Surobodong-11 Adipati Bukit Sekarat


ADIPATI BUKIT SEKARAT

Djvu by Abu Keisel

Edited by Fujidenkikagawa

Pdf (image mode) by Dewi KZ

Re-OCR by Raynold

1

Dengan lompatan yang cukup ringan, perempuan bergelang kaki emas itu melayang di udara. Gerakannya seperti seekor camar menghantam ombak. Kakinya menjejak ke bawah dengan kedua tangan direntangkan. Tangan kanannya masih memegangi sebatang bambu kecil warna hitam kehijau-hijauan. Batu sebesar kelingking berukuran tiga jengkal itu mengibas ke arah lelaki berikat kepala kuning.

"Wees...!" Kibasan batu kecil melesat, nyaris merobek mata lelaki berikat kepala kuning. Kalau saja ia tidak menunduk, maka matanya pasti terkena tebasan bambu kecil. Sayang sewaktu ia menunduk, ia tak sadar kalau gerakannya sangat dinanti-nanti oleh perempuan bergelang kaki emas. Maka, begitu kepala menunduk, kaki perempuan itu menendang bagai sedang menjejak bumi. Gerakannya sangat cepat. Kepala lelaki itu tersentak ke tanah dengan kuat.

"Aaauh...! Bangsat kau... uuh...!!"

Lelaki itu berguling-guling di tanah dengan mengerang kesakitan. Perempuan bergelang kaki emas sebesar lidi itu segera menyusul. Ia turun ke tanah dan menghentakkan kaki kirinya dengan tendangan telapak samping.

"Hiaaaaatt...!!"

"Tabb...!" Kaki itu ditangkap oleh lawannya. Dipelintir ke kiri dengan kedua tangan. Perempuan itu menggeram ganas. Pegangan kedua tangan yang kokoh itu dimanfaatkan oleh perempuan itu untuk bertumpu, dan melompat dengan kaki kanan yang bebas itu segera menendang leher lawannya.

"Eegkkrr...!" Lelaki itu menggelepar seperti kambing disembelih. Kedua tangannya yang semula hendak memelintir kaki perempuan itu segera dilepaskan dan berganti memegangi lehernya sendiri. Ia ingin berteriak, tetapi tenggorokannya bagai pecah dan menyekat di pernafasan. Mata lelaki itu mendelik dengan tubuh kaku. Perempuan lawannya segera merampungkan tugas. Batu kecil itu dimasukkan ke dalam mulut, dan ia meniupkan sesuatu dengan hentakan nafas keras. Lalu, dari bambu itu melesatlah semacam paku berwarna hitam. Paku itu melesat dengan kecepatan tinggi, dan tepat mengenai pelipis lelaki itu. Paku tersebut bagaikan menembus gedebong pisang.

"Juug...!"

Terbenam masuk seluruhnya ke dalam kepala lelaki berikat kuning dan bercelana merah dengan rompinya merah pula. Tubuh yang sudah kemasukan paku hitam itu semakin mengejang dan lama-lama menjadi berasap, kemudian asapnya semakin tebal. Perempuan itu berdiri tersenyum dengan bertolak pinggang. Ia kelihatan puas sekali. Apalagi sekarang lelaki itu tubuhnya menjadi kian menghitam, dan lama-lama menjadi hangus sekujur tubuh. Perempuan bergaun hijau muda itu semakin menampakkan kepuasannya lewat senyuman yang membisu.

"Prajurit kelas teri mau coba-coba menangkap Dayang Kunti? Hemm...! Lebih baik menangkap nyamuk daripada menangkap aku!" kata perempuan itu di depan bangkai lawannya.

Ia mengibaskan rambutnya yang meriap ke dada. Ia bermaksud hendak meninggalkan prajurit yang sudah menjadi mayat itu. Tetapi langkah kakinya terhenti, ia melihat sosok lain berjalan di kejauhan.

"Membuang-buang tenaga saja...! Temannya itu harus segera kubinasakan juga!" geram Dayang Kunti yang segera melesat ke tempat persembunyian. Dayang Kunti tidak tahu kalau yang sedang melangkah itu adalah Suro Bodong yang sedang dalam perjalanan pulang ke Kesultanan Praja.

Dengan baju merah yang tak dikancingkan itu, Suro Bodong terhenti memandang sosok mayat yang menjadi hangus, ia garuk-garuk kumisnya yang tebal seraya menggumam, "Pasti baru saja terjadi pertempuran sengit. Baru saja. Ketahuan kalau masih ngepul, masih hangat-hangatnya. Hemm... sayang dia mayat yang hangat, bukan jagung bakar kesukaanku...!"

Suro Bodong melangkah pelan mengitari mayat hangus yang masih mengepul asap itu. Ia mengamat-amati dengan cermat.

"Siapa orang malang ini? Mengapa ia sampai terkena pukulan yang cukup hebat? Badannya menjadi hangus, tetapi pakaiannya masih utuh. Gila...! Siapa orang yang melakukan penghangusan ini...."

Selagi Suro Bodong berkecamuk sendiri dengan suara mirip sebarisan gerutu, tiba-tiba tubuhnya mengejang kaget. Ia merasa ada yang membidikkan peluru kecil ke lehernya. Ia segera meraba lehernya itu sambil menyeringai kesakitan, kemudian mencabut paku yang menancap di leher. Jarum atau paku itu berwarna merah, dan segera menjadi lumer setelah berada di tangan Suro Bodong beberapa saat.

Dayang Kunti telah menembakkan jarum merah itu melalui sumpit atau tulup bambu kecil yang menjadi senjata andalannya. Penggunaannya cukup singkat dan cepat. Ia meniup bambu kecil berlobang dengan hentakan nafas kuat, dan meluncurlah dari mulutnya jarum tersebut yang merupakan sebentuk tenaga dalam yang telah dibekukan.

Ketika jarum merah menghunjam di leher Suro, dan kini telah dicabut, lalu berubah menjadi lembek, bahkan lama-lama bagai diserap angin dan habis begitu saja, Dayang Kunti menampakkan diri dengan tersenyum sinis. Suro Bodong menggeram. Masih memegangi leher yang terkena jarum merah itu.

"Siapa kau...? Mengapa menyerangku dengan sumpit itu?" suara Suro makin melemah.

"Aku Dayang Kunti, yang akan menghabisi orang-orangmu seluruh Kadipaten Damardita ini, tahu?! Sampaikan salamku kepada Adipatimu yang bergelar Anom Winingrat itu!"

Kepala Suro pusing. Pandangannya mulai kabur. Tapi ia sempat berkata kepada Dayang Kunti:

"Adipati Anom Winingrat itu siapa?"

Dayang Kunti tertawa mengikik. Tubuhnya yang ramping dan berdada busung itu bergerak-gerak karena tawa.

"Kau tidak perlu berlagak bingung, sekalipun kau nanti akan menjadi orang yang paling bodoh! Yang penting sampaikan pesanku ini, tahu?!"

Seperti orang kehilangan daya pikir, Suro mengangguk dan menjawab, "Tahu...."

"Dan katakan kepada Anom Winingrat, bahwa orang terakhir yang mati di Kadipaten ini adalah dia sendiri! Jelas?!"

"Jelas...."

"Aku akan menyiksanya dari jiwa sampai ke raganya!"

"Raga...."

Suro Bodong duduk di atas batang kayu yang tumbang sudah lama. Ia ikut menyeringai geli ketika Dayang Kunti tertawa penuh kepuasan.

"Nah, selamat menjadi orang terbodoh di dunia!"

"Selamat..." jawab Suro Bodong menyeringai dengan mata sayu bagai kurang vitamin.

Pandangan mata yang kabur sudah kembali normal. Kepala yang pusing juga sudah menjadi sehat. Hanya saja, Suro Bodong menjadi serba bingung dan tak dapat berpikir dengan baik.

Rupanya, itulah khasiat jarum merah yang menancap di leher Suro Bodong, yaitu dapat membuat orang menjadi bodoh dan linglung. Racun jarum yang tercipta dari gumpalan tenaga dalam yang didapatkan itu telah menyerang syaraf otak dan mengacaukan jalan kerja otak manusia yang terkena jarum tersebut. Berbeda dengan jarum hitam yang tadi untuk menyerang prajurit berpakaian serba merah. Ternyata jarum hitam berfungsi untuk membakar tubuh manusia dengan tanpa merusakkan pakaian orang tersebut. Itulah salah satu kelebihan Dayang Kunti, perempuan cantik berilmu tinggi. Sayang ia telah menancapkan jarum merahnya ke leher Suro Bodong, sehingga Suro sulit mengingat-ingat kecantikan perempuan bergelang kaki emas itu.

Sampai beberapa lama Suro Bodong hanya duduk terbengong di alas batang kayu besar itu. Matanya sesekali memandang mayat yang menghitam bagai sebongkah arang di depannya. Bahkan ketika dua prajurit berpakaian sama dengan mayat menghangus itu datang, Suro Bodong masih diam di tempatnya. Dua prajurit itu mengendarai kuda dengan gagah.

Mereka bersenjata pedang di punggung. Bentuk pedangnya juga sama persis. Hanya saja yang satu bertubuh sedikit gemuk dan yang satu lagi kurus, namun kelihatan ulet. Alot. Yang kurus itu mempunyai kumis hampir setebal kumis Suro Bodong, karena itu ia dikenal dengan panggilan: Waduk Kumis. Sedangkan yang satunya dikenal dengan panggilan Kebo Botak, karena di samping badannya yang sedikit gemuk itu, juga kepalanya botak bagian tengah. Sisa rambutnya hanya di bagian pinggiran kepala, merawis seperti hiasan janur pesta perkawinan.

Mereka terkejut ketika melihat temannya mati dalam keadaan hitam hangus. Darah mereka mendidih dan nafas mereka sedikit sesak dihela. Keduanya sama-sama turun dari punggung kuda, dan memeriksa keadaan temannya.

"Jelas ini mayat Wiruna...! Mayat Wiruna, Waduk Kumis!"

"Ya. Dan... rupanya bangsat kumal itu yang telah membunuh teman kita!" geram Waduk Kumis. Ia memandang Suro Bodong dengan mata melotot garang.

Suro Bodong yang dipandang hanya diam saja. Matanya sedikit sayu dan membelok. Mulutnya ternganga bengong seakan tidak tahu-menahu soal kematian dan kemarahan mereka. Ketika Waduk Kumis mendekatinya dan langsung membentak dengan kasar:

"Siapa kau?! Mengapa kau bunuh temanku, hah?!"

Suro Bodong yang telah menjadi bego akibat pengaruh racun jarum merah itu hanya menyeringai. Nyengir.

"Plaak...!"

Waduk Kumis menampar pipi Suro dengan keras. Suro Bodong memekik kesakitan, kemudian bersungut-sungut, cemberut seraya berkata:

"Orang tidak kenal kok ditampar...!"

Tak ada lagi keperkasaan pada Suro Bodong. Tak ada lagi kehebatan padanya. Ia lebih menyerupai orang tolol yang terganggu kesehatan otaknya. Bego. Malahan Kebo Botak mengatakan:

"Dia orang gila! Mungkin terlalu banyak ilmu sehingga ia menjadi bego seperti itu. Dan... jelas dialah yang membunuh Wiruna, teman kita ini!"

"Hiaaat...! Hahh...!!" Waduk Kumis semakin terbakar hatinya, dan ia menendang Suro Bodong tepat di bagian dada. Suro Bodong terpental ke belakang. Karena tendangan itu cukup kuat. Ia terbatuk-batuk dalam posisi merangkak kesakitan memegangi dadanya.

"Kau harus menebus kematian teman kami dengan siksaan terlebih dulu. Heaaaat...!!"

"Aaaoow...!!"

Suro Bodong menjerit karena pinggang belakang digencet dengan kaki Kebo Botak. Sekalipun tubuh Suro besar walau tidak berarti gemuk atau gendut, namun tubuh itu seharusnya cukup tahan menerima hentakan kaki sebesar kaki Kebo Botak itu.

Nyatanya kali ini Suro Bodong hanya bisa menyeringai kesakitan sambil mengaduh-aduh, sebab pinggangnya terasa mau patah.

"Kenapa kau bunuh temanku? Kenapa, hah...?!!" Waduk Kumis segera mencengkeram rambut Suro Bodong yang panjang sepundak dan diikat kain merah itu sambil berteriak di depan wajah Suro.

Suro Bodong hanya menyeringai kesakitan, belum bisa menjawab. Waduk Kumis berteriak lagi:

" Mengapa temanku kau bunuh sampai mati hangus begitu?! Jawab...! Jawab!"

"Ampuun... saya tidak menyuruh dia mati hangus...!" Suro merengek seperti anak kemarin sore. Rambutnya dicengkeram dengan kedua tangan oleh Waduk Kumis yang benar-benar marah itu. Karena kemarahannya itu, maka dengan kasar dan keras ia menghentakkan rambut Suro ke depan, kepalanya sengaja dibenturkan ke kepala Suro Bodong dengan kuat.

"Prook...!"

"Wadoow...!! Sakit, Paaak...!!" Suro menjerit kesakitan.

Lalu dengan kesal sekali ditamparnya wajah Suro, ditonjoknya ke belakang dan terpentallah Suro Bodong dalam posisi jatuh tertelentang. Suro bagai mengerang dan mengaduh-aduh sambil menangis.

Kebo Botak segera mencekik leher Suro dengan salah satu sisi samping telapak kakinya. Dan pedang di punggung pun dicabutnya. "Street...!" Ujung pedang diarahkan ke tepian mata Suro Bodong, siap untuk merobek kedua biji mata Suro Bodong.

"Kau harus menebus kematian Wiruna dengan siksaan ini!"

"Sa... saya... bukan pembunuhnya..." Suro Bodong mencoba bicara dengan sukar karena lehernya diinjak Kebo Botak.

"Lalu siapa kalau bukan kau, hah?!" bentak Waduk Kumis yang juga segera menghunus pedangnya.

"Or... orang... uuh...!" Suro Bodong tersedak, dan sulit bicara. Kemudian, Waduk Kumis memberi isyarat dengan pandangan mata agar Kebo Botak melepaskan kakinya. Kaki itu ditarik dari leher Suro, namun ujung pedang masih siap di tepian mata Suro. Siap untuk merobeknya.

"Katakan, siapa yang membunuh temanku kalau bukan kau?!" bentak Waduk Kumis.

"Orang... itu..." Suro menuding ke arah tempat menghilangnya Dayang Kunti. Ia terkesan bego dan menjengkelkan.

"Orang mana?! Di sana tidak ada orang?!!" bentak Kebo Botak.

"Dia... dia tadi lari ke sana, Eyang…!" jawab Suro Bodong dengan panggilan ngacau tak karuan.

"Bohong!"

"Sunm.. sumpah...! Demi... demikian... pengakuan saya...."

Waduk Kumis dengan Kebo Botak saling berpandangan. Lalu Waduk Kumis bertanya dengan tubuh merendah, namun ujung pedangnya kini menempel tepat di dada, depan jantung Suro. Sekali hentak pedang itu, Suro akan mati. Jantungnya jebol dan tentu akan sulit ditambal.

"Hati-hati kau bicara dengan kami, ya?"

"Sud... sudah... sudah, Eyang...!" Suro bergaya sopan.

Kedua prajurit itu saling pandang sebentar, lalu Kebo Botak bertanya dengan sikap tetap tak ramah:

"Kau tahu ciri-cirinya?!"

Suro tak berani menggeleng, sebab kalau menggelengkan kepala maka ujung pedang Kebo Botak akan menggores mata. Akhirnya ia hanya menjawab:

"Sedikit-sedikit saja...!"

"Sedikit-sedikit bagaimana? Yang jelas!!" bentak Kebo Botak dengan kasar.

"Saya... saya hanya tahu... dia itu seorang perempuan. Perempuan sekali, Eyang!" jawab Suro.

Waduk Kumis terperanjat tipis, lalu memandang Kebo Botak yang masih berdiri dengan mengacungkan pedangnya. Waduk Kumis kembali memandang Suro Bodong yang masih telentang.

"Siapa nama perempuan itu...?!"

Suro Bodong diam beberapa saat dengan dahi berkerut, seakan sedang mengingat-ingat. Tetapi Waduk Kumis tidak sabar dan segera membentaknya:

"Siapa namanya, Tolol!"

"Bukan. Bukan Tolol namanya," jawab Suro dengan mantap.

"Seingat saya... hehmmm.. namanyaaaa..." Suro diam lagi. Kedua prajurit berseragam merah itu semakin jengkel. Hampir saja Kebo Botak mengibaskan pedangnya dan ujung pedang itu merobek mata Suro Bodong. Tetapi, Waduk Kumis menggeleng, pertanda Kebo Botak diminta sabar sebentar.

"Cepat sebutkan!!" teriak Kebo Botak dengan keras.

"Anu... namanya.... Dayang..."

"Dayang...?!" Waduk Kumis bagai menggumam sambil menatap temannya. Keduanya kelihatan tegang dan cemas.

"Benar," kata Suro. "Namanya Dayang... Dayang Kuntilanak apa Dayang Kunta Kunti... saya kurang jelas. Eyang."

Keduanya menjauhi Suro. Keduanya berembuk di samping mayat Wiruna. Waduk tertegun memandang mayat Wiruna. Saat itu, Suro Bodong berdiri dengan seringai kesakitan di pinggang. Ia mendengar Kebo berseru mengancamnya:

"Hei, mau lari ke mana kau?!"

"Tidak. Saya tidak lari. Kalau saya mau lari, saya beritahu dulu kok...!" kata Suro yang menjadi bego itu.

Suro berdiri dengan bersandar pada sebuah pohon, seakan ia justru menunggu kedua prajurit itu saling berembuk. Ia tak tahu kalau Waduk Kumis yang kurus, alot itu berkata:

"Pasti yang dimaksud orang gila itu; Dayang Kunti!"

"Rasa-rasanya tak mungkin, Mis. Dayang Kunti sudah kita kuburkan setelah ia tewas bertarung melawan Ki Ageng Bentaran, satu bulan yang lalu!"

"Tapi menurut keterangan orang gila itu...."

"Ah, dia hanya orang gila! Mana bisa bicara dengan benar. Aku masih curiga, jangan-jangan memang dia yang membunuh teman kita; Wiruna itu."

"Bisa jadi begitu. Tetapi, dari mana dia tahu kalau ada perempuan yang bernama Dayang Kunti, sekali pun ia tadi menyebutnya salah."

Kebo Botak terbungkam beberapa saat. Sesekali ia melirik Suro Bodong yang bagai penuh kesetiaan menunggu mereka selesai berembuk. Sedangkan Suro Bodong saat itu sedang mengusap-usap pinggangnya, sesekali garuk-garuk kumis, dan sesekali juga mengusap keningnya yang memar akibat adu kepala dengan Waduk Kumis tadi.

"Kalau begitu, persoalan ini perlu kita laporkan kepada Kanjeng Adipati," kata Waduk Kumis.

"Bagaimana dengan orang gila itu?!"

"Bawa saja dia, sebagai saksi. Supaya orang percaya bahwa Dayang Kunti masih bisa mengganas...!"

"Aku khawatir kalau-kalau yang melakukan hal ini adalah murid Dayang Kunti. Murid perempuannya."

"Pokoknya kita laporkan saja dulu kepada Kanjeng Adipati, dan kita kemukakan kekhawatiran kita apapun, nanti biar Kanjeng sendiri yang mengambil kesimpulan."

Kebo Botak segera menemui Suro dan mencengkeram baju merah Suro yang tak pernah dikancingkan itu, sehingga menampakkan bentuk perutnya yang sedikit besar, tapi bukan membuncit.

"Kau bohong, ya? Kau menyebutkan nama pembunuh dengan karanganmu sendiri! Iya, kan?!"

Gagap juga Suro diancam seperti itu. "Sungguh... sumpah apa saja saya mau...! Kalau tidak percaya, tanyakan saja pada mayat teman Eyang itu...."

"Bawa dia. Kebo...!" teriak Waduk Kumis setelah mengangkat mayat Wiruna dengan hati-hati, dan meletakkan ke atas punggung kuda.

"Kau harus ikut menghadap Kanjeng Adipati untuk menjadi saksi, kalau memang benar Dayang Kunti yang membunuh teman kami itu!! kata Kebo Botak sambil menyeret Suro.

"Ba...baik... baik saya berani bersumpah di hadapan raja...asal tunjukkan yang mana rajanya nanti...!" celoteh Suro itu tidak dihiraukan. Ia diikat tangannya memakai tali, kemudian Kebo Botak naik ke punggung kuda sambil memegangi ujung tali yang dipakai mengikat tangan Suro.

Kuda dipacu agak kencang. Kalau Suro tidak berlari ia akan terseret-seret kuda. Jadi, mau tidak mau ia harus berlari mengimbangi langkah kaki kuda. Kalau saja Suro Bodong saat itu tidak menjadi korban jarum merah dari sumpit Dayang Kunti, sudah tentu ia tidak akan mau disuruh berlari-lari mengimbangi langkah kaki kuda. Ia akan menarik tali itu hingga Kebo Botak jatuh dan mendapat hajaran dari Suro Bodong. Tetapi jangankan menarik tali dalam satu hentakan, berpikir ke situ pun Suro tidak bisa. Jarum merah yang menancap di lehernya telah membuat Suro menjadi orang bego. Tolol dan gila. Ia menjadi serba bingung. Ia tak ingat bahwa dirinya adalah seorang Senopati yang cukup digdaya. Ia tidak ingat kalau ia mempunyai beberapa ilmu yang handal, yang dapat dengan mudah menghancurleburkan kedua prajurit garang itu. Bahkan ia tak ingat kalau dirinya sudah bergelar Pendekar 7 Keliling, yang berarti ia dapat merubah ujudnya menjadi 7 rupa apabila ia bersalto di udara 7 kali.

Namun, justru sikapnya yang bego dan sinting itulah yang membuat ia selamat, tak jadi dibunuh. Hanya menjadi tawanan yang akan memberi kesaksian tentang kematian seorang prajurit Kadipaten Damardita. Sayangnya, orang-orang Kadipaten Damardita belum tentu percaya kalau kematian prajurit Wiruna itu akibat ulah Dayang Kunti, sebab mereka melihat sendiri kematian Dayang Kunti waktu bertarung melawan Ki Ageng Bentaran. Bahkan banyak yang menyaksikan penguburan Dayang Kunti di kaki Bukit Sekarat.

Repotnya lagi, ternyata Ki Ageng Bentara tahu siapa Suro Bodong. Ketika Suro dihadapkan ke paseban, Ki Ageng Bentaran berkata kepada Adipati Anom Winingrat:

"Saya tahu persis siapa orang ini. Kanjeng."

Adipati Anom Winingrat yang usianya masih cukup muda untuk ukuran seorang Adipati, segera berkerut dahi sambil memandang Suro Bodong. Ia memperhatikan Suro Bodong beberapa saat.

Lalu, ia bertanya kepada Ki Ageng Bentaran dengan tanpa memandang yang diajak bicara:

"Siapa orang ini, Ki Ageng?!"

"Namanya Suro Bodong. Seorang Senopati digdaya, sakti mandraguna dari Kesultanan Praja. Ilmunya cukup tinggi, dan bahkan dialah yang berhasil membunuh Jagal Iblis, juga dia pula yang berhasil menguasai ilmu Sempurna Jati dari anak bidadari yang berkuasa di Bukit Maya..." (ada dalam kisah: JERIT DIPUCUK REMBULAN).

Kemudian, Tamtama Agung Gembong Wilwo, yang menjadi panglima perang Kadipaten Damardita, segera meminta izin untuk bicara.

"Menurut saya, bisa jadi Suro Bodong inilah orang yang membunuh prajurit Wiruna. Dia menjadi sinting, menjadi, linglung seperti ini karena dia kebanyakan ilmu! Bisa saja ia habis membunuh, lalu lupa siapa yang dibunuh dan apa yang dikerjakan."

"Kurasa juga begitu," Ki Ageng Bentaran yang menyahut. Adipati Anom Winingrat menggumam lirih tanpa manggut-manggut. Matanya menghunjam tajam ke arah Suro Bodong yang kali ini duduk bersila di hadapan seorang Adipati. Hanya saja, Suro Bodong tidak mau menunduk dengan rasa takut, melainkan justru memandang ke sana sini, seakan mengagumi kemewahan ruang paseban itu. Seolah-olah ia tidak merasa kalau sedang dibicarakan oleh mereka-mereka.

Ki Ageng Bentaran bicara lagi dengan gayanya yang wibawa, menampakkan sosok seorang pengawal pribadi sekaligus seorang penasihat Adipati.

"Ada baiknya kalau orang ini diuji kemampuan otaknya. Hal ini untuk menentukan apakah dia benar-benar sinting atau berpura-pura sinting."

"Apa itu perlu?!" sahut Cocak Soga. Dia adalah seorang yang menjabat sebagai kepala mata-mata untuk menyelidiki daerah lawan. Istilah sekarangnya: Kepala Intel, atau Komandan Reserse.

Cocak Soga berkata lagi:

"Menurut saya, kematian yang dialami prajurit Wiruna, adalah kematian yang sama dialami oleh dua prajurit kita beberapa waktu yang lalu, ketika mereka mencoba menangkap Dayang Kunti; yaitu kematian hangus. Keadaan mayat Wiruna, persis dengan mayat kedua prajurit yang dulu pernah melawan Dayang Kunti; tubuh hangus, tetapi pakaian tidak ikut terbakar."

Semua tertegun. Cocak Soga memperhatikan satu persatu wajah orang yang hadir dalam paseban tersebut. Adipati Anom termenung, menyimak betul pendapat Cocak Soga. Sementara itu, Suro Bodong masih duduk bersila dengan tampang linglung; sorot mata sayu melebar dan mulut melongo. Suro Bodong masih memperhatikan hal-hal yang dianggap aneh dan indah di ruang paseban tersebut.

Setelah beberapa saat bungkam, Cocak Soga segera melanjutkan kata-katanya, sebab ia tahu mereka menunggu kelanjutan pendapatnya.

"Saya cenderung untuk mengatakan, bahwa kematian prajurit Wiruna adalah akibat pertarungan dengan Dayang Kunti. Jelas ia terkena pukulan atau tendangan yang dilancarkan oleh Dayang Kunti."

Ki Ageng Bentara menyahut:

"Dayang Kunti sudah mati. Mayatnya sudah kita kubur di kaki Bukit Sekarat. Bahkan banyak rakyat Kadipaten yang ikut menyaksikan penguburan tersebut."

Adipati Anom Winingrat segera berkata dengan kecemasan yang disembunyikan di balik ketenangannya.

"Apakah ada yang mempunyai kemungkinan bahwa Dayang Kunti bangkit lagi dari kuburnya? "

Beberapa orang menggumam satu dengan yang lainnya.

Kemudian Gembong Wilwo mengajukan usul:

"Sebaiknya kita bongkar saja kuburan itu untuk membuktikan apakah Dayang Kunti jasadnya masih dikubur atau sudah hilang. Orang ini, Suro Bodong ini yang kita suruh menggalinya. Bagaimana?"

Suro Bodong mulai melirik Gembong Wilwo dengan cemas.

2

Bukan hanya orang-orang Kadipaten yang ingin melihat penggalian kembali kuburan Dayang Kunti, melainkan masyarakat umum pun ingin menyaksikannya. Karena, bagaimanapun juga hal itu dirahasiakan, namun kemunculan Dayang Kunti sudah menyebar ke mana-mana dan membuat rakyat bertanya-tanya, benarkah Dayang Kunti bangkit kembali?

"Cepat, gali!" perintah Kebo Botak kepada Suro Bodong yang ikut dibawa-bawa dalam persoalan penggalian kubur Dayang Kunti.

"Saya takut, Eyang..." kata Suro Bodong yang tidak mau segera memegang alat penggali; skop dan cangkul.

"Buuk...!" Kebo Botak menghantam perut Suro Bodong dengan tangan kirinya. Pukulan itu cukup keras. Suro Bodong nyengir merasakan perutnya mulas mendadak, ia mengerang pelan.

"Kerjakan!" bentak Kebo Botak.

"Saya... saya belum pernah menggali mayat...!" kata Suro Bodong dengan wajah menyedihkan.

"Persetan!" geram Kebo Botak.

"Apa lagi persetan, juga belum pernah. Eyang," tutur Suro. Lalu ia terpaksa mengaduh dan berguling-guling karena ditendang pinggangnya oleh Waduk Kumis. Kepala Suro berdarah akibat membentur batu. Lukanya tak begitu besar, namun darah yang mengalir membuat Suro Bodong semakin ketakutan. Pada saat itu, Tamtama Agung Gembong Wilwo berkata kepada Botak:

"Kau sajalah, Kebo Botak. Kau saja yang menggali, biar urusan ini tidak bertele-tele!"

Kebo Botak mendengus kesal, namun segera mengangkat cangkul. Sebelumnya ia sempat menendang Suro Bodong dengan tendangan samping. Suro yang baru saja akan bangun sudah terjengkang lagi karena tendangan itu.

"Jangan!" tiba-tiba Ki Ageng Bentaran berseru. "Jangan Kebo Botak yang menggali. Sebab siapa tahu mayat Dayang Kunti masih utuh karena kesaktiannya, dan dia tahu-tahu menyerang dari dalam kubur, bisa-bisa orang kita yang menjadi korban. Biarlah Suro Bodong itu yang menggali. Paksa dia! Supaya kalau ada apa-apa dia yang menjadi korban."

Suro Bodong menyeringai antara ngeri dan kesakitan.

Waduk Kumis segera meraih baju Suro Bodong dan menyeretnya seraya berkata:

"Ayo, gali...! Gali kuburan itu! Lekas...!"

"Jangan saya, Eyang... jangan...!" pinta Suro Bodong dengan menyembah-nyembah. Oh, andai saja orang Kesultanan Praja tahu Senopatinya diperlakukan seperti itu, sudah tentu Panembahan Purbadipa akan turun tangan menghajar mereka. Sayang sekali, tak seorang pun dari Kesultanan Praja yang mengetahui hal itu, sehingga Suro Bodong terpaksa harus menggali kuburan Dayang Kunti.

"Kalau kau tak mau, kau yang akan kutanam di tempat lain!" bentak Waduk Kumis dengan garangnya.

"Ampun, jangan saya yang ditanam...! Jangan saya yang menggali kuburan orang mati. Saya takut, Eyang... oh, ampunilah saya...!"

"Tarr...!" Gembong Wilwo melecutkan cambuknya dengan keras. Cambuk menghantam tubuh Suro Bodong dan Suro pun menjerit kesakitan. Sekali lagi cambuk itu melecut di dada Suro Bodong yang terbuka, "Taar...!"

"Aaauuh...!! Ampun...!" Suro Bodong melengking seruannya. Ia semakin menyembah-nyembah sambil menangis. Ia benar-benar bego, tidak bisa menegakkan keberanian dan keperkasaannya.

Jarum merah dari Dayang Kunti itu sungguh membuat harga dirinya jatuh dan sangat jatuh. Tak ada lagi wibawa serta keberaniannya sebagai seorang tokoh persilatan yang amat ditakuti lawan.

"Gali kuburan itu, atau kucambuk?!"

Suro Bodong sampai mencium tanah dan memohon-mohon agar tidak dipaksa untuk menggali dan tidak juga dicambuk.

"Kau yang mengatakan bahwa Dayang Kunti membunuh prajurit kami, sekarang kau yang harus membuktikannya!" bentak Gembong Wilwo.

"Benar... Dayang Kunti, tapi... tapi itu menurut pengakuannya," ujar Suro ketakutan dan menggeragap. "Kalau...kalau nama aslinya saya tidak sempat bertanya...! Sumpah saya...saya paling malu berkenalan dengan perempuan yang..."

"Taar...!"

"Aduuh...! Ampunilah saya...! Ampuuuun...!" Suro Bodong mengaduh dan tertungging-tungging karena cambuk Gembong Wilwo kembali melecut.

"Aku curiga padanya," bisik Ki Ageng Bentaran.

Cocak Soga segera tampil di antara kerumunan Waduk Kumis, Kebo Botak, Gembong Wilwo dan Ki Ageng Bentaran. Kedua tangan Cocak Soga segera menggenggam baju Suro Bodong dan menarik wajah Suro hingga mendekat ke wajahnya. Ia menggeram:

"Katakan yang sebenarnya; kau melihat Dayang Kunti membunuh orangku atau hanya tipuanmu belaka, hah?! Katakan?!"

Semakin ketakutan saja Suro Bodong menghadapi Cocak Soga yang bertubuh kecil, sedikit pendek namun berdarah dingin, sepertinya tidak mengenal belas kasihan sedikit pun kepada lawannya. Suro gemetaran. Keringatnya bercampur dengan darah dari luka di kepala, dan luka-luka akibat cambukan Gembong Wilwo.

"Katakan...!!" bentak Cocak Soga.

"Ssa... saaya... memang...."

"Memang apa?!!" teriak Coca Soga yang suaranya memang keras dan tegas.

"Memang... begitulah... adanya!" Suro Bodong makin grogi.

"Plakk...!" Cocak Soga menampar Suro Bodong keras-keras, hingga dua helai kumis Suro Bodong rontok seketika.

"Ampuuun... Eyang...!" rintih Suro.

"Bicara yang betul kau kalau ingin selamat! Bicara!"

"Memang... yaaah... hmmm... saya… saya berbohong...!"

"Bangsaaat...!!" Waduk Kumis menghantam wajah Suro dengan ujung kakinya hingga Suro tak sempat memekik lagi. Suro menjadi bego. Tolol bin bodoh. Hanya karena takut disuruh menggali kuburan lama, ia mengaku berbohong. Ini sungguh sangat keterlaluan. Padahal Suro bukan orang penakut. Suro pemberani, yang tidak pernah kenal ngeri kepada iblis, setan dan jenis-jenisnya. Tetapi, kali ini Suro Bodong menjadi orang yang bukan Suro Bodong. Semua kekuatannya, kewibawaannya serta harga dirinya, sudah tidak dimiliki sama sekali. Yang ada hanya rasa takut, cepat gugup dan cengeng. Inilah kehebatan racun atau kekuatan yang ada pada jarum merah milik Dayang Kunti.

"Jadi siapa yang telah membakar hangus temanku, hah?! Siapa...?!" teriak Kebo Botak dengan marah.

"Did... diid... dia... dia mati sendiri dan... dan hangus sendiri," jawab Suro mulai tidak masuk akal dan membuat mereka semakin marah. Jengkel sekali.

Orang-orang yang menunggu saat penggalian dilaksanakan juga menjadi kesal. Bahkan ada yang melemparkan batu dan mengenai Waduk Kumis yang kurus itu.

"Pletak...!" Waduk Kumis segera mengkelap. Matanya menjadi merah, karena percikan pasir masuk ke matanya yang kiri. Waduk Kumis hendak mengamuk, tetapi segera ditahan Gembong Wilwo. Salah seorang penonton ada yang berseru:

"Robek saja mulutnya kalau plin plan!!"

Coca Soga mencabut pedangnya, kemudian menempelkan ke leher Suro Bodong.

"Katakan dengan jujur; siapa pembunuhnya?! Kalau kau menjawab dengan ngaco, maka pedang ini pun akan menggores lehermu dengan ngaco juga! Lekas, katakan; siapa yang membunuh Wiruna?! Dayang Kunti... atau bukan!?"

"Iyy... iya.." Suro gemetar penuh rasa takut. "Da... yang Kunti. Tap... tapi… tapi saya kan tidak tahu dan tidak kenal dengan perempuan yang bernama... itu tadi."

"Berbalik lagi jawabannya!" geram Waduk Kumis.

Adipati Anom Winingrat, yang sejak tadi duduk di tandu dan dipayungi segera berseru:

"Cocak Soga... gali kuburan itu!"

"Sendiko, Kanjeng!" jawab Cocak Soga dengan tegas.

"Waduk Kumis, Kebo Botak, dan para prajurit seperlunya, bantu penggalian itu...!"

Perintah tersebut membuat cepatnya kerja mereka. Coba dari tadi Adipati turun tangan dengan memberikan perintah, sudah pasti urusan itu akan selesai sejak tadi. Begitu pikir rakyat yang menunggu penggalian dilaksanakan.

Mereka yang ditugaskan menggali bekerja dengan gesit. Tidak ada yang malas-malasan. Sementara itu, Suro Bodong dalam pengawasan dua prajurit bersenjatakan tombak dengan seragam celana merah tanpa baju, tapi mengenakan kain pada bagian pinggang sampai paha. Suro Bodong duduk di tanah sambil menyeringai dan mengerang sesekali, merasakan sakitnya luka di tubuh dan bekas pukulan serta tendangan mereka. Sedikit pun tak punya niat bagi Suro untuk melakukan perlawanan. Sedikit pun tak ada keberanian bagi Suro untuk menentang perlakuan keji yang dijatuhkan kepada dirinya. Suro Bodong malahan ikut sebagai penonton terdekat dalam penggalian kuburan Dayang Kunti tersebut. Gembong Wilwo menggulung cambuknya dan diselipkan di pinggang, sementara sebatang gagang pedang masih bertengger di pundaknya.

"Kanjeng...!" teriak seseorang dari dalam kubur, kemudian orang itu meloncat keluar dengan hentakan kaki bagai terbang ke atas. Cocak Soga yang berteriak tadi, kemudian segera mendekati tandu dan berkata:

"Mayat Dayang Kunti... hilang!"

Semua wajah menjadi tegang. Lalu, semua mulut mulai ricuh dan saling menggumam heran:

"Hilang...?! Hilaang... hilang...?!" Seorang prajurit yang mengawal Suro Bodong juga berkata kepada temannya, "Kok bisa hilang, ya?"

"Aneh."

Suro menyahut, "Iya, aneh sekali...?" seakan Suro ikut tegang dan terheran-heran juga.

Ki Ageng Bentaran berbisik kepada Cocak Soga, "Bawa Suro Bodong, dan selidiki dia! Pasti ada sangkut pautnya!"

Maka Suro Bodong pun dibawa serta kembali ke Kadipaten.

"Suro Bodong," kata Ki Ageng Bentaran ketika mereka sudah berada di Dalem Kadipaten. "Kamu terpaksa kami tahan! Kami tidak perduli kau seorang Senopati negeri lain, tetapi dalam hal ini, kamu tidak meyakinkan dan patut dicurigai. Karenanya, kamu harus dipenjara."

"Ya, ya... saya mau!" Suro Bodong bersemangat.

Dasar bego! Di penjara bukan sedih tapi justru Suro tampak senang. Wajah takutnya sempat sirna sesaat ketika ia digiring ke penjara yang ada di depan asrama keprajuritan.

"Hei, Suro Bodong...?!" seru salah seorang tawanan di kamar tahanan. Agaknya ia mengenal Suro Bodong, sekali pun Suro Bodong tidak mengenal dia.

"Hei..." Suro Bodong membalas sapaan itu dengan senyum ketololannya.

"Mengapa kamu dipenjarakan di sini, Suro? Apa kesalahanmu?"

"Aku sendiri tidak tahu, apalagi kamu," jawab Suro. "Tapi kurasa ini lebih baik."

"Lebih baik, bagaimana?" lelaki kurus tanpa baju dan berikat kepala kuning kusam itu heran.

"Yah, lebih baik dimasukkan penjara daripada disuruh menggali kuburan."

Lelaki yang tulang iganya kelihatan menonjol itu semakin heran. Ia tahu kesaktian Suro Bodong. Ia pernah melihat Suro Bodong bertarung dengan orang-orang Kerajaan Lesanmitra. Suro cukup tangguh dan mengagumkan. Tetapi, mengapa sekarang Suro dijadikan tawanan dan dimasukkan penjara dalam keadaan luka-luka begitu? Apa salahnya?

"Suro, kau Senopati Kesultanan Praja, bukan?"

"Ta. Tapi... itu kata siapa?" Suro heran. Lelaki itu juga bertambah heran.

"Kau ini seperti orang linglung saja."

"Cuma seperti, kan? Itu berarti aku bukan orang linglung, hanya seperti." Suro nyengir, lelaki itu kebingungan. Suro menyambung kata, "Aku tadi disuruh membongkar kuburan orang mati. Aku tidak mau, lantas aku dimasukkan penjara. Hebat, ya?!"

"Kuburan siapa?!"

"Kuburannya... hemmm... siapa tadi, ya?" Suro berkerut dahi dan berpikir beberapa saat. "O, ya... kuburannya seorang perempuan yang bernama... Dayang... Dayang.., ah, lupa lagi aku jadinya. Dayang siapa tadi, ya?"

"Dayang Kunti?!"

"Nah, benar! Dayang Kunti!!" Suro bersemangat, namun lelaki kurus itu terperanjat. Bahkan wajahnya kelihatan tegang begitu mendengar Suro membenarkan nama Dayang Kunti.

"Kau...? Kau disuruh membongkar kuburan Dayang Kunti?"

"Iya. Kenapa kau ketakutan?"

"Kau tidak tahu siapa itu Dayang Kunti?!"

"Kalau tahu akan kusuruh dia ke mari untuk mengatakan bahwa dialah yang membunuh prajurit Kadipaten ini."

"Maksudmu, kau tidak kenal Dayang Kunti?"

"Ah, kamu itu ada-ada saja," Suro bersungut-sungut. "Namanya saja susah kuingat, apalagi mengenalnya. Memangnya, Dayang Kunti itu siapa?!" Suro Bodong bicara seperti orang blo'on.

Lelaki kurus tanpa baju itu menjadi ragu-ragu; jangan-jangan ia berhadapan dengan orang yang bukan Suro Bodong: Karenanya, ia memperhatikan Suro Bodong sampai beberapa saat lamanya, baru berkata:

"Dayang Kunti itu tokoh dunia persilatan yang baru. Ia seorang perempuan yang belakangan ini menjadi momok bagi masyarakat Kadipaten Damardita. Ia membunuh beberapa prajurit dan orang penting di Damardita. Dan, ia masih menjadi bayangan menakutkan bagi para punggawa negeri di sini. Kesaktiannya cukup ampuh. Digdaya. Belum ada pendekar atau jagoan-jagoan Kadipaten ini yang mampu melawannya. Hanya saja, beberapa Minggu yang lalu aku mendengar Dayang Kunti katanya sudah dikalahkan oleh Ki Ageng Bentaran, dan dikuburkan. Tapi, mengapa mereka sekarang mempersoalkan Dayang Kunti lagi, ya?" Orang itu bicara sendiri. "Apakah Dayang Kunti belum dikalahkan oleh Ki Ageng Bentaran?"

"Tapi, kenapa aku dipaksa membongkar kuburannya?"

"Lalu...? Lalu, bagaimana?"

Suro Bodong meringis geli. "Akhirnya orang lain yang disuruh membongkar kuburan itu. Hi, hi, hi...."

"Dan... dan bagaimana hasilnya?"

Suro Bodong semakin mengikik geli, "Kuburan itu... kosong! Hi, hi, hi,..."

"Kosong?!" orang itu terperanjat kaget dan berdiri tegang. "Kosong tanpa mayat?!"

"Yah, kalau ada mayatnya namanya bukan kosong, tapi isi..." ujar Suro Bodong seakan tidak merasa terbengong dengan mata membelalak dan mulut ternganga sedikit. Ia memandang ke arah luar kamar penjara melalui teralis besi.

"Pertanda kehancuran bagi Kadipaten ini! Dayang Kunti akan memusnahkan semua pejabat dan orang penting dalam pemerintahan ini, bahkan ia akan membumihanguskan Dalem Kadipaten, termasuk penjara ini. Lalu-lalu itu juga berarti kematian bagi para tawanan seperti aku."

Karena orang itu bicara sendiri. Suro Bodong baru merasa heran. Kemudian ia bertanya dengan nada tolol:

"Kok kamu tahu? Sebenarnya kamu siapa? Suaminya Dayang Kunti, ya?"

"Aku Dandang Kober," kata lelaki kurus bercelana hitam.

"O, pantas... kulitmu hitam seperti pantat dandang nasi." Kata-kata itu diucapkan dengan serius, seakan Suro benar-benar terkesan dengan nama Dandang Kober. Di wajahnya tak ada senyum dan kesan mengejek, sehingga Dandang Kober sendiri tidak memperdulikan kata-kata itu.

"Aku sebenarnya bukan orang Damardita, aku orang Tebing Suram. Aku pernah bertemu dengan Dayang Kunti, dan disuruh menyampaikan pesan tantangan kepada Adipati Anom. Tetapi aku malah ditangkap, disiksa dan dipenjarakan di sini. Padahal aku hanya disuruh. Bukan berkomplot dengan Dayang Kunti."

"Ooo… tapi kamu kok bisa kenal aku? Kamu tahu namaku Suro Bodong segala, padahal aku sendiri lupa siapa namaku. Itu saja kalau tidak aku sering dipanggil Suro Bodong oleh orang berambut putih itu, aku tidak tahu kalau namaku Suro Bodong?! Sungguh, kok!"

"Astaga...! Kenapa kamu bisa begitu, Suro? Padahal aku pernah melihat kedigdayaanmu dalam bertarung melawan orang-orang Lesanmitra." (dalam kisah: RACUN MADU MAYAT).

"Aku digdaya?!" Suro Bodong malah merasa heran, lalu tertawa geli sendiri. "Ah, kamu menyindir aku, ya?"

Dandang Kober ngotot, "Eh, sungguh! Aku tidak bohong! Kalau kamu tidak digdaya, bagaimana mungkin kamu bisa diangkat menjadi Senopati Kesultanan Praja?!"

"Senopati? Jadi, pangkatku Senopati? Wah, ketinggian itu. Kalau memujiku jangan tinggi-tinggi. Kalau tinggi-tinggi takut kesamber gledek! Takut kesamber petir!" Suro Bodong memonyong-monyongkan mulutnya.

"Bukankah petir itu sahabatmu?!" kata Dandang Kober.

"Sahabatku? Ih, masa manusia bisa bersahabat dengan petir? Ah, ngaco kamu," seraya Suro menepak pundak Dandang Kober.

Rupanya Dandang Kober tidak mau kalah debat:

"Memang hanya kamu orang yang bisa bersahabat dengan petir. Kau sendiri punya pedang pusaka. Kata orang-orang, pedang pusakamu itu bernama Pedang Urat Petir. Dan kau berjuluk Pendekar Tujuh Keliling."

Suro semakin heran dan sangsi dengan penjelasan Dandang Kober. Ia berkata dengan pelan:

"Pedang Urat Petir...? Masa aku punya pedang Urat Petir? Memangnya, petir itu ada uratnya?!" Suro benar-benar menjadi bingung tujuh keliling. Ia berpikir dan berpikir terus sampai larut malam tiada henti-hentinya. Sesekali ia mendengar suara samar-samar seseorang memanggilnya: Suro Bodong. Sesekali ia juga teringat nama Pedang Urat Petir. Sesekali ia juga ingat bahwa ia pernah melompat tinggi dan bisa nangkring di sebuah dahan pohon. Tapi kapan hal itu terjadi? Mengapa bisa begitu? Benarkah dia itu sakti? Suro kebingungan dan jenuh sendiri. Ia belum berhasil mengembalikan jati dirinya sampai malam menjadi hampir pagi.

Sebenarnya Suro Bodong ingin segera tidur, ia lelah memikirkan penjelasan Dandang Kober. Tetapi, tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki orang samar-samar. Ia menyempatkan mengintip dari pintu penjara yang tidak pernah diberi pelapis lain kecuali hanya teralis besi. Ia melihat sosok manusia melangkah dengan mengendap-endap. Wajahnya tidak jelas, karena ia melalui tempat yang gelap dan remang-remang. Namun arahnya sudah pasti, menuju asrama keprajuritan.

Ada dua orang prajurit yang keluar karena mungkin mendengar suara langkah kaki manusia. Kedua prajurit itu tiba-tiba memekik tertahan:

"Aaghh...!"

Bayangan itu melemparkan sesuatu yang mengenai kedua prajurit tadi. Lalu kedua prajurit itu rubuh, beberapa saat keluar asap dari tubuhnya yang tidak mau berkutik-kutik sedikit pun. Suro Bodong terbengong, matanya memandang kejadian itu. Lidahnya bagai kelu dan sukar berteriak, karena saat sosok bayangan itu melewati tempat terang. Suro melihat jelas bahwa sosok itu milik seorang perempuan bergaun hijau muda. Perempuan memegang sebatang bambu kira-kira panjang tiga jengkal. Kakinya memantulkan kilasan sinar ketika melewati tempat terang. Dan Suro Bodong segera teringat siapa perempuan itu. Dia adalah Dayang Kunti, yang pernah bertemu dengannya di samping mayat prajurit Wiruna. Ia ingat samar-samar pesan Dayang Kunti yang minta disampaikan kepada Adipati Anom Winingrat. Tetapi, ingatan itu segera hilang, kepalanya menjadi pening. Yang ada hanya ketegangan. Rasa takut yang kuat.

Dayang Kunti menyelinap di balik tikungan. Suro Bodong masih belum bisa bicara, a atau i. Bengong saja terpaku. Sampai akhirnya ia menyaksikan Dayang Kunti menyeret tubuh seseorang yang sudah tidak berdaya lagi. Tubuh tersebut sengaja diletakkan di tengah taman, kemudian ia segera melesat pergi. Melompat seperti belalang cantik, menghilang di balik rimbun dedaunan pohon yang ada di balik tembok benteng. Baru setelah itu Suro mampu berteriak:

"Maliiiing...! Maliiiing...!! Ada maliiiing...!"

Suasana menjadi gempar, heboh. Semua prajurit keluar dari asramanya, semua tahanan yang terdiri dari empat orang dalam tiga kamar juga terbangun, bahkan beberapa orang dapur pun berlarian keluar sambil membawa pentungan.

"Mana malingnya...? Mana?!" Dandang Kober menggeragap. Ikut mendekat, memandang ke arah luar dari balik teralis besi.

Orang berlarian kalang kabut ketika Suro Bodong masih berteriak maling, sedangkan mereka sudah menemukan tiga sosok mayat yang hangus terbakar.

Seseorang di luar sana berteriak, "Waduk Kumis terbunuh...! Waduk terbunuh...!!"

Kepanikan semakin menjadi, semua prajurit memeriksa sekeliling dengan tergagap-gagap. Tamtama Agung Gembong Wilwo datang menemui ketiga mayat yang hangus terbakar tanpa merusak pakaian mereka. Kebo Botak berteriak-teriak mencaci maki sendiri, seakan mengundang pembunuhnya untuk datang berhadapan dengannya. Di tangannya, juga di tangan beberapa prajurit lainnya sudah meng genggam senjata masing-masing. Ki Ageng Bentaran ikut datang memeriksa keadaan korban yang mati hangus, lalu menggeram sambil menerawang ke angkasa. Sementara itu, Cocak Soga berdiri tak jauh dari depan penjara, memandang kerumunan orang yang saling meratapi ketiga mayat, termasuk mayat Waduk Kumis.

Suro Bodong dari tadi diam terpukau di tempat dalam keadaan duduk di lantai yang dingin. Dandang Kober sudah mengajaknya bicara dari tadi, sudah bertanya macam-macam, tetapi Suro Bodong diam saja. Sepertinya ia amat terpukau melihat kemunculan Dayang Kunti kembali itu.

Namun, beberapa saat otak gobloknya lelah memaksa ia bicara dengan lantang:

"Saya tahu siapa yang membunuh...?! Saya tahu jelas!" Tentu saja semua mata beralih kepada Suro Bodong. Tangan Dandang Kober buru-buru mendekap mulut Suro Bodong dan berbisik.

"Jangan katakan apa-apa, tolol! Nanti kamu terlibat!"

Suro Bodong menarik tangan Dandang Kober yang mendekap mulutnya. Ia pun membantah:

"Aku memang tahu persis kok! Aku dari tadi belum tidur!"

"Iya, tapi mereka bisa mempersulit keadaanmu!"

Suro Bodong bersungut-sungut dalam gerutu tak jelas. Cocak Soga mendekat, berdiri di depan penjara dengan bertolak pinggang:

"Siapa yang melakukan kekejian itu, Suro?"

"Dayang... Dayang Kunti, Eyang." Suro menjawab dengan polos, apa adanya dan bersemangat, walaupun ia tetap menyebut 'eyang' kepada siapa saja yang dianggapnya orang pemerintahan.

"Keluarkan dia dari penjara, dan bawa ke mari!" perintah Adipati Anom Winingrat begitu mendengar Suro berteriak seperti tadi.

Suro Bodong segera dihadapkan kepada Adipati, dan ia justru bercerita berapi-api sebelum ditanya apa-apa.

"Perempuan itu, pasti Dayang Kunti, Eyang!" katanya kepada Adipati Anom Winingrat. "Saya melihat ia masuk ke taman dengan mengendap-endap, melewati tempat gelap. Kemudian menyusuri tepian rumah prajurit. Dan di sana ia sepertinya melemparkan atau menembakkan sesuatu yang membuat dua prajurit itu mati terjengkang tanpa permisi. Lalu... lalu saya lihat ia melintas ke tempat lain, melewati tempat yang terang. Di situlah saya ingat bahwa perempuan itu yang mengaku bernama Dayang Kunti. Mengaku kepada saya namanya itu. Tapi entah nama aslinya, jangan tanyakan kepada saya. Nah, setelah itu... saya melihat dia menyeret seseorang yang rupanya sudah enggan bernapas karena mati. Ia menggeletakkan ke tengah taman, lalu pergi. Perginya pakai melompat segala. Seperti seekor belalang. Dulu saya sering makan belalang dibakar, rasanya yah.. lumayanlah. Malahan...."

"Cukup!" bentak Gembong Wilwo dengan mata melotot.

Suro melantur dalam memberi laporan, sehingga tidak bisa diterima dengan meyakinkan. Masih ada kecurigaan terhadap diri Suro, terlebih Ki Ageng Bentaran mengatakan:

"Kau pun bisa membunuh orang dengan caramu sendiri, dan bisa menjadikan lawanmu mati hangus, bukan? Kau punya kesaktian yang bisa menghanguskan lawan, bukan?"

Suro Bodong tersipu-sipu malu.

"Ah, jangan menghina saya begitu. Nanti dikira saya benar-benar orang sakti lho..."

Ki Ageng dalam hati merasa heran melihat sikap Suro yang mirip orang bego itu. Namun, selintas dalam benaknya ia mempunyai kesimpulan sendiri:

"Apakah kematian mereka bukan karena kesaktianmu?" kata Ki Ageng Bentaran. "Apakah kau tidak bisa berlagak bodoh, berpura-pura gila, namun sebenarnya kau menyimpan rencana untuk membantai kami?"

Adipati dan Gembong Wilwo mulai tertarik dengan kesimpulan Ki Ageng. Terlebih Kebo Botak yang dengan cepat menendang punggung Suro keras-keras sambil mencaci tak karuan.

"Dia patut dicurigai! Setiap ada kejadian mati hangus, dia selalu tampil seakan menjadikan dirinya sebagai saksi. Padahal itulah caranya menutupi kelakuannya!" kata Kebo Botak.

3

Rupanya sebelum Dayang Kunti melancarkan aksi pembunuhannya kepada ketiga orang termasuk Waduk Kumis itu, ia telah lebih dulu melakukan sesuatu. Ia menempelkan sebuah surat di pintu kamar pribadi Adipati yang berisikan kata:

Kalau ingin tentaramu utuh, hadapilah aku. Hanya Anom Winingrat yang bisa menyelamatkan prajurit-prajuritnya. Pertarungan kita di puncak Bukit Sekarat. Kutunggu tiga hari sejak terbacanya surat tantangan ini.

Salam Kematian

Surat itulah yang boleh dikata sebagai Sang Penyelamat diri Suro Bodong dari tuduhan pembunuhan. Cocak Soga yang pertama kali berkata:

"Ini tulisan perempuan. Bukan tulisan tangan lelaki!"

"Lalu, apa hubungannya Dayang Kunti dengan Suro Bodong?" tanya Gembong Wilwo.

"Kurasa tidak ada."

"Kalau tidak ada kenapa Suro Bodong berlagak gila?"

"Aku tidak tahu; apakah itu kebodohan dan gila yang dibuat-buat atau memang Suro Bodong benar-benar sinting karena kebanyakan ilmu," jawab Cocak Soga yang membuat Gembong Wilwo termenung beberapa saat.

Sementara itu, Adipati sedang sibuk dalam ketegangan bersama Ki Ageng Bentaran dan keempat selirnya. Dari keempat selir Adipati Anom itu, tidak satu pun yang setuju jika sang Adipati menuruti tantangan Dayang Kunti.

"Biar saya saja yang maju melawannya," ujar Ki Ageng Bentaran. "Kanjeng Adipati tidak perlu turun tangan untuk mengurus nyamuk sekecil Dayang Kunti."

"Tapi ia akan mengamuk jika aku tidak hadir di Bukit Sekarat itu, dan prajuritku akan habis binasa oleh kekejamannya."

"Sebenarnya apa kemauan Dayang Kunti itu?" tanya selir pertama yang bukan permaisuri.

"Kalau dia mau harta, berikan saja Kanda," sambung selir kedua. Selir ketiga diam dalam kesedihan. Dia tidak ikut buka suara. Tetapi, selir keempat berkata:

"Kerahkan saja semua jagoan di sini supaya Dayang Kunti bisa cepat-cepat mati, dan tidak bangkit-bangkit lagi."

Semua kata-kata mereka tidak ditanggapi oleh Adipati Anom. Ia menerawang membayangkan Dayang Kunti dan kekuatannya. Giginya kelihatan menggeletuk menahan kemarahan. Ia merasa malu jika tidak berani berhadapan dengan Dayang Kunti. Apa kata para punggawa negeri jika mereka tahu bahwa Adipati dalam ketakutan menghadapi tantangan Dayang Kunti.

"Aku harus datang ke puncak Bukit Sekarat," ujarnya meneguhkan hati.

"Menurut saya, jangan!" sahut Ki Ageng yang berambut putih namun tidak panjang. Berkumis dan berjenggot, tapi juga tidak panjang. Jubah birunya dikibaskan ketika ia melangkah, lalu berbalik kembali menghadap Adipati.

"Kita belum pernah mencoba memanfaatkan Suro Bodong."

Adipati terpana sejenak, seakan baru ingat sesuatu, atau mempertimbangkan usul Ki Ageng Bentaran. Lalu, beberapa saat kemudian ia baru berkata:

"Apakah Suro Bodong bisa diandalkan? Dan apakah dia mau menghadapi Dayang Kunti?"

Selir keempat memberanikan diri ikut campur:

"Suro Bodong gila! Apakah ia bisa melawan Dayang Kunti?"

"Bisa atau tidak, itu urusan dia," jawab Ki Ageng. "Berani atau tidak, tapi dialah umpan terbaik untuk memancing kelengahan Dayang Kunti. Nanti, aku yang akan menyerang Dayang Kunti. Aku bersama Gembong Wilwo yang akan membunuh Dayang Kunti, Kanjeng! Percayalah kepada kami!"

Ketika hal itu dibicarakan kepada para pejabat yang bersangkutan, Cocak Soga adalah orang yang tidak setuju dengan gagasan tersebut.

"Dayang Kunti tidak akan mau melayani Suro Bodong. Yang dikehendaki hanyalah Kanjeng Adipati."

Adipati Anom Winingrat tertegun sejenak, lalu berkata bagai sebuah gerutu:

"Sampai sekarang kau dan anak buahmu mengapa belum bisa menyelidiki tempat persembunyian Dayang Kunti, Cocak?"

"Bukankah Kanjeng Adipati sendiri yang memerintahkan kami untuk berhenti menyelidiki persembunyian Dayang Kunti, karena Dayang Kunti terlalu berbahaya dan telah menewaskan dua anak buah saya?"

"O, ya, ya..." Adipati manggut-manggut.

"Sebaiknya kita bujuk Suro Bodong sekarang juga. Kita persiapkan segala sesuatunya!" sela Ki Ageng Bentaran.

Tak ada pilihan lain untuk sementara ini. Adipati memerintahkan prajurit untuk membawa Suro Bodong kepadanya. Sementara itu, Adipati Anom masih gelisah dan bimbang dengan rencana Ki Ageng Bentaran. Apalagi Cocak Soga berkata dengan nada ketus:

"Kurasa Dayang Kunti bukan orang bodoh, ia ingin berhadapan dengan Adipati Damardita, bukan dengan Suro Bodong. Dan usaha ini akan menjadi sia-sia belaka."

"Kau tidak tahu rencanaku, Cocak Soga. Sebaiknya kau jangan mempersulit keadaan ini."

"Rencana apa sebenarnya yang ingin kau jalankan, Ki Ageng?"

"Mengangkat Suro Bodong menjadi Adipati!"

"Hahh...?!" semua para peserta sidang terperanjat kaget, seperti ada petir bertengger di telinga mereka. Adipati Anom Winingrat sempat berdiri dengan wajah tegang.

"Apa maksudmu?!"

Ki Ageng tetap tenang dan menjelaskan maksudnya sebelum Suro Bodong menghadap.

"Dengan berpura-pura mengangkat Suro Bodong menjadi Adipati di sini, maka perhatian Dayang Kunti akan berpaling: Suro Bodong yang menjadi sasaran utama, karena menurut anggapannya, Suro Bodong Adipati di Kadipaten Damardita ini! Sementara itu, kita bisa memukul Dayang Kunti dari belakang. Selesai itu, Suro kembali jadi tawanan. Itu pun kalau dia masih hidup. Atau... kita lepaskan, atau kita piara untuk dijadikan orang kita, dan... tinggal melihat bagaimana nanti akhir pertempurannya dengan Dayang Kunti."

"Kalau sampai Suro Bodong mati?!" Gembong Wilwo ikut bicara dengan serius.

"Kalau Suro Bodong mati, kabarkan kepada Kesultanan Praja. Maka orang-orang Kesultanan Praja yang akan bertindak memburu Dayang Kunti. Kita tinggal menunggu hasilnya saja,"

kilah Ki Ageng Bentaran. Dan hal itu ternyala membuat mereka manggut-manggut, seakan menyetujui rencana licik Ki Ageng Bentaran.

Waktu Suro Bodong menghadap, Adipati segera berkata:

"Suro Bodong, bersihkan badanmu, dan makanlah yang banyak supaya badanmu menjadi sehat, segar bugar."

"Ah, jangan sembrono, Eyang..." ujar Suro Bodong yang masih menampakkan betul kebodohannya. Ia menyeringai dengan garuk-garuk kumis dan menengok ke kanan-kiri, di mana para punggawa negeri lainnya memperhatikan dia.

"Lakukanlah hal itu dengan segera, Suro," kata Ki Ageng Bentaran.

"Kenapa aku disuruh mandi, Eyang? Kenapa aku juga disuruh makan yang banyak, Eyang? Bukankah makan dan mandi itu hanya pekerjaan seorang raja?"

"Benar." Adipati menyahut. "Dan kau akan kuangkat menjadi Adipati di sini, menggantikan aku."

"Apa...?! Aku mau dijadikan Adipati? Menggantikan Eyang Dalem?" seraya Suro Bodong tangannya menuding Adipati Anom dan mukanya membelalak dan menyeringai lucu.

"Apa kau tidak bersedia, Suro?" pancing Gembong Wilwo.

"Siapa bilang?" Suro mulai menampakkan keangkuhan begonya. "Aku bersedia. Bersedia sekali. Asal... jangan lupa makanan yang dari kemarin ingin kuperoleh harus tersedia."

"Makanan apa?"

"Jagung bakar, he, he, he...!" Suro Bodong terkekeh dengan tangan menari-nari. "Kalau ada jagung bakar, saya mau menjadi Adipati. Tapi kalau tidak ada, ooh... jangan harap saya mau jadi Adipati. Jadi Suro Bodong pun saya malas... he, he, he...! Dung, dung plak... dung, dung, plak... jagung bakar bukan rujak..." Suro menandak sendiri.

Memang berita itu cukup mengejutkan rakyat Kadipaten. Berita Suro Bodong diangkat menjadi Adipati mengakibatkan kehebohan yang selalu bergema sepanjang hari. Dan justru kehebohan ini yang diharapkan oleh Ki Ageng Bentaran, yang tergolong orang ahli dalam strategi perang licik-licikan. Hampir setiap mulut mengatakan, "Orang gila kok malah dijadikan Adipati. Apa tidak keder itu orang-orang atas?" Adipati Anom Winingrat sendiri sempat malu dan gelisah menghadapi gemuruh massa. Tetapi, Ki Ageng selalu menenangkan Adipati Anom, dengan memerintahkan agar punggawa negeri tetap menghormat dan menjunjung tinggi segala perintah Adipati Anom. Sedangkan Suro Bodong, sekali pun sudah diangkat menjadi Adipati, ia hanya didudukkan sebagai boneka pajangan di singgasana. Memang Suro mengenakan pakaian kebesaran seorang Adipati, tetapi ia sama sekali tidak dihormati oleh punggawa negeri. Bahkan Kebo Botak pernah merasa kesal dengan Suro, dan menampar Suro yang tengah duduk di singgasana.

Suro hanya cemberut dan merasa takut seraya berkata,

"Adipati kok ditampar-tampar sama anak buahnya. Seharusnya disanjung-sanjung dan disembah, kan? Ini malah ditampar dan dibentak-bentak. Uuuh... Adipati cap apa aku ini?!"

Tiba pada hari ketiga sejak ditemukannya surat tantangan Dayang Kunti, Suro Bodong dibawa pergi ke Bukit Sekarat. Umumnya seorang Adipati pergi dengan digotong memakai tandu atau dinaikkan kuda berpayung. Tapi, Suro Bodong pergi dengan berjalan kaki, sementara Panglima Gembong, kepala mata-mata dan beberapa orang penting lainnya justru mengendarai kuda. Suro hanya berpakaian seorang Adipati dengan didampingi beberapa pengawalnya yang sesekali ada yang membentak-bentak Suro supaya mempercepat jalannya.

"Untuk apa aku di bawa-bawa ke Bukit Sekarat ini lagi? Apa sebagai Adipati aku masih disuruh menggali kuburan?"

Ki Ageng Bentaran turun dari punggung kuda ketika mereka sampai di kaki bukit, dan berkata kepada Suro Bodong:

"Ada yang ingin bertemu dengan Adipati. Dia adalah teman lama. Teman urusan dagang yang akan memberikan uang banyak. Kuminta Adipati menunggu di puncak Bukit."

Dasar bego bin tolol, Suro Bodong kegirangan mendengar ada yang ingin menyerahkan uang dalam jumlah banyak. Ia bahkan berkata kepada yang lainnya:

"Kalau begitu, biar aku naik ke atas bukit ini sendirian. Jangan ada yang turun ke sana, karena ini urusan orang orang penting. Mengerti?"

"Silahkan...!"jawab Ki Ageng Bentaran dengan senyum sinis yang tipis.

Sementara Suro Bodong berdiri di atas bukit yang tidak begitu tinggi itu, yang lainnya bersembunyi di tempat-tempat tertentu dengan senjata siap di tangan mereka. Ada pasukan pemanah yang sudah dipersiapkan di beberapa tempat yang dapat membidik langsung jika Dayang Kunti muncul. Mereka bersiaga dengan hati berdebar-debar.

Dari pagi, sampai siang, mereka menunggu dengan tak sabar. Bahkan nyaris membuat mereka putus asa. Suro Bodong sendiri sebentar-sebentar turun, menjumpai salah satu dari mereka dengan alasan macam-macam. Sesekali menggerutu dan bosan menunggu, sesekali turun minta minum. Sesekali turun minta payung agar tubuhnya tidak disengat matahari siang. Tetapi, semuanya hanya menghasilkan bentakan saja bagi Suro Bodong.

Mereka tak bersikap ramah kepada 'Adipati' yang baru. Dan Sang Adipati Baru pun serba ketakutan. Mau tidak mau dia harus menurut kepada 'bawahannya' yang semua dipanggilnya: Eyang itu.

Menjelang sore, di mana matahari mulai bergeser ke arah Barat. Suro Bodong dikejutkan dengan teriakan seseorang yang bersembunyi di balik semak di bawah pohon. Dia adalah seorang prajurit yang tiba-tiba menukik dengan dada terluka bolong.

Kemudian, disusul dengan pekikan prajurit bagian pemanah yang tempatnya berjauhan dengan prajurit yang dadanya bolong itu. Prajurit pemanah itu pun mengalami nasib serupa: lehernya bolong dari kanan tembus ke kiri, seolah-olah ditusuk dengan benda panjang yang tajam. Keadaan menjadi kacau balau, panik. Suro Bodong sendiri hanya tertegun di atas bukit memperhatikan kepanikan mereka. Gembong Wilwo berseru:

"Periksa daerah ini! Serang dia jika menampakkan diri!"

Suro menggumam sendiri, "Uang belum kuterima, sudah ada yang bermaksud merampok uangku. Hem... perampok itu pasti belum tahu kalau aku punya banyak pasukan galak-galak. Aku sendiri saja dibentak-bentak, apalagi perampok itu?!"

Mata Suro Bodong terbelalak ketika ia melihat kelebatan seorang perempuan yang menyambar Gembong Wilwo dari atas pohon. Perempuan itulah yang kemarin lusa, tiga hari yang lalu dilihat oleh Suro sebagai pembunuh ketiga prajurit Kadipaten termasuk Waduk Kumis. Suro sendiri berteriak dari atas bukit:

"Itu dia...! Itu dia orang yang membunuh tiga hari kemarin...! Dayang Kunti. Tangkap dia. Tangkap Dayang Kunti. Tangkap dan serahkan kepadaku, tapi hati-hati... jangan sampai dia menangis. Kasihan, kan...?!"

Tak satu pun ada yang menghiraukan seruan Suro Bodong. Mereka sibuk mengepung Dayang Kunti. Perempuan itu kelihatannya cukup tenang menghadapi Gembong Wilwo yang berbadan besar dan kekar. Ia tidak gentar sekalipun beberapa orang mengepungnya, membuat satu lingkaran pertarungan.

"Di mana Anom Winingrat yang keparat itu?! Aku ingin berhadapan dengannya!" gertak Dayang Kunti sambil mengibaskan rambutnya yang meriap ke depan. Ia berdiri dengan kaki sedikit direndahkan dan bambu hitam sebagai senjatanya siap ada di tangan kanan. Bambu hitam dan kecil itu kelihatannya sangat sederhana, namun Suro Bodong tahu bahwa bambu itulah dulu yang dipakai melukai kedua prajurit di depan asrama prajurit.

"Sebaiknya kau menyerah,Dayang Kunti!" Gembong mencoba menggertak. Dayang Kunti semakin melebarkan senyum.

"Suruh Adipatimu maju. Hanya dia yang kuinginkan!"

"Dia ada di atas bukit."

Dayang Kunti hanya tersenyum sinis sekali lagi. Lalu ia berkata sebelum menyerang, "Kuhancurkan kepalamu sebagai bukti tuntutanku...! Hiaaat...!"

Gembong Wilwo segera melompat tinggi ketika Dayang Kunti menyodokkan bambu sumpitannya ke arah perut Gembong Wilwo. Sambil melompat, kaki Gembong Wilwo menendang wajah Dayang Kunti. Namun, tangan kiri Dayang Kunti mengibas, membuat tendangan Gembong tertangkis. Segera Gembong bersalto sambil mencabut cambuknya. Begitu kaki mendarat di tanah, maka ia pun mengibaskan cambuk dengan cepat.

"Tarr...! Tarr...!"

Ganti Dayang Kunti yang berjumpalitan di udara menghindari lecutan cambuk Gembong yang selalu mengeluarkan api pada ujungnya jika dicambukkan. Dengan lincah dan gesit tubuh ramping berdada menantang itu meliukkan badan sewaktu melayang, kakinya menyepak ke belakang dan wajah Gembong Wilwo menjadi sasaran kaki itu.

"Aahh...!" Gembong Wilwo terjengkang dan jatuh terduduk dengan pandangan mata berkunang-kunang. Tendangan itu cukup berat dan memusingkan kepala. Sebelum Gembong Wilwo melanjutkan serangannya, Kebo Botak segera menyerang setelah berkata:

"Kurobek isi perutmu. Iblis. Heaaat...!!"

Lompatan Kebo Botak diiringi dengan meluncurnya pedang yang diarahkan ke Dayang Kunti. Tetapi, Dayang Kunti tidak mengelak, melainkan justru ikut melompat dalam keadaan tubuh melayang menyambut kehadiran Kebo Botak. Gaun biru mudanya berkelebat bagai selendang bidadari. Dayang Kunti segera bersalto saat tubuh mereka hampir bertabrakan. Gerakan salto membuat Dayang Kunti melejit ke atas, menjadi melayang di atas Kebo Botak.

Pada saat itu, pedang Kebo Botak tidak mengenai sasaran. Tertusuk ke tempat kosong di depannya. Namun, Dayang Kunti sempal memasukkan bambu kecilnya ke mulut dan "Pubbh...!"

Dari mulut itu keluar jarum hitam yang melesat melalui lobang bambu kecil. Jarum tersebut tepat mengenai ubun-ubun Kebo Botak yang polos tanpa rambut. "Jluub...!" Seakan jarum sebesar paku itu masuk ke batok kepala dengan empuknya. Kebo Botak memekik tertahan:

"Aaakhh...!"

Tubuh Dayang Kunti kembali mendarat ke tanah. Sebuah sinar hijau melesat dari tangan Ki Ageng Bentaran. Sinar hijau itu berbentuk seperti cakram atau piring bergerigi. Arahnya jelas ke tubuh Dayang Kunti. Tetapi, perempuan itu agaknya sangat waspada, sehingga dengan bergulingan ke tanah ia berhasil menghindari sinar hijau yang melesat dari telapak tangan Ki Ageng itu. Sinar tersebut lolos, dan menghantam prajurit lain yang sedang bersiaga dalam barisan mengepung. Kontan prajurit itu jebol dadanya. Bolong dengan keadaan yang sangat mengerikan. Ia rubuh tanpa sungkan-sungkan lagi, dan mati secara mengerikan.

Padahal, ketika itu orang sibuk memperhatikan tubuh Kebo Botak yang malas bergerak, dan mengeluarkan asap dari tubuhnya, ia terlentang tanpa memikirkan tempat kotor, ia bisu tanpa suara apa pun kecuali pekikan tertahan sewaktu ubun-ubunnya terkena senjata tajam yang keluar dari lobang sumpit. Lalu, tubuh Kebo Botak pun latah, mengikuti teman-temannya; menjadi hitam.

Hangus tanpa api. Dan ia pun sudah tentu enggan bernafas lagi. Mati. Baju dan celananya masih utuh, hanya tubuhnya yang mati hangus.

Merinding mereka memperhatikan hal itu dengan jelas. Sementara, Dayang Kunti melompat ke kiri, menghindari cambukan Gembong Wilwo yang berseru:

"Kuhancurkan tubuhmu yang mulus. Iblis Betina...?!! Heaaat!"

"Tar...! Tar...! Tarrr...! Tuaar...!" " Cambuk melecut kian ke mari bagai membabi buta. Nyala api selalu mengiringi setiap lecutan cambuk. Dayang Kunti bagai kepompong lincah yang melejit kian ke mari dengan gerakan salto dan lompatan yang ringan. Bahkan dalam keadaan melompat dan bersalto, ia sempat melancarkan serangannya dengan meniup bambu kecil itu cukup kuat. Dua jarum melesat dari ujung lobang bambu, keduanya terarah pada Ki Ageng Bentaran. Tetapi, lelaki tua itu gesit. Ia memiringkan kepala dan badan ke samping, dan kedua jarum itu molos, melewati atas pundaknya dengan cepat, lalu menancap pada batu hitam sebesar tubuh Suro yang ada di belakang Ki Ageng. Jarum itu dapat menancap pada batu yang keras dengan tancapan enak, empuk. Lalu, batu itulah yang jadi berasap dan mengeluarkan bau tak sedap. Semacam bau belerang.

Segera Dayang Kunti mengibaskan bambu kecilnya ke atas kepala ketika cambuk Gembong melesat persis ke arah wajahnya. Dayang Kunti merunduk dan mengibaskan bambunya ke atas dan cambuk Gembong pun membelit kuat bambu tersebut. Gembong bermaksud menarik bambu itu dalam satu hentakan supaya terlepas dari tangan Dayang Kunti. Sayang, tangan Dayang Kunti terlalu kokoh, kuat memegang bambunya. Mereka akhirnya saling tarik dengan otot menegang. Ki Ageng memanfaatkan keadaan itu untuk menyerang Dayang dengan pukulan Gledek Jagatnya yang memancarkan api berbentuk piringan bergerigi. Dayang segera melengkungkan badan, sehingga aji Gledek Jagad itu melesat dari tubuhnya, lalu menuju Gembong Wilwo.

Mata Gembong Wilwo terbelalak kaget. Ia buru-buru menghentakkan kaki, melompat ke atas menghindari sinar hijau muda itu. Pada saat tubuhnya melayang. Dayang Kunti segera menghentakkan bambunya yang masih dililit ujung cambuk.

"Ciaaat...! Hahh...!!"

Pekikan Dayang Kunti itu sungguh mengagetkan Gembong Wilwo, sebab pada saat itu Gembong menjadi terkejut dengan mata bertambah membelalak. Cambuk di tangan Gembong tersentak dan terlepas dari genggamannya sambil Gembong tersentak ke depan. Kini, dengan gerakan tangkas Dayang Kunti menangkap gagang cambuk itu sambil bergulingan di udara beberapa kali. Karena pada saat itulah, Ki Ageng Bentaran menyerangnya dengan sebaris pukulan tenaga dalam atau ilmu Gledek Jagad secara beberapa kali.

"Kali ini kau modar, Setan Perempuan...!!" seru Ki Ageng Bentaran. Namun, ia sendiri akhirnya kebingungan, sebab semua serangannya meleset karena kelincahan gerak Dayang Kunti. Di lain pihak, Gembong Wilwo semakin tegang dan kebingungan, karena setiap ia hendak bergerak ia selalu saja menerima sasaran akhir dari aji Gledek Jagadnya Ki Ageng. Ia pun ikut sibuk menghindar, sebab Dayang Kunti sengaja menempelkan posisi tubuhnya di depan Gembong Wilwo, supaya kalau aji Gledek Jagad meleset akan menghantam tubuh Gembong Wilwo tanpa Dayang Kunti harus melakukan pembunuhan kepada Gembong.

Rupanya Gembong tahu siasat Dayang Kunti sehingga ia berlari menjauh dan menjauh sehingga posisinya ada di samping Ki Ageng Bentaran.

Dayang Kunti tak mu diam. Ia berseru, "Mana Adipatimu?! Kala ia tak mau menghadapi aku, biarlah aku akan membantai semua warga Kadipaten Damarita ini! Hiaaat..." Seraya menyerang, Dayang Kunti melirik Suro Bodong yang masih menjadi penonton di atas bukit. Ia tahu, itu bukan Adipati yang menurut kabar yang didengarnya, kini Suro Bodong diangkat menjadi Adipati. Namun Dayang tidak peduli apakah Suro mau jadi Adipati apa jadi orang-orangan sawah, yang penting ia harus berhadapan dengan Adipati yang asli.

"Sekarang giliranmu menerima kembalian cambuk ini!" kata Dayang Kunti. "Hiaaah...!!"

Tak seorang pun mengira Dayang Kunti trampil memainkan jurus-jurus cambuk, bahkan rupanya ia lebih mahir ketimbang Gembong Wilwo. Dayang Kunti melecutkan cambuknya tiga kali ke sasaran Gembong Wilwo. Gerakannya begitu cepat sehingga tidak sempat terlihat mata.

Gembong Wilwo tersenyum, karena mengira Dayang Kunti tak becus melecutkan cambuk. Tak ada suara dan kibasan angin yang terasa. Tetapi, beberapa detik kemudian, setelah ujung cambuk jatuh di tanah, barulah terdengar suara letupan cambuk: "Tar... tar..tarr...!"

Gembong Wilwo terkejut, karena pada saat itu pun ia merasakan ada kibasan angin yang menghantam tubuhnya. Setiap satu letupan yang berbunyi, satu kibasan terasa hendak menyentuh perutnya. Gembong Wilwo menjadi kelabakan. Tetapi letupan yang kedua dan ketiga, terpaksa membuat Gembong Wilwo berteriak nyaring karena kakinya bagai disabet ujung cambuk yang menyala. Paha dan betis terlihat menganga.

"Aaaooww...! Bangsaaat...!!" Gembong Wilwo mengaduh sambil mencaci. Ia merasakan sakit yang amat menyerikan dan hampir-hampir tak tahan untuk bernafas.

Semua orang terbengong melihat jurus cambuk yang dimainkan Dayang Kunti. Kecepatan gerakannya melebihi kecepatan angin dan suara. Hal ini membuat Ki Ageng Bentaran jadi tertegun beberapa saat. Ia mulai menduga;

"Jangan-jangan dulu waktu aku bertarung melawannya, dia hanya mengeluarkan sebagian ilmunya dan berpura-pura mati? Wah, bisa runyam kalau begini keadaannya. Ah, tapi dia belum tahu kalau aku memiliki ilmu Barong Bangkai yang bisa membuatnya tak berkutik. Haruskah kukeluarkan sekarang?"

Selagi Ki Ageng Bentaran memikir-mikir, tahu-tahu cambuk itu melecut lagi, kali ini arahnya ke kepala Ki Ageng Bentaran. Suara letupan dan kibasan angin datang beberapa detik kemudian. Tetapi Ki Ageng sudah waspada, ia segera melompat ke tempat lain sebelum suara letupan berbunyi. Akhirnya, cambukan itu pun bagai tidak mengenai sasaran.

Pada saat itu, segera Ki Ageng mengirimkan pukulan andalannya, aji Gledek Jagad. Kedua telapak tangannya dihentakkan ke depan dan melesatlah dua sinar hijau muda yang menyerupai piring bergerigi berputar-putar. Dayang Kunti tidak menghindar, melainkan menyambutnya dengan dua lecutan cambuk, sehingga kedua sinar hijau itu membentur api lecutan cambuk sampai menimbulkan ledakan dua kali.

Bertepatan dengan bunyi ledakan yang kedua, seorang prajurit menyerang Dayang Kunti dari belakang.

"Aauuh...!!" tubuh Dayang Kunti tersentak ke depan dan jatuh tersungkur. Tapi, ia segera berguling dan mengibaskan cambuk kearah prajurit yang hendak menyerangnya lagi itu.

"Tarr...!"

Satu kali cambukan cukup membuat prajurit itu menjerit dengan sekeras-kerasnya lalu jatuh pingsan dalam keadaan kakinya terpotong satu. Lecutan cambuk telah membuat kaki orang itu terpotong dengan irisan tak teratur dan cukup mendirikan bulu roma yang melihatnya.

Suro Bodong di atas bukit hanya bergidik, seperti anak kemarin sore yang baru melihat hal mengerikan seperti itu. Tetapi mulutnya menjadi latah ketika Dayang Kunti hendak di bokong lagi oleh Gembong Wilwo. Saat itu, Gembong Wilwo menghunus pedangnya yang sejak tadi bertengger di pundak. Pedang itu hendak mengibas ke arah kepala Dayang Kunti dari belakang. Secara tak sadar mulut Suro Bodong berseru:

"Awaaas...!!"

Dayang Kunti segera berbalik, tepat ketika pedang berkelebat menebaskan dari atas ke bawah. Tanpa pikir panjang lagi Dayang Kunti menggerakkan tangan kanannya yang telah memegangi bambu kecil sebesar kelingking. Kemudian dengan bantuan tangan kirinya yang memegangi cambuk, bambu itu melintang di atas kepalanya dan menahan pedang Gembong dengan cukup kuat. Kaki Dayang Kunti segera menjejak dada Gembong, hingga Gembong pun terpental ke belakang. Jauh. Kesempatan itu digunakan Dayang Kunti untuk melesat, keluar dari kepungan, dan terus mendaki bukit sampai ke puncaknya dalam tempo singkat.

Suro Bodong terbelalak, karena ia telah berhadapan dengan Dayang Kunti. Ia gemetar tak dapat lari. Dayang Kunti segera menotok iga Suro, dan Suro pun jadi lemas. Lalu, dengan kuat ia mengangkat Suro membawanya pergi dari bukit.

4

Suro Bodong dibebaskan dari pengaruh totokan darah yang melemaskan tubuh. Mata Suro berkejap-kejap memandang bingung alam sekitarnya. Ternyata ia sudah berada di dalam sebuah goa. Dinding goa sangat kasar, banyak tonjolan-tonjolan batu yang berkelompok. Ada dua batang obor besar yang menerangi goa tersebut dengan posisi menempel pada dinding kanan kiri.

Sementara itu, di bagian tengah terdapat pula tempat perapian yang menyemburkan api ke atas dengan tenang. Tempat perapian itu berbentuk seperti mangkuk besar, atau penggorengan besar dalam keadaan terbuka ke atas, dan di sanalah api itu bagai ditampung dalam bentuk gumpalan-gumpalan batu. Agaknya batu bara yang menjadi bahan bakar api tersebut.

Mata Suro Bodong yang ketolol-tololan itu memandang sekeliling, lantai goa yang rata dan beberapa perabot batu yang berserakan di sana sini. Juga ada tempat lega yang berlantai dari tumpukan jerami kering. Diatur dengan rata, dan saling merekat satu dengan yang lain. Tumpukan jerami itu seperti tikar dibentangkan dan berwarna kusam, menandakan sudah lama dipakai entah untuk tidur, untuk duduk atau untuk diinjak-injak.

"Di mana aku...? Aku di mana...?" Suro Bodong merasa sendirian dan ketakutan. Ia clingak clinguk bagai orang yang tersesat di tengah hutan. Tapi beberapa saat kemudian, muncul seorang perempuan dari balik penyekat yang terbuat dari kayu-kayu pohon yang berjajar rapi, membentuk sebuah kamar khusus. Ada dua penyekat di sana, dan salah satunya berbentuk kamar dengan pintu kayu tersendiri. Perempuan bergelang kaki mendekati Suro Bodong.

Menyadari siapa yang mendekat. Suro Bodong semakin ketakutan, dan bahkan ia segera berlutut merendahkan diri. Ia tahu, perempuan itulah yang bernama Dayang Kunti. Ia teringat secara samar-samar kehebatan Dayang Kunti sewaktu bertarung melawan orang-orang Kadipaten Damardita. Suro menjadi ngeri dan ketakutan. Ia pun memohon-mohon:

"Jangan bunuh saya... oh, ampunilah Eyang... jangan bunuh saya..."

"Namamu Suro Bodong, bukan?" suara Dayang Kunti begitu bening dan berwibawa.

"Ya. Mungkin nama saya memang Suro Bodong, sebab beberapa orang memanggil saya Suro Bodong. Nama yang jelek. Tapi... tapi ampunilah saya. Saya tidak sengaja membikin nama itu. Jangan bunuh saya...."

"Kau tak perlu takut, Suro Bodong. Kau ada bersamaku."

"Bagaimana tidak takut, saya... saya... pernah melihat Eyang membunuh orang-orang Kadipaten dengan mudah. Padahal mereka berilmu semua. Sedangkan saya... saya ini tidak punya ilmu apa-apa kecuali persediaan ilmu tentang cara makan dengan benar. Ohh, maafkan saya... Eyang."

"Jangan panggil aku Eyang! Panggil aku Dayang. Namaku Dayang Kunti."

"Kata mereka memang begitu. Dayang Kunti nama Eyang, tapi... tapi saya tidak berani menyebut Kanjeng Eyang tanpa sebutan Eyang...."

Dayang Kunti tersenyum geli. "Kau harus berani, Suro. Kau punya keberanian yang sempat kutaklukkan dengan ilmu Jarum Kilatku."

"Apa saya punya keberanian seperti... Eyang Kunti?"

"Ya. Bahkan kau lebih perkasa sebenarnya. Aku tidak tahu kalau kaulah yang bernama Suro Bodong. Aku mengira, kau adalah jagoan yang dicari-cari oleh Adipati Anom untuk menangkapku. Ternyata aku salah duga. Kau seorang Senopati Kesultanan Praja yang cukup terkenal...."

Suro bingung sendiri dan memandang tubuhnya dengan terbengong-bengong. "Apanya yang terkenal? Hem... kumis saya?"

Nafas Dayang Kunti terhempas. Ia duduk di sebuah tempat tidur kayu yang beralaskan ilalang kering dengan dilapisi kain hitam. Suro Bodong masih berlutut di depannya.

"Kau sebenarnya seorang Senopati yang sangat digdaya. Kesaktianmu kondang di mana-mana. Semua tokoh persilatan mengenal siapa kamu, Suro Bodong. Hanya saja, beberapa waktu yang lalu kau lengah dan mampu terkena jarum kilat yang kusemburkan atau kutiupkan dari mulutku melalui bambu sumpit. Akibatnya, kau menjadi bodoh. Lupa dirimu, lupa pada kesaktianmu."

Suro Bodong kini duduk bersila, seperti mendengarkan ceramah seorang guru. Ia memandang kagum terhadap kecantikan Dayang Kunti yang mempunyai nilai keindahan tersendiri. Kulitnya hitam manis. Tidak terlalu hitam. Malah bisa dibilang: berkulit sawo matang. Namun justru kelentikan bulu matanya itulah yang memberi kesan cantik tersendiri. Apalagi bentuk wajahnya lonjong sedikit dengan tahi lalat di pinggir bibir, wow...! Mendebarkan juga wajah itu.

Kebengongan Suro Bodong disingkirkan, karena Dayang Kunti berkata lagi:

"Lain kali, berhati-hatilah dalam bertindak. Jarum Kilat merah itu sebenarnya sebuah lambang, bahwa orang yang lupa diri itu sangat berbahaya, dan bisa mencelakakan hidup kita."

"Untung saya tidak lupa diri. Buktinya ke mana-mana saya masih ingat membawa diri saya, tidak ketinggalan di suatu tempat," kata Suro Bodong dengan bangga, seakan ia bicara dengan benar.

Hal itu membuat Dayang Kunti tersenyum lagi.

"Sekarang, mendekatlah..." kata Dayang Kunti. Suro menjadi ragu. "Mendekatlah ke mari. Jangan takut, aku akan mengembalikan ingatanmu, supaya kau kembali perkasa dan tidak menjadi bulan-bulanan orang Kadipaten Damardita."

"Saya tidak akan dibunuh, kan?" tanya Suro dalam ketololan. Dayang Kunti tersenyum manis sambil menggeleng.

Kemudian, Suro Bodong bergeser duduknya pelan-pelan mendekati Dayang Kunti yang masih berada di tepian balai.

"Miringkan lehermu ke kiri," perintah Dayang Kunti.

Suro Bodong sangsi dan cemas.

"Mau diapakan leher saya, Eyang...? Nanti jangan-jangan Eyang Kunti mencabut pisau lalu leher saya diukir... saya tidak mau mati dengan leher diukir, Eyang."

Mengikik geli Dayang Kunti melihat ketololan Suro Bodong yang berwajah polos, seperti orang yang tidak punya pengetahuan sama sekali.

"Percayalah, aku tidak akan berbuat jahat apa pun kepadamu. Justru aku merasa bersalah karena menyerangmu tanpa dosa. Aku salah duga. Dan... sudah kujelaskan di depan tadi, kan? Maka, sekarang aku akan mengembalikan dirimu, supaya kau tidak menjadi tolol serta dungu seperti saat ini. Sebab, barang siapa tubuhnya ditembus Jarum Kilat merah, maka ia akan menjadi orang dungu seumur hidup. Tapi, jika terkena Jarum Kilat hitam, ia akan mati hangus. Nah, sekarang mari kubebaskan pengaruh jarum yang membuatmu dungu...."

"Ah, tidak perlu," kata Suro seraya mundur lagi. "Saya dari dulu memang tidak dungu kok. Hanya tidak tahu apa-apa saja kok."

Setelah melalui beberapa bujukan lembut dan akrab, Suro Bodong pun segera memberikan lehernya. Sambil bergidik merinding, Suro Bodong meringis-ringis ketika Dayang Kunti memeriksa leher Suro Bodong. Ia bagai sedang membuka-buka pori-pori Suro Bodong, mencari tempat masuknya Jarum Kilat merah yang menembus leher Suro Bodong ketika ditiupkan lewat bambu sumpit. Cukup lama juga hal itu dilakukan sehingga leher Suro beberapa kali mengkerut karena tak tahan keri.

"Nah, ini dia... sudah kutemukan tempat masuknya jarum itu," kata Dayang Kunti. Suro Bodong menghempas lega dan hendak pergi seraya berkata:

"Terima kasih... saya telah disembuh kan...."

"Hei, hei, mau ke mana? Aku belum melakukan penyembuhan, hanya menemukan tempat masuknya jarum merah saja."

"O, belum...? Saya kira sudah sembuh," kata Suro seraya kembali duduk dengan tenang, namun sesekali menahan geli hingga kulit tubuhnya menjadi merinding karena sentuhan jemari Dayang Kunti.

"Tahan rasa geli sedikit, ya...?" kata Dayang Kunti.

Kemudian, ia segera menempelkan kedua bibirnya ke leher Suro Bodong dan menyedot tempat masuknya jarum dengan hisapan lidah cukup kuat. Suro Bodong meringis-ringis dengan gerak-gerak tubuh yang kaku menahan rasa geli. Ia bergidik beberapa kali dengan mulut ternganga menyerukan tawa yang terkekeh tak beraturan. Dayang Kunti masih menyedot leher Suro Bodong untuk mengambil jarum merah yang terbuat dari gumpalan tenaga dalamnya.

Sedotan itu sempat membuat Suro Bodong terengah-engah. Ia merasakan ada bagian tubuhnya yang bergerak akibat sedotan bibir Dayang Kunti. Mata Suro terpejam-pejam dan mulutnya pun mendesis-desis. Pikirannya melayang-layang dan ia mulai terlena dalam amukan gairah di dalam dada. Ia mengeluh bercampur desis, tapi Dayang Kunti tidak peduli. Cukup lama juga Dayang Kunti menyedot leher Suro Bodong untuk mengambil jarumnya. Bahkan cara penyembuhan itu sempat membuat keringat Suro Bodong bercucuran di beberapa tempat. Ada bagian tertentu yang menjadi basah karena rasa syur tersebut. Terutama di bagian kening dan dada. Basah oleh keringat yang tak tahu diri.

Ketika Dayang Kunti melepaskan sedotannya, ia menjauhkan wajah dari leher Suro. Senyumnya mekar menertawakan Suro Bodong yang terengah-engah lemas. Rasa pusing masih menggerayangi kepala Suro Bodong perlahan-lahan.

Rasa syur hilang sedikit demi sedikit.

"Jarum itu telah berhasil kusedot dan kembali pada dirimu, Suro...."

Tiba-tiba mata Suro Bodong terbuka, ia terkejut menyadari keadaannya. Ia clingak clinguk lagi dengan tegang, dan buru-buru berdiri.

"Kenapa aku berada di sini?! Dan... dan kau siapa?' tanyanya kebingungan. Dayang Kunti tenang, sebab ia sudah tahu kalau Suro Bodong akan mengalami kekagetan seperti itu. Lalu, dengan sabar dan penuh keramahan. Dayang Kunti menceritakan apa yang dialami Suro Bodong selama ini.

Dengan memejamkan mata, Suro Bodong mengingat-ingat kembali apa yang telah diceritakan Dayang Kunti. Sedikit demi sedikit ia terbayang saat disuruh menggali kuburan, saat ditendang dan dicambuk, saat dipenjara, saat disuruh menjadi Adipati... semuanya teringat dalam kesamar-samaran. Tetapi, kemudian Suro Bodong mengangguk-angguk sendiri, seakan telah paham dengan apa yang pernah di alaminya selama ini.

Ia terbaring di balai kayu sambil merenungkan nama-nama dan wajah-wajah orang Kadipaten Damardita. Ia mencoba mengingat-ingat suara-suara dan percakapan mereka. Itu lebih susah, dari pada mengingat kejadian. Beberapa saat lamanya ia termenung sambil terbaring, akhirnya ia temukan juga beberapa perkataan dan pembicaraan mereka yang pada dasarnya ingin membunuh Dayang Kunti. Suro Bodong tak sempat berpikir lebih lanjut lagi, karena kelelahan tubuhnya telah menyeretnya ke dunia mimpi yang indah. Ia tertidur dengan nyenyak, sementara Dayang Kunti sudah sejak tadi masuk ke kamar berpintu.

Ketika pagi menongolkan bias fajar, Suro Bodong sudah terbangun. Tapi ia masih enggan turun dari pembaringan. Ia masih teringat siksaan dan cercaan yang dilakukan orang-orang Kadipaten Damardita. Ia menggeram teringat Gembong Wilwo mencambuk tubuhnya saat ia dipaksa menggali sebuah makam. Semakin geram Suro Bodong ketika ia terngiang kata-kata Ki Ageng Bentaran yang menuduhnya sebagai orang gila, yang punya maksud licik. Ia juga terbayang kenyerian tendangan Kebo Botak, tamparan Cocak Soga yang bagai seorang pembunuh berdarah dingin. Ia juga terbayang keangkuhan Adipati Anom Winingrat yang dengan seenaknya ingin mengumpankan Suro sebagai pancingan atas kemunculan Dayang Kunti. Tetapi ia juga ingat pertemuannya dengan Dandang Kober di dalam kamar penjara.

Suro Bodong terkejut ketika mendengar suara letupan beberapa kali dari arah luar gua. Dahinya berkerut dan telinganya menyimak tajam-tajam. Suara letupan cambuk. Dalam hati Suro menduga; jangan-jangan orang Kadipaten telah menemukan tempat persembunyian Dayang Kunti ini? Maka, segera Suro Bodong, bergegas keluar goa.

O, ternyata di luar goa ada seorang perempuan berkulit sawo matang sedang berlatih jurus-jurus cambuk. Dayang Kunti berdiri dengan kaki renggang, badan sedikit miring ke kanan, dan tangannya mengayunkan cambuk ke sebuah pohon berukuran sebesar paha. Cambuk diayunkan dan pohon itu pun tumbang terkena lecutan cambuk. Suro tahu, pasti tenaga dalam Dayang Kunti yang disalurkan melalui kibasan cambuk itulah yang membuat robohnya pohon. Diam-diam Suro Bodong menyimak latihan Dayang Kunti sambil dalam benaknya berpikir: mengapa Dayang Kunti ingin bertarung satu lawan satu dengan Adipati Anom Winingrat. Dendam apa yang membuat perempuan itu nekad membunuh beberapa prajurit, bahkan seingat Suro, orang yang bernama Waduk Kumis dan Kebo Botak telah mati hangus di tangan Dayang Kunti. Tetapi, agaknya yang menjadi sasaran utama adalah Adipati Anom Winingrat. Mengapa harus dia? Mungkinkah karena Anom Winingrat seorang Adipati sehingga Dayang Kunti ingin menguasai Kadipaten dengan cara membunuh Adipatinya? Ah, tapi ketika ada kabar yang sengaja digembar gemborkan bahwa Suro Bodong diangkat menjadi Adipati Damardita, tak ada niat untuk menbunuh Suro. Dayang Kunti malahan membawa Suro ke goa tempat persembunyiannya itu.

Sejenak Suro melupakan tentang itu, karena kali ini ia melihat Dayang Kunti memainkan jurus cambuk yang manis. Kakinya bersilang pada mata kaki dengan posisi berdiri dengan ujung kaki. Berjingkat ia meliukkan badan ke samping, kedua tangannya merentang, dan tangan yang memegangi ujung cambuk ikut menari, sementara tangan yang memegangi gagang cambuk tetap diam. Lalu, dengan hentakan ujung cambuk itu dilecutkan. Suaranya tak ada, lalu ujung cambuk dipegang lagi. Sesaat kemudian terdengar suara cambuk: "Taar...!" Dan sebatang pohon ukuran sedang, roboh hampir saja menimpa Dayang Kunti sendiri.

Segera Dayang Kunti melesat dengan bersalto ke belakang. Sikapnya bagai ketakutan kejatuhan pohon. Dan hal itu membuat Suro Bodong terkekeh-kekeh geli. Dayang Kunti jadi tersenyum malu setelah menyadari Suro Bodong memperhatikannya dari tadi.

"Kau membuatku malu saja," kata Dayang Kunti ketika Suro Bodong mendekat.

"Cukup mengagumkan juga permainan cambukmu," Suro sengaja memujinya. Dayang Kunti semakin tersipu, karena ia tahu siapa Suro Bodong sebenarnya: tokoh persilatan yang cukup kesohor dengan Pedang Urat Petirnya.

Tapi..." kata Dayang, "... mungkin belum seberapa dibandingkan dengan jurus-jurus Pedang Urat Petirmu."

"Hai, kau mengenal pusakaku juga rupanya?"

"Siapa orang yang tidak mengenal pusaka yang amat menakjubkan itu? Hanya orang bodoh dan masyarakat awam saja yang tidak bisa memahami apa itu Pedang Urat Petir."

Suro Bodong garuk-garuk kumis. Pandangan matanya terlempar jauh, pada pepohonan yang bagai menutup adanya goa di situ. Lalu, mulutnya berkata dengan tanpa memandang Dayang Kunti:

"Tempat yang sangat cocok untuk memperdalam ilmu. Sudah berapa lama kau berada di sini?"

"Lebih dari dua puluh tahun. Usiaku sendiri sudah..."

"Dua puluh tujuh ?" tebak Suro Bodong.

Dayang Kunti tersenyum, "Terlalu muda untuk usia perempuan seperti aku."

"O, jadi... usiamu sudah mencapai 40 tahun?"

"Terlalu tua untuk perempuan seperti aku."

"Memang terlalu tua. Tapi biasanya yang tua itu banyak santannya," kata Suro Bodong tanpa tersenyum, melainkan hanya garuk-garuk kumisnya yang tebal. Sementara itu, Dayang Kunti masih menyunggingkan senyum yang sempat membuat Suro Bodong berdesir-desir.

"Sejak usia sepuluh tahun aku berada di sini bersama guruku: Dewa Bongkok."

Suro Bodong terperanjat sedikit, dan menatap Dayang Kunti. Ia merasa heran mendengar nama Dewa Bongkok.

"Aku kenal dengan Dewa Bongkok. Aku pernah bertemu dengannya, tapi di mana dan kapan, aku tidak ingat. Jadi... kau murid Dewa Bongkok, orang sakti yang suka jadi pengemis itu?"

"Benar," jawab Dayang Kunti dengan rasa bangga terhadap kemasyhuran gurunya yang sudah almarhum itu.

Suro Bodong manggut-manggut. Dayang Kunti memainkan jurus cambuknya sekali lagi, karena ia masih berkeinginan mempermainkan jurus itu. Ia bersalto sambil berteriak, dan cambuknya mengibas cepat di depan kaki Suro, tepat melewati atas rumput tebal. Ketika Dayang Kunti mendaratkan kakinya dengan sempurna, rumput itu menjadi gundul seketika, dan berasap karena terbakar.

"Hebat...! Sungguh jurus yang manis dan hebat!" kata Suro sambil bertepuk tangan. "Kau ada bakat jadi kusir delman, he,he,he...!"

"Iih...!" Dayang Kunti cemberut di sela senyum gelinya.

Kemudian Suro Bodong melompat dengan gerakan cepat. Ia menerjang Dayang Kunti, sementara Dayang Kunti bersalto dalam satu lompatan yang tinggi. Ia mengungguli lompatan Suro Bodong yang tidak bersalto. Tetapi ketika ia mendaratkan kakinya, perempuan itu jadi terbengong karena cambuk sudah tidak ada ditangannya.

"Cepat sekali kau mengambil cambukku?!" Dayang Kunti tertawa bangga.

Suro Bodong tersenyum tipis dan garuk-garuk kumisnya seraya memperlihatkan cambuk yang sudah beralih ke tangannya.

"Aku ingin mencoba permainan cambuk seperti yang kau mainkan tadi," kata Suro Bodong.

"Silahkan...! Hati-hati pada tekanan di ujung cambuk dan perhatikan pula hentakannya. Jangan terlalu berlebihan. Cukup sedikit hentakan tapi dibarengi hawa panas yang tersalur lewat ujung jari." Dayang Kunti menjelaskan, Suro Bodong hanya manggut-manggut.

Kemudian ia memainkan jurus cambuk di tangan memutar-mutarkan cambuk itu di atas kepalanya. Tepat pada putaran ketujuh, cambuk itu di lecutkan ke arah sebuah pohon besar.

"Taar...!"

Letupan itu terdengar bersamaan melecutnya cambuk. Jadi, tidak seperti Dayang Kunti yang mampu melecutkan cambuk dengan suara menyusul. Melihat hal itu, Dayang Kunti tertawa geli.

Suro Bodong memandang pohon besar yang tadi dicambuknya. Pohon itu tetap berdiri kokoh, tak ada yang lecet bagian kulitnya. Dayang Kunti mendekati Suro Bodong sambil menertawakan dengan suara yang enak di dengar.

"Hentakanmu terlalu kuat, Suro. Menggunakan jurus Cambuk Gegana tidak boleh menggunakan gerakan kuat. Pelan saja. Coba, sini kuberi contoh...."

Dayang Kunti memegang gagang cambuk, Suro Bodong memperhatikan dengan tenang, seakan sangat tekun mengikuti petunjuk Dayang Kunti.

"Gerakan lengan dan siku tidak perlu sampai di belakang telinga. Cukup pergelangan tangan saja yang menghentak, diiringi penyaluran hawa panas dari jari jemari kita yang menggenggam cambuk. Perhatikan ini, nah... begini." Pergelangan tangan Dayang Kunti menekuk ke belakang, sementara jari-jemarinya menggenggam cambuk. Namun, mendadak Dayang Kunti tak jadi bicara lagi ketika ia berkata:

"Kalau posisi..."

Sampai di situ ia bungkam, namun segera terperangah memandang daun-daun pohon besar yang rindang itu kini berguguran. Pohon yang tadi dicambuk Suro Bodong menampakkan perubahan. Selain daunnya yang kecil-kecil itu semakin berguguran, ranting-rantingnya pun mulai mengering dan juga berjatuhan. Untung mereka tidak berdiri tepat di bawah pohon tersebut.

"Gila...!" gumam Dayang Kunti ketika mengetahui bahwa pohon itu sudah tidak mempunyai daun lagi selembar pun. Semua daun gugur dan menjadi kering. Kini tinggal dahan dan ranting-rantingnya yang menyusul kering lalu berjatuhan. Pohon yang dicambuk Suro Bodong menjadi gundul. Plontos. Tanpa daun, tanpa ranting. Tinggal beberapa dahan kecil seukuran betis dan dahan besar lainnya. Tetapi, mulut Dayang Kunti semakin terperangah lagi, karena dahan kecil itu kini juga kering dan berjatuhan dengan ringan. Akhirnya batang pohon yang besar itu menjadi kering, lalu keropos. Badan pohon dihempas angin tipis berguguran seperti menjadi bubuk halus. Lama-lama batang pohon besar itu pun roboh tanpa suara, karena sebelum menyentuh tanah batang pohon itu sudah hancur menjadi serbuk halus.

Dayang Kunti benar-benar tercengang, kemudian memandang Suro Bodong yang tenang-tenang saja. Sesekali Suro menggaruk kumisnya seraya memperhatikan tempat lain. Dayang Kunti merasa malu. Terkecoh oleh kesaktian Suro Bodong yang ternyata lebih unggul dari pada jurus Cambuk Gegananya. Maka, dengan menggumam Dayang Kunti pun berkata:

"Tak ada lagi kesaktianmu yang mampu mengecohku?"

Suro Bodong seperti orang tak berdosa, tenang. Bahkan berkata:

"Jadi bagaimana mengenai pergelangan tangan tadi...?"

"Uuuh...!" Dayang Kunti cemberut. Pura-puranya sewot.

Cambuk dibuang ke tanah, dan ia pergi menuju goa.

"Dayang Kunti...! Aku suka jurus Cambuk Geganamu!" seru Suro Bodong. Tapi Dayang Kunti tidak menyahut. Lalu, Suro Bodong memungut cambuk itu dan mengejar Dayang Kunti masuk ke dalam goa.

Cepat sekali waktu merayap menjadi sore. Suro Bodong dan Dayang Kunti membakar jagung yang diperolehnya dari sebuah ladang, jauh dari goa tersebut. Sambil membakar jagung kesukaan Suro, Dayang Kunti berkata:

"Nanti malam aku akan kembali ke Kadipaten Damardita."

"Mengapa cari penyakit di sana?" pancing Suro Bodong sambil mengunyah jagung bakai yang sudah matang.

"Aku harus berhadapan dengan Adipati Anom Winingrat!"

Suro Bodong menangkap gelagat dendam di hati Dayang Kunti. Sambil santai, sebentar-sebentar garuk-garuk kumis, Suro bertanya dengan polos.

"Kau menyimpan dendam apa dengan Adipati itu? Kelihatannya cukup sengit."

"Kau belum tahu, siapa dia!" Dayang Kunti cemberut.

"Kalau kau mau menceritakan siapa dia, aku pasti akan tahu siapa dia. Betul, kan?" Suro menanggapinya dengan santai, supaya Dayang Kunti tidak terbakar hatinya oleh dendamnya sendiri.

"Kau harus tahu siapa aku lebih dulu, baru kau tahu siapa Adipati Anom itu."

"Aku mengharapkan kau menceritakan siapa kamu." Suro duduk bergeser lebih mendekati Dayang Kunti. Lalu ia setengah berbisik berkata:

"Ceritakanlah, siapa kamu. Barangkali aku bisa membantu kesulitanmu."

Setelah beberapa saat Dayang Kunti terbungkam, ia berkata sambil mengangkat jagung-jagung yang sudah hampir hangus.

"Namaku sebenarnya bukan Dayang Kunti...."

"Lalu, siapa? Juminem, Ngatinah atau... Sarmijem?"

Dayang Kunti tidak tertarik untuk menertawakan kelakar Suro Bodong. Ia semakin dongkol, namun segera berkata:

"Aku putri seorang sultan...."

Suro Bodong menampakkan rasa kagetnya sungguh-sungguh. Ia memandang Dayang Kunti dengan dahi berkerut.

"Kau boleh percaya boleh tidak, aku memang putri seorang raja. Ayahku bernama Sultan Yodyagama, raja dari Pakuwon."

Dayang Kunti diam sejenak. Suro Bodong serius, baru Dayang Kunti melanjutkan ceritanya:

"Namaku sebenarnya adalah: Anggraeni. Aku anak bungsu. Pada saat sebelum aku lahir, ayahku mengambil anak angkat yang bernama Temon. Beberapa tahun kemudian, kakakku lahir dan diberi nama Raden Mas Pambayun. Lalu, lahir lagi kakak kedua yang di beri nama R.M Arya Ginan. Dan, yang terakhir adalah aku sendiri: Anggraeni. Setelah kami dewasa, rupanya timbul keserakahan dari Temon, si Anak Angkat. Kami bertiga diberi warisan tanah yang amat luas dan bernama Tanah Damar Ombo. Saat itu, ayah tidak menceritakan soal warisan untuk Temon. Maka, secara diam-diam dan dengan dibantu oleh Ki Penegak, penasehat perang ayahku, Temon menjalankan keserakahannya. Dengan cara halus yang rapi kedua kakakku mati satu persatu. Kemudian, Temon juga menyingkirkan aku, sebab dengan matinya semua anak-anak ayahku, maka tanah Damar Ombo akan diwariskan kepadanya. Waktu itu, seorang prajurit yang sudah bersekongkol dengannya mengawalku belajar memanah di hutan. Pada saat sebelumnya aku mendengar Temon memberi perintah kepada prajurit itu untuk membunuhku di hutan, lalu menceburkan tubuhku ke jurang. Tetapi, ketika kami berdua di hutan, aku segera memisahkan diri dari prajurit itu. Aku, yang masih berusia 10 tahun, segera melarikan diri ke mana saja, sampai akhirnya aku bertemu dengan si Dewa Bongkok dan diangkat menjadi muridnya. Aku menetap di goa ini yang sukar di temukan siapa saja."

Suro Bodong manggut-manggut dalam gumam. Ia mengajukan pertanyaan sambil mengunyah jagung:

"Lalu, Temon sendiri bagaimana?"

"Aku mendengar kabar, Temon juga meracuni kedua orang tuaku setelah orang tuaku menyerahkan tanah Damar Ombo kepadanya. Waktu itu, banyak musuh yang mengincar negeri Pakuwon karena kesuburannya dan di sana ada tambang emas. Nah, untuk menghindari serangan lawan, Temon memindahkan kerajaan Pakuwon ke Tanah Damar Ombo. Lalu, jadilah Temon sebagai seorang Adipati dengan gelar, Adipati Anom Winingrat. Tanah Damar Ombo itu dijadikan Kadipaten Damardita dengan penasehat Ki Penegak, yang kemudian menamakan dirinya Ki Ageng Bentaran..."

Dayang Kunti tertegun memandangi api pembakar jagung. Ia menampakkan kedukaannya dalam sebaris kenangan pahit yang menyakitkan hati. Sedangkan Suro Bodong, mengunyah jagung, sesekali memetik-metik jagung lalu melemparkan ke mulutnya. Matanya memandang Dayang Kunti dengan hati iba. Sampai-sampai Suro sempat berkata pelan:

"Kalau begitu. Damar Ombo atau Damardita harus kau rebut kembali."

"Yah..." jawab Dayang Kunti bersemangat sambil menghempaskan nafas. "Harus kurebut kembali. Tetapi aku harus membuat perhitungan juga dengan Temon, atau Adipati Anom Winingrat itu."

Sekali lagi, Suro Bodong manggut-manggut. Nyamuk-nyamuk mulutnya menguyah jagung. Dan mendadak Dayang Kunti menatap Suro dalam-dalam, lalu berkata pelan:

"Suro, aku ingin minta bantuanmu dalam hal ini. Aku yakin, bersama kamu, aku dapat merebut kembali tahan warisan leluhurku itu. Kau mau menolongku, Suro?"

"Aku sudah sering menolong perempuan cantik," kata Suro, kali ini bagai terlontar seenaknya. "Dan itu salah satu kegemaranku."

"Sayang aku bukan perempuan cantik..." bisik Dayang Kunti, dan Suro dengan santai berkata:

"Sayang aku menganggapmu perempuan cantik..."

Dayang Kunti menatap Suro, mereka pun saling tatap. Lalu, senyum perempuan itu mekar dan bergetar di hati Suro.

5

Dayang Kunti melangkah bersama Suro Bodong menuju regol Kadipaten. Suro tidak tanggung-tanggung dalam melangkah. Karena menurutnya. Dayang Kunti itulah yang perlu ditolong dari kekejian Temon yang rakus harta dan pangkat. Suro tahu, perempuan secantik Dayang Kunti hanya hidup seorang diri. Apalah daya bagi perempuan seperti Kunti kalau tidak bergabung dengan satu keluarga, atau kawin, atau memiliki kekayaan yang selama ini dirampas oleh Si anak angkat; Temon itu. Ini harus dibebaskan! Harus direbut kembali demi masa depan dan kelangsungan hidup Anggraeni yang merubah diri menjadi Dayang Kunti.

Dua pengawal berdiri di depan pintu gerbang Kadipaten dengan senjata tombak di tangan. Suro Bodong dan Dayang Kunti mendekat, masing-masing berdiri di depan kedua penjaga pintu. Suro Bodong yang berkata kepada salah satu dari mereka dengan suara tenang:

"Aku ingin ketemu Anom!"

Pengawal itu naik pitam mendengar ada tamu yang berani menyebut nama rajanya dengan seenaknya. Kedua pengawal itu adalah prajurit baru yang mengalami masa uji coba sebagai penjaga pintu gerbang Dalem Kadipaten.

"Tamu tidak tahu sopan!" gertak penjaga yang ada di depan Suro Bodong. "Panggil Si nuwun, Kanjeng, atau Baginda, atau Paduka Anom... begitu! Enak saja panggil-panggil nama Anom, tanpa sebutan menghormat!"

"Kau sendiri telah menyebutkan nama Anom tanpa hormat!" kata Suro Bodong sambil garuk-garuk kumis.

Pengawal itu menggeragap sebentar tapi sebelum ia bicara, Suro Bodong telah berkata:

"Buka pintunya, atau panggilkan saja si Anom, suruh keluar sebentar ke sini! Sana..." seenak saja Suro Bodong memerintah dan bicara. Pengawal baru itu merasa dihina. Baru jadi pengawal masa' tidak dihormati. Karenanya, pengawal yang berdiri di depan Suro itu segera melayangkan pukulannya ke wajah Suro Bodong. Dengan tangkas dan cepat tangan Suro Bodong menangkap genggaman tangan prajurit tersebut. Lalu, genggaman tangan itu diremas kuat-kuat, dipelintir sedikit-sedikit hingga pengawal itu menyeringai kesakitan dengan mulut terganga-nganga.

"Kau apakan temanku, hah?!" teriak yang ada di depan Dayang Kunti. Ketika prajurit itu akan bergerak membantu temannya, dua jari tangan Dayang Kunti menotok bawah ketiak orang itu. Langsung orang itu diam seperti patung hendak melangkah.

"Jangan buru-buru marah, Mas," kata Dayang Kunti. Prajurit itu bisa melihat, bisa mendengar, tapi tidak bisa bergerak apa-apa. Sementara itu, Suro Bodong segera memelintir tangan pengawal baru dengan keras.

"Aaaoow...!!"

Pengawal itu berteriak kesakitan sambil tubuhnya ikut meliuk ke samping. Lalu, dengan keras Suro Bodong menendang orang tersebut sampai terpental ke pintu. Benturan itu rupanya memang sangat keras, sampai-sampai pintu gerbang yang besar itu rengat bagian pinggirnya. Orang itu pingsan. Dayang Kunti menendang pintu besar dengan kekuatan yang sungguh besar.

"Braak...!"

Pintu sebesar gajah jebol berantakan. Tendangan Dayang Kunti seperti tendangan seorang raksasa yang membuat Suro Bodong tersenyum bangga.

Jebolnya pintu gerbang menjadi bahan perhatian semua orang yang ada di Dalem Kadipaten. Suro Bodong melangkah masuk dengan Dayang Kunti dengan pembawaan serba tenang. Sempat pula Dayang Kunti mengibaskan tangannya ke samping kiri ketika ada seorang prajurit jaga yang ingin mencegahnya. Tapi, nasib prajurit itu tak lama. Ia terpelanting dan kepalanya membentur dinding, lalu.. klenger!

Waktu itu di paseban sedang ada pertemuan harian, antara Sang Adipati dengan para punggawa negerinya. Maka, langsung saja Dayang Kunti dan Suro Bodong menuju paseban. Dua orang prajurit menghadang mereka sebelum mencapai tangga lantai paseban. Suro Bodong menggerakkan kakinya secara cepat dan tepat. Maka, kedua prajurit itu tersungkur jatuh bertindih-tindihan di lantai paseban.

Suro Bodong menginjak lantai paseban dengan berseru:

"Anom...! Mana si Anom? Aku mau ketemu dia!"

Gembong Wilwo kaget bekali sampai berteriak, "Dayang Kunti dengan Suro Bodong!"

Semua orang memang memandang tegang dan masing-masing langsung mencabut senjata mereka. Tapi, Dayang Kunti dengan Suro Bodong masih menampakkan sikap tenangnya.

Cocak Soga maju dan berseru: "Kalian mau apa sebenarnya ke mari, hah?!"

"Siapa kemarin yang menamparku?!" kata Suro.

"Aku...!" jawab Cocak Soga dengan berani.

"Plak, plak, braak...!"

Dengan kecepatan yang tak dapat dilihat mata manusia Suro Bodong memukul Cocak Soga sampai orang kecil itu terpental dan jatuh menabrak pagar ruangan pendopo itu.

Suro Bodong berseru lagi:

"Ayo, siapa lagi yang kemarin menamparku seenaknya?!"

Tak ada jawaban mereka. Sebaliknya, justru ketegangan meliputi mereka semua. Karena gerakan Suro Bodong yang dapat menjatuhkan Cocak Soga dengan secepat itu telah membuat mulut-mulut terbengong. Padahal kemarin mereka menemukan Suro Bodong yang bego dan blo'on, tetapi mengapa sekarang Suro Bodong seganas harimau lapar 7 hari?

Cocak Soga segera mencabut pedangnya dengan kening berdarah karena terkena kayu pecahan pagar. Ia menyerang Suro Bodong dengan lompatan bersalto. Suro Bodong berguling dilantai licin itu. Tubuhnya tepat berhenti di kaki Gembong Wilwo, langsung saja perutnya diinjak Gembong Wilwo.

"Huuugh...!"

"Modar kau...!" teriak Gembong.

"Hiaaat...!" kaki Suro Bodong menekuk ke belakang, tepat mengenai alat vital Gembong Wilwo. Orang itu menjerit sambil jingkrak-jingkrak kesakitan.

Sementara itu, Dayang Kunti menggunakan bambu sumpitnya untuk melawan Cocak Soga. Ia melompat ketika pedang Cocak Soga ditebaskan ke perut, kemudian bambunya berkelebat ke bawah dengan cepat. Pada saat itu, Cocak Soga menjerit, karena keningnya berdarah bagai terpotong atau tergores benda tajam.

Dayang Kunti berhenti menyerang, sebab dilihatnya Cocak Soga mengaduh-aduh sambil memegangi lukanya yang berdarah. Saat itu, Ki Ageng Bentaran melancarkan pukulan jarak jauh berupa hempasan hawa padat. Pukulan itu mengenai Dayang Kunti hingga terlempar jauh. Untung Dayang Kunti segera menguasai keseimbangan tubuhnya, sehingga ia tak sempat jatuh babak belur. Ia mendarat dengan kakinya yang direnggangkan. Ki Ageng mengejar Dayang Kunti dengan bernafsu. Dayang Kunti memancing keluar, dan terjadilah pertarungan di luar Dalem Kadipaten.

Suro Bodong masih gesit melawan Tamtama Agung Gembong Wilwo. Jurus-jurus Gembong Wilwo sempat membingungkan Suro Bodong sehingga Suro melompat kian ke mari menghindari tebasan pedang lawannya.

Namun, pada satu kesempatan, Suro Bodong sempat memukul tengkuk kepala Gembong dengan sikunya. Orang itu terhuyung-huyung dan hampir menabrak Adipati Anom yang dari tadi berdiri memperhatikan perlawanan dari anak buahnya yang menurutnya gigih-gigih itu.

Suro Bodong melompat dan mengejar Gembong Wilwo. Tetapi rupanya Gembong Wilwo telah siap menghunuskan pedangnya ke arah Suro Bodong. Mau tidak mau Suro Bodong segera menjejakkan kaki pada salah satu tiang, dan bersalto ke belakang sebanyak tujuh kali. Itu tidak disengaja. Sungguh!

Dengan gerakan bersalto tujuh kali, maka secara dengan sendirinya ia telah menggunakan jurus Luing Ayan-7. Yang berarti perubahan ujud Suro pun terjadi seketika itu. Maka, semua mata memandang dengan takjub dan terheran-heran ketika Suro Bodong mendarat ke lantai dalam ujud seorang pendekar tampan yang mengenakan pakaian rompi serta celana ketat warna emas. Ia telah berubah menjadi Panji Bagus, yang memang tampan. Rambutnya panjang diikat tali emas, wajahnya mengagumkan setiap wanita, badannya kekar dan tegap dengan pedang tanpa sarung di punggung. Pedang itu bagai masuk ke dalam kulit tubuhnya. Itulah Pedang Urat Petir yang menghebohkan dunia persiltan.

Dalam keadaan yang lain tertegun memandanginya, Suro Bodong yang telah berubah ujud menjadi pendekar tampan bernama Panji Bagus itu melesat ke udara. Gerakannya begitu cepat dan indah. Kakinya lurus ke depan sedang kaki kirinya ditekuk sedikit. Ketika kaki itu hendak mengenai wajah Gembong Wilwo, kaki itu segera ditekuk. Pedang Gembong Wilwo menebas tempat kosong di depannya. Karena, pada saat itulah kaki kiri Suro Bodong maju menghentakan dan tepat mengenai kening Gembong Wilwo.

"Aaaoow...!!" teriak Gembong Wilwo "Bangsat kau, setan!" cacinya tak karuan.

Tentu saja hal itu juga mengagetkan Adipati Anom yang terbengong seperti patung kekurangan sajen. Ia semakin kaget ketika Suro Bodong tahu-tahu menghentakkan kakinya ke belakang, tepat pada waktu itu Cocak Soga yang berlumur darah hendak menyerangnya dari belakang. Kepala Cocak Soga menjadi sasaran tendangan belakang Suro Bodong.

"Heaaat...!"

"Aaahh...!"

Tubuh Cocak Soga melayang lagi seperti bola tak tentu arah. Sekali lagi kepala Cocak Soga membentur salah satu tiang pendopo di pinggiran.

"Wadoow...!!" ia semakin berteriak kesakitan. Darah mengucur dari kepala atas telinga kiri.

"Setan... terimalah aji pemunahku ini!" teriak Gembong yang segera melemparkan pedangnya ke arah Suro Bodong dengan cepat. Pedang itu tiba-tiba menyemburkan semacam asap biru kehitam-hitaman. Semburannya terarah ke mata Suro Bodong. Tetapi dengan gesit, tubuh Suro Bodong yang telah menjadi pendekar tampan yang kekar itu segera berguling-guling di lantai. Ternyata pedang Gembong itu masih mengejarnya sambil menyemburkan asap yang sudah tentu sangat berbahaya. Suro Bodong segera melompat ke halaman depan pendopo. Waktu itu, pedang Gembong masih mengejarnya. Dan, Suro segera menghunus Pedang Urat Petir dengan gerakan yang cepat. Pedang dicabut dari punggungnya lalu ia melompat ke atas, dan pedang Gembong lolos melalui kaki Panji Bagus.

"Heaaat...!!"

"Trang...!"

Pedang Urat Petir membabat pedang Gembong dengan gerakan kuat, hingga pedang Gembong putus menjadi dua bagian dan jatuh tergeletak di tanah. Ketika kaki Suro mendarat ke tanah, ia disambut oleh lompatan Cocak Soga yang masih penasaran ingin menghabisi nyawa lawannya. Maka dengan mudah, Suro Bodong atau Panji Bagus mengibaskan Pedang Urat Petir ke arah Cocak Soga.

"Uaaaahh...!!"

Jeritan Cocak Soga diiringi menyemburnya darah dari perutnya. Semua mata yang menyaksikan hal itu menjadi terpejam dengan amat ngeri. Usus, rempela dan babat keluar semua dari perut Cocak Soga. Gembong segera maju dengan kemarahan yang memuncak, ia bersalto beberapa kali yang mampu membuat lawan terkesima menjadi patung. Tetapi, Suro Bodong telah lebih dulu berguling ke lantai dan tahu-tahu berdiri di belakang Gembong Wilwo.

"Hiaaat...!"

Gembong tidak menjerit. Tidak mau berteriak. Sebab ketika Pedang Urat Pelir menebas cepat, kepalanya langsung menggelinding di lantai dan tak sempat berteriak-teriak kesakitan. Namun demikian, raga Gembong yang sudah tanpa kepala itu masih sempat berputar balik ke arah Panji Bagus. Maka dengan serta merta Panji Bagus menendang Gembong tanpa kepala itu dengan keras, hingga terpental menimpa seorang prajurit yang berani-berani ngeri untuk mendekati Panji Bagus.

"Kau benar-benar bangsaaat...!!" teriak Adipati Anom yang segera mencabut kerisnya dengan menyerang Panji Bagus. Panji Bagus lari menghindar mendekati pintu gerbang. Di sana ada beberapa prajurit yang juga bubar mendadak karena takut terkena tendangan atau kibasan pedang Panji Bagus.

"Jangan lari kau iblis...!!" teriak Anom Winingrat.

Panji Bagus tahu dikejar, maka ia pun keluar dari Dalem Kadipaten. Pancingannya ternyata tepat, bahwa Anom Winingrat pun segera menyerang dengan melompati tembok, lalu menghadang Panji Bagus dari luar.

Di luar Dalem Kadipaten, ternyata Dayang Kunti sedang melakukan perlawanan sengit dengan Ki Ageng Bentaran. Dayang Kunti sudah terluka pinggang dan punggungnya. Luka hangus yang tidak dirasakan. Ia tetap menyerang dengan sumpit sebesar kelingking itu. Tetapi Ki Ageng Bentaran sendiri telah terluka di dada. Tergores bambu itu dengan darah meleleh membasahi jubah putihnya.

Berulangkali Ki Ageng melancarkan pukulan tenaga dalamnya yang memancarkan sinar hijau muda. Tetapi dengan cambuk Dayang Kunti menangkisnya. Bahkan kini cambuk dan bambu sumpit semakin ganas menyerang Ki Ageng bertubi-tubi.Lelaki tua dengan rambut putih itu melompat dengan gesit dan bersalto menghindarinya. Sulit sekali mengenai tubuh Ki Ageng. Hal itu diakui Dayang Kunti dalam hati.

Sementara itu, Panji Bagus masih berusaha menjatuhkan Anom Winingrat. Adipati itu cukup ulet. Sehingga ia pernah berhasil menendang dada Panji Bagus dan nyaris membenamkan kerisnya yang menyala-nyala kuning ke perut Panji Bagus.

Sedangkan Pedang Urat Petir yang menyala pijar ungu itu masih berusaha berkelebat mencari kelemahan Anom Winingrat. Panji Bagus berguling di tanah tanpa peduli tempat kotor. Ia menebaskan pedangnya berulangkali, tetapi Anom Winingrat pandai mengelak dengan lompatan-lompatan salto. Hanya saja, pada saat ia menjejakkan kakinya ke tanah dari lompatannya, tiba-tiba kaki Panji Bagus mendapat kesempatan empuk untuk menendang punggung Adipati. "Aaahhkk...!"

Anom Winingrat terpental, dan tubuhnya melayang menabrak Ki Ageng Bentaran. Saat itu, Ki Ageng baru saja hendak melancarkan pukulan tenaga dalamnya ke arah Dayang Kunti yang jatuh tersungkur.

Nafas mereka terengah-engah semua. Dayang Kunti ditolong tangan Panji Bagus. Ia jadi tertegun memandang wajah ganteng sang pendekar berpedang Urat Petir. Dayang Kunti mau bertanya, siapa pendekar itu. Tetapi ia segara paham setelah melihat pedang bersinar ungu di tangan Sang Pendekar; pasti jelmaan Suro Bodong. Pikirnya. Maka, langsung saja dia berkata, "Suro, biar kuhabisi Anom dan kau habisi Ki Ageng itu...!"

"Temon...!" Dayang Kunti segera berseru setelah Panji Bagus menganggukkan kepala.

"Dari mana kau tahu namaku, hah?!" geram Adipati.

"Kau ingat Anggraeni?!" teriak Dayang Kunti. "Akulah Anggraeni yang ingin menuntut balas kematian keluargaku karena keserakahan kalian berdua, dan aku akan merebut tanah hak milikku ini, tanah Damar Ombo! Terimalah kematianmu sekarang juga, Temon...!"

Kedua orang lawan Dayang Kunti itu masih terbengong ketika mereka mengetahui bahwa Dayang Kunti adalah Anggraeni yang pernah diperintahkan untuk dibunuh. Dalam keadaan terbengong begitu. Dayang Kunti melambung tinggi dan bersalto beberapa kali. Kemudian sumpit Jarum Kilatnya bekerja dengan cepat, melesat bertubi-tubi ke arah Adipati. Sehingga, salah satu jarum-jarum hitam itu ada yang menembus tepat di mata Adipati.

"Aaauhh...! Aaaahh...!" Adipati Anom menjerit sekuat tenaga, karena dalam keadaan limbung begitu. Dayang Kunti masih melancarkan serangan Jarum Kilat hitam ke tubuh Adipati Anom.

"Jub... jub... jub...!" Hingga lebih dari seratus jarum yang menghunyam tubuh Sang Adipati. Lalu, tubuh itu tak sempat hangus lagi.

"Blaar...!"

Sebuah ledakan mengakibatkan tubuh Sang Adipati menjadi terpotong-potong beberapa bagian. Sedangkan Dayang Kunti berdiri puas dan bara dendam di matanya mulai meredup. Lain hal dengan Ki Ageng, ia semakin panik dan kemarahannya begitu tinggi, ia hendak meninggalkan pertarungannya dengan Panji Bagus, dan beralih menyerang Dayang Kunti dengan menggunakan aji Barong Bangkai, yaitu sebuah teriakan yang mampu memecahkan kepala orang yang mendengarnya. Tetapi, baru saja ia membuka mulut dan hendak berteriak, Panji Bagus melemparkan pedangnya ke atas hingga pedang itu berputar tujuh kali, kemudian menendang pe- dang itu hingga pecah menjadi tujuh bagian. Ketujuh bagian itu melesat sendiri-sendiri menghunjam tubuh Ki Ageng Bentaran. Bahkan ada salah satu bagian pedang yang masuk ke mulut pada saat mulut Ki Ageng hendak berteriak. Maka, jurus Pedang Jitu Suro Bodong itu menjadi akhir dari pertarungan tersebut.

Pedang yang terpecah menjadi tujuh bagian itu bisa berkumpul sendiri dan melesat kembali ke arah pemiliknya, yaitu Panji Bagus, atau Suro Bodong yang menjelma menjadi ujud Pendekar tampan.

Dayang Kunti tersenyum sambil melelehkan air mata melihat akhir dari perjuangannya selama ini. Ia mendekati Panji Bagus dan tanpa malu-malu memeluk pendekar berhidung bangir dan bermata kebiru-biruan. Bening. Segar.

"Terima kasih... terima kasih. Suro..." itu ucapan yang terdengar di sela isak tangis kebahagiaan Anggraeni. Karena pada saat itu, semua prajurit Kadipaten keluar dan bersujud kepada Dayang Kunti sebagai tanda menyerah.

"Kadipaten dan tanah ini memang milikmu, Anggraeni. Ambillah! Malingnya sudah kukirim ke neraka...!"

"Aku juga mengirimnya!"

"O, ya... kita memang yang mengirimnya. Ambillah dan memerintahlah dengan adil dan bijaksana...!"

"Mungkin akan bisa langgeng apabila kau mau duduk disampingku, Suro...."

"Mungkin juga. Tapi... sementara ini aku belum bisa memilih apa-apa, kecuali ingin memakan jagung bakar di kamar tidurmu, Anggraeni...."

Tawa itu lirih. Tawa itu milik Anggraeni yang semakin erat memeluk Panji Bagus, atau Suro Bodong yang bergelar Pendekar Tujuh Keliling.

SELESAI

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews