Anak-anak Resi Mahermandika juga berhasil membunuh beberapa orangnya Gupolo. Bahkan ketika mereka bertarung di luar gerbang utama yang merupakan gerpang pertama itu, tiba-tiba beberapa orangnya Gupolo memekik kesakitan lalu rubuh.

"Ziing... zingg... ziiing..."

"Aaaoow...!!"

Beberapa orang berteriak, ketika itu Ginan Sukma nyaris menjadi santapan pedang pembokong. Juga, lelaki bertopi tanduk kerbau itu, menggeliatkan tubuhnya sehabis ditendang Susandita. Tepat di ubun-ubunnya tertancap sebuah senjata rahasia bintang bersudut delapan.

Dodot Pamasar yang selalu mendampingi Susandita menjadi terbengong. Ia segera berpaling ke arah datangnya senjata rahasia itu. Dan ternyata, Emandanu sudah berdiri di atas sebuah tembok yang menjadi batas halaman Puri Lembah Matsuri.

"Kau...?!" teriak DodotPamasar kepada Emandanu.

Emandanu tersenyum, "Kaget...?! Ah, tentu. Kau memang orang yang gampang kaget. Dot!"

"Bagaimana kau bisa mencapai ke sini?!"

"Seorang pemburu kijang memberitahukan padaku tempat ini. Ternyata letaknya di sebelah Utara desa Srondol. Tak begitu jauh dari desa tempatku dirawat...!Hei,awas...!"

"Hiaat...!" Dodot Pamasar melompat ketika seorang berkulit hitam hendak menebas punggung Susandita. Tendangan Dodot mengenai tengkuk kepala orang itu. Ketika orang itu limbung, sebuah sinar merah keluar dari siku Susandita. Sinar itu menembus dada orang hitam bertopi tanduk, lalu tubuh tersebut terbakar seluruhnya. Ia menjerit-jerit, dan yang lain pun ikut terbakar, karena anak-anak Resi Mahermandika mengeluarkan ilmu Brama Yudha, yaitu seberkas sinar yang keluar dari siku masing-masing.

Ginan Sukma berguling ketika ia menebaskan pedangnya ke udara. Pedang itu mengenai pedang lawan yang hendak merobek dada Nitaningtyas. Dalam keadaan seperti itu, Nitaningtyas melancarkan ilmu Brama Yudhanya. Sinar merah menghunjam dada orang tersebut hingga orang itu terbakar tanpa ampun lagi.

Pambudi Tulus pun mencoba menandingi lawan yang menghajar Anjanglisi. Ia menggunakan cambuk, melecut tubuh lawan yang kekar itu. Tetapi pada satu kesempatan, cambuk tersebut berhasil dipegang dan mereka pun saling tarik-menarik dengan kuat. Sementara itu, tangan lawan yang satu memegangi pedang. Tangan itusibukmembabatAnjanglisiyangberjumpalitan diudara.

"Wess...! Jub...!"

Panah Baderi mengenai orang yang memegangi cambuk Pambudi Tulus. Panah itu menembus bagian punggung sampai ke dada. Kemudian, teman orang itu mengamuk melihat kematian rekannya. Ia melompat dan melayangkan pedangnya ke arah Anjanglisi. Pedang itu lurus ke punggung Anjanglisi, namun tiba-tiba: "Trang, trang...!" Dua kali senjata rahasia Emandanu menghantam pedang tersebut, sehingga arah pedang menjadi meleset, bahkan menancap di tubuh teman pemiliknya. Sedangkan, Anjanglisi segera menggerakkan kedua tangannya, terangkat ke atas, menekuk ke belakang, dan dari sikunya keluar sinar merah yang menembus perut serta leher lawan yang tadi melemparkan pedang. Tak ayal lagi, orang itu pun terbakar seketika dan berteriak berguling-guling.

Seseorang berhasil lolos hendak melompat ke dalam halaman Puri Matsuri. Tetapi panah Baderi lebih dulu melesat dan mengenai pinggang orang itu, hingga jatuhlah ia. Juga, seseorang yang sedang mengeroyok Susinda Murti dengan dua pedang besar itu, segera melengking dan kejengkang setelah Baderi memanahnya tepat di leher, yang satu mengenai matanya. Susinda Murti segera mengakhiri nyawa orang yang terkena panah matanya dengan mengambil pedang lawan, lalu menebaskan ke leher memakai kedua tangan. Dan kepala itu pun copot seketika, menggelinding mirip bola. Sedangkan, pada saat itu, Baderi tidak sadar kalau seseorang merunduknya dari belakang siap dengan pedangnya. Namun begitu pedang terangkat, orang itu mengejang sambil berteriak mengagetkan. Baderi melihat kilatan senjata rahasia Emandanu yang melesat dan mengenai dada orang itu. Ia mengacungkan jempol kepada Emandanu, dan Emandanu hanya tersenyum sambil beralih pandang ke pertarungan seru yang terjadi di depan gerbang Puri Matsuriitu.

"Mundurrr...! Mundur semua...!!" geriak Gupolo yang membuat semua anak buahnya menepi, lalu ia sendiri maju ke tengah arena pertempuran itu. Baderi tak mau menyia-nyiakan waktu, ia segera memanah Gupolo dan Emandanu segera mengirim leher Gupolo, dan senjata beracun mengenai dada Gupolo. Tetapi tanpa darah sedikit pun, Gupolo mencabut panah dan senjata rahasia Emandanu. Ia tertawa ketika melihat Arya Somar dan yang lainnya terbengong melihat tubuhnya tak mampu dibunuh oleh kedua senjata itu.

Ginan Sukma maju dengan lompatan bersalto. Begitu tiba di depan Gupolo, ia mengibaskan pedangnya tanpa menyentuh kulit tubuh Gupolo. Pedang itu menaburkan racun berkerlip-kerlip. Namun tubuh Gupolo tetap utuh, tidak menjadi hangus seperti yang lainnya bila terkena racun pedang Ginan.

"Siapa lagi yang masih mau membandel, hiaat...!!" Tiba-tiba Gupolo memukul Ginan dengan hentakan kedua tangannya ke depan. Ginan sempat menangkis, namun ia terpental juga karenanya. Tulang lengannya terasa linu semua.

Dodot Pemasar hendak maju bersama Arya Somar, tetapi Dewi Laut segera berseru:

"Aku yang menghadapi Gupolo...!" Dewi maju ke tengah arena berhadapan dengan Gupolo. Yang lain mundur, sebab Dewi memegang tombak pusaka Jatayu.

"Sebaiknya melawanku di ranjang saja, anak manis! Kau tidak akan kami makan dengan lahap, karena dagingmu sangat sayang jika dilahapnya dengan mulut, he,he,he...!"

"Kau bebas berkoar, Gupolo, karena sebentar lagi ajalmu akan tiba. Lihat, apa yang kupegang ini, hah?"

"O, sebatang palang pintu, bukan? Ah, buat apa palang pintu seperti itu?" Gupolo tersenyum sinis penuh hinaan.

Dewi Laut tak sabar, ia segera menyerang dengan sebuah tendangan kaki kanannya.

Gupolo mengelak ke kanan seraya tertawa-tawa. Lalu, Dewi mengibaskan tombak ke arah wajah Gupolo. "Wess...!" Ujung tombak yang tajam tidak berhasil menggores wajah Gupolo, karena kepala Gupolo meliuk ke belakang. Pada saat itu, Dewi Laut segera menghunjamkan tombak Kiai Jatayu ke perut Gupolo. "Bless...!"

"Hiaaaat...!!" Dewi mendorongnya terus sampai tembus. Tapi Gupolo malah tersenyum, lalu menertawakan tombak itu.

Dewi mencabut tombak itu. Gupolo tetap tenang. Tak ada bekas luka tusukan tombak di perutnya. Lalu, Gupolo segera melancarkan pukulan tenaga dalamnya. Dari telapak tangan bagian bawah keluar nyala api yang melesat ke arah Dewi Laut. Suro Bodong segera menerjang Dewi Laut hingga berguling-guling. Sinar merah itu menghantam gapura batu.

"Duaaarr...!!" Ledakan terjadi begitu hebat, mengguncangkan tanah di sekitar, dan mengakibatkan salah satu gapura bentuk candi itu hilang begitu saja tanpa bekas. Suro Bodong segera bangkit, namun ia buru-buru mengangkat tubuh Dewi Laut, karena Gupolo menghantamnya dengan sinar merah dari tangannya. Kecepatan lompat Suro Bodong tak dapat diikuti mata biasa, yang jelas ia berhasil membawa lari tubuh Dewi bertetapan dengan meluncurnya sinar merah itu. Dan yang menjadi sasaran adalah gapura yang tinggal sebelah itu.

"Blaar...!" Gapura itu pun hilang juga tanpa bekas dan mencengangkan setiap orang.

Suro Bodong segera meraba tangan kirinya. "Sreet...!" Ia bagai menghentakkan tangan kanan dari rabaan tangan kiri, dan tahu-tahu ia telah menggenggam sebilah pedang yang memancarkan sinar ungu bening. Semua mata terpana, mulut ternganga melihat pedang Suro Bodong yang bagai tersimpan di lengan kirinya. Pedang Urat Petir mulai beraksi. Ketika itu, Gupolo menghantamkan kembali pukulan jarak jauhnya dengan memancarkan sinar kuning dari telapak tangan. Tetapi, Suro Bodong mengangkat pedangnya, menyilang di atas kepala, dan sinar itu menghantam Pedang Urat Petir. Maka, meledaklah pertemuan dua tenaga tersebut. Gupolo terpental beberapa langkah, bunyi petir menyambar-nyambar di angkasa. Langit menjadi merah bagai terbakar, dan bumi pun berguncang. Lalu, ketika Gupolo berdiri lagi, Suro Bodong bersalto ke arahnya. Secara otomatis, ia berarti tengah menggunakan jurus Luing Ayan-7, karena ia bersalto tujuh kali di udara. Dan hal itu membuat diri Suro Bodong berubah ujud menjadi seorang pendekar tampan berpakaian serba kuning emas. Wajahnya begitu lembut, gerak matanya mengagumkan, dan rambutnya yang panjang terurai rapi itu diikat dengan tali emas. Ia begitu tegap, berotot dan mengagumkan anak-anak Resi Mahermandika. Pedang Urat Petir yang memancarkan cahaya ungu bening itu bagai menambah ketegaran penampilan Suro Bodong yang sudah berubah menjadi Panji Bagus.

"Gupolo...! Kau boleh bangga karena tidak sanggup dimusnahkan oleh senjata apa pun, tapi cobalah jurus Tarian Karangku ini. Hiaaat...!" Suro Bodong yang sudah berubah pendekar tampan itu menggenggam dengan kedua tangan pedangnya, bagai benar-benar merapat dengan pinggang kanannya. Lalu, ia bergerak berputar tujuh kali mengelilingi Gupolo. Setelah tujuh kali berkeliling dengan gerakan cepat seperti pedangnya ke arah atas, melesat ke kiri. "Wess...!"

Maka, terpancarlah cahaya kemilauan yang menyilaukan. Gupolo bermandikan cahaya kemilau. Terang sekali hingga beberapa orang yang memandangnya menyipitkan mata atau menahan cemerlangnya cahaya dengan tangan diangkat ke atas mata. Mereka sama-sama menggumam dalam keheranan.

Beberapa saat, cahaya itu tiba-tiba padam. Dan mulut mereka serempak berseru: "Wooow...?!!"

Tubuh Gupolo telah menjadi patung batu berwarna hitam dalam keadaan mengangkat salah satu tangannya dan mulutnya ternganga. Semua orang bingung, semua orang bagai ingin tidak mempercayai penglihatannya. Tapi semua orang akhirnya meraba patung Gupolo yang tinggi besar itu, dan mereka mulai percaya bahwa Gupolo telah menjadi patung. Semua anak buah Gupolo berlutut di depan patung itu dengan menampakkan tangis dan kesedihan atas petaka yang menimpa pimpinan mereka itu.

Suro Bodong dalam sosok Panji Bagus menjauh dari kerumunan orang pada patung. Saat itu, Dewi memberanikan diri mendekati Suro Bodong dan berkata dengan lembut:

"Terima kasih atas bantuanmu..."

Suara Dewi yang serak-serak menggairahkan itu sempat membuat Suro kelu sesaat, tak bisa bicara apa-apa. Namun, kemudian ia pun berusaha untuk berkata:

"Pedang inilah yang harusnya kau curi. Bukan tombak Kiai Jatayu...."

"Aku minta maaf, dan... dan...."

"Dan sekarang curilah pedang ini bersama pemiliknya..."

Dewi tersenyum mesra. Ginan dan yang lainnya terperanjat melihat Suro Bodong berhasil memeluk Dewi, lalu mereka hampir serempak berseru:

"Huuuuh...!!" Suro tersenyum geli.

SELESAI

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews