PEDANG URAT PETIR
Ebook by Abu Keisel
Edited by Fujidenkikagawa
1
PENONTON mengitari panggung setinggi satu meter. Di atas panggung kayu yang cukup lebar itu telah berdiri seorang pendekar perempuan yang mengagumkan setiap pengunjung. Karena ia suka mengenakan pakaian serba hijau muda, maka ia dijuluki Kenanga Hijau. Ia mengenakan celana ketat warna hijau muda bertepian emas. Sedangkan bagian atasnya mengenakan pinjung hijau juga, yang menutup bagian dada. Dada ke atas terbuka polos, menampakkan kulitnya yang kuning langsat, membakar darah kejantanan. Kenanga Hijau melapisi celana ketatnya yang halus dengan kain warna coklat bersabuk hitam dengan hiasan manik-manik putih perak di tepian sabuknya. Di sela sabuknya itu terdapat sarung pedang mengkilat berwarna kuning emas. Gagang pedangnya juga dari logam kuning emas yang berbentuk kepala burung Jatayu.
Tubuhnya yang kecil, namun bukan kurus itu serasi betul dengan bentuk wajahnya yang mungil, namun berhidung mancung. Matanya kecil, tetapi kelihatan tajam dan bening. Bibirnya juga mungil, tetapi menimbulkan gairah dan memancing ajakan berkhayal mesra. Indah sekali. Rambutnya yang panjang digulung sedikit di bagian tengah kepala, sedang rambut yang lainnya dibiarkan meriap. Ia mengenakan tusuk konde warna perak bermata butiran batu merah. Ia juga menggunakan kalung emas sebesar benang kasur dan berliontin bentuk bunga bermata hijau zamrud. Hiasan kalung itu bagai sekuntum melati hijau yang mekar di sela belahan dadanya yang menonjol dan menantang lawan.
Seorang lelaki setengah tua naik ke atas panggung dan bicara kepada penonton:
"Kalau tidak ada yang berniat melawan Putri Kenanga Hijau, maka pertandingan ini segera ditutup!"
"Berikan waktu beberapa saat lagi, Paman!" kata Kenanga Hijau.
Lelaki separoh baya itu mengangguk dan berkata kepada pengunjung yang mengelilingi panggung:
''Putri akan memberikan waktu beberapa saat lagi untuk menunggu penantang selanjutnya. Ingat, Saudara-saudara, pertarungan ini cukup besar hadiahnya. Barang siapa bisa mengalahkan Putri Kenanga dengan Pedang Jatayunya, maka ia bebas memiliki tubuh Putri Kenanga yang tentu saja kita bersepakat bahwa beliau memang... aduhai! Betul, kan?!"
"Betuuull...!!" teriak penonton. Mereka bertepuk tangan. Kenanga Hijau memamerkan senyumannya yang sungguh menggetarkan hati dan sangat mengagumkan itu. Bahkan ada salah seorang penonton yang jatuh lemas begitu melihat senyuman Kenanga Hijau itu.
"Mundurlah, Paman Rogama...! Beri kesempatan kepada mereka untuk naik!" kata Kenanga Hijau.
Lelaki separoh baya yang bernama Rogama itu mengangguk, lalu segera turun panggung setelah berkata kepada hadirin:
"Bagi lelaki yang merasa dirinya pendekar, kami persilakan naik ke atas panggung! Jangan sungkan-sungkan!"
Rogama mengambilkan sebuah bangku, dan Kenanga Hijau duduk di atas bangku seraya memamerkan senyum yang menawan hati. Ia menunggu giliran orang yang akan melawannya. Tetapi untuk sementara waktu, belum ada orang yang berani naik ke panggung setelah tiga orang kekar mati di tangan Kenanga Hijau. Mereka semakin banyak, bukan untuk melawan Kenanga Hijau, melainkan untuk menonton kecantikan yang sangat melemaskan lutut lelaki itu.
Salah seorang penonton berkata kepada temannya, "Kalau saja aku seorang berilmu tinggi, aku tetap segan melawan dia. Sayang kalau kulit semulus itu harus terluka."
Temannya menyahut, "Kalau aku seorang pendekar, lebih baik kulawan dia di atas ranjang. Lebih seru, pasti!"
Orang di sebelahnya bersungut-sungut. "Di atas panggung saja belum tentu kau menang, apalagi di atas ranjang."
"Eh, biasanya, sekuat apa pun perempuan, sesakti apa pun seorang wanita, kalau di atas ranjang pasti ia kalah. Kadang-kadang sengaja mengalah. Betul kok...!"
"Aaah...! Pikiran tidak jauh dari lutut dan perut!" gerutu orang yang ada di belakangnya.
Pembicaraan kasak-kusuk mereka terhenti, karena mereka melihat seorang lelaki naik ke atas panggung. Hampir semua mulut melontarkan kata: "Hoooohh....!!" Dan lelaki yang naik ke atas panggung itu melambaikan tangan kepada penonton yang menghoooh... itu.
Lelaki itu berdada bidang dan berlengan kekar. Ia seorang pendekar yang tinggi tegap. Ia tidak mengenakan baju, namun mengenakan celana abu-abu dengan kain pelapis warna merah. Ia memakai sabuk hijau tebal dan lebar. Sabuk itu berguna untuk menyelipkan goloknya yang pendek namun lebar. Lelaki itu memakai ikat kepala dari kain tenun berwarna coklat kehitam-hitaman. Ia mengenakan kalung dari kain hitam di lehernya.
Kenanga Hijau masih duduk di bangku dengan posisi dada tegap, menonjol ke depan.
"Aku yang akan melawanmu," kata pemuda itu dengan suaranya yang berat, sedikit serak.
"Boleh saja. Siapa namamu?"
"Danang Wadi!" jawabnya tegas sambil berdiri di depan Kenanga yang dalam sikap kaki terentang kokoh.
"Siapa julukanmu?"
"Pendekar Alas Mati!"
"Kau sudah siap untuk menanggung akibatnya jika bertarung denganku?" tanya Kenanga Hijau.
"Sudah. Dan aku sudah siap juga seandainya aku menang melawanmu."
"Apa rencanamu?"
"Kau akan kujual kepada orang-orang Sriwijaya yang bertandang ke tanah Jawa ini!" Danang tersenyum berani.
Kenanga Hijau angkat bahu, "Terserah apa yang ingin kau lakukan terhadapku kalau memang kau menang melawan aku!"
Kenanga Hijau berdiri, Rogama buru-buru menarik turun bangku yang diduduki Kenanga. Ia berjalan menyamping karena harus memperhatikan Danang Wadi, dan berkata:
"Jangan menyesal kalau nasibmu seperti ketiga orang tadi, Danang Wadi."
"Kau akan tercengang melihat permainan dan kesaktianku, Perempuan Cantik. He, he, he..."
Salah seorang penonton mengeluh sendiri, "Huhh... belum apa-apa sudah cengengesan, tidak bakalan menang dia!"
''Tapi agaknya lelaki itu cukup sulit dirobohkan. Lihat dadanya yang bidang dan ototnya yang menonjol, itu sudah menandakan bahwa Kenanga Hijau akan mampu ditekuk-tekuknya," ujar teman orang tadi. Tapi orang tadi hanya mencibir dan berkata:
"Lihat saja...! Lagak lagunya yang cengengesan itu tidak meyakinkan. Paling sekali gebrak, mencret!"
Lalu, kedua orang itu saling terpukau melihat suatu pertarungan yang mengagumkan. Danang Wadi berkali-kali melompat sambil berguling. Goloknya dikibaskan ke sana sini. Kakinya hanya sesekali menyentuh lantai panggung. Ia lebih sering bermain di udara ketimbang menyerang dalam posisi kaki menginjak lantai.
Kenanga Hijau seperti berkelahi melawan seekor gagak hitam. Ia harus mendongak berkali-kali dan mengibaskan pedangnya ke atas. Tapi tak satu pun kibasan pedangnya mengenai tubuh Danang Wadi. Bagi Kenanga, pertarungannya kali ini cukup unik. Jurus-jurus yang dimiliki Danang Wadi juga cukup sulit diterka.
"Hiaaaat...!!"
Teriakan itu lebih sering terlontar dari mulut Danang Wadi, sebab ia lebih sering menyerang dengan lompatan dan bersalto ke atas Kenanga. Sesekali kenanga memang mengimbangi lompatan-lompatan itu, namun sejak tadi pukulan dan tendangannya tak ada yang menyentuh kulit Danang Wadi. Demikian juga Danang Wadi, tak sekali pun pernah menyentuh rambut Kenanga Hijau. Namun golok dan pedang mereka memang sering beradu keras, menimbulkan percikkan api yang mengerikan penonton bagian depan.
Suatu kesempatan, Danang Wadi berhasil menendang pundak belakang Kenanga Hijau setelah ia bersalto melewati atas kepala Kenanga, dan menjejak ke belakang seperti kuda ngamuk. Kenanga nyaris tersungkur ke depan, tapi ia segera berguling sehingga wajah cantiknya tak sempat berbenturan dengan lantai panggung.
Danang Wadi tak menyia-siakan kesempatan itu. Ia ikut berguling ke arah Kenanga dengan pedang siap di tangan. Namun Kenanga cepat melejit ke samping, dan menghindari bacokan golok pendek yang lebar itu. Golok Danar Wadi menancap pada papan lantai panggung. Kenanga hendak menyerangnya, namun karena kaki Danang lebih panjang, maka dengan sekali tendang kaki itu tepat mengenai pinggang Kenanga. Tubuh Kenanga pun meliuk kesakitan.
"Wah, gawat...! Patah tuh tulang iga Kenanga...!" teriak salah seorang penonton yang ada di barisan depan. Mereka jadi cemas. Mereka merasa sayang kalau sampai Kenanga dikalahkan lawannya.
Kecemasan mereka meningkat, sebab Danang Wadi segera bangkit dan berhasil mencabut goloknya yang menancap di papan lantai panggung. Danang Wadi segera menyerang Kenanga dengan tendangan kaki kiri yang mengenai ketiak Kenanga, dan disusul tendangan kaki kanan yang mengenai perut Kenanga. Tubuh perempuan cantik itu terpental, hampir saja jatuh ke panggung seperti ketiga musuhnya tadi.
"Menyerahlah, Kenanga...! Kau sudah mulai lemah!" kata Danang Wadi yang berdiri di tengah arena dengan gagahnya, Ia menunggu Kenanga bangkit. Ia masih membujuk Kenanga:
"Akuilah kekalahanmu...! Jangan sampai kau kalah lalu mati, apa gunanya pertarungan ini kalau begitu?" Kenanga berdiri dengan tegap, menarik napas panjang-panjang. Lalu ia tersenyum setenang tadi.
"Aku hanya menjajal kekuatanmu, Danang Wadi! Tak ada kamus kalah dalam diriku. Kau harus tahu akan hal itu, Danang Wadi. Dan sekarang... mari kita lanjutkan pertarungan ini. Bersiaplah mati dengan cara senyaman mungkin...! Hiaaat...!" Kenanga melesat dalam posisi kaki kanan siap menendang sedangkan kaki kiri terlipat ke selangkangannya. Gerak tangannya bagai tarian pengibas pedang; kedua tangan itu berada di bagian kiri tubuhnya.
"Traang...!"
Danang Wadi berhasil menangkis kibasan pedang Jatayu, dengan menggerakkan goloknya ke atas. Lalu tangan kiri Danang segera menghantam pinggang samping kanan Kenanga. Buru-buru Kenanga merapatkan sikunya dan menahan pukulan itu sambil tangan kirinya mencabut sarung pedang.
"Sreet...!"
Ujung sarung pedang yang berwarna kuning emas itu ternyata mampu mengeluarkan pisau kecil. Pisau kecil itu merobek leher Danang Wadi tanpa ampun lagi. Tentu saja Danang Wadi terpekik tertahan. Mulutnya ternganga dan tangan kanannya yang masih memegangi golok ikut membantu tangan kirinya, menutup luka yang ada di leher. Tetapi, agaknya leher itu robek dalam keadaan lebar dan dalam. Mata Danang Wadi terbeliak-beliak.
"Grook... grrook...!"
Suara nafasnya begitu mengerikan. Ia masih bertahan berdiri. Goloknya jatuh, mengenai kakinya. Ia makin membelalakkan mata. Lalu ia berlutut sambil masih memegangi lehernya yang bagai digorok ujung sarung pedang Kenanga.
Seperti lawan-lawannya yang sudah, Kenanga selalu mengakhiri pertarungannya dengan menendang lawan sekuat tenaga. Danang Wadi terlempar ke luar arena. Ia menggelepar-gelepar sejenak, kemudian tubuhnya kaku dan tak bergerak lagi. Penonton yang nyaris kejatuhan tubuh Danang Wadi tadi menjerit ketakutan dan berlari ke tempat lain.
Penonton yang lainnya terbengong-bengong setelah sama-sama berseru: "Hooohh?!" Sebagian penonton mengerumuni mayat Danang Wadi, sebagian lagi tetap memandang ke atas arena. Kenanga menyarungkan pedangnya. Pisau kecil yang mencuat dari ujung sarung pedang itu telah masuk kembali dengan sekali tekan bagian tertentu dari sarung pedang itu. Segera Kenanga menghirup udara banyak-banyak dan melepaskannya pelan-pelan. Ia memulihkan ketenangan pada dirinya. Sikapnya berdiri tetap tegap, merentangkan kaki berbetis indah, seakan menantang pertarungan selanjutnya. Rogama datang membawakan bangku dan Kenanga pun duduk di bangku itu dengan senyum seperti tadi: mengagumkan. Senyum yang mampu membuat penonton terkesima dan mendesah penuh arti.
Rogama berseru kepada penonton, "Barang siapa yang masih ingin mencoba, silakan naik ke arena. Kita bertarung secara kesatria. Putri Kencana Hijau, siap menunggu uluran nyawa Saudara-saudara...!"
Kasak-kusuk dan pergunjingan semakin banyak. Bergemuruh seperti lebah hutan berpesta pora. Rogama masih bicara dengan suara kian keras untuk mengimbangi suara gemuruh masyarakat di sekelilingnya. Bahkan kini kedua telapak tangannya diletakkan di tepian mulut, sebagai corong pengeras suara. la bicara sambil berputar ke empat arah.
"Barang siapa yang mempunyai kesaktian, pusaka, pedang ampuh, mari... silakan diuji di sini. Kami akan merasa mendapat kehormatan besar jika Saudara-saudara mau menguji pusaka yang anda miliki. Ayo, jangan takut. Hadiahnya tidak tanggung-tanggung Putri Kencana Hijau. Beliau ini cantik, sakti dan... masih perawan! Asli! Saya berani sumpah, sebab saya belum pernah memakainya...!"
"Paman...!" bentak Kencana merasa tersinggung.
Rogama ketakutan, lalu berteriak kepada penonton, "Maksud saya... saya belum pernah memakai pedang Jatayunya itu."
"Huuuhh...!" beberapa penonton mencucu sambil terkekeh sejenak.
Kasak-kusuk mereka saling memuji dan mengagumi Kenanga. Namun di antara sekian banyak penonton, ada seorang penonton yang dari tadi hanya diam saja dan garuk-garuk kumisnya yang lebat.
Lelaki itu mengenakan baju model jubah berwarna merah dan celana biru muda dan ikat pinggang hijau tua. Rambutnya panjang tak teratur diikat kain merah, Badannya agak gemuk, perutnya sedikit membuncit dan pusernya melotot keluar bagai membelalak. Melihat kegemarannya yang sejak tadi makan jagung bakar, sudah jelas dia adalah tokoh dunia persilatan : Suro Bodong.
Sejak tadi tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Sejak tadi ia memperhatikan pertarungan Kenanga sambil mengunyah jagung bakar dan sesekali garuk-garuk kumisnya. Pandangan matanya begitu tajam, tapi sikapnya tetap tenang. Ia tidak mau ikut bersorak, atau bertepuk tangan. Bahkan ketika ada seorang anak muda menyapanya:
"Bapak tidak berminat naik panggung, Pak?"
Suro Bodong tidak menjawab. Anak muda itu memperhatikan dengan tegas. Lalu bertanya lagi dengan suara lebih keras, karena mengira Suro Bodong tuli.
"Bapak tidak berniat naik panggung, Pak?!!"
Suro Bodong masih tenang saja. Cuek. Ia mengunyah jagung bakar yang digeragotnya dengan seenaknya. Anak muda itu juga penasaran. Ia pikir, ia berhadapan dengan orang gila yang tuli.
Sebab itu ia menepak pundak Suro Bodong.
Tetapi di luar dugaan, dan tak sempat dilihat oleh mata anak muda itu, tangan Suro Bodong telah menangkap dan menekuknya hingga si anak muda meringis kesakitan.
"Berani menyentuhku, kucabuti semua rambutmu!" geram Suro Bodong, kemudian melepaskan tangan anak muda itu.
Sambil meringis dan memijit-mijit pergelangan tangannya, anak muda itu berkata dalam ketakutan: "Saya cuma bertanya. Mau bertanya kepada Bapak; apakah Bapak punya niat naik apa tidak. Cuma begitu."
"Naik apa? Naik kuda?! Apa kau membawa seekor kuda?" kata Suro Bodong yang tak mengerti maksud anak itu.
"Maksud saya, naik panggung, Pak. Naik panggung itu,"seraya anak muda menuding tempat arena.
Suro Bodong memetik-metik biji jagung dengan jempol tangannya dan menggerutu, memandang Kenanga:
"Naik panggung... naik panggung... apa kau kira aku ini ledek, yang sering menari di atas panggung?"
Anak muda itu berani juga, rupanya. Ia masih berdiri di samping Suro Bodong, memandang mata Suro Bodong yang kemerah-merahan. Lalu berkata lagi:
''Panggung itu kan arena pertarungan, Pak. Bukan panggung untuk ledek dan ketrung!"
"Pertarungan apa?" Suro Bodong menoleh ke anak itu.
"Pertarungan antara pendekar melawan... itu, Putri Kenanga Hijau. Masa Bapak tadi tidak melihatnya. Sepertinya dari tadi Bapak ada di samping saya dan memandang ke sana..." Anak itu merasa heran, lalu Suro Bodong berbisik:
"Sejak tadi aku tidak merasa melihat suatu pertarungan."
Anak itu berkerut dahi. "Jadi yang Bapak lihat apa?"
"Orang-orang menari dan bermain dagelan!"
Anak muda itu tertegun beberapa lama. Dalam hatinya ia masih belum mengerti, mengapa Suro Bodong mengatakan melihat tarian dan dagelan. Padahal jelas ada korban empat orang dari pertarungan sejak tadi. Bahkan, kemarin pun acara itu juga ada. Anak muda itu juga melihat. Bukan hanya melihat pertarungan, namun sempat pula melihat Suro Bodong di seberang panggung, jauh darinya. Dan semua orang juga mengakui, bahwa apa yang ada di atas arena itu adalah pertarungan maut. Tetapi mengapa orang yang diajaknya bicara itu, yakni Suro Bodong, mengatakan itu sebuah tarian dan dagelan. Lawak! Badut, dan sejenisnya.
"Aneh sekali penglihatan mata orang ini," pikir anak muda itu. Ia tak tahu bahwa yang dia dengar dari Suro Bodong itu adalah anggapan saja. Anggapan dari Suro Bodong tentang atraksi di atas panggung. Pertarungan antara Kenanga dengan beberapa pendekar dari kemarin sampai hari ini, dianggap hanya sekedar tarian dan banyolan oleh Suro Bodong. Ia tidak merasa kagum dan terpesona dengan pertarungan itu. Dia hanya ingin melihat, siapa yang akan mampu mengalahkan perempuan cantik yang sombong itu? Karenanya dari kemarin sampai hari ini Suro Bodong selalu hadir dan mengikuti acara tersebut.
Dalam usia 40 tahunan, kurang lebih, Suro Bodong masih bisa menilai kecantikan seorang perempuan. Kenanga diakui kecantikannya, namun hati kecilnya tetap mengakui kecantikan Ratna Prawesti, kekasihnya yang sedang dicari ke mana perginya. Bagi Suro Bodong, tak ada perempuan cantik di permukaan bumi ini, selain Ratna Prawesti, anak seorang bupati Jangga, yang telah dibantai satu keluarga oleh Gerombolan Topeng Setan. Tetapi, ia tidak menemukan bangkai kekasihnya.
Berulang kali ia berurusan dengan orang-orang Gerombolan Topeng Setan, namun tak sekali pun ia melihat ada tanda-tanda gerombolan itu menyembunyikan Ratna Prawesti. Hanya saja, betapa pun juga jadinya, Suro Bodong tetap menaruh kewaspadaan kepada Gerombolan Topeng Setan yang diketuai oleh seseorang yang bernama Banyupati. Sekali ia melihat gelagat adanya tanda-tanda bahwa Ratna Prawesti disekap atau disembunyikan oleh gerombolan itu, maka dengan sekuat tenaga Suro akan menumpas habis semuanya.
Tiba-tiba orang yang mengelilingi panggung itu bertepuk tangan. Bahkan ada yang bersuit dan tertawa. Oh, rupanya ada anak muda yang naik ke panggung dengan beraninya. Mata Suro Bodong membelalak dengan mulut terperangah. Anak itu adalah anak muda yang tadi ditekuk pergelangan tangannya.
"Bocah edan..!" geram Suro Bodong dengan gemas. "Berani-beraninya dia naik ke arena itu?"
Anak tersebut masih muda sekali usianya, Kira-kira baru 15 atau 16 tahun umurnya. Pakaiannya biasa, celana dan baju pangsi warna putih kusam. Orang bilang, ia masih hijau. Tapi ia sudah berani naik ke arena dan menantang Kenanga Hijau. Karena itu banyak penonton yang berceloteh macam-macam.
"Hoi, Tong... ini bukan tempat adu jangkrik...!"
"Nyawa cuma sedikit dibuang-buang. Payah kamu, Tong!"
"Kalau menang mau buat apaan gadis itu, Tong? Buat diambil istri, ya?"
"Alaaah... kencing belum lempeng saja sudah mau kawin!"
"Hoi, kamu mau bertarung apa mau netek, Gus...?!" teriak seorang bapak dari sudut sana. Dan banyak lagi teriakan orang yang lainnya. Namun anak muda itu tetap berdiri di atas panggung dengan cengar-cengir tak meyakinkan. Ia tidak peduli seruan orang yang menjatuhkan keberaniannya. Ketika Kenanga berdiri dan menyampanya, anak muda itu masih memperlihatkan nyali yang cukup besar. Ia cengar-cengir seperti malu-malu kucing.
"Kau penantangku berikutnya?" tanya Kenanga.
"Ya. Boleh tidak, Mbak?"
Penonton tertawa. Bahkan Kenanga tersenyum geli seraya memandangi anak muda itu. Sedangkan yang dipandang hanya tersipu-sipu sambil menunduk.
"Mana senjatamu?" tanya Kenanga.
Anak muda itu semakin tersipu malu, lalu berkata dengan jelas, "Masa harus dikeluarkan di sini. Malu ditonton orang banyak, kan?!"
Penonton semakin gerr...! Tertawa, ada yang terbahak-bahak, dan ada yang sampai terbatuk-batuk. Mereka bertepuk tangan. Mereka menjadi segar, bersemangat.
"Anggap saja selingan dagelan...!" ujar seseorang.
Mereka menjadi reda setelah Kenanga berkata, "Kau akan mati jika tanpa senjata."
"Ah, buktinya yang pakai senjata juga mati. Untuk apa aku punya senjata," jawab anak itu.
Kenanga geleng-geleng kepala.
"Nyalimu cukup besar. Kau tidak takut mati?"
Anak muda itu menggeleng. "Kata ayahku, mati sekarang atau besok, sama saja."
Kini, Kenanga Hijau manggut-manggut. Sejenak Rogama naik ke panggung dan berbisik kepada Kenanga. "Jangan ladeni anak ini, Putri. Buang-buang tenaga!"
"Biarkan, Paman. Siapa tahu dia lebih hebat dari yang sudah-sudah. Siapa tahu juga dia yang kucari."
Kemudian, setelah Rogama turun sambil membawa bangku, Kenanga bertanya kepada anak muda itu:
"Siapa namamu?"
"Saga!" jawabnya tegas.
"Saga...?! Hemm... nama julukanmu?"
Saga kelihatan berpikir bingung. Orang-orang mengikik, tertawa tertahan. Lalu, Saga menjawab seenaknya saja:
"Pendekar... Pendekar... Pendekar Untung-untungan...!"
Tawa penonton menjadi lebih keras. Kenanga menegaskan:
"Sebenarnya kau pendekar apa bukan?"
Saga menggeleng. "Bukan. Tapi... tapi saya ingin melawan situ."
"Kalau kau menang, mau apa? Mau menjadi suamiku?"
Saga menggeleng. "Mau minta duit yang banyak!"
"Minta uang?!" Kenanga berkerut heran dan kagum.
"Ya. Kalau Mbak tidak mau memberiku uang, ya sudah. Saya turun saja...!"
"Baik! Kalau kau menang, selain uang, semua perhiasan dan harta milikku menjadi kepunyaanmu!" kata Kenanga.
Saga tertawa girang, nyaris melonjak. Sedangkan di bawah pohon sana, Suro Bodong garuk-garuk kumisnya yang tebal. Ia masih menggumam keheranan.
"Mari kita mulai. Bersiaplah...!" tantang Kenanga. Ia segera mengambil jarak dan bersiap memainkan jurus pembuka. Saga masih menyeringai, ikut-ikutan pasang gaya dengan kaki mengangkang dan kedua tangan mengepal di pinggang. Kaku sekali.
Kenanga memutar ke kanan, Saga memutar ke kanan dengan kaki masih mengangkang dan merendah. Orang-orang menertawakan. Suro Bodong geleng-geleng kepala sambil makan jagung bakar.
"Hiaat...!" Kenanga menghentak. Saga kaget dan nyaris jatuh. Tapi ia segera berdiri seperti tadi: kaki mengangkang rendah dan kedua tangan mengepal di pinggang kanan kiri. Jika Kenanga bergerak perlahan ke arah kiri, ia berjalan perlahan ke arah kiri juga, demikian pula sebaliknya.
Tiba-tiba kaki Kenangan maju ke depan. Kaki kiri maju dan kaki kanan menendang dada Saga. Saga berusaha menangkisnya, namun terlambat. Dadanya terhentak kaki Kenanga dengan keras. Ia terjengkang ke belakang. Wajahnya menjadi pucat dan mulutnya cengap-cengap mencari udara. Ia berusaha untuk berdiri. Lalu pasang gaya seperti tadi: kaki mengangkang dan merendah, kedua tangan mengepal di samping. Kenanga mengendurkan tangannya. Kini ia berjalan mendekati Saga dan menendang wajah Saga dengan kaki kiri. Saga gelagepan, menggeragap karena pendangan matanya tiba-tiba menjadi gelap akibat terkena tendangan kaki kiri Kenanga yang begitu cepat. Kenanga tersenyum bangga.
"Jangan... jangan cepat-cepat, Mbak.." Saga sempat berkata begitu sambil mengibaskan kepalanya
Tetapi Kenanga segera menghantam dada Saga dengan pukulan tangan kirinya.
"Buuk...!" Lalu tangan kanannya menghantam perut Saga: "Buuk...!"
"Huugh...!" Saga mendelik dan susah bernapas. Matanya membelalak, wajahnya merah. Mulutnya semakin cengap-cengap. la terbungkuk-bungkuk sambil memegangi perut. Nyalinya memang besar, tapi ngawur. Ia maju, mendekati Kenanga. Lutut Kenanga menghentak ke atas ketika Saga mau memeluk perut Kenanga. Hentakan lutut mengenai wajah Saga, lalu hidung anak itu berdarah.
Kenanga tidak memberi ampun sedikit pun, ia segera memukul pipi Saga. Kenanga menendang lagi perut anak itu hingga Saga terguling-guling. Berteriak pun ia tak mampu. Tetapi Kenanga tetap akan membunuhnya. Ia melompat dan hendak menginjak dada Saga.
"Gilaaa...!!" seru Suro Bodong dengan mata melotot.
2
SURO BODONG segera melompat ke arena dan berguling dua kali di atas lantai panggung. Tepat ketika itu kaki Kenanga menghentak ke arah dada Saga. Kaki kanan Suro Bodong menahan hentakan kaki Kenanga. Kedua telapak kaki itu tepat beradu, dan Suro Bodong menghentak ke atas. Kenanga terpental tinggi, kemudian ia segera bersalto dan mendarat dengan kaki yang sempurna.
Tepuk tangan penonton menjadi riuh. Ada yang berseru:
"Ini baru hebat...!"
Suro Bodong mencengkeram baju Saga dalam posisi masih merangkak, dan wajahnya dekat dengan Saga. Ia membentak:
"Kamu edan betul apa, gila sungguhan, Bangsat!!"
Saga meringis kesakitan dan berusaha untuk bernafas. Pada saat itu, Kenanga menyerang Suro Bodong dengan tendangan kaki kanan ke arah punggung Suro Bodong. Tetapi sambil mengomeli Saga, Suro Bodong tetap bisa mengadukan telapak kakinya dengan telapak kaki Kenanga. Dan hentakan kaki Suro Bodong begitu cepat serta kuat, sehingga kali ini Kenanga terpental sampai terjatuh di lantai panggung.
Suro Bodong jengkel sekali kepada Saga. Ia mencengkeram baju Saga dan menentengnya untuk berdiri. Ia berseru hingga ludahnya muncrat:
"Anak sinting! Bodoh...! Kalau tidak punya ilmu silat jangan sombong di atas panggung ini, tahu?!"
"Lepaskan anak itu! Dia harus kubunuh!" teriak Kenanga seraya menyerang Suro Bodong lagi. Tetapi Suro Bodong bagaikan tidak mendengar kata-kata Kenanga. Ia tetap marah-marah kepada Saga.
"Nyawamu cuma satu, tolol! Jangan sia-siakan untuk berbuat bodoh! Kata orang begitu!"
Sambil tangan kanan Suro Bodong menangkis pukulan dan tendangan Kenanga, tanpa ia menoleh ke arah Kenanga.
''Senjata manusia bukan hanya nekad seperti kamu!"
Seraya kakinya menjejak ke samping dan mengenai paha Kenanga. Kenanga semakin penasaran. Ia menyerang dengan pukulan tangan kanan dan tangan kiri maju bersama. Tetapi Suro Bodong masih melotot ke arah Saga yang cengap-cengap.
"Bodoh sekali kau ini, hah?!" Sambil ia menggerakkan tangan dan kakinya untuk menangkis serangan Kenanga.
"Kalau kau tidak bisa silat, jangan coba-coba menyerang tahu?" Suro Bodong berkata kepada Saga tapi tangannya memukul siku Kenanga dengan keras.
"Auuw...!" Kenanga menjerit kesakitan. Ia segera mengambil posisi dari depan Suro Bodong. Tetapi Suro Bodong tidak menyambutnya dengan terang-terangan. Ia bahkan memutar tubuh yang ditentengnya seraya berkata:
"Kalau kau mati, apa untungmu? Kalau kau menang, itu mustahil tahu?!"
Tepat pada saat itu Suro Bodong menggerakkan kaki kanannya ke samping. Gerakannya begitu cepat dan beruntun. Tujuh kali tendangan beruntun itu mengenai dada Kenanga. Tak seorang pun tahu bahwa sebenarnya Suro Bodong telah menyerang Kenanga dengan jurus tendangan Ayam Kawin.
Tubuh Kenanga yang limbung ke belakang dengan memuntahkan darah dari mulutnya masih tidak diperhatikan Suro Bodong. Ia bahkan menenteng Saga turun panggung sembari masih mengomel tak karuan. Yang diomeli hanya mendesah dan mengerang samar-samar.
''Tunggu...! Kau telah melukaiku! Kau harus mati...!" teriak Kenanga sambil mengejar Suro Bodong. Ia mencabut pedangnya dan melayangkan tubuhnya dalam posisi kedua tangan memegangi pedang yang teracung ke depan, ke arah punggung Suro Bodong. Tetapi Suro Bodong tidak mau menoleh sedikit pun sekali pun banyak orang berteriak,
"Awass...!" Suro Bodong hanya meletakkan tubuh Saga ke lantai pinggir. Tepat pada saat itu tubuh Kenanga dan pedangnya meluncur di atas kepala Suro Bodong. Ia menggerakkan tangan kanannya ke atas dengan cepat dan keras. Pukulan itu mengenai perut Kenanga sehingga perempuan itu melintir ke samping dan jatuh tak mampu menjaga keseimbangan tubuh. Suro Bodong pun segera melesat membawa lari Saga dari arena.
Rogama tidak mau tinggal diam, ia segera melesat juga mengejar Suro Bodong. Gerakannya kurang lincah namun cukup berani. Ia melompati kepala demi kepala penonton yang dijadikan tumpuan kakinya. Ia berteriak-teriak kepada Suro Bodong:
"Hei, berhenti...! Berhenti! Kalian harus mati dulu baru boleh lari...! Berhentttiii...!!"
"Buk..! Plak...! Pletok..!"
"Bangkai busuk! Kepala orang buat injak-injakan...! Kucing kudis...! Monyet peot...! Sapi...! Kuda...! Semut...!"
Semua orang mencaci maki Rogama yang melompat dari kepala ke kepala. Mereka menyerang Rogama dengan cara apa pun. Ada yang memukul, ada yang menghantam dengan kayu, ada yang melempar batu, bahkan ada yang rela kehilangan sandal bandolnya untuk melempar muka Rogama. Akibatnya, Rogama terhambat beberapa saat. Namun kemudian ia dapat lolos dari keroyokan massa dan berlari lagi mengejar Suro Bodong.
Suro Bodong menyembunyikan Saga di belakang sebuah lumbung padi milik orang. Ia membersihkan darah dengan baju Saga yang dilepasnya. Ia masih mengomel terus sekali pun Saga sudah melontarkan kata maaf berulang kali.
"Kalau punya otak dipakai. Jangan dibiarkan membeku di kepalamu! Kenanga itu bukan orang sembarangan buat orang awam. Dia berdarah pembunuh. Sadis. Kau bisa mati tanpa jasa apa pun jika melawannya! Apalagi kau tidak mempunyai ilmu silat sedikit pun. Tahu?! Tahu kau?!"
"Sa... saya... saya hanya ingin menari dengannya, seperti kata Bapak tadi..." jawab Saga.
"Menari, menari...!" gerutu Suro Bodong. "Aku mengatakan mereka menari, karena aku menganggap ilmu silat mereka belum seberapa dibandingkan dengan ilmu silatku. Tahu?! Dasar otak udang...!"
"Maaf, Pak. Saya... saya... uuhhg...!" Saga nyaris terbatuk lagi.
''Sudah diam...! Jangan banyak bicara dan bergerak...!"bentak Suro Bodong. Kemudian ia menelentangkan tubuh Saga di tanah berjerami.
Suro Bodong memeriksa keadaan sekeliling sebentar, ternyata aman. Sepi. Maka segera Suro Bodong meludahi tangan kanannya tujuh kali. Telapak tangan yang sudah diludahi itu segera diusapkan ke dada Saga dengan gerakan memutar perlahan-lahan Tujuh kali berputar ke kanan, tujuh kali ke kiri, dan begitu dilakukannya berulang-ulang. Sambil melakukan hal itu, Suro Bodong memejamkan mata. Memusatkan pikiran untuk menyalurkan hawa murni ke tubuh Saga. Mulanya Saga masih mengerang menahan rasa sakit, tapi lama-lama erangannya berganti desah dengan nafas lega, lalu semakin hilang desahannya, dan diam. Tenang. Ia bagai tertidur dengan nafas teratur. Tapi tidak tidur sebenarnya.
"Bagaimana rasanya?"
''Yaah... lega dan ringan, Pak..."
"Jangan panggil aku: Pak. Aku belum pernah kawin dengan ibumu! Panggil saja... ah, terserah kamu. Aku salut dan kagum dengan keberanianmu yang gila-gilaan itu. Aku suka sama keberanianmu. Mulai saat ini kita berteman. Mau?" Suro Bodong sedikit tersenyum. Saga mengangguk
"Atau anggap saja aku kakakmu. Mau?"
Saga mengangguk dan mengerlingkan mata.
"Jangan genit! Tak perlu mengerlingkan mata segala!" kata Suro Bodong seraya menepuk pipi Saga. Tapi anak muda itu masih mengangguk dan mengerlingkan mata. "Apa-apaan kamu ini? Genit amat seperti perempuan saja!"
Saga masih mengangguk dan berkerling. Suro Bodong mendengus kesal. Ia berkata:
"Namaku Suro Bodong, kau boleh saja me..." Suro Bodong berhenti berkata setelah ia berdiri dan berbalik ke arah belakangnya. Ternyata di sana telah berdiri Rogama dengan beberapa bekas memar akibat keroyokan massa tadi. Rogama memandang Suro Bodong dengan sorot kemarahan yang masih ditahan kuat-kuat dan akan segera diledakan di situ.
Suro Bodong tertawa sendiri di dalam hati. Ia garuk-garuk kumisnya. Pantas Saga sejak tadi mengangguk dan berkerling mata. Rupanya anak itu memberi isyarat, bahwa di belakang Suro Bodong telah berdiri musuh yang siap melampiaskan kemarahan. Suro Bodong geli sendiri karena mengira Saga berlaku genit.
"Mau lari ke mana kau, Pengecut?!" geram Rogama.
Suro Bodong garuk-garuk kumis sebentar. "Lariku tak akan jauh. Tenang saja," kata Suro Bodong kepada Rogama.
"Karena kau sudah melukai, dan anak itu sudah berani menantang Putri Kenanga, maka kalian berdua harus mati!"
"O, ya? Ah, aku tidak tahu kalau ada peraturan seperti itu, Paman..." Suro Bodong ikut-ikutan memanggil 'Paman' karena ia mendengar Kenanga memanggil Rogama: Paman.
"Supaya kau mati dengan jantan, lekas pergi ke arena dan hadapi Putri Kenanga."
"Aku bukan pendekar sombong seperti lawan-lawan Kenanga. Aku pendekar baik-baik saja. Jadi, aku tidak mau pergi ke arena dan bertarung dengan Kenanga. Lagi pula, kalau toh aku menang, percuma. Aku tidak bernafsu mendapatkan perempuan seperti Kenanga itu!"
Suro Bodong mencibir sinis, sengaja menonjolkan kesombongannya untuk menghina Rogama. Dan hal itu membuat Rogama semakin panas hati. Ia menggeram dengan tangan mengepal kencang.
"Bicaramu sudah melampaui batas kesabaran, Kadal! Mau tak mau aku sendiri yang harus meremukkan mulutmu. Hiaat...!"
Rogama menyerang dengan tendangan lurus ke depan, ke arah dagu Suro Bodong. Suro Bodong hanya menggerakkan dadanya miring ke samping sedikit ke belakang. Kedua tangannya masih tetap terjulur ke bawah dengan lemas. Pada saat tendangan itu melesat mengenai tempat kosong, kaki kiri Rogama segera menyusul dengan tendangan lompat ke arah kepala Suro Bodong.
"Kadal buntung, rasakan tendangan yang ini, hiaat...!"
Suro Bodong memiringkan badannya lagi ke samping lain. Ia hanya mengelak, tidak menangkis atau pun memberi serangan balasan. Dan waktu kaki Rogama yang molos lagi, tidak mengenai sasaran itu melesat, kaki tersebut segera bergerak ke samping kanan sebelum kembali ke tanah. Suro Bodong merendahkan badan dengan cepat, dan kaki Rogama lewat di atas kepalanya bagai kibasan pedang. Begitu kaki itu sampai ke tanah, Rogama melancarkan pukulan gandanya ke arah wajah Suro Bodong. Namun Suro Bodong hanya berkelit meliukkan badannya ke kanan dan ke kiri sehingga pukulan Rogama tak satu pun ada yang menyentuh kulitnya.
"Kang.... serang dia, Kang Suro...!" seru Saga yang masih duduk di tanah berjerami, bersandar dinding belakang lumbung tersebut.
Rogama melesat ke atas. Badannya yang gemuk seperti karung beras hendak jatuh dari langit. Tetapi gerakan kakinya yang lurus ke samping cukup membahayakan bagi Suro Bodong. Karena itu Suro Bodong buru-buru berguling ke tanah menghindari tendangan tersebut. Tapi pada saat itu, ketika tubuh
Rogama melayang ke atas dan Suro Bodong berguling di bawahnya, Rogama mengibaskan tangan kanannya.
"Juub...!"
Sebuah senjata rahasia berbentuk segi tiga dari lempeng baja yang tajam menancap di tanah, tepat beberapa mili dari pinggang Suro Bodong. Hampir saja pinggang Suro Bodong ditembus senjata rahasia berbentuk segi tiga sama sisi itu. Suro Bodong terbengong sejenak melihat tanah yang dipakai menancap senjata tersebut mengeluarkan asap kuning kusam. Suro Bodong terbengong segera meloncat menjauhi asap tersebut. Matanya masih belum berkedip memandang senjata rahasia Rogama yang aneh, sebab benda tersebut kini menjadi merah membara, seperti besi dipanggang dalam api yang panas. Kemudian jerami di sekitar senjata itu ada yang hangus dan nyaris membakar sekelilingnya. Suro Bodong segera menginjak-injak api tersebut. Andai tidak begitu, tentu akan terjadi kebakaran di lumbung tersebut, dan lumbung itu pun dapat terbakar semuanya.
"Suro...!" sapa Rogama yang tadi mendengar Saga memanggil lawannya dengan sebutan: Kang Suro. "Kuingatkan sekali lagi, Suro, pergilah ke arena secepatnya dan matilah di sana dengan terhormat. Jangan kamu mati di sini
karena senjataku itu. Kau akan mati tanpa kemegahan, tau?!"
''Terima kasih atas saranmu, Paman. Tapi aku lebih suka kalau kau mati di sini dulu, baru aku akan ke sana menemui Kenanga dan melaporkan kebodohanmu!" Suro Bodong tersenyum sinis. Ia garuk-garuk kumis sebentar. Rogama menggeram kesal.
"Benar-benar tak patut diberi kesempatan kau, Suro...! Jangan menyesal kalau kau mati di sini juga, hiaaat..!"
Rogama melompat ke atas seolah-olah hendak menyerang dengan tendangan. Tapi sebenarnya Rogama hanya sekedar mengguncangkan konsentrasi Suro Bodong, dan segera ia melayangkan senjata rahasianya yang berbentuk lempengan baja segi tiga itu.
"Zeeet... suiing...!"
Senjata itu meluncur dengan kecepatan yang tak terjangkau oleh penglihatan mata manusia biasa. Tapi karena Suro Bodong sudah terlatih untuk melihat gerakan angin, maka ia segera merundukkan kepala dan membiarkan senjata segi tiga sebesar tutup gelas itu melesat melewati samping telinganya. Senjata itu melayang lurus dan menancap pada sebuah pohon yang jauh dari tempat mereka bertarung. Suro Bodong berguling ke tanah beberapa kali. Lalu tubuhnya berhenti tepat di bawah kaki Rogama. Segera kaki Suro Bodong melancarkan jurus Tendangan Ayam Kawin yang cukup membuat lawan kewalahan, dan tadi sempat membuat Kenanga tak mampu mengelak.
Tendangan itu begitu cepat dan bergerak tujuh kali secara beruntun. Dari tendangan kaki kiri, ganti kaki kanan tujuh kali menendang beruntun dengan cepat sekali. Rogama menggeragap dan tak sempat berteriak kecuali mengangakan mulutnya. Posisi tubuh Suro Bodong masih seperti telentang di tanah dengan menggerakkan kakinya ke atas, mengenai paha, perut dan selangkangan Rogama. Lalu ia segera berdiri menghadapi Rogama yang limbung.
“Itu yang namanya Tendangan Ayam Kawin, tahu?! Sekarang kau harus merasakan jurus Keringat Onta ini, haeeet...!"
Suro Bodong menggerakkan kedua tangannya bersimpang siur di depan mata, lalu meludahi kedua telapak tangannya masing-masing tujuh kali. Kedua telapak tangannya itu dimasukkan ke dalam baju jubahnya, disekapkan pada ketiaknya, kemudian tangan kirinya segera menampar mulut Rogama, disusul dengan tangannya yang mencengkeram hidung dan mulut Rogama. Lelaki gemuk bertubuh agak pendek itu menggelepar-gelepar sejenak. Matanya melotot, tangannya masih memegangi bagian selangkangan. Lalu lelaki itu melemas. Matanya sayu, dan ia jatuh terkulai dalam keadaan pingsan. Itulah kehebatan jurus Keringat Onta dari Suro Bodong, di mana lawan akan terbius pingsan jika mencium bau dari keringat dan ludah Suro sendiri. Itu memang jurus yang jarang dipakai oleh Suro sebab menjijikkan. Tapi jika terpepet, apa boleh buat, daripada ia membunuh lawannya.
"Ayo, lekas kita tinggalkan tempat ini!" ajak Suro kepada Saga yang masih terbengong heran memandang Rogama yang pingsan itu.
"Kang, ilmumu hebat juga, ya?"
"Ah, sudah...! Jangan banyak memuji. Lekas kita pergi, Saga...!" Suro Bodong menarik tangan anak muda itu.
"Ke mana kita pergi, Kang Suro?"
"Ke...?" Suro Bodong kebingungan. "Ke mana sajalah..!"
"Bagaimana kalau ke rumahku?" usul Saga.
"Boleh. Eh, lihat itu..." Suro Bodong menuding ke arah di depan lumbung padi tempatnya tadi. "Dia mencari kita, Saga. Untung kita cepat pergi..." Seorang perempuan berpakaian serba hijau berjalan pelan dan clingak-clinguk. Dia adalah Kenanga Hijau yang tentu mencari kepergian Rogama, pengawalnya. Suro Bodong menyelinap di antara tumpukkan batu bata yang belum dibakar. Ia melewati rumah orang bagian belakang, bahkan terbungkuk-bungkuk menyelusup di bawah jemuran pakaian basah.
"Kenapa kau kelihatannya takut dengan perempuan itu, Kang?" tanya Saga. "Padahal aku yakin kau bisa menang jika bertarung melawannya. Ilmu silatmu cukup hebat."
"Aku curiga pada dia. Pasti ada sesuatu yang ia inginkan. Ia punya rencana sendiri, sehingga ia harus menantang banyak pendekar. Mungkin orang yang dapat mengalahkan dia itulah yang ia cari untuk maksud tertentu. Kau mengerti?"
Saga mengangguk Suro Bodong bicara lagi sambil mengikuti arah langkah kaki Saga yang menuju ke rumahnya.
"Dan, aku tidak mau mengalahkan dia. Nanti malah terlibat urusan dengan dia. Aku punya urusan sendiri."
“Urusan apa, Kang? Mungkin aku bisa membantumu."
Suro Bodong melirik Saga sebentar. Mempertimbangkan sesuatu, namun akhirnya bicara juga yang sebenarnya.
"Aku mencari seorang perempuan yang bernama Ratna Prawesti. Perempuan itu cantik. Kalau tersenyum ada lesung pipit di pipinya. Tubuhnya lencir, mirip Kenanga. Hidungnya mancung. Matanya bulat bening. Ia memakai gelang kaki perak bermata merah delima. Apa kau pernah melihat perempuan seperti itu, Saga? Dia kekasihku yang sedang kucari!"
Saga menggeleng dalam bungkam. Tetapi, beberapa saat kemudian ia berkata sambil tetap melangkah:
"Kalau melihat perempuan seperti itu, aku belum pernah, Kang. Tapi kalau mendengar namanya... sepertinya aku sudah pernah"
Suro Bodong bersemangat dan segera bertanya, "Di mana kau mendengar nama itu disebutkan? Di mana? Atau... siapa yang menyebutkannya? Siapa, Saga?"
Saga berkerut dahi beberapa lama, mengingat-ingat. Lalu menggeleng. Ia menjawab:
"Entah. Aku tak ingat, Kang. Tapi aku yakin, aku pernah mendengar nama itu disebutkan."
"Iya, tapi siapa yang menyebutkan? Di mana kau mendengarnya?"
"Entah. Sulit sekali kuingat!"
"Haahh...!" Suro Bodong mendesah lagi. Ia berhenti melangkah. Ia memandang Saga. Dalam hatinya berkata, "Anak ini mungkin bisa berguna bagiku..."
Saga melihat rona kekecewaan di wajah Suro Bodong yang bermata selalu semburat merah tipis, seperti orang mabok. Kekecewaan itu membuat rasa haru di hati Saga, lalu ia segera berkata:
"Bersabarlah, Kang. Aku akan selalu berusaha untuk mengingatnya. Mungkin tidak sekarang, mungkin nanti, atau besok, atau... kapan saja aku ingat, pasti kukatakan kepadamu."
Suro Bodong menghempaskan nafas. Angkat bahu tanda pasrah, lalu garuk-garuk kumis dengan telunjuknya. Ia bertanya pelan, bagai tak bersemangat:
"Masih jauh rumahmu?"
“Tidak Itu, di balik deretan rumah itu..."
"Ayo ke sana..!" ajak Suro Bodong dengan hati gundah sejak ia mendengar kata-kata Saga tadi.
Saga buru-buru menggeret tangan Suro Bodong dan bersembunyi di belakang WC jamban. WC itu terbuat dari bilik, bagian atapnya telah rusak akibat terbakar. Dan ternyata di depan WC itu, juga di beberapa tempat lainnya, banyak bangunan sisa kebakaran yang masih berserakan. Belum dibangun lagi oleh bekas pemiliknya. Ada sekitar empat atau enam rumah yang bekas terbakar. Suro Bodong menggumam heran.
"Hei," bisik Suro Bodong. "Mana rumahmu?"
Saga menuding. "Itu, yang ada di bawah pohon kelapa tinggi itu...!"
"Lalu kenapa kita bersembunyi di sini? Baunya aku tak tahan," sambil sesekali Suro Bodong mengibaskan tangannya di depan hidung.
"Kau lihat rumahku?"
"Iya. Aku tahu, yang di bawah pohon kelapa tinggi itu, kan?"
"Kau lihat di sekitar rumahku itu?"
Suro Bodong memperhatikan keadaan rumah yang dimaksud Saga. O, ya... ada beberapa orang berseragam biru hitam dan ada beberapa orang yang berkuda. Mereka agaknya sedang memeriksa keadaan sekitar rumah Saga. Ada yang menggali di bagian belakang rumah, ada yang membongkar genteng bagian pinggir, ada yang mengorek-ngorek bawah tiang, dan mereka agaknya sangat sibuk.
“Siapa mereka itu, Saga?" bisik Suro Bodong.
"Mereka orang-orang Kepatihan Benteng Cadas." "Ooo..." Suro Bodong manggut-manggut. "Apa yang mereka lakukan di rumahmu itu?"
"Pasti mereka menggeledah seluruh isi rumahku! Sialan!"
"Apakah ayah-ibumu tidak melarangnya jika begitu?"
"Ibuku sudah lama meninggal," jawab Saga pelan.
"Oh, maaf. Aku tidak menyuruhnya," kata Suro Bodong tanpa menyadari arti kata-katanya. "Lalu, ayahmu...?"
"Ayahku... ayahku sudah seminggu ditawan oleh orang-orang Benteng Cadas."
Saga tampak sedih. Suro Bodong mengusap ngusap kepala anak itu. Ia mendesah lirih, ikut bersedih Saga melanjutkan kata:
"Ia ditawan di sana. Katanya, untuk menebus ayahku, cukup mahal. Sebab itulah aku bertekad melawan Kenanga tadi dengan meminta imbalan uang banyak. Maksudku uang itu akan kugunakan menebus ayahku..."
Suro Bodong tertegun sejenak, matanya menyaksikan orang-orang berseragam yang sibuk menggeledah rumah Saga.
Suro Bodong menarik kesimpulan, bahwa Saga dalam ancaman bahaya. Pasti ia pun dicari oleh orang-orang itu. Kasihan sekali anak ini, pikir Suro Bodong. Tak ada waktu untuk mengajarkan silat sebagai pegangan dan bekal Saga. Sebab itu, dengan cepat Suro Bodong meraih bambu kecil.
"Astaga...! Mereka mengeluarkan semua barang-barang di dalam rumahku..." keluh Saga dalam bisikan. Suro Bodong memandang kejadian itu dengan tangan sibuk mematahkan bambu kecil. Bambu tersebut dipatahkan dengan tanpa mengakibatkan pecahnya bambu itu.
"Kang, lihat kekasaran orang-orang itu...!" bisik Saga dengan gemas.
"Aku tahu," jawab Suro Bodong seraya mengintip bambu kecil itu yang ternyata bolong melompong dan tidak ada keretakan. Lalu ia segera membelah ujung bambu dengan kuku jempol tangannya. Sulit sekali, namun akhirnya berhasil. Ujung bambu terbelah sedikit, itu sudah cukup.
"Kang, apa yang kau lakukan itu?"
"Tenang saja, Saga. Ini nanti akan menjadi senjata buat kamu..." jawab Suro seraya ia memandang ke tanah sekeliling. Saga memperhatikan dengan heran. Dalam hatinya bertanya-tanya: bambu kecil, tak lebih dari sejengkal, bagaimana mungkin bisa dibuat senjata? Apalagi melawan orang-orang Kepatihan yang berkuda dan gagah-gagah semua. Belum lagi saat ini
mereka berjumlah sekitar tujuh orang berkuda, mana mungkin senjata bambu kecil dan pendek itu bisa dipakai untuk melawannya?
Suro Bodong benar-benar sibuk. Ia meraih selembar pelepah pisang yang sudah kering. Ia membesetnya, lalu menggigit-gigit kulit pelepah pisang itu. Susah sekali, namun akhirnya berhasil. Ia memperoleh secuil kulit pelepah pisang yang sudah kering, namun masih alot. Kulit tersebut berusaha disisipkan di antara ujung bambu yang telah terbelah sedikit itu. Susah, tapi akhirnya berhasil juga.
Saga masih terheran-heran dan tidak mau banyak tanya, karena di dalam hatinya juga penasaran: apa yang akan dilakukan Suro Bodong yang berambut tak teratur itu? Waktu Suro Bodong memasukkan bambu itu ke mulutnya dan meniupnya pelan-pelan, barulah Saga tahu bahwa Suro Bodong membuat sebuah peluit dari bambu tersebut. Namun kali ini, Suro Bodong membongkar lapisan kulit yang dijepit di antara belahan ujung bambu. Ia membetulkan letaknya sesaat, kemudian meniupnya lagi dengan tiupan pelan-pelan. Kemudian ia tersenyum lega seraya memberikan bambu itu.
"Pakailah sempritan ini sebagai senjata buatmu," kata Suro Bodong.
Saga masih heran sekalipun ia menerimanya.
"Senjata...? Senjata untuk apa ini?"
"Tiuplah...!"
Saga mencoba meniupnya dengan pelan. Tak ada bunyi apa-apa yang keluar dari peluit bambu itu.
"Mana bunyinya?" tanya Saga heran.
"Peluit itu sebenarnya berbunyi, tapi telinga kita, pendengaran manusia tidak bisa mendengarnya. Suara yang keluar dari peluit itu cukup tinggi, di atas pendengaran manusia, sehingga manusia tidak akan bisa mendengarnya."
Saga merasa sedang dibohongi oleh Suro Bodong. Ia bermaksud membuangnya.
"Ah, kamu bercanda dalam keadaan begini, Kang...!"
"Eh, tunggu. Jangan dibuang! Dengar,ya... peluit ini kuatur suaranya melalui kulit gedebong pisang yang terjepit di ujungnya. Memang suaranya tidak bisa kaudengar, sebab seperti kukatakan tadi, suara peluit ini di atas daya tangkap pendengaran manusia. Tetapi hewan apa pun akan mendengarnya. Dan hewan apa pun yang mendengarnya akan merasa ditusuk-tusuk telinganya. Suara dari peluit ini tidak akan disukai oleh hewan apa pun. Kalau tidak percaya, coba kau tiup dengan hempasan nafas agak keras."
Saga melakukan perintah Suro Bodong, ia meniup bambu kecil itu dengan tiupan agak kencang. Suro Bodong melirik ke arah rumah Saga. Pada saat itu, ada beberapa kuda yang diikatkan pada pohon, dan ada yang masih ditunggangi oleh orang-orang berseragam biru hitam. Kuda-kuda tersebut tiba-tiba meringkik bagai ada yang menggelitik. Bukan hanya satu kuda, tetapi semua kuda meringkik saling bersahutan.
"Lihat, kuda-kuda itu meringkik dan bergetar-getar kakinya. Itu pertanda suara ini bisa didengar oleh kuda dan menggelitik telinganya."
Saga tersenyum bangga. Lalu ia mengarahkan bambu itu ke rumahnya dan meniupnya lebih keras. Tak ada suara yang keluar dari peluit itu. Namun kuda-kuda itu semakin meringkik bagai jeritan, dan kaki depannya terangkat-angkat. Penunggang kuda kebingungan dan berusaha mengendalikan hewan tersebut. Saga tertawa, "Hebat. Kau hebat, Kang!"
Salah seorang berseragam biru kusam berseru, "Hei, ada orang di sana! Siapa itu?!"
"Gawat! Teriakanmu didengar oleh mereka, Saga!"
3
SAGA sempat memasukkan peluit bambu ke dalam kantong bajunya yang berlengan panjang itu, sebelum orang-orang berseragam biru hitam menangkap mereka berdua. Suro Bodong dan Saga berjalan dalam todongan dua orang bersenjata tombak tajam. Masing-masing tombak panjangnya seukuran tubuh manusia dewasa. Di tiap mata tombak selain tajam dan berbentuk seperti ujung panah, juga di bawah mata tombak itu terdapat duri-duri tajam. Tempat yang bagai ditumbuhi duri itu kira-kira sepanjang dua jengkal dari mata tombak. Jika kulit manusia tersentuh batang tombak bagian tersebut, sudah pasti akan terluka gores beberapa baris.
"Apa yang kau lakukan mengintai kami, hah?!" bentak seorang lelaki berewok dari atas punggung kuda. Mungkin dialah pimpinan dari keenam orang penggeledah rumah Saga itu.
"Kami tidak mengintai," jawab Suro Bodong dengan garuk-garuk kumisnya tebal, bersikap tenang.
"Jangan-jangan orang ini ada hubungannya dengan Ki Pupus," seru seseorang yang tadi terlihat mengorek-ngorek tanah di bawah tiang rumah belakang. "Kalau memang benar dia ada hubungannya dengan Ki Pupus, berarti dia juga tahu apa yang kita cari, Brogo!" seru orang yang satunya lagi dengan memanggil Brogo kepada laki-laki berewok di atas punggung kuda.
"Benar, kau ada hubungan dengan Ki Pupus?!" tanya Brogo kepada Suro Bodong. Dengan santai, sebentar garuk-garuk kumis, Suro Bodong menggeleng.
"Bohong! Kau pasti ada hubungan dengan Ki Pupus!" bentak Brogo. "Mengakulah sebelum kuseret kau ke Benteng!"
"Ki Pupus itu siapa? Pawang hujan?!"
Brogo gemas melihat ketenangan Suro Bodong yang berani bicara santai sekali di depannya. Ia segera memerintahkan kepada anak buahnya:
"Ikat kedua orang ini di pohon, dan cambuk sampai ia mengaku...!"
Dua orang menyeret Saga dan Suro Bodong ke sebuah pohon kelapa yang menjulang tinggi. Salah seorang mengambil cambuk dan tali dari pelana kudanya. Sedangkan tiga orang yang masih di atas punggung kuda, demikian juga Brogo yang bersenjata pedang di pundaknya.
Saga memang mempunyai nyali yang cukup besar. Dalam suatu kesempatan, sebelum tali datang untuk mengikatnya, ia berhasil meronta dan meloloskan diri.
"Aku tidak mau...! Aku tidak mau dicambuk...!"
"Saga...?!" keluh Suro Bodong dengan kecewa, karena hal itu malahan akan mencelakakan diri Saga. Padahal Suro Bodong mempunyai rencana sendiri untuk masalah ini. Tapi kini Saga telah berhasil lolos dan berlari kian kemari dikejar-kejar tiga orang, termasuk si pembawa cambuk dan tali yang dipakai untuk mengikat tubuhnya. Salah seorang mengejarnya dengan kuda. Dan yang lainnya segera membuat barisan penghalang jalan dengan menjajarkan kuda mereka di depan Saga. Sementara itu, tangan Suro Bodong belum terikat, namun masih dalam todongan tombak.
Tiba-tiba Saga berguling-guling di tanah sambil meniup peluit bambunya. Kontan kuda-kuda jejingkrakan, meringkik dan mengangkat kedua kaki depannya dengan hentakan keras. Para penunggang kuda kewalahan. Dua di antaranya terjatuh tak tentu letak. Sementara dua kuda yang salah satu ditunggangi Brogo meronta-ronta dengan binal. Brogo terlempar dari punggung kuda yang meringkik-ringkik. Kuda-kuda itu mengamuk di tempat tersebut dengan ringkiknya yang menjerit-jerit membingungkan mereka.
Saat itulah Suro tersenyum, kemudian segera menendang orang yang menodongkan tombak ke arahnya. Orang tersebut terpana oleh kejadian aneh itu, maka dengan mudah Suro Bodong menendang dadanya hingga orang itu terpelanting jauh memur pohon kelapa.
Orang yang menodongkan tombak itu hendak melemparkan tombaknya ke arah Suro Bodong. Tetapi seekor kuda yang brutal telah menyepak tengkuk kepalanya dengan keras. Ia memekik dan jatuh tersungkur dengan wajah membentur batu.
Orang-orang Kepatihan itu masih bingung dan belum mengetahui mengapa kuda-kuda mereka menjadi mengamuk seperti itu. Dua penunggang kuda dalam keadaan patah kaki dan tulang pada pundaknya. Mereka mengaduh-aduh seraya menggelosor di tanah. Kuda-kuda itu berhenti meringkik, berhenti mengamuk, setelah Saga juga berhenti meniup peluit bambu. Saga segera berlari ke arah Suro Bodong.
"Kang, ayo kita lari...! Lekas...!" Saga menarik-narik tangan Suro Bodong. Tetapi Suro Bodong bertahan. Seorang bersenjata tombak segera berlari menyongsong Suro Bodong
"Cepat cari tempat persembunyian yang aman...!" perintah Suro Bodong kepada Saga. Saga pun lari ke puing-puing bekas rumah tetangganya yang sudah terbakar habis.
Suro Bodong melompat pada saat tombak itu melesat ke arah perutnya. Sambil melompat, kaki kirinya menendang dagu orang tersebut sehingga orang itu mengaduh keras. Temannya menyusul dengan tombak juga. Tetapi sebelum orang itu dekat dengan Suro Bodong, Suro telah lebih dulu menghantam wajah orang yang mengaduh. Pukulannya cukup kuat. Orang itu melintir, dan kaki Suro Bodong segera menendang kuat-kuat tulang rusuk orang itu. "Krak...!" Terdengar bunyi patah dari tulang rusuk itu yang membuat orang tersebut makin menjerit dan jatuh ke tanah kelojotan.
Orang yang baru datang menusukkan tombaknya ke arah kepala Suro Bodong. Suro merunduk. Tombak itu menghantam ke bawah Suro berguling mendekati kaki orang itu. Ia ditendang dan kena pada bagian leher kirinya. Suro menjadi telentang. Orang itu menghunjamkan tombak ke perut Suro Bodong sambil berteriak,
"Hiaaaat..!!"
Kaki Suro Bodong bergerak bagai kipas dan membuat tombak yang tinggal beberapa senti dari dadanya itu melesat ke arah lain karena tendangannya. Kemudian Suro Bodong menggerakkan kedua kakinya ke atas, memutar, dan dengan punggungnya ia berhasil melentikkan tubuh hingga berdiri
"Heaaat...!!"
Suro Bodong berteriak sambil menendang dalam satu lompatan yang manis. Baju jubahnya yang terbuka bagian depan itu berkibar bagai sayap garuda menghempas lawan. Orang yang ditendangnya terbatuk-batuk dan mengeluarkan darah kental dari mulutnya. Suro Bodong tak memberi waktu sedikit pun, ia segera menghantam dada orang itu dengan siku tangan kanannya setelah ia bergerak ke samping orang tersebut. Siku itu menyodok keras di ulu hati sehingga lawannya terbeliak-beliak dan tak mampu berteriak.
Empat orang sudah berhasil dilumpuhkan, kendati yang dua menjadi tak berdaya karena kakinya patah dan pundaknya terasa sempal oleh amukan kuda. Kini tinggal tiga orang berseragam biru hitam. Mereka kehilangan kuda, karena kuda-kuda itu berlarian tak tentu arah setelah Saga berhenti meniup peluit. Tinggal ada satu kuda yang masih terikat tali kekangnya pada sebuah pohon di samping rumah.
Brogo berdiri di depan Suro Bodong. Pelipisnya berdarah akibat ia terlempar dari punggung kuda tadi. Dua orang bersenjata bola rantai berduri dan yang satu bersenjata tombak, berdiri di samping kanan kiri Brogo. Orang yang memegangi tombaknya itu sudah memar matanya akibat ia tadi terlempar dari punggung kuda juga, dan entah kena apa matanya itu sehingga bisa biru memar.
"Kuingatkan," kata Brogo menggeram. "Menyerahlah sebelum kami membunuhmu. Lebih baik kau berurusan dengan Patih Danupaksi, atasan kami itu di Benteng Cadas!"
Suro Bodong garuk-garuk kumisnya dengan telunjuk. Ia mengangkat wajah, sedikit mendongak dan memandang sinis kepada Brogo. Suro Bodong berkata juga:
"Kuingatkan, pulanglah ke atasanmu dan jangan ganggu kami lagi, sebelum kalian kubunuh semuanya!"
"Siapa kau sebenarnya, Bajingan!"
"Aku...? Aku bajingan! Seperti yang kau sebutkan tadi!"
"Bah! Kau belum kenal siapa aku, kau tak akan berani berkata seperti itu, Bajingan!"
"Ah, aku tidak perlu punya kenalan seperti kamu. Untuk apa? Aku sudah punya banyak kenalan bodoh, mengapa harus mencari yang tolol lagi?" kata Suro Bodong seenaknya.
Brogo menggeram dengan mata melebar marah. "Jahanam!"
"Kau juga...!" jawab Suro Bodong kalem.
"Bangsat...!!" teriak Brogo.
"Kau juga bangsat!"
Brogo bernapas terengah-engah karena amukan amarahnya. Suro Bodong masih berdiri dengan tenang. Dagunya sedikit terangkat, matanya agak menyipit, kakinya terenggang tegap. Ia tidak menghindari tatapan mata Brogo. Ia bahkan berkata:
"Mau apa kau?!"
"Serang...!" teriak Brogo kepada orang di kanan kirinya.
"Serang...!" teriak Suro Bodong yang kemudian terbengong karena menyadari ia tidak punya orang di kanan kirinya. "Ah, brengsek..! Biar kuserang sendirilah...!"
"Hiaaaat...!"
"Ciaaaat...!" Suro Bodong berteriak tanpa bergerak. Hal ini membuat Brogo memandang heran.
Brogo berkata dalam hatinya:
"Jangan-jangan aku berhadapan dengan orang gila..?!"
Suro Bodong menggerakkan kepalanya ke belakang dengan badan melengkung ke belakang. Bola berduri yang sebesar kepala bayi itu menyambar di depan hidungnya. Kalau saja kena, hidung Suro Bodong bisa copot dari wajah kasarnya. Suro Bodong segera berguling ke tanah mendekati pembawa rantai bola berduri. Lalu dengan cepat kaki kanannya menendang pinggang orang itu dan segera ia berdiri lagi dalam satu hentakan tangan ke tanah. Begitu berdiri ia disambut oleh hunjaman tombak orang yang lain. Suro Bodong terpaksa melompat ke atas dan kakinya berdiri tepat di atas batang tombak tersebut. Pemegang tombak terpana melihat ilmu peringan tubuh yang amat sempurna dikuasai Suro Bodong sehingga mampu berdiri tegak di batang tombak yang terjulur ke depan. Orang itu mengibaskan tombaknya ke kanan dan ke kiri, maksudnya supaya Suro Bodong terjatuh. Namun tubuh sedikit gemuk itu masih saja tetap berdiri tegak di atas tangkai tombak. Bahkan kali ini bergeser mendekati wajah orang tersebut, dan ia menendangkan kaki kirinya ke samping. Pinggiran telapak kaki mengenai wajah orang itu.
"Aaaoow!!"
Orang itu menjerit seraya memegangi matanya yang satu, yang tidak memar. Saat itu, Suro Bodong melompat ke arah lain karena bola berduri menyambarnya lagi. Bahkan kini bola berduri itu berputar-putar bagai kipas angin, makin lama makin mendekati kepala Suro Bodong. Suro Bodong hendak berguling, namun putaran
bola berduri itu berubah posisi, kini seperti menyambar bagian atas dan bawah. Tentu saja kalau Suro Bodong berguling ke tanah, ia akan terkena sambaran bola berduri yang tajam. Karenanya ia malahan diam di tempat. Menonton keterampilan putar bola berantai panjang sambil garuk-garuk kumisnya.
Tahu-tahu bola itu meluncur ke arahnya. "Weess..!" Hampir saja kepala Suro Bodong remuk terhantam bola berduri yang terbuat dari besi itu. Untung ia sigap dan segera berguling ke bawah, kendati untuk itu ia terpaksa mengadu dagunya dengan batu. Lecet dagu itu tak dihiraukan. Suro melihat ada kesempatan bagus di depannya. Tangan musuhnya kebingungan menarik rantai, sebab bola berduri itu menancap pada sebuah pohon. Kesempatan itu dipakai Suro Bodong untuk berguling sekali lagi dan melancarkan Tendangan Ayam Kawin ke arah paha. Tujuh kali tendangan beruntun ke selangkangan. Orang itu menjerit kesakitan dengan mulut ternganga lebar. Suro Bodong segera berdiri tepat kepalanya di bawah dagu orang itu. Lalu ia menggerakkan pukulan ta-ngan kirinya ke atas.
"Heaah...!!" Dan pukulan itu mengena telak di dagu orang tersebut. Perut orang itu ada di depan hidung
Suro Bodong. Segera saja perut tersebut ditebas oleh kedua tangannya dengan pukulan samping telapak tangan. Kedua pinggang yang dipenggal oleh tangan Suro Bodong itu membuat perut tersebut seperti dijepit besi besar dan membuat orang itu susah bernapas.
Gerakan berikutnya tak berbeda waktu, yakni kedua tangan Suro Bodong menapak di tanah, lalu dia menggerakkan kakinya ke atas dengan kuat. Tendangan sambil nungging itu mengenai ketiak orang tersebut. Tangan itu lepas memegangi rantai bola berduri, dan kaki Suro mengibas lagi ke rusuk orang itu, sehingga orang itu terpental dan berguling-guling seraya berusaha untuk berteriak dengan susah.
Brogo berlagak tenang. Bertepuk tangan seenaknya dengan senyum sinis memancarkan kebencian.
"Bagus sekali permainanmu itu, Kawan..." kata Brogo.
"Ah, sudah lama aku bisa bermain dengan bagus," Suro Bodong berlagak tersipu. Ia berdiri menunggu saat tertentu di mana Brogo akan menyerangnya. Ia sempat garuk-garuk kumisnya dengan jari telunjuk
"Tapi aku, Brogo... belum tentu bisa kau buat seperti dia..." kata Brogo seraya masuk selangkah demi selangkah. "Ah, itu soal gampang!" kata Suro Bodong tak mau kalah gertak. "Aku bisa menjagal kebo hutan kok!"
"Tapi aku bukan kebo, tahu?!" bentak Brogo dengan mata melotot. Lalu dia segera mencabut pedangnya dari punggung.
"Ratusan orang sudah pernah merasakan kehebatan pedang ini, tahu?! Dan hampir semua yang pernah merasakan pedangku ini tak ada yang mau hidup lagi."
"O, ya? Aku belum merasakan. Coba, kurasakan...!"
Brogo benar-benar panas hatinya, merasa disepelekan oleh Suro Bodong. Karenanya ia segera menyerang Suro Bodong dengan satu teriakan yang cukup keras dan membuat Suro Bodong kaget. Suro Bodong tidak main-main terlonjak kaget karena teriakan itu, sehingga ia tertawa sendiri merasakan kelucuannya. Namun tubuh Suro Bodong dapat mengelak tikaman pedang yang terarah kepadanya. Hanya dengan merubah posisi kaki yang tanya menghadap ke Brogo, kini kaki kanan ditarik ke belakang dan dia jadi menghadap ke samping, maka pedang Brogo molos melalui depan perutnya.
Tangan kanan menghantam pergelangan tangan Brogo yang memegangi pedang, dan tangan kiri melebar ke samping dengan satu kepalan kuat. Kedua tangan yang bergerak serentak itu membuat Brogo terpelanting beberapa langkah, karena tangan kiri Suro yang bergerak bagai sayap garuda melebar itu mengenai pipi Brogo. Suro Bodong berjalan menyamping dengan mata melirik Brogo. Jarak mereka cukup renggang, sehingga untuk menyerang Brogo perlu melompat dan bersalto di udara. Ia melayang melewati kepala Suro Bodong.
"Hiaaaaaat...!!"
Pedang mengibas bagai hendak membelah kepala Suro Bodong. Tetapi Suro Bodong justru berguling ke tanah sehingga jarak itu semakin jauh saja.
"Kau cukup alot, Bajingan!" geram Brogo.
"Memang. Aku sendiri heran, mengapa aku tidak bisa mencicipi pedang pembelah kayu bakar itu," ucap Suro Bodong dengan kalem. Ia garuk-garuk kumis, lalu tersenyum. Hal itu menambah kegemasan hati Brogo.
"Rupanya aku tak boleh main-main lagi denganmu!" kata Brogo dengan kata-kata pelan dan tandas.
"Ya. Kurasa jangan main-main. Pulang saja, nanti emak dan bapakmu mencarimu, Nak!"
Brogo menggumam dalam geram yang mata membakar darah. "Aku ingin tahu, sampai di mana kekuatanmu menerima jurus Pedang Gunturku ini...!" "Nah, begitu...! Dari tadi kek dikeluarkan jurus pedang yang bisa buat hiburan orang sunatan. Ayo... jangan sungkan-sungkan...!"
Brogo tidak mempedulikan ucapan tersebut. Ia segera merendahkan kedua kaki yang mengangkang. Pedangnya melintang di atas kepala. Tangan kanan memegangi tangkai pedang dan tangan kirinya bagai mendorong sesuatu yang berat dari batas pinggang sampai ke atas, menyentuh pucuk pedang. Tangan kiri itu mengusap tepian pedang dari pucuk sampai ke tangkainya, lalu menyatu dengan tangan kanan, memegangi tangkai pedang. Kedua tangan menebaskan pedang ke arah samping kanan, ke samping kiri, menarik ke belakang, dan menusukkan ke depan dengan satu teriakan keras:
"Heaaaat...!"
"Ziiing...!"
Keluar benang api dari ujung pedang, berkelok-kelok melesat mengejar Suro Bodong. Gerakan benang api yang berpijar merah itu seperti ular sanca yang meliuk-liuk memburu mangsa. Suro Bodong kebingungan, karena merasa aneh. Ia segera melompat ke samping kiri ketika benang api itu hendak menembusnya. Tetapi benang api itu mengejarnya dengan belokan yang tajam. Benang api yang berpijar-pijar seakan mempunyai nyawa untuk memburu mangsa.
Brogo tertawa terbahak-bahak melihat kebingungan Suro Bodong dikejar benang api yang bergerak seperti ular sanca. Ia diam saja, menjadi penonton yang penuh kegembiraan.
"Mampus kau, Bajingan tengik...!!" teriaknya di sela tawa yang terbahak-bahak
Suro Bodong berguling ke tanah beberapa kali, tapi benang api berpijar itu juga hendak menembus ke tanah. Benda aneh bercahaya pijar itu tak jadi menembus ke tanah setelah Suro Bodong menghentakkan kaki, melompat ke udara. Benda tersebut ikut melesat ke udara. Memang tak begitu cepat jalannya, tidak seperti kilat menyambar. Namun cukup membuat Suro Bodong kebingungan. Dan jika sudah kebingungan begitu, ia menjadi panik. Atau jika panik ia menjadi kebingungan tujuh keliling. Ia tak tahu harus berbuat apa kecuali berlari pontang-panting menghindari benang api itu. Bahkan ketika Suro Bodong tergopoh-gopoh mendekati pohon untuk berlindung, benang api itu melesat tertuju ke bagian kepala. Suro Bodong merunduk. Benang api itu lolos lewat di atas kepala Suro Bodong. Tetapi benang api itu segera membelok, kembali lagi menyerang dan mengejar Suro Bodong, hingga lelaki berperut
sedikit buncit itu tersungkur jatuh tengkurap karena tersandung akar pohon.
"Aaooww...!" pekiknya dalam kebingungan. Ia panik dan benar-benar gugup. Keringat dinginnya mengucur dan wajahnya sempat menjadi pucat. Ia segera mengambil ranting pohon yang kering. Ketika benang api itu menyerangnya, ia merunduk dan ranting itu menjadi sasaran benang api tersebut. Tetapi justru menimbulkan ledakan kecil yang apinya merontoki rambut Suro Bodong. Kontan saja Suro Bodong semakin jejingkrakkan sambil menepak-nepak kepalanya, takut terbakar. Ia masih berlari ke balik pohon besar tanpa mempedulikan tawa Brogo yang terpingkal-pingkal. Benang api masih mengejarnya bagai tak kenal lelah
Saga melihat Suro Bodong bersembunyi di balik pohon besar. Saga segera melambaikan tangan:
"Kang...! Sini...! Sembunyi di sini...!"
Suro sempat melihat ada tembok hangus di tempat persembunyian Saga. Pada waktu itu, benang api muncul dan hendak menyerang leher Suro Bodong. Secepatnya Suro Bodong beranjak dari tempat itu dan berlari ke tempat persembunyian Saga.
"Tenang, Kang... tenang...!" Saga menarik tangan Suro untuk bersembunyi dari balik dinding hangus. 'Tenang, benda aneh itu tidak dapat mengejarmu. Dia tidak tahu kalau."
"Tidak tahu apa?! Lihat, benda itu menuju ke mari...!" Suro Bodong menuding ke arah benang api berpijar yang melesat ke arahnya.
"Apa kau tidak punya jurus simpanan untuk melawan benda aneh itu, Kang?" tanya Saga. Dan seketika itu Suro teringat suatu simpanannya, yaitu sebuah pedang.
Ia segera menarik napas dalam-dalam, kemudian tangan kanannya menggenggam pergelangan tangan kirinya. Dan ia segera menghentakkan tangan kanannya ke depan. Pada saat itu, tangan tersebut sudah memegang sebilah pedang putih yang memancarkan sinar ungu. Itulah Pedang Urat Petir, pusaka Suro Bodong yang dapat disimpan di dalam kulit lengan kirinya. Saga membelalakkan mata memandang pedang itu dengan perasaan heran bercampur kagum. Suro Bodong tak sempat memberi penjelasan apa-apa. Benang api yang berpijar itu membelok, masuk di balik dinding hangus. Suro Bodong menggerakkan Pedang Urat Petir ke arah benang api tersebut. Dan benda itu menempel pada ujung Pedang Urat Petir. Ia menempel kaku seperti kawat berpijar, lalu tak berapa lama padam, dan hilang begitu saja.
Brogo tidak tahu apa yang terjadi di balik tembok hangus itu. Tetapi ia masih tertawa-tawa dengan bangga sambil berdiri, bersandar pada sebuah pohon.
"Mau bersembunyi di mana kamu, Kunyuk?! Mau lari ke mana, hah? Tidak mungkin kamu bisa lolos dari jurus Pedang Gunturku itu. Huaaa, ha, ha, haaaa....!" Brogo sengaja mengumbar tawa kemenangan.
Tetapi tawa itu menjadi reda. Diam seketika dengan mata membeliak lebar sewaktu Suro Bodong muncul dari balik dinding hangus. Brogo tak sempat bicara melihat pedang bersinar ungu tergenggam di tangan Suro Bodong. Ia mulai tegang dan berdebar-debar. Sebab biasanya, orang yang dikejar benang api tak pernah ada yang berhasil hidup lagi. Tapi sekarang, lawannya kali ini justru tersenyum sambil menghampirinya.
"Pusakamu cukup hebat, Brogo! Cukup untuk dijadikan satu tontonan di pasar malam. Tapi, bagaimana dengan pedangku ini? Kau bisa menandingi kehebatannya?"
Suro Bodong semakin mendekat, Brogo semakin melangkah mundur dengan tegang. Kalau lawannya kali ini bisa selamat dari kejaran api Pedang Guntur, berarti lawan itu bukan orang sembarangan. Tentu Brogo bukan tandingannya. Itulah sebabnya Brogo menjadi tegang dan mulai cemas. Ia tak punya jurus lain yang lebih ampuh dari Pedang Guntur.
"Paman Brogo... bahaya...!" seru seorang yang patah tulang pundaknya. Lalu orang yang bermata memar dan kini menjadi memar lagi setelah mendapat serangan dari Suro tadi juga berteriak:
"Paman Brogo, mari kita tinggalkan dia...!"
Suro Bodong memandang geli melihat wajah Brogo ketakutan. Ia tadinya merencanakan untuk melancarkan jurus Pedang Jitu, tetapi hati kecilnya melarang. Hati kecilnya mengatakan, bahwa ia hanya perlu memberi pelajaran sedikit kepada Brogo dan orang-orangnya, supaya segera pergi dan tidak mengganggu Saga.
"Brogo... Aku punya sedikit oleh-oleh buat kamu pulang nanti. Itu kalau kamu mau pulang, kalau mau tetap dimakamkan di sini ya, silakan saja. Nah, terimalah jurus Pedang Colok ini... Hiaat...! Hiiat... hiaat... haiat...."
Suro Bodong menghunjamkan pedangnya ke tujuh arah sekelilingnya dengan tenaga kuat. Lalu ia mengibaskan pedang itu di depan mata Brogo. Jarak mereka ada sepuluh langkah, tapi tiba-tiba Brogo berteriak setelah pedang Suro Bodong dikibaskan ke samping.
"Aauww...! Aku... aku buta...! Ooh, aku butaa!!" Brogo kebingungan Matanya mengerjap-ngerjap dan merasa perih. Tangannya meraba-raba karena pandangannya tiba-tiba menjadi gelap. Ia berteriak-teriak: "Aku butaa...! Ooh..."
Beberapa orang yang masih mampu mendekat, segera membantu Brogo untuk melangkah. Mereka menjadi tegang dan kebingungan. Suro Bodong berdiri dengan tenang garuk-garuk kumis sebentar.
"Mau pulang apa mau mati di sini. Pilih saja, Brogo. Kau juga boleh memilih pulang sambil mati," kata Suro Bodong sambil memegangi pedangnya dengan kedua tangan.
"Aku buta, aku tak bisa melihat apa-apa lagi...!" rintih Brogo.
"Ah, itu tidak lama kok. Tidak sampai setengah hari kau akan bisa melihat lagi, Brogo. Itu kan cuma jurus penutup mata lawan dalam pertarungan. Jadi, yah... cuma sementara saja. Sebenarnya, habis ini aku harus membunuhmu!"
"Oh, jangan...! Jangan bunuh aku. Ayo, anak-anak.. tuntun aku pulang. Ayo, pulang...! Yang sakit bantu berdiri. Ooh... perih sekali mataku...!"
Suro Bodong tertawa melihat mereka sempoyongan kembali ke Kepatihan Benteng Cadas. Pada saat itu, Saga buru-buru keluar dari persembunyian dan mendekati Suro Bodong. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahnya kelu saat melihat Suro Bodong memasukkan pedang ke dalam daging lengannya melalui pergelangan tangan kiri. Dan pedang itu masuk seluruhnya ke dalam lengan, tanpa meninggalkan bekas luka setitik jarum pun di pergelangan tangan tersebut. Saga tak henti-hentinya berdecak dan mendesah kagum.
"Kau benar-benar pendekar yang hebat, Kang Suro."
"Syukur kalau kau mengakuinya, Saga. Ah, lupakan saja soal itu. Sekarang aku ingin bertanya: tadi mereka menuduhku punya hubungan dengan Ki Pupus. Kau kenal orang itu?"
"Kenal. Aku kenal sekali dengan Ki Pupus," jawab Saga.
"Siapa orang itu?"
"Ayahku..."
"O, jadi...? Jadi, Ki Pupus itu ayahmu? Lantas, kenapa mereka menangkap dan menawan ayahmu? Mengapa mereka tampaknya penasaran?"
"Mereka mengira ayahku menyembunyikan pedang. Mereka tak percaya kalau ayahku hanya seorang petani biasa. Ketika ada petir menyambar-nyambar, banyak rumah di sini yang terbakar kesamber petir. Hanya rumahku yang selamat, lalu mereka mengira hal itu dikarenakan ayah mempunyai pusaka yang mereka cari-cari, yaitu Pedang Urat Petir..."
Suro Bodong terbengong. "Mereka mencari Pedang Urat Petir? Gila! Untuk apa?! Siapa sebenarnya mereka itu?!"
Saga diam saja, sebab ia tak tahu bahwa yang dilihatnya tadi adalah Pedang Urat Petir.
4
MALAM merambah. Atas pertimbangan Suro Bodong, mereka tidak tidur di rumah Saga. Mereka hanya mengambil beberapa peralatan seperlunya, lalu pergi ke tempat persembunyian Saga, di balik tembok hangus. Di sana, ada ruang yang menuju ke bawah tanah. Sebuah ruang rahasia yang ditinggal mati oleh penghuninya. Di situ ada dua dipan, satu meja dan sebuah almari makanan kering. Gula, teh, kopi, tembakau, ada di situ semua. Agaknya ruangan tersebut sengaja dibuat oleh penghuninya untuk menanggulangi bahaya. Tempat persembunyian itu cukup aman. Sayang penghuninya telah mati terbakar ketika rumah itu disambar petir minggu lalu.
"Aku takut berada di sini, Kang. Pak Jayus, sekeluarga yang memiliki rumah ini sudah mati."
"Yang sudah mati ya biar saja mati. Jangan pikirkan," kata Suro Bodong. Ia sibuk membakar jagung di tempat perapian. Sebelum masuk ke tempat bawah tanah itu, sore tadi Suro Bodong sempat memetik beberapa jagung dari ladang di belakang rumah Saga. Ia paling menyukai jagung bakar.
"Kalau kau mau tidur, tidurlah. Aku akan berjaga-jaga mengusir hantu, kalau memang ada hantu yang berani mendekatiku. Kalau tidak ya tak perlu panggil-panggil hantu, kan?" Suro asyik membolak-balik jagung bakarnya.
"Belakangan ini aku jarang bisa tidur dengan nyenyak, Kang. Aku memikirkan ayah." Lalu Saga mengeluh sendiri, "Kasihan ayah... dipenjara tanpa berbuat salah. Disiksa tanpa bisa bertindak. Aku ingin sekali menebus ayah berapa pun mahalnya..."
"Percuma," ujar Suro pelan. "Ayahmu tak akan bisa ditebus dengan uang berapa pun jumlahnya."
Saga yang terbaring mengangkat kepala. "Tapi, Kang... dulu aku pernah bertemu dengan salah seorang prajurit Kepatihan, dan kutanyakan tentang cara menebus ayah. Tapi dia bilang, ayah harus ditebus dengan mahal."
"Bukan ditebus dengan uang, maksudnya. Melainkan dengan Pedang Urat Petir...!"
Saga tertegun dalam lamunan murungnya. Suro Bodong merasa kasihan ketika melirik Saga. Ia berkata.
"Hanya Pedang Urat Petir yang mereka butuhkan. Jika mereka sudah menemukan Pedang Urat Petir, ayahmu akan dibebaskan."
"Tapi ayah tidak punya pedang itu, Kang. Ayah cuma punya cangkul, sebab dia petani biasa. Kalau Cangkul Urat Petir, mungkin ayah punya. Tapi kalau pedang, tidak."
Suro Bodong tersenyum geli. Ia manggut-manggut. "Aku percaya kata-katamu. Percaya betul bahwa ayahmu tidak mempunyai pedang itu. Sebab..."
Mulut Suro Bodong berhenti bicara. Ia ragu dan mempertimbangkan: haruskah Saga mengetahui bahwa Surolah yang mempunyai Pedang Urat Petir? Ini yang dipertimbangkan Suro Bodong. Dan bungkamnya mulut Suro membuat Saga heran, lalu bertanya:
"Sebab apa, Kang? Kau mau bilang apa tadi?"
"Hemm... tidak. Aku cuma mau bilang, sebab itu sulit ditemukan. Itu saja!" Suro memutuskan untuk menjawab begitu. Ia khawatir, kalau Saga tahu bahwa ia memiliki Pedang Urat Petir, berita itu bisa bocor ke mana-mana. Saga orang yang gampang kagum. Gampang memuji dan mudah bangga terhadap berita mengherankan. Bisa-bisa di luar kesadaran Saga, anak itu akan menceritakan siapa pemilik Pedang Urat Petir.
"Kang...?"
"Hemm...?!"
"Petir itu apa ada uratnya?"
Pertanyaan polos itu cukup menggelikan hati Suro Bodong. Ia hanya menjawab:
"Mana aku tahu. Aku belum pernah disambar petir kok!"
Saga manggut-manggut, seakan serius sekali menanggapi kata-kata Suro Bodong. Ia bahkan berkata:
"Aku juga belum kok. Waktu rumah orang-orang disambar petir itu, kok rumahku tidak disambarnya sekalian, ya? Apa ayahku itu orang sakti sehingga petir takut menyambar?!"
"Mungkin. Tapi kalau menurut perkiraanku, itu hanya tergantung nasib kok. Nasib baik ada pada rumahmu."
"Aneh sekali, ya?"
"Nasib itu memang serba aneh. O, ya... di depan rumahmu itu kan ada pohon kelapa yang tinggi?"
"Iya. Nah, kalau pohon itu malah ikut tersambar petir, Kang. Cuma, tidak sampai roboh. Hanya terbakar bagian pucuknya. Aku melihat sendiri api yang membakar daun-daun kelapa itu, Kang."
"Itu...! Itu yang membuat rumahmu tidak disambar petir. Jadi, sewaktu petir hendak menyambar rumahmu, ia sempat mampir dulu ke pohon kepala... eh, ke pohon kelapa itu. Coba kalau tidak ada pohon kelapa yang menjulang tinggi, dan lebih tinggi dari atap rumahmu, bahkan lebih tinggi dari pohon-pohon lainnya, oooh... pasti rumahmu juga ikut kena jatah disambar petir, Ga. Seperti rumah orang-orang yang terbakar itu, kan tidak punya pohon setinggi pohon kelapamu itu. Iya, kan?"
Saga mengangguk dan termenung beberapa saat. Suro Bodong mencicipi salah satu jagungnya yang sudah hangus sebagian. Ia meniup-niup biji jagung, lalu melemparkan ke mulutnya. Sementara jagung yang lain dipasang lagi di atas anglo tanah. Mirip tungku buat memasak.
"Kang..." kata Saga lagi, memecahkan kesunyian. "Kalau mau mencari Pedang Urat Petir itu di mana?"
"Memangnya mau apa kau?"
"Aku mau mencarinya, lalu kuserahkan kepada Patih Danupaksi untuk menebus ayahku "
Suro Bodong diam. Sedikit tak enak kata-kata itu didengarnya, namun ia segera menyadari bahwa itu hanyalah ucapan seorang bocah yang ingin membela ayahnya. Wajar saja. Namun, betapa tenangnya Suro, akhirnya ia gelisah juga. Resah memikirkan mengapa orang mencari-cari pedangnya? Akan digunakan untuk apa? Dan siapa yang sangat membutuhkannya?
Haruskah ia terlibat terlalu dalam sampai ke urusan Kepatihan Benteng Cadas itu? Ah, bukankah ia punya urusan sendiri? Mencari kekasihnya yang sangat dirindukan : Ratna Prawesti. Dan, Suro Bodong segera ingat bahwa Saga pernah mendengar nama itu. Mungkin dia suatu saat akan ingat di mana dan siapa yang menyebutkan nama Ratna Prawesti itu. Tadi Suro Bodong telah meminta Saga mengingat-ingatnya, namun tidak berhasil. Jadi, dia harus sabar menunggu ingatan Saga, supaya bisa menjadi penunjuk arah ke mana ia harus mencari Ratna.
"Haruskah begitu?" pikir Suro Bodong berkali-kali. Ia berkata dalam hati, jika aku harus menunggu ingatan Saga, berarti aku harus membebaskan ayah Saga dari tawanan orang Kepatihan. Sebab pikiran Saga saat ini selalu tertuju kepada ayahnya, mencari cara bagaimana ia bisa membebaskan ayahnya. Itulah sebabnya ia tidak ingat tentang nama Ratna Prawesti. Wah, kacau.... kenapa aku jadi terlibat ke urusan seperti ini? Kalau begitu, apa yang harus kulakukan untuk membebaskan ayah Saga, ya? Menyerang Kepatihan? Atau mencuri ayah Saga? Atau... menyerahkan Pedang Urat Petir ini? Wah... bingung aku. Bagaimana caranya, ya...?"
Setelah pagi menyingsing, Suro baru memperoleh keputusan. Langkah pertama adalah menyelidiki dulu keadaan Kepatihan Benteng Cadas itu. Dia tak tahu arahnya, tapi Saga pasti tahu di mana Kepatihan Benteng Cadas itu.
"Kepatihan Benteng Cadas ada di balik bukit Jati, Kang." Saga menjelaskan.
"Kita ke sana, Ga."
"Wah, berat, Kang. Nanti kita bentrok dengan penjaga batas Kepatihan lho, Kang. Yang jaga orangnya galak-galak. Dulu, aku ke sana karena alasan cari kayu, jadi boleh. Kalau alasan lain, misalnya alasan mau melihat keadaan Kepatihan, bisa dibacok sama penjaga di daerah bukit Jati lho."
"Kita tidak beralasan begitu, tolol! Kita bisa mencari jalan lain. Kita bisa pura-pura cari kayu, Ga. Pokoknya kau jadi penunjuk jalan dan sebagai pencari kayu. Itu saja!"
"Yaah... terserah Kang Suro sajalah. Aku menurut!"
Jarak antara tempat persembunyian dengan rumah Saga tidak begitu jauh. Maka ketika mereka muncul dari ruang bawah, mereka dapat langsung melihat keadaan rumah Saga. Hanya terhalang tembok hangus sedikit, tapi tidak menyulitkan mata Suro Bodong untuk melihat sosok tubuh perempuan berdiri di depan rumah Saga. Waktu itu, pagi sudah meninggi. Embun tak tersisa lagi.
"Perempuan jalang...!" gumam Suro Bodong dalam geram.
Saga mengernyitkan dahi melihat perempuan berpakaian serba hijau. Seorang lelaki gemuk ada di samping perempuan itu Saga juga menggumam:
"Mau apa Kenanga menyambangi rumahku, Kang?"
"Entahlah..." bisik Suro Bodong sambil menarik pundak Saga supaya bersembunyi di balik tembok hangus. "Agaknya ia mencari-cari kamu. Mungkin ia masih penasaran, karena ia ingin membunuh kamu."
"Aduh, bagaimana, ya Kang?" Saga cemas.
"Kau diam di sini saja. Biar aku yang menemuinya dan membuat perdamaian dengannya," ujar Suro Bodong sambil memetik-metik biji jagung bakar dengan ibu jarinya. Kemudian ia melangkah dengan santai. Sesekali melemparkan biji jagung ke mulutnya. Sesekali menggaruk kumisnya yang tebal dengan telunjuk. Saat itu Rogama sedang memeriksa bagian samping rumah dan Kenanga masuk ke dalam.
Waktu Kenanga Hijau keluar dari dalam, Suro Bodong sudah berdiri di bawah pohon, depan rumah agak menyamping. Ia berdiri di bawah dengan bahu kiri bersandar pada batang pohon.
"Hai..." sapa Suro Bodong dengan kalem
Kenanga Hijau membelalak waktu melihat Suro Bodong berdiri sambil mengunyah jagung bakar. Kenanga segera menutupi kekagetannya. Ia bersikap tenang dan melangkah hati-hati mendekati Suro Bodong. Rogama sendiri juga tercengang melihat Suro Bodong tersenyum kepadanya. Ia buru-buru bergabung dengan Kenanga Hijau.
"Rupanya orang gila ini ada juga di sini, Putri," jawab Rogama dengan melirik Kenanga sebentar.
Kenanga menggumam. "Kurasa dia setan. Bukan orang gila!"
Suro Bodong masih tenang. Ia sempat mempelajari ketegangan yang ada pada diri Kenanga Hijau dan Rogama. Ia merasa telah menang mental lebih dulu, karenanya ia berkata sambil memetik-metik jagung bakar dengan jempolnya: "Aku yakin, belum ada seorang pendekar yang mampu merobohkan kamu, Kenanga. Kau memang hebat."
"Tapi kau telah membuatku terhina di depan umum. Karena itu, kau harus melawanku untuk menentukan siapa yang mati di antara kita. Kau atau aku!"
Suro Bodong memandang arah lain. Santai sekali.
"Aneh," katanya. "Baru kubuat tunggang-langgang kau sudah merasa terhina di depan umum. Padahal itu belum seberapa. Aku hanya sekedar meluruskan otot-ototku yang pegal. Kalau aku mau, kau bisa kubuat mampus dalam keadaan nungging di depan umum."
"Jahanam, kau!" geram Kenanga. Rogama bersiap maju, tapi Suro Bodong segera berkata lagi:
"Jangan banyak lagak di depan Kenanga, Paman! Sekali pun dia tidak melihat, namun dia tahu bahwa kau bukan tandinganku." Suro memandang Rogama. "Kalau kau mati di tanganku, aku sangat menyesal membunuh tikus tanpa daya."
"Bangsat! Aku bukan tikus!" bentak Rogama, tersinggung.
"Justru karena kau bukan tikus, maka aku enggan membunuhmu. Dan sebaiknya, jangan lagi memusuhi aku, Paman. Ada banyak hal yang bisa kau lakukan untuk membantu rencana Kenanga."
"Suro..." geram Rogama. "Aku sakit hati atas kejadian kemarin sore itu, dan aku harus membalas sakit hatiku sekarang juga! Kau punya urusan sendiri denganku, Suro!"
"Bodoh," kata Suro Bodong tanpa membentak, melainkan dengan suara pelan, sepertinya ogah-ogahan bicara. Ia menyambung kata-katanya:
"Bodoh sekali kau. Menurut pendapat banyak orang, jika seseorang ditegur dari kekeliruannya malahan menjadi marah, itu bodoh! Seharusnya kau berterima kasih padaku, karena aku telah menegurmu, mengingatkan kamu tentang kekeliruan. Kau keliru kalau kau melawanku. Maka kemarin sore aku mengingatkan kamu dengan caraku sendiri."
"Sesumbarmu membuatku muak," geram Kenanga. "Sebaiknya bersiaplah untuk bertanding denganku, Setan dekil!"
Dan Kenanga segera mengambil posisi siap tempur. Ia menarik kaki kanannya ke belakang dan merendah, sedangkan kaki kirinya membentuk 90° di bawah tangan kiri yang menggenggam kuat menuju ke atas, tangan kanan diangkat di atas kepala dengan setengah terlipat. Kaku keras dan bertenaga.
Rogama sendiri mulai menyisih, bergerak mengepung Suro Bodong ke arah kanan. Ia memperlihatkan kesigapannya dengan merapatkan tangan kanan ke depan dada dalam posisi ketiga jarinya menegang kaku, sementara tangan kirinya setengah terulur ke depan dalam posisi jari yang sama. Ia bergerak ke arah kanan dengan langkah pelan dan penuh kewaspadaan, sedangkan Kenanga siap membidikkan serangannya dari depan. Di samping kiri Suro Bodong, pohon yang dipakainya bersandar.
Suro Bodong menggaruk kumisnya, seakan tidak mempedulikan gerakan-gerakan mereka. Mulutnya masih mengunyah jagung bakar kesukaannya. Matanya memandang lurus kepada Kenanga namun tidak memancarkan permusuhan. Cuek sekali.
"Kalau kau menang melawanku, apa yang akan kau peroleh?" tanya Suro Bodong kalem.
"Kepuasan!" jawab Kenanga pendek dan ketus.
"Kalau aku menang melawanmu, apa yang akan kuperoleh? Apa kau menyediakan hadiah untukku?"
"Kalau kau menang..." Kenanga berpikir sejenak. Dengan rasa sungkan ia berkata lagi, "Mungkin tubuhku bisa kau manfaatkan sebagai... terserah kamu."
"Apa kau pikir aku punya nafsu denganmu?!" Suro berkata dengan senyum mengejek. Kenanga semakin merah mukanya.
"Kuremukkan seluruh tulangmu, hiaaat...!!" Kenanga menendang Suro Bodong dengan gerakan melayang seperti burung rajawali mencakar mangsanya.
Suro Bodong masih berdiri agak miring, pundaknya bersandar pada batang pohon. Ia menggerakkan tangan kanannya yang tidak memegangi jagung bakar. Tenaga dalam disalurkan dari tangan dan menghentak ke depan. Kenanga jatuh dalam keadaan terdorong ke belakang. Suro memetik-metik jagung bakarnya lagi. Tenang sekali.
"Kenapa kita tidak berdamai saja, Kenanga. Ilmumu belum cukup untuk menandingi orang seperti aku. Percayalah!"
"Tidak ada istilah damai bagi Kenanga," Rogama menyahut dari samping. "Juga bagi aku... Hiaaat...!!"
Rogama menendang dengan tendangan samping ke arah kepala Suro Bodong. Tetapi Suro Bodong sengaja menghantam kaki Rogama dengan satu pukulan tak bertenaga. Dan ternyata hal itu membuat Rogama terpental beberapa langkah ke belakang. Memang tidak jatuh, namun cukup terhuyung-huyung.
"Apalagi kamu, Paman...!" ujar Suro tetap santai, belum merubah posisi berdiri yang miring ke pohon. "Ilmumu dengan Kenanga tidak ada sekuku hitamnya. Ibarat pengantin baru, kamu hanya menang nafsu. Nafsu besar tenaga miskin!"
Kenanga bersiap menyerang Suro Bodong lagi dengan pukulan. Tetapi Suro Bodong menyentilkan biji jagung bakar dan mengenai tangan Kenanga. Kenanga mengaduh sambil mengibas-ngibaskan tangannya yang terkena sentilan jagung. Agaknya Suro Bodong menyalurkan tenaga dalamnya yang sempurna ke biji jagung itu, sehingga ketika mengenai tangan Kenanga, rasanya seperti beku dan dingin. Ngilu sekali.
Suro Bodong melemparkan beberapa biji jagung ke mulutnya. Sambil mengunyah ia berkata kepada Kenanga:
"Kenapa kau menyukai permusuhan, Kenanga? Biasanya, seorang perempuan menyukai suasana damai dan tenteram. Tapi kau tidak. Kau jalang dan brutal. Kasar dan sadis. Pokoknya kau punya tabiat jelek! Ini cukup aneh bagiku, Kenanga!"
"Aku memang bukan perempuan sembarangan. Aku berbeda dengan perempuan yang pernah kau kenal." Kenanga bicara dengan pelan, seakan ia bicara dari hati ke hati. "Aku memerlukan seorang pendekar yang gagah perkasa!"
"Untuk apa? Aku punya banyak kenalan pendekar gagah!"
"Untuk menolongku."
"Kau dalam kesulitan?"
Sementara waktu, Kenanga diam. Ia melirik Rogama, dan Rogama yang agaknya sebagai penasihat Kenanga itu diam saja. Rogama bahkan buang muka, lalu tangan kanannya bersandar pada batang pohon yang lain. Sikapnya sudah menyatakan masa bodoh dan terserah apa yang ingin dilakukan Kenanga. Sebab itu Kenanga bicara lagi dengan pelan:
"Aku memerlukan sebuah pedang."
"Kau sudah punya pedang, bukan?"
"Lain..." jawab Kenanga setelah ragu sebentar. "Hanya pedang itu yang bisa lengket melekat di pedang Jatayuku ini," Kenanga memegang gagang pedangnya. "Dan pedang yang kucari itu hanya ada pada seorang pendekar gagah perkasa."
"Sebab itu kau menantang setiap pendekar untuk menjebak pedang yang kau cari itu?!"
Kenanga mengangguk Suro Bodong berkata lagi sambil membiarkan Kenanga memandang ke arah lain, emosinya turun.
"Pedang apa yang kau cari itu? Mungkin aku bisa membantu mencarikannya tanpa kau menantang-nantang permusuhan dengan orang yang belum tentu punya pedang itu?" Kenanga kelihatan mendesah. Ia bertolak pinggang dan memandang jauh ke tempat lain. Lalu ia melirik Suro Bodong dan berkata ketus:
"Apa kau bisa kupercaya?"
"Dalam hal apa?"
"Rahasia pedang yang kubutuhkan?"
"Kita coba saja, apakah aku orang jujur atau curang!" jawab Suro Bodong dengan santai, tetap memetik-metik biji jagung lalu memakannya.
"Siapa kau sebenarnya?" Kenanga mulai lunak.
"Suro Bodong!"
"Dari mana asalmu?" Kenanga penuh selidik.
"Aku selalu terpojok dengan kata-kata itu. Aku selalu tidak bisa menjawab pertanyaan seperti itu. Sebab aku sendiri belum tahu, dari mana aku dan siapa aku sebenarnya."
Suro Bodong merasa tak enak ketika Kenanga memandangnya dengan berkerut dahi, penuh curiga. Lalu ia buru-buru berkata:
"Jangan tanyakan dulu soal itu. Tanyakanlah dulu apakah kau akan berhasil bekerja sama denganku atau tidak."
"Menurutmu, bagaimana?" Kenanga ganti bertanya.
"Kalau kau jujur, aku akan berusaha menjadi orang jujur. Nah, sekarang katakan, pedang apa yang kau butuhkan?"
Setelah termenung sebentar, Kenanga pun menjawab:
"Pedang Urat Petir...!"
Tersentak hidung Suro mendengar jawaban Kenanga. Jantungnya berdesir sejenak. Ia mengumpat dalam hati: "Monyet...! Lagi-lagi orang yang menghendaki pedangku! Untuk apa sebenarnya? Dan mengapa harus pedangku yang mereka butuhkan?"
Karena Suro Bodong diam, Kenanga mempunyai gagasan lain:
"Aku yakin kau akan kebingungan. Kau pasti menyimpan banyak pertanyaan. Tetapi percayalah, aku pun seperti kamu. Aku belum pernah melihat seperti apa Pedang Urat Petir itu. Siapa pemiliknya? Di mana letaknya? Itu semua belum kuketahui. Sebab itu, hanya satu cara untuk mengujinya, yaitu: pedang tersebut akan lengket bila menyentuh pedang Jatayuku. Hanya aku dan pemilik Pedang Urat Petir itu yang bisa melepaskan kedua pedang yang lengket. Orang lain tak akan bisa melepaskannya."
Termenung Suro, namun tetap saja mengunyah jagung bakar sambil sesekali menggaruk kumisnya. Rogama memperhatikan Suro Bodong dengan berkerut dahi, menyimak sikap dan jalan pikiran Suro Bodong. Sekali pun
Suro Bodong tahu, tapi ia tidak peduli. Ia tetap menampakkan ketenangannya yang santai sekali.
Kenanga bicara dengan tegas, "Kau tak sanggup, bukan?"
"Kalau aku sanggup, bagaimana?"
"Kau bebas dari ancaman matiku. Tapi kalau kau gagal, kau harus kubunuh. Tak ada istilah teman atau perdamaian jika kau gagal mendapatkan pedang itu."
Suro Bodong tersenyum sinis, berjalan mendekati Kenanga sambil memetik-metik biji jagung bakar. Ia berhenti di depan Kenanga, memandangnya dengan lagak angkuh dan berkata dengan tegas pula:
"Kalau aku berhasil, kau yang akan kubunuh saat itu juga. Bagaimana? Setuju?"
Kenanga merasa tak suka dengan kata-kata itu:
"Jadi untuk apa kau membantuku mencari pedang itu?"
Suro tertawa pendek. "Aku hanya mengujimu; kau ternyata takut padaku!" Suro melebarkan tawa. "Pulanglah, dan temui aku di sini satu bulan lagi!"
"Sepuluh hari! Hanya ada waktu sepuluh hari. Lebih dari itu, kau tidak punya kesempatan untuk hidup." Setelah itu ia memberi isyarat kepada Rogama agar pergi dari situ. Suro Bodong hanya tersenyum sinis seraya memandang kepergian Kenanga dan Rogama.
"Kang...!" Saga berlari mendekatinya. "Bagaimana, Kang? Dia menyerah kalah?"
Suro Bodong masih memandang ke arah menghilangnya Kenanga dan Rogama.
"Ternyata dia punya tujuan yang sama dengan orang-orang Kepatihan, Ga."
Saga berkerut dahi. "Jadi, dia juga mencari Pedang Urat Petir juga?" tanya Saga meyakinkan.
"Ya. Dan aku menjanjikan untuk membantunya."
"Kenapa begitu? Apakah..."
Suro memotong, "Untuk keamanan kita sementara ini, Ga. Dengan cara itu dia mau pergi dan tidak memburu kita. Bukankah saat ini kita masih punya tugas, yaitu membebaskan ayahmu dari tawanan patih Danupaksi?"
Saga manggut-manggut. "Aku mengerti sekarang. Cuma aku belum bisa mengerti, mengapa sekarang banyak orang yang membutuhkan Pedang Urat Petir? Seperti apa pedang itu dan untuk apa sebenarnya, kok laris amat? Ah, bagaimana kalau kita bikin pedang dan bilang bahwa itu Pedang Urat Petir, Kang?"
Suro menggeleng, masih memandang ke arah kepergian Kenanga. Ia berkata, "Mustahil mereka percaya. Ada cara untuk menguji Pedang Urat Petir, Ga. Apabila melekat erat di pedang Jatayu milik Kenanga itu, maka mereka akan percaya bahwa pedang tersebut adalah Pedang Urat Petir."
"Kita bikin pedang, terus kita beri sagu cair, sebagai lem, supaya bisa melekat di pedang Kenanga. Kan bisa?"
Suro Bodong tertawa pendek dan pelan. Ia mengusap rambut anak muda itu seraya berkata:
"Itu kan pikiran bayi. Jangan berpikir model bayi kalau kau ingin menjadi dewasa. Berpikirlah model orang tua!"
Suro Bodong melangkah. Saga berseru, "Kita jadi pergi ke Kepatihan, Kang?"
Suro mengangguk. Lalu ia merenung sebentar dan segera berkata, "Tunggu di sini dulu, ya...?!"
Suro Bodong pergi ke arah belakang rumah Saga. Dugaan Saga, Suro Bodong mencari sesuatu untuk senjata mereka. Tapi, dugaan Saga itu tidak pernah benar. Di belakang rumah Saga tempatnya sepi, dan Suro melakukan sesuatu tanpa dilihat siapa pun.
Tubuh Suro Bodong melayang di udara, dan ia bersalto 3 kali. Andai saja Saga melihat, pasti ia akan terheran dan tidak percaya dengan penglihatannya. Saat itu, setelah Suro bersalto di udara 3 kali, tubuh Suro Bodong mengalami perubahan total. Ia menjadi anak kecil yang usianya lebih muda dari Saga. Inilah ilmu andalan Suro Bodong yang sebenarnya, yaitu Jurus Luing Ayan 3. Sebab itulah Suro Bodong jika bertarung jarang bersalto di udara, sebab hal itu dapat merubah ujudnya menjadi tujuh rupa, tergantung berapa kali ia bersalto di udara. Namun apabila ia berguling dengan posisi tubuh menyentuh tanah atau dasar apa pun, maka ia tidak akan mengalami perubahan ujud yang sangat ajaib itu.
Saga kaget sewaktu melihat ada anak kecil keluar dari balik belakang rumahnya. Ia tidak mengenal anak itu. Bercelana hitam dan telanjang dada, berkalung slepetan atau ketapel, berambut cepak, pendek namun tidak terlalu acak-acakan. Matanya jeli, alisnya tipis, tapi bulu matanya lebat untuk ukuran anak seusia 10 tahunan seperti dia.
"Hei, siapa kamu?!" tegur Saga.
"Tole..." jawab anak itu. "Mari kita berangkat ke Kepatihan Benteng Cadas. Ayo...!
Saga tertegun dalam keadaan bengong. Ia masih tak mengerti mengapa anak yang menamakan dirinya Tole itu bisa muncul dan tahu-tahu mengajaknya pergi ke Kepatihan?
"Ayo...! Kok malah bengong?!" kata Tole.
"Tunggu, aku sebenarnya akan pergi ke sana, tapi bukan dengan kamu, melainkan dengan Kang Suro!"
Tole mendekat dan berbisik, "Aku Kang Suro...!"
"Kau...?!"
"Tenang saja. Ini caraku untuk mengelabui para penjaga batas wilayah Kepatihan. Mereka tak akan curiga bila keadaanku seperti ini. Ingat, kita berlagak jadi pencari kayu bakar, ya?"
"Tunggu dulu. Aku masih belum mengerti mengapa Kang Suro bisa menjadi sekecil kamu?!"
"Aku bisa berubah sampai tujuh kali rupa, Saga. Aku punya jurus sakti yang tidak dimiliki orang lain. Ah, sudah, mari kita berangkat. Nanti kujelaskan di perjalanan...!"
5
SURO BODONG berhasil menyusup ke Kepatihan Benteng Cadas dengan merubah ujud menjadi Tole. Ia berjalan bersama Saga, seperti kakak beradik yang sedang menikmati keramaian kota Benteng Cadas. Istana Kepatihan terletak di belakang alun-alun. Di sepanjang pinggiran alun-alun ada banyak penjual makanan, kedai dan kios-kios tembakau. Bahkan beberapa bangunan sedang dibangun di tengah alun-alun. Konon, nanti malam akan dimulai perayaan Warsa Panen dengan diadakannya pasar malam di alun-alun tersebut. Rakyat Kepatihan Benteng Cadas mempunyai pesta adat setiap tahunnya, maka Patih Danupaksi selalu mengadakan syukuran berupa perayaan Warsa Panen.
"Ini sangat kebetulan, ya Kang?" kata Saga yang tetap memanggil Tole dengan sebutan 'Kang', karena dia masih menganggap didampingi Suro Bodong.
"Kelihatannya memang kebetulan. Namun ini sebenarnya sedikit menyusahkan kita, Saga," jawab Tole. "Kalau kita gagal, kita bisa dijadikan bahan tontonan orang banyak, dan dianggap pembuat keonaran. Bisa-bisa kita berdua dianggap pengacau, lalu dituntut oleh rakyat untuk digantung."
Anak kecil jelmaan Suro Bodong itu diam merenung di bawah pohon, di pojok alun-alun. Tentu saja tak satu pun ada yang curiga dan mengetahui rencana mereka, sebab mereka tidak ubahnya seperti anak kecil yang sedang bermain. Saga bagai sedang mengajak adiknya bermain di tempat itu. Wajah-wajah mereka pun menampakkan wajah
polos tanda bebas dari suatu rencana khusus.
"Apa yang akan kau lakukan, Kang?" tanya Saga.
"Tunggu malam. Aku akan masuk ke dalam benteng Kepatihan, dan kau menunggu di samping warung itu," Suro Bodong yang berubah menjadi Tole itu mengajak ke sebuah warung. Di samping warung itu ada pohon besar yang rindang. Di samping warung itu juga ada jalan menuju persawahan, yang menurut pengamatan Tole dapat membawa mereka ke luar dari wilayah Kepatihan.
"Kang," Saga bicara pelan. "Kelihatannya pintu gerbang benteng Kepatihan dijaga ketat oleh para prajurit berseragam biru hitam."
"Sebab itu aku akan masuk lewat jalan lain. Aku tidak ingin membuat suasana menjadi gaduh sehingga rakyat banyak yang mengetahui rencana kita. Aku akan masuk setelah gelap malam tiba, dan kau segera ke warung itu. Kalau aku datang sambil membawa ayahmu, kau harus cepat berlari di belakangku. Mengerti?"
Saga mengangguk. Sementara itu, beberapa prajurit berkuda sedang mengadakan patroli keliling alun-alun dan keluar masuk di sela-sela bangunan yang akan meramaikan pasar malam. Umbul-umbul dipasang di sepanjang jalan menuju alun-alun dan di sekitar alun-alun sendiri.
Sekali pun Suro Bodong telah menjadi anak kecil, namun ia masih sanggup merobohkan para penjaga di pintu gerbang tersebut. Hanya saja, ia tak ingin suasana menjadi ribut dan kacau balau. Karenanya, ketika malam telah menjelma, Saga segera diperintahkan untuk ke samping warung. Mereka berpisah. Dan satu hal yang sedikit menguntungkan mereka adalah pelaksanaan pasar malam itu, yang ternyata bukan malam ini sangat melegakan hati Tole, sebab andai terjadi suatu keributan, tak banyak masyarakat yang mengetahuinya.
Tole berjalan ke samping bangunan batu yang tinggi. Ia berjalan sambil menyelidiki kemungkinan untuk bisa masuk ke dalam benteng tersebut. Di setiap sudut, di bagian atas benteng, terdapat rumah jaga dengan masing-masing satu prajurit yang siap dengan panah di tangan.
Benteng itu cukup rapat. Selain tinggi dan keras, juga tak mungkin dapat dibobok atau digali pada bagian dasar pondasinya. Batu benteng itu sangat kokoh, tinggi dan lebar. Tole saat itu bersembunyi di balik tumbuh-tumbuhan liar yang terdapat di tepian benteng. Tinggi tanaman itu sebatas perut orang dewasa, sehingga dengan
jongkok di bawah tanaman tersebut, Tole dapat melihat beberapa orang patroli berkuda yang mondar-mandir di sekeliling benteng.
Tole memutar otak, bagaimana caranya masuk ke dalam benteng? Memanjatnya jelas tak mungkin. Selain cepat diketahui penjaga, juga kemiringan tembok benteng batu cadas itu sangat membahayakan jika dipanjat tanpa tali.
Setelah malam kian sunyi, Tole mempunyai gagasan lain. Ia mencari tempat lebih tersembunyi, yaitu di seberang benteng, di antara tanaman pagar rumah penduduk. Namun ketika ia menyeberang ke sana, seorang pengawas yang ada di rumah jaga atas benteng berseru sambil menaikkan obor besar yang selalu ada di kanan kiri rumah jaga itu.
"Hei, anak kecil...! Mengapa malam-malam begini masih ngeluyur? Ayo, pulang...!"
"Ya, Paman...! Ini saya sedang mau pulang...!" sahut Tole dengan hati berdebar, takut ketahuan.
Waktu Tole sudah sampai di balik pagar halaman, ia segera bersiap-siap. Tempat di situ cukup gelap, karena obor atau pelita yang ada di pinggir pagar ternyata mati. Mungkin kehabisan minyak. Dan itu sangat menguntungkan Tole. Tubuhnya yang kecil segera melesat ke atas. Ia bersalto sebanyak 2 kali putaran. Suro Bodong telah memainkan jurus Luing Ayan 2. Maka tubuh kecil itu telah berubah. Bukan menjadi Suro Bodong seperti semula, melainkan berubah menjadi perempuan cantik, lengkap dengan dandanan serta kain batik warna putih bergaris coklat yang melilit tubuhnya setinggi bawah lutut. Kain berwarna putih dengan corak batik lereng coklat itu menutup tubuh sampai di bagian dada. Sementara itu, ia juga mengenakan kebaya tipis berwarna kuning gading. Rambutnya panjang, diurai lepas sebatas pinggang. Namun ia buru-buru menggulungnya asal jadi. Menyisakan sedikit rambut di bagian pelipis yang terjulur ke bawah sampai di leher. Dengan rambut digulung begitu, lehernya yang putih mulus tampak segar menggairahkan. Sedangkan buah dadanya yang tertutup kain itu juga sekal dan menjadi daya tarik yang melemaskan lutut lelaki.
Suro Bodong telah berganti ujud, menjadi perempuan cantik yang menggairahkan. Matanya yang bulat bening itu melirik ke atas sewaktu ia berjalan di samping benteng. Gemerincing gelang perak di tangannya terdengar memecah sunyi. Ia sengaja berjalan agak cepat dan memancing suara gelang ketika melewati bawah rumah jaga di atas benteng.
Pancingannya berhasil membuat lelaki penjaga pos itu memandangnya. Suro Bodong yang telah berubah menjadi seorang perempuan sengaja menjatuhkan diri dengan nafas ngos-ngosan. Lelaki penjaga pos itu semakin membelalak ketika kain penutup menyingkap, membuat paha perempuan itu terlihat menggairahkan di bawah temaramnya lampu penerang jalan. Lelaki penjaga pos itu menelan ludahnya beberapa kali, kemudian ia berseru:
"Ada apa, Yu...?"
"Oh, tolonglah aku, Kang... Tolonglah aku...!" Suara Suro Bodong yang telah berganti ujud perempuan cantik itu ternyata juga berubah, persis suara perempuan biasa.
"Ada apa, hah? Kenapa Mbakyu sampai jatuh begitu?"
"Aku... aku dikejar-kejar seorang lelaki yang ingin memperkosaku. Oh tolonglah... Dia tahu kalau aku lari ke sini..."
Setelah menimbang sesaat, lelaki penjaga rumah intai itu mengulurkan tangga tali.
"Naiklah ke mari...! Lekas, sebelum teman-temanku melihatnya... Ayo, naik...!" Lelaki itu berseru dalam bisik yang membuat suaranya seakan serak. Dan perempuan berkebaya tipis warna kuning gading itu buru-buru berusaha naik ke tangga tali. Ia berlagak mengalami banyak kesulitan. Lelaki penjaga sudut benteng segera menariknya, sehingga ia berhasil memegang tangan perempuan itu dan mengangkatnya ke atas benteng.
Jarak dari sudut benteng ke sudut yang lain cukup jauh, sehingga apa yang dilakukan lelaki berkumis tipis itu tidak diketahui temannya. Ia segera menyuruh perempuan itu masuk ke rumah jaga beratap genting. Di sana ada bangku, dan perempuan itu duduk di bangku. Lelaki itu sempat berkata dalam hati, "Lumayan... bisa untuk penghangat tubuh pada malam yang dingin seperti ini. Wouw... cantik juga dia?!"
"Siapa namamu, Yu?" tanya lelaki itu dengan tangan membelai-belai punggung perempuan jelmaan Suro Bodong.
"Kok tanya nama segala?"
"Kamu kan sudah kutolong dari kejaran orang yang ingin memperkosamu. Masa tak boleh aku mengetahui namamu, anggap saja sebagai hadiah"
Perempuan itu berlagak tersenyum malu. "Namaku... Arum."
"Arum...?"
Perempuan itu mengangguk. "Arum Sajen..."
"Arum Sajen...? Oh, bagus sekali namamu." Lelaki itu mencubit dagu Arum Sajen. Arum hanya tersipu sembari mengelak lambat. "Kau tidak ingin mengetahui namaku?"
"Ah, untuk apa, Kang...? Karena sebentar lagi kau akan sekarat...!"
"Hah...?!" Lelaki itu mendelik. Selain kaget juga karena tangan kanan Arum Sajen segera memukul keras ulu hati lelaki itu, kemudian memukul lagi tengkuk kepala lelaki itu ketika lelaki itu menunduk mules. Dan tak berapa lama lelaki itu pun roboh tanpa suara.
Tanpa membuang waktu, Arum Sajen segera menuruni tangga batu yang menuju ke lantai dasar. Tangga batu itu meliuk seperti tubuh ular merambat. Begitu ia sampai di lantai dasar, ternyata ia berhadapan dengan rumah atau kamar jaga bawah. Kamar itu digunakan untuk tempat menunggu bagi prajurit yang ingin bergantian jaga di atas benteng. Kebetulan waktu itu ada orang prajurit berseragam biru hitam yang sedang berbincang-bincang di depan kamar. Tentu saja kedua prajurit itu sangat terkejut melihat Arum Sajen turun dari tangga penjagaan.
"Hei, siapa kamu?!" bentak salah seorang.
Arum Sajen mendekat dengan senyumnya yang manis. Kedua prajurit saling beradu pandang. Dan pada saat itulah kedua kaki Arum Sajen melayang cepat, menendang kedua prajurit tersebut. Yang satu terpental karena dadanya terkena tendangan kaki kanan, yang satunya lagi terhuyung-huyung karena wajah terkena tendangan kaki kiri. Namun keduanya segera mencabut pedang dari pinggang masing-masing.
"Hiaaaaat...!!" teriakan itu keluar dari mulut prajurit yang terhuyung-huyung tadi. Suaranya keras, dan pasti mengundang perhatian. Ia menendang ke arah samping Arum Sajen, namun pedangnya ditebaskan ke arah tubuh Arum.
Karena sudah terbiasa gerakan Suro Bodong, maka Arum Sajen pun mengguling di lantai ke arah berlawanan dengan datangnya pedang lawan. Tetapi ternyata ia jatuh di bawah kaki prajurit lain, yang tadi terpental karena tendangan kaki kanannya. Sebelum Arum terkena kibasan pedang, kakinya telah menendang dalam keadaan telentang. Tendangan itu begitu keras dan mengenai perut lawan, sehingga lawan menjadi menggerang kesakitan dan susah bernapas. Arum buru-buru bangkit dan memukul dada orang itu dengan teriakan seorang wanita. Pukulan ganda dengan tangan kiri-kanan yang cepat itu membuat lawannya terpelanting lagi.
"Kurang ajar kau, Perempuan busuk...!!" seru prajurit di belakangnya seraya mengibaskan pedang. Arum segera merundukkan badan ke arah samping. Lalu ia membalik dengan satu tendangan keras yang membuat tangan lelaki itu menjadi ngilu. Pedangnya jatuh, dan Arum menjadi semakin lincah.
Melihat banyak prajurit yang berlarian ke tempat kejadian, Arum Sajen tak ada pilihan lain untuk segera merubah. Ia bersalto ke depan satu kali. Itulah Jurus Luing Ayan 1, yang dapat merubah ujudnya secara otomatis menjadi Suro Bodong lagi.
"Hah...?! Berubah menjadi lelaki?!" pekik prajurit yang pedangnya jatuh. Ia menjadi ketakutan. Ia hendak melarikan diri, namun Suro Bodong segera melayang dengan cepat, kaki kanannya lurus ke samping dan mengenai punggung lelaki yang hendak lari.
Beberapa prajurit mulai mengepung Suro Bodong. Suasana menjadi ricuh. Suro Bodong garuk-garuk kumisnya sebentar, lalu bersiap menyerang mereka. Tetapi seorang prajurit berseragam lain, mengenakan penutup dada dari bahan tebal warna merah, muncul sambil menenteng Saga.
"Menyerah, atau anak ini kubunuh!"
Mendelik mata Suro Bodong melihat Saga tertangkap. Ia meludah dengan jengkel dan memandang garang kepada Saga.
"Bocah goblok..."
"Maaf, Kang. Aku mengintip di pintu gerbang dan nekad ingin masuk. Tapi tertangkap. Kukira kau pergi meninggalkan aku dan..."
"Diam, Monyet!" bentak Suro Bodong dengan jengkel.
"Hei, yang berhak membentak dia aku! Sebab aku yang menangkap dia! Dan aku yang mendengar keterangan darinya tentang rencanamu, sebab dia takut kubunuh. Ha, ha, ha...!"
"Bocah sinting...!" bentak Suro Bodong kepada Saga.
"Diam!" bentak penjaga gerbang. "Aku yang berhak membentak dan marah-marah kepadanya!"
"Aku juga berhak! Aku yang membawanya ke mari dan yang mempunyai rencana seperti ini! Dia tidak ada dosa padamu! Dia berdosa padaku. Sebab itu, aku berhak marah dan membentaknya!"
"Tapi kamu dan dia sekarang menjadi tawanan kami, jadi kamilah yang berhak membentaknya!"
"Tapi kepada dia aku juga berhak membentaknya!"
Salah seorang prajurit berseru, "Hei, soal urusan bentak-membentak jangan dikupas di sini. Sebaiknya mereka segera dibawa menghadap Gusti Patih Danupaksi...!"
"Tunggu..." kata seorang prajurit lagi. "Sekarang ini, di Paseban sedang ada pertemuan penting. Gusti Patih Danupaksi tidak bisa diganggu."
Suro Bodong menyahut, "Kalau begitu, tangkap saja aku nanti. Sekarang biarkan aku lepas. Nanti kalau patihmu itu sudah selesai mengadakan pertemuan, baru kalian tangkap lagi aku! Bagaimana!"
Seseorang menendang kepala Suro Bodong dengan gemas dari belakang. Suro berontak dan marah. Ia hendak menyerang orang itu, tetapi penjaga gerbang berseru:
"Kau bergerak, kuhabisi nyawa anak ini!"
Suro Bodong berbalik, dan mendekati penjaga gerbang.
"Hei, kalau soal menghabisi nyawa, aku sering. Tapi bukan nyawa anak ingusan seperti dia! Ayo, habisi nyawaku kalau kau memang doyan makan nyawa?! Ayo...!" Suro Bodong maju, mendesak, dan penjaga gerbang itu mundur. Cemas. Yang lain siap mengacungkan tombak ke punggung Suro Bodong. Saga masih dicengkeram kuat oleh penjaga gerbang. Suro Bodong menyempatkan diri menampar Saga.
"Plaak..!" "Gara-gara kamu yang bodoh, keadaan jadi kacau! Rencana jadi buyar. Cuih...!" Suro Bodong bermaksud meludahi Saga, tetapi arah ludahnya salah meluncur ke dada penjaga gerbang.
"Kurang ajar...! Berani kau meludahi aku, ya?"
Tombak semakin merapat di leher Suro Bodong. Hanya beberapa jari saja jarak tombak dengan leher. Sekali serbu, pasti leher Suro akan bolong.
Dalam todongan lebih dari lima tombak menempel di leher, Suro Bodong dibawa menghadap Patih Danupaksi. Tak ketinggalan, Saga juga diseret ke depan patih berambut putih.
"Siapa kau sebenarnya, Ki Sanak?" tanya Patih Danupaksi.
"Bagaimana aku bisa menjawab kalau ditodong sekian banyak tombak?" kata Suro Bodong menenangkan sikap. "Kurasa tombak-tombak ini tajam, bukan?"
Dengan wibawa yang ada, Patih Danupaksi memberi aba-aba dengan anggukan kepala kepada para prajuritnya. Lalu mereka menyingkir dari samping kanan kiri Suro Bodong. Kini, Suro Bodong bebas dari ancaman pucuk-pucuk tombak, namun beberapa prajurit tetap disiagakan di sekeliling ruang pertemuan itu. Saga ada tak jauh dari Suro Bodong, sedangkan Suro Bodong sendiri berdiri dengan tegap, kedua kaki terenggangkan, memandang Patih Danupaksi yang duduk di dampar kepatihan.
"Kuulangi lagi, siapa engkau sebenarnya, sehingga berani-beraninya masuk Kepatihan Benteng Cadas ini?" tanya Patih Danupaksi ingin memperjelas laporan prajuritnya tadi.
"Namaku, Suro Bodong!" jawab Suro dengan tegas, namun masih saja sesekali menggaruk garuk kumisnya yang tebal.
"Aku baru sekali ini mendengar namamu, Suro Bodong."
"Aku tidak heran. Karena aku juga baru sekali ini berhadapan dengan kau, Patih Danupaksi. Benar itu namamu, kah?"
Patih Danupaksi mengangguk dengan tenang, namun masih kelihatan berwibawa. "Lalu apa tujuanmu ke mari?"
"Pertama, mencari seorang gadis yang bernama Ratna Prawesti. Apa kau kenal dengannya?"
"Tidak."
Suro Bodong manggut-manggut. "Kalau begitu, kapan-kapan jika kekasihku itu sudah kutemukan, kau akan kukenalkan dengannya. Supaya kenal!" Suro Bodong melirik ke sekeliling. Ternyata ada Brogo segala di situ. Lelaki brewok yang menjadi pimpinan penggeledahan di rumah Saga itu duduk bersila di dekat lelaki muda, bertubuh tegap dan berwajah bersih. Ada codet di ujung alis mata kirinya. Ia memandang sinis kepada Suro Bodong. Tapi Suro Bodong tak menanggapi sikap tersebut. Ia berkata lagi kepada Patih Danupaksi setelah menggaruk kumisnya satu kali.
"Kedua, aku ke mari untuk mengambil Ki Pupus. Kau salah duga Patih Danupaksi. Ki Pupus itu petani biasa. Dia tidak mempunyai Pedang Urat Petir yang kau cari. Kau harus percaya dengan kata-kataku itu!"
Patih menggut-manggut. "Aku percaya," jawabnya tegas dan berwibawa. "Dan sekarang pun aku memang ingin membebaskan Ki Pupus. Aku dan orang-orangku memang salah anggapan. Kau boleh membawa Ki Pupus pulang sekarang juga!"
Suro Bodong berkerut dahi, merasa heran. Mengapa semudah itu Patih Danupaksi mau mempercayai kata-katanya?
"Kenapa kau beranggapan seperti itu, Patih Danupaksi?" tanya Suro Bodong dengan polos.
"Sebab... Pedang Urat Petir sudah di tangan orangnya. Pedang itu sedang kita bicarakan untuk saling ditukar. Aku mendapatkan Pedang Urat Petir tanpa harus memiliki."
Suro Bodong masih terheran-heran. Matanya memandang tajam pada Patih Danupaksi seraya sesekali menggaruk-garuk kumis. Ia membiarkan penguasa Kepatihan itu bicara lebih banyak, sebelum segalanya akan dipertanyakan
"Suro Bodong, percayalah... aku tidak punya tujuan jahat kepada Ki Pupus. Sebagai rasa penyesalan, aku akan menjamin hidupnya, dan kehidupan keluarganya sepanjang umur. Ketahuilah, Suro Bodong, supaya kau tidak menganggapku orang serakah atau jahat... bahwa sebenarnya bukan Pedang Urat Petir yang kubutuhkan, tetapi orangnya."
Semakin tajam lagi kerutan di kening Suro, dan hal itu membuat Danupaksi berkata:
"Kau pasti heran, bukan? Tapi memang begitulah kenyataannya, Suro Bodong. Aku membutuhkan orang yang memiliki Pedang Urat Petir untuk kukawinkan dengan anakku...!"
"Gila!" Suro Bodong nyaris terpekik dengan melotot. Tapi tiba-tiba muncul seorang perempuan cantik yang berseru:
"Tidak! Itu tidak gila, Suro Bodong...!"
Semakin membelalak mata Suro Bodong setelah mengetahui bahwa gadis itu adalah Kenanga Hijau. Perempuan yang mengenakan pakaian serba hijau itu mendekati Patih Danupaksi dan berkata kepada Suro Bodong:
"Ayahku bukan orang gila, Suro. Dia punya alasan. Kami semua punya alasan khusus mengapa aku harus dikawinkan dengan pemilik Pedang Urat Petir...!"
"Tapi... tapi..." Suro gugup. "Tapi aku tidak mau kawin denganmu, Kenanga. Aku... aku..."
Beberapa orang, termasuk beberapa prajurit, tertawa cekikikan. Ada yang tertawa tanpa bunyi, ada yang tertawa cukup pendek-pendek saja. Ada yang tersenyum sinis, dan ada yang menggumam dalam tawanya. Suro Bodong menjadi grogi serta malu, merasa menjadi badut yang pantas ditertawakan. Tetapi ia tetap berpegang pada prinsip:
"Aku tidak mau...! Bagaimana pun juga kalian menertawakannya, aku tetap tidak mau kawin dengan Kenanga. Aku sudah punya kekasih sendiri: Ratna Prawesti. Itu kekasihku yang sedang kucari-cari...!"
"Suro Bodong...!" sapa Danupaksi dengan wibawa dan kharisma yang tinggi. "Tidak ada orang yang ingin mengawinkan kau dengan putriku, Suro. Jangan salah dengar. Aku hanya akan mengawinkan anak gadisku ini, dengan pemilik Pedang Urat Petir." Danupaksi menegaskan lagi. "Pemilik Pedang Urat Petir! Bukan dengan kamu!"
Ada kejanggalan yang begitu tajam dirasakan di hati Suro Bodong. Ada keanehan yang sangat mengusik pikirannya. Lalu ia bersikap tenang, manggut-manggut sebentar, garuk-garuk kumis sebentar, setelah itu baru bertanya:
"Siapa pemilik Pedang Urat Petir itu?!"
"Raden Pujo! Pendekar Pedang Petir...!" seraya Patih Danupaksi mengulurkan tangannya, memperkenalkan Suro dengan lelaki bertubuh kekar, mengenakan ikat kepala kulit zebra dan terdapat codet bekas luka di ujung alis kirinya.
Suro Bodong sebenarnya terkejut sekali, tapi dia bisa mengendalikan diri untuk tenang dan bersikap biasa-biasa saja. Ia memandang Raden Pujo yang duduk dengan dada tegap di samping Brogo. Lelaki berbaju biru tua dan celana biru muda bertepian manik emas itu memegangi pedang. Sarung dan gagangnya terbuat dari gading gajah. Gading itu bergaris melintang dari atas ke bawah dengan logam emas. Indah sekali pedang tersebut, dan ia selalu menggenggamnya dengan tangan kiri. Ikat kepalanya yang berwarna loreng zebra membuat Raden Pujo menampakkan kesan perkasa seorang pendekar, sekali pun ia berdarah bangsawan.
"Apakah kau yakin bahwa pedang itu tidak palsu, Patih?" tanya Suro Bodong seperti malas-malasan.
"Tidak mungkin," sahut Brogo yang dari tadi diam saja.
"Ya, tidak mungkin," tambah patih Danupaksi. "Kami sudah sama-sama menyaksikan sendiri, pedang yang ada di tangan Raden Pujo itu, sungguh Pedang Urat Petir."
"Dari mana bisa tahu begitu?" desak Suro Bodong dengan hati-hati. Sikapnya kini seperti orang dungu yang ingin tahu. Patih Danupaksi pun menjelaskan:
"Selain dilihat begitu saja," patih memandang pedang di tangan Raden Pujo, "Juga dilihat isinya, orang akan yakin, bahwa itulah Pedang Urat Petir."
"Boleh dibuka di sini untuk meyakinkan dia, Ki Patih?" kata Brogo dengan sopan.
"Silakan, supaya Suro Bodong tidak penasaran." jawab Danupaksi.
Raden Pujo mencabut pedangnya, dan para prajurit yang berada di pinggiran ruang pertemuan itu menggumam kagum. Pedang itu mengeluarkan asap dan percikan-percikan api yang berkerlip-kerlip seperti loncatan petir di waktu malam. Raden Pujo berkata kepada Suro Bodong, "Kurasa pedang Urat Petir ini sangat bersedia untuk membunuhmu sekarang juga, Suro Bodong."
Suro Bodong hanya garuk-garuk kumis, seperti orang bingung. Ia berkata pelan tapi jelas:
"Kurasa tidak." Suro Bodong melirik Kenanga dan Patih Danupaksi. "Siapa orang ini sebenarnya, Patih? Dari mana kau memungutnya?"
Raden Pujo menggeram dan hendak mengibaskan pedangnya ke tubuh Suro Bodong, tetapi Brogo mencegahnya. Brogo sendiri yang menjawab pertanyaan Suro tadi:
"Dia temanku! Teman seperguruan yang sudah lama bertapa di bawah lereng Lawu!"
"Aku tidak yakin," kata Suro entah kepada siapa. Tapi ia segera memandang Danupaksi, berjalan mendekat bagai tak kenal tata krama.
"Aku tidak yakin dengan pedang itu!"
"Jangan bicara selancang itu, Suro," bisik Danupaksi.
"Beri aku kesempatan untuk mencelikkan mata hatimu, supaya kau dan anak gadismu yang cantik itu tidak tertipu."
Danupaksi memandang Kenanga. Mereka saling tatap sejenak, kemudian Suro buru-buru berkata: "Ini sebuah tipuan! Raden Pujo membayar mahal kepada paman Brogo supaya dia bisa mencicipi keperawanan Kenanga! Hasilnya, adalah tipu daya seperti ini!"
"Lancang betul mulutmu, Suro. Hiaaaat...!" Raden Pujo menyerang Suro Bodong dengan kibasan pedangnya. Suro Bodong mengelak sambil melompat mundur beberapa langkah. Ia masih tenang, pergi ngeloyor begitu saja. Kumisnya digaruk dengan telunjuk, dan ia pun membiarkan Saga mengikutinya dari lain arah.
"Hei, mau ke mana kau, Biadab?" bentak Raden Pujo yang merasa terhina mentah-mentah. "Berhenti! Mau ke mana kau?!"
"Cari tempat yang lebih lega untuk menghajarmu, Pujo!"
"Hiaaat...!" Raden Pujo penasaran dan tak bisa menahan diri, ia menyerang Suro Bodong dari belakang, hendak membabat pundak Suro Bodong. Tetapi Suro Bodong tidak kalah tangkas.
Suro segera berbalik sambil menjatuhkan badan. Posisi tangannya menendang keras perut Raden Pujo. Karena kerasnya, Raden Pujo terdorong ke depan, berguling satu kali dan jatuh tak beraturan di luar ruangan yang menyerupai pendopo itu.
"Suro Bodong...!" hardik Kenanga seraya mengejar.
"Tenang, Kenanga. Aku akan membuktikan bahwa kau nyaris tertipu. Kalau aku gagal, potong kepalaku dan pajang di alun-alun pada pasar malam besok!"
Suro Bodong segera melompat bagai gagak melayang, kaki kanan membentang sedang kaki kiri terlipat, tetapi kedua tangannya terentang, yang satu sedikit ditekuk dan mengepal kuat-kuat. Raden Pujo menghindari tendangan itu dengan bersalto ke belakang dua kali. Kini mereka jadi berada di halaman depan pendopo pertemuan itu.
"Rasakan jurus Petir Murka ini, Suro... hiiaat...!!"
Raden Pujo menancapkan pedang berpijar-pijar ke tanah. Kemudian ia segera menendang pedang itu pada bagian tangkainya. Pedang tersebut melesat bagaikan kilat. Hampir saja menyambar wajah Suro Bodong. Dengan gesit Suro Bodong segera tiarap, dan pedang tersebut melesat lewat atas kepala Suro Bodong. Pedang itu menancap pada tiang lampu minyak penerangan halaman.
"Duaaarr...!! Timbul suara ledakan yang membuat tanah menjadi guncang sesaat. Tiang lampu itu hancur menjadi arang, sedangkan pedang tersebut bagai memantul kembali ke pemiliknya. Semua orang merunduk dan menutup telinga. Wajah-wajah mereka berlapis kepucatan, kecuali Suro Bodong.
"Barangkali itulah yang kau butuhkan, jurus Petir Murka yang baru sekali ini kebetulan punya rasa kasihan kepadamu, Suro. Biasanya ia tak pernah mengenal belas kasihan kepada mangsanya!"
Suro Bodong hanya tertawa dalam gumam. "Itu bukan jurus sakti. Itu sihir buat mengelabui anak-anak main kelereng. Ah, terlalu ringan buat permainanku. Hei, ada yang lebih hebat lagi?!
Suro Bodong sengaja menyombongkan diri untuk memancing kepanasan hati Raden Pujo. Maka geram Raden Pujo terdengar mengerang seperti macan lapar.
Sekali lagi Raden Pujo menancapkan pedangnya ke tanah dan menendangnya kuat-kuat. Kali ini kedua telapak tangannya ikut mengembang, dan memancarkan kilatan api biru yang menempel pada tangkai pedang tersebut. Pedang itu melesat cepat bagai sedang dikendalikan arahnya.
"Hiattaa...!!"
Suro Bodong berguling-guling ke tanah dan melejit dengan menghentakkan punggung. Pada waktu, ia berdiri, pedang yang memercikan bunga-bunga api itu tertuju ke arahnya, seirama dengan gerakan telapak tangan Raden Pujo.
Tetapi dengan cepat Suro Bodong meraba pergelangan tangan kirinya, lalu menarik dalam satu kibasan. Orang-orang tercengang melihat tangan kanan Suro Bodong telah memegang sebilah pedang bercahaya ungu. Padahal mereka sejak tadi tidak melihat Suro Bodong menyandang senjata apa pun.
Ketika Suro Bodong mengibaskan pedangnya yang pertama dari kulit pergelangan tangannya, tepat pedang tersebut mengenai pedang Raden Pujo.
"Blaaar...!" Ada nyala api yang menyala terang sekali, dan ledakan yang mengguncang pepohonan di sekeliling. Sementara itu, pedang Raden Pujo kembali ke tempat semula ia meluncur, bahkan menancap pada tanah tempat ia ditancapkan. Orang-orang menggumam kagum semakin keras.
"Raden Pujo...!" seru Suro Bodong. "Mengapa wajahmu menjadi pucat, hah?! Kurasa kau memang perlu dibuat lebih pucat lagi. Heeaaaattt...!!"
Raden Pujo menggeragap ketakutan. Namun agaknya ia ragu dan malu kalau harus lari tunggang-langgang. Waktu itu Suro Bodong mengejarnya, lalu berlari cepat mengelilingi tubuh Raden Pujo dengan gerakan sangat cepat. Raden Pujo kebingungan, gugup dan ketakutan.
Tujuh kali Suro Bodong bergerak mengelilingi tubuh Raden Pujo dengan kecepatan melebihi gasing. Tiba-tiba ia berhenti tepat di depan Raden Pujo. Lelaki itu hendak memukul Suro Bodong dengan tangan terangkat ke samping. Tetapi Suro Bodong mengibas-ngibaskan pedangnya tujuh kali dengan cepat. Kibasan itu tidak menyentuh sedikit pun pakaian Raden Pujo. Dan suatu keanehan membuat Danupaksi terbengong-bengong.
Tubuh Raden Pujo berkilauan cahaya yang menyilaukan mata. Semua tangan terangkat, melintang di depan mata. Semakin lama semakin terang, seperti cahaya inti matahari. Tak satu pun mata yang sanggup menembus pandang cahaya kemilau itu.
Namun beberapa saat kemudian, cahaya kemilau itu surut, dan kian menjadi padam. Mata mereka mengerjap-ngerjap. Suro Bodong berdiri agak jauh seraya menggaruk-garuk kumisnya. Mereka terpekik dengan mata membelalak begitu melihat tubuh Raden Pujo telah berubah menjadi patung batu dalam posisi tangan terangkat satu, hendak memukul. Suara menjadi gaduh, ricuh. Masing-masing berkomentar menurut jalan otaknya. Patih Danupaksi masih terbelalak dalam kekaguman ketika ia berkata kepada Kenanga: "Benar-benar menjadi patung...!!"
"Mengagumkan sekali dia...!" bisik Kenanga.
Suro Bodong sengaja menjauhi hiruk-pikuknya mereka yang menghampiri patung tersebut. Ada yang mencoba meraba, ada yang mencoba mendorong dan ada yang hanya berceloteh tak jelas bahasanya. Sedangkan Brogo hanya berdiri tegak, terkesima dan merasa tak percaya dengan kenyataan yang dilihatnya.
"Kau hebat...! Hebat sekali, Kang," kata Saga seraya memegangi tangan Suro Bodong yang garuk-garuk kumis, sedangkan tangan yang satu masih menggenggam erat pedang bercahaya ungu: Pedang Urat Petir yang asli.
Danupaksi dan Kenanga mendekati Suro Bodong dalam keheranan yang belum tuntas.
"Apa yang telah kau lakukan sebenarnya, Malaikat?!"
"Aku bukan malaikat," jawab Suro Bodong.
"Aku hanya membuktikan bahwa kau akan ditipu oleh Brogo dan Raden Pujo!" Suro Bodong masih garuk-garuk kumis. Ia tenang, acuh tak acuh.
Danupaksi geleng-geleng kepala dengan heran dan takjub memandang keadaan Suro Bodong. Lalu, Suro Bodong berkata:
"Bukankah kalian punya cara tersendiri untuk menguji keaslian Pedang Urat Petir?"
Danupaksi mengangguk, lalu menyuruh Kenanga mencabut pedang Raden Pujo. Kenanga membawa pedang tersebut kepada ayahnya. Kemudian Danupaksi berkata:
“Tempelkan pada pedangmu, kalau lengket, itu Pedang Urat Petir yang asli...!"
Kenanga mencabut pedang Jatayu, kemudian menempelkan pada pedang yang masih memercikkan bunga api, yaitu pedang milik Raden Pujo. Tetapi berulang kali pedang itu disatukan, tetap tak mau lengket.
"Pedang itu tidak mau melekat dengan pedangku, Ayah," kata Kenanga. Tapi tanpa disadari, ia berjalan di dekat Suro Bodong. Tiba-tiba pedang Jatayu melesat sendiri dari pegangan tangan Kenanga. "Sreekk...!" Tahu-tahu pedang Jatayu melekat erat pada pedang yang dibawa Suro Bodong. Bukan hanya Suro Bodong yang kaget. Mereka sama-sama memandangi kedua pedang yang saling melekat bagai mempunyai daya magnet yang sangat kuat.
Danupaksi buru-buru melepaskan kedua pedang itu, tapi sampai keringatnya mengucur, pedang tersebut tak mampu dilepaskan. Semua orang beralih perhatiannya kepada kejadian itu, termasuk Brogo.
Gemetar tangan Suro Bodong, gemetar pula tangan Kenanga ketika hendak menarik pedang yang lengket itu, dan ternyata mereka dapat melepaskan kedua pedang tersebut dengan sangat mudah, tanpa harus menguras tenaga.
"Ini Pedang Urat Petir yang asli...! Iniii...!!" seru Danupaksi dengan girang. Semua pun ikut girang. Dan tiba-tiba Brogo mencabut pedangnya. Semua orang yang ada di sekitarnya menyingkir cepat. Suro Bodong bersiap hendak menangkis serangan Brogo. Tapi ternyata, Brogo menikamkan pedangnya ke dadanya sendiri, tepat di arah jantung.
"Brogo bunuh diri...!!" seru para prajurit yang membuat suasana menjadi gempar. Danupaksi terbengong kembali melihat perbuatan Brogo yang tak sanggup menahan malu, karena benar apa kata Suro Bodong: bahwa dia telah menggunakan kesempatan mencari Pedang Urat Petir untuk mencari keuntungan sendiri. Ia dibayar mahal oleh Raden Pujo dengan mengaku Raden Pujo itulah pemilik Pedang Urat Petir sebenarnya, dan patut mengawini Kenanga.
"Aku patut berterima kasih sebanyak-banyaknya kepadamu, Suro Bodong. Sekali pun wajahmu kasar, penampilanmu memuakkan, namun sesungguhnya kau mempunyai jiwa yang bersih," kata Patih Danupaksi setelah beberapa saat menikmati sarapan pagi. Di situ ikut pula Saga dan Ki Pupus, yang mendapat kehormatan untuk bersantap pagi bersama keluarga Kepatihan.
Suro Bodong berkata seenaknya, seperti sudah menjadi ciri khas pribadinya:
"Untuk apa terima kasih segala! Semua kejahatan bagaimanapun juga suatu saat akan terbongkar. Sepele saja!"
“Tapi... sungguh aku tidak menyangka kalau Brogo mau bersekongkol dengan Raden Pujo demi uang dan..."
"Ah, itu juga sepele!" sahut Suro Bodong. "Orang mana yang tidak ngiler dengan uang? Orang mana yang tidak tergiur oleh kekayaan. Sebesar apa pun kesetiaan seorang bawahan, suatu saat akan rapuh juga mentalnya. Itu tergantung bagaimana atasannya saja, kalau atasan memperhatikan kesejahteraan hidupnya, menjamin masa depannya, yah... tak mungkin jiwa-jiwa tempe itu dimiliki seorang bawahan!"
Danupaksi seharusnya tersinggung dengan ucapan itu. Tapi nyatanya ia hanya manggut-manggut dan menghela nafas dalam-dalam. Ada geram terpendam, ada keganjilan yang dirasakan tumbuh dalam hati dan menuding diri sendiri.
Kenanga menyadari adanya perubahan batin ayahnya, ia segera mengalihkan suasana dengan berkata, "Aku tidak menyangka sama sekali kalau pemilik Pedang Urat, Petir itu ternyata kamu, Suro Bodong."
"Ya," jawab Danupaksi sendiri. "Dan aku tidak menyangka kalau akhirnya aku akan mempunyai menantu kamu."
Mata Suro Bodong membelalak, lalu terbengong. Ia sepertinya baru sadar dari ancaman yang mendebarkan. Ia jadi berdebar-debar, lalu bertanya:
"Apakah itu harus?"
"'Harus!" jawab Danupaksi. "Kau harus jadi menantuku. Singkatnya, kau harus menjadi suami Kenanga dalam waktu singkat ini: Kalian harus saling... memadu cinta di peraduan. Ini penting, Suro. Sebab dalam tempo empat puluh hari Kenanga tidak berhubungan badan dengan pemilik Pedang Urat Petir, maka tubuhnya akan menjadi kering. Dan ia akan mati, tepat hari ke empat puluh."
"Dan sekarang tinggal dua puluh hari lagi," kata Kenanga dengan pelan, bernada menyedihkan.
“Nanti dulu..." Suro Bodong berhenti makan. "Kenapa sampai harus begitu?"
Kenanga sendiri yang menjawab setelah ia memandang ayahnya beberapa saat:
"Dua puluh hari lalu, aku bertarung dengan seorang tokoh persilatan, musuh dari guruku. Nini Kuncen namanya. Aku membela guruku, tapi ternyata aku bukan tandingannya. Aku terkena pukulan Senggoro Jabang. Ilmu itu hanya dimiliki oleh Nini Kuncen. Guruku sendiri mati di tangannya pada saat aku dalam keadaan parah. Tapi sebelum guru meninggal ia sempat memberiku petunjuk, bahwa dalam empat puluh hari aku akan mati kekeringan darah, sebab pukulan Nini Kuncen itu telah membuat racun menggumpal dalam rahim peranakanku. Racun itu akan membuat darahku kering hanya dalam tempo empat puluh hari. Tetapi apabila... aku bisa memperoleh benih jantan dari lelaki pemilik Pedang Urat Petir, maka aku akan tertolong. Racun itu akan tawar apabila bercampur dengan benih seorang lelaki yang memiliki Pedang Urat Petir..."
Suro Bodong tertegun lama sekali. Pikirannya seperti benang kusut yang semakin semrawut. Ia menggeleng pelan dalam renungannya.
"Suro... tolonglah aku dan anakku..." kata Danupaksi.
"Nyawaku ada di tanganmu, Suro..." bisik Kenanga yang duduk di kursi samping kiri Suro Bodong.
Jantung Suro Bodong semakin berdebar. Ia bingung. Ia tak ingin menodai percintaannya dengan Ratna Prawesti. Tapi di lain sisi, ia dituntun untuk melakukan hal yang manusiawi. Jiwanya guncang, batinnya bergemuruh. Ia jengkel sendiri. Lalu, ia berteriak.
"Tidaaaak...!!" seraya berdiri, menendang kursi dan mengamuk membuang kejengkelannya. Sampai tanpa disadari, dia telah bersalto 7 kali di udara tanpa menyentuh lantai. Kemudian, keluarga Kepatihan dan semua yang ada di situ terbengong melompong. Mereka tak berkedip memandang tubuh Suro Bodong telah berubah ujud menjadi seorang pendekar tampan. Mengenakan rompi dan celana warna emas, menyandang pedang di punggung bercahaya ungu. Rambutnya panjang, halus, diikat dengan tali emas bermata batu merah. Ia telah menjelma menjadi Panji Bagus, yang pernah mendapat julukan Pendekar 7 Keliling. Jurus Luing Ayan 7 telah mengubah keadaan seperti itu, yang membuat Kenanga terkesima tiada henti, dan Suro Bodong tersenyum kepada Kenanga. Ia berjalan mendekati Kenanga, meraih rambut Kenanga yang panjang, lalu berkata dengan suara yang enak didengar oleh siapa saja:
"Aku tetap Suro Bodong. Mungkin dengan ujud beginilah aku bisa membantumu, Kenanga. Dalam ujud Suro Bodong yang sebenarnya, aku adalah milik Ratna Prawesti. Tetapi dalam ujud Panji Bagus ini..... kau boleh memiliki aku, Kenanga..."
Kenanga tak sabar. Kenanga tak terkendali. Jiwa yang berteriak itu segera memeluk Suro Bodong yang telah berubah menjadi pendekar tampan bermata bening, teduh.
"Surooo...!" Kenanga memeluk erat dan membiarkan ayah ibunya tersenyum dalam keharuan. Pedang Urat Petir memancarkan sinar ungu samar-samar, sebab pedang itu sepertinya masuk terselip di antara kulit dan daging punggung pemuda tampan dan kekar itu.
Dalam keadaan sekekar itu, dalam ujud segagah itu, Suro Bodong berani membalas pelukan Kenanga sekali pun di depan mata orang-orang itu. Tetapi jika dalam ujud Suro Bodong yang sedikit gemuk dan perutnya agak membuncit, apakah ia berani berbuat demikian? Rasa-rasanya tidak. Dalam ujud Suro Bodong, mau tak mau ia melangkah sambil mengunyah jagung bakar dan sesekali menggaruk kumisnya yang tebal. Ia menyusuri hidup, mencari kekasihnya: Ratna Prawesti, yang sudah tentu mempunyai cinta tak seagung cinta perempuan mana pun juga.
SELESAI