JERIT DI PUCUK REMBULAN
Ebook by Dewi KZ
Re-OCR by Raynold
1
Maksudnya ingin memetik buah untuk dimakan, tetapi ketika Suro Bodong melesat ke atas dan hinggap di salah satu dahan, ia melihat padang belantara hutan yang luas. Di sela-sela pepohonan yang menjulang, terlihat seorang gadis bergaun Jingga menyusup kian ke mari. Gadis itu tampak ketakutan. Seorang lelaki berpakaian serba merah mengejarnya dengan sangat bernafsu. Gadis itu masuk dalam rimbunan semak, tembus ke tempat lain. Tetapi, di depannya sudah berdiri seorang pemuda mengenakan rompi kulit macan dan celana merah.
Gadis itu berteriak kaget, kemudian segera berbelok arah mengitari pohon sebesar paha. Gadis bergaun Jingga menyelusup di sela-sela akar pohon yang melintang kian ke mari. Tahu-tahu ia sudah dihadang lelaki berpakaian serba merah dengan ikat kepala biru tua itu.
"Ooh... jangan...!! Aaah... toloooong...!Tolooong...!"
Gadis bergaun jingga berlari kian membabi-buta, menuju. ke arah pohon yang dinaiki Suro Bodong, la menjerit-jerit dalam tangis, dan larinya mulai terhuyung-huyung. Kedua lelaki itu semakin kegirangan, mengejar kian ke mari, mengepung di sana sini dan seolah-olah sengaja tidak segera menangkap gadis itu.
"Blandong, cegat ke kiri. Aku akan mengejarnya dari kanan...!" seru pemuda berompi macan tutul kepada lelaki yang mengenakan pakaian serba merah. Lelaki yang usianya sedikit lebih tua dari pemuda itu segera berseru:.
"Hati-hati Taruna...! Dia cukup lincah!"
"Toloong...! Oh, ohh... toloong....!" gadis itu menjerit sambil terus berlari menghindari sergapan kedua lelaki itu.
Suro Bodong masih menikmati buah semacam jambu liar untuk mengisi perutnya. Sudah seharian ini ia tidak mengisi perut dengan apa saja, sehingga ia menyempatkan memperkenyang perutnya yang besar namun tidak membuncit itu. Sambil makan buah dengan santai, Suro Bodong menyaksikan suatu adegan kejar-kejaran yang cukup seru. Seorang gadis cantik, sendirian di hutan, dikejar dua lelaki bertampang bergajulan. Ini suatu tontonan yang cukup seru.
Kedua lelaki yang berusia antara 30 tahun ke bawah itu ternyata cukup sulit menangkap gadis bergaun jingga. Gerakan gadis itu seperti anak kijang yang melejit ke sana-sini, berkelok dengan cepat dan berlari dengan lincah, sekalipun ada kesan tergagap-gagap ketakutan.
Taruna, pemuda berompi kulit macan itu, sempat tersungkur jatuh karena kakinya tersangkut akar pohon. Sedangkan Blandong, lelaki yang lebih tua dari Taruna itu sempat membentur salah satu batang pohon hingga ia mengaduh sambil memejamkan mata. Suro Bodong hampir saja tertawa ngakak, namun ditahannya. Ia tak ingin kedua lelaki itu melihat, akan diapakan perempuan itu jika tertangkap.
"Blandong... lompat ke kanan. Lompat ke kanan, dia ke sana...!!"
Blandong segera melompati segerombolan semak yang tingginya sebatas pusernya. Begitu ia melompat, gadis itu terkejut dalam satu jeritan karena Blandong sudah berada tepat di depannya. Segera Blandong merenggut tangan gadis itu, lalu menyeretnya agak ke samping di mana tanah datar dan berumput pendek. Tempat itu tepat di bawah pohon yang dahannya dipakai duduk Suro Bodong.
"Jangan...! Jangan sentuh aku...! Aaa-ouhh... tidak! Aku tidak mau...!!" gadis itu menjerit-jerit, memberontak dengan membabi-buta. Rambutnya terlepas dari ikatannya dan meriap sebatas punggung.
"Taruna... lekas pegang kakinya! Pegang...!"
"Jangan. .! Ooh... biadab kalian! Kalian biadab semua!"
Taruna mendekap kaki gadis itu dengan kuat, namun kaki indah berkulit mulus bagai busa susu itu meronta-ronta dengan kuat juga. Taruna sempal terjengkang ke belakang. Salah satu pegangan tangannya terpaksa lepas, namun ia buru-buru mendekap pergelangan kedua kaki gadis itu.
"Setan...! Jahanam..! Lepaskan aku...! Lepaskan...!"
Blandong bergegas meraih kain gaun di bagian dada. la tertawa terbahak-bahak dan berkata.
"Berteriaklah sekuat bacotmu, Anjani...! Tak ada orang yang bisa mendengar jeritanmu, he, he, he.-..!" Blandong berusaha mencium Anjani, namun tangan Anjani berhasil lepas dari pegangan Blandong dan mencakar wajah Blandong dengan teriakan histeris.
"Lepaskan...! Lepaskan...! Aaaauuw...!!"
Plak...!
Blandong menampar wajah Anjani dengan kasar. "Perempuan tolol! Hanya sekali menyerah kau akan selamat seumur hidupmu,tahu...?!"
Anjani menjerit kesakitan. Blandong mulai bergairah dan mengganas lagi. Menyosorkan mulutnya ke leher Anjani, sementara Taruna yang ada di bagian kaki mulai melakukan pekerjaan tangan ke mana-mana, sehingga kaki Anjani semakin menjejak dan meronta kian ke mari. Gaun Anjani yang berwarna jingga itu sudah tidak lagi menutup tubuhnya dengan rapi. Taruna berulang kali mencoba merobek gaun itu dengan gigitan gigi, namun gaun itu bagai alot, sukar dirobek. Dan, kebetulan setiap mulut Taruna belum lama menggigit gaun, tahu-tahu sudah dipancal lutut Anjani. Blandong sendiri kesulitan dalam usahanya merobek penutup dada, ia menariknya berulang kali dengan kasar, namun selalu tidak berhasil. Bahkan Anjani hampir saja terlepas.
"Sudah, tak perlu melepas gaunnya...!!" teriak Taruna sambil salah satu tangannya bergerilya ke sela-sela hingga suaranya menjadi serak
"Iblis...! Setan...! Lepaskan aku, aaaa-uuh...!!"teriak Anjani sambil mengejangkan tubuh, merapatkan kaki. Ia masih berusaha meronta lagi, sampai-sampai Taruna terjengkang ke belakang.
Taruna bergegas bangun untuk membantu Blandong dalam upaya menguasai Anjani. Tetapi, baru saja Taruna berdiri, tahu-tahu kepalanya menjadi pusing sekali dan ia sempoyongan beberapa saat. Sebuah benda menjatuhi kepalanya. Samar-samar dilihatnya, benda itu hanyalah sebuah jambu empuk, tetapi kerasnya bukan main waktu menjatuhi kepalanya. Taruna tidak tahu kalau benda itu dilemparkan oleh Suro Bodong dengan dialiri suatu kekuatan tenaga dalamnya secara ala kadarnya. Kalau tenaga dalam yang disalurkan Suro Bodong secara penuh, sudah tentu kepala itu akan hancur berkeping-keping, walau hanya dilempar jambu.
"Taruna... ayo, pegang kakinya...!" teriak Blandong. Ia melihat temannya sempoyongan dan berulangkah mengibas-ngibaskan kepala. "Hei, ada apa kau? Kenapa, Taruna?"
"Pletak..!"
Tiba-tiba sebuah jambu melesat mengenai kepala Blandong. Lelaki berpakaian serba merah yang sudah kedodoran itu meringis kesakitan, dan ia jatuh di atas tubuh Anjani.
"Lepaskan...! Lepaskan aku, setaaan...!!"Anjani berusaha mendorong tubuh Blandong yang menindih dadanya. Tapi Blandong yang merasa pusing itu masih dengan sekuat sisa tenaganya memeluk Anjani dan berusaha merobek pakaian gadis itu. Tangan Anjani memukul-mukul, mencakar-cakar wajah Blandong. Rupanya Blandong tidak perduli dengan cakaran itu.
Suro Bodong segera melompat dari atas pohon bagai burung elang mendarat. Bajunya yang merah lengan panjang dan tak pernah dikancingkan itu melambai seperti kibasan sayap elang perkasa.
Begitu kakinya menginjak ke tanah, Taruna yang mulai berkurang rasa pusingnya itu segera menyerang dengan pukulan ke arah punggung Suro Bodong. Tangan Suro Bodong berkelebat ke belakang menangkis pukulan itu. Bersamaan dengan tangkisan tersebut, kaki kanan Suro memutar ke kiri dan menendang kuat ke arah dada Taruna.
"Huugh...!" Taruna bagai sukar bernafas. Ia menyeringai kesakitan. Suro segera berbalik dan melompat dengan jurus tendangan layang. Kaki itu mengenai tengkuk kepala Blandong yang sudah berada di atas tubuh Anjani.
"Aaauuh...!!" Blandong terpental dari atas tubuh Anjani, lalu ia bergulingan ke tanah dua kali. Ia sempat mengerang merasakan sakit di kepalanya.
"Hiaaat...!"
Suro Bodong segera berpaling dan melihat Taruna melayang tinggi dengan kaki kanan terarah ke wajah Suro, sedang kaki kiri tidak menghalangi alat vitalnya, Suro akan menyepaknya dengan kaki sambil merendahkan badan ke arah kanan. Berhubung hal, itu akan sia-sia dilakukan, maka ia hanya merendahkan badan ke kanan. Tubuh Taruna melesat melalui pundak Suro Bodong. Pada saat itu, Suro segera menghentakkan kaki ke tanah, tubuhnya melompat dan dua tendangan ganda tepat mengenai punggung dan pinggang belakang Taruna. Tubuh yang melayang dan terkena tendangan dua kali sekaligus itu tersentak ke depan dan nyusruk ke tanah di dekat Blandong.
"Bangun! Kenapa masih telentang di situ kau!" bentak Suro Bodong kepada Anjani yang menangis tersengguk-sengguk sambil memperhatikan tubuh-tubuh yang melayang dan saling tendang itu. Ia bagai orang tolol yang tak tahu harus berbuat apa. Baru setelah mendapat bentakan dari Suro Bodong Anjani bergegas bangun dan menepi di salah satu pohon. Ia berlindung di sana dengan perasaan takut tapi ingin tahu. Ia memperhatikan pertarungan kedua orang yang hendak merenggut mahkotanya dengan seorang berambut panjang sepundak dan diikat dengan kain merah. Ia tak tahu kalau orang berbadan besar tapi bukan gendut itu bernama Suro Bodong. Anjani belum mengenal siapa Suro Bodong.
Yang ia tahu, gerakan lelaki berwajah lebih buruk dari Blandong dan Taruna itu mempunyai ilmu silat yang cukup gesit. Taruna yang tadi ditendangnya segera mencabut golok bergagang perunggu. Sedangkan Blandong buru-buru bangkit dan mencabut senjatanya berupa kampak bermata dua, gagang kampaknya tidak terlalu panjang, namun di setiap ujung gagang itu ada mata kampak yang arahnya berlainan. Senjata itu diputar dengan cepat di sela-sela jemarinya. Mereka berdua segera membentuk dua pusat serangan, di sebelah kiri Suro dan sebelah kanan Suro. Tetapi, melihat kedua lawannya siap dengan senjata dan hendak menyerang, Suro Bodong hanya garuk-garuk kumis. Matanya bergerak dengan lincah dan penuh kesiagaan santai. .
"Sebaiknya kalian pergi saja dari sini dan tinggalkan gadis itu," kata Suro Bodong tanpa rasa takut sedikit pun. Ia malahan sempat garuk-garuk kumis beberapa kali.
"Kau turut campur dalam urusan ini. Maka kau harus mau menanggung akibatnya!"geram Blandong.
"O, jelas mau. Aku mau menanggung akibatnya. Ah, akibatnya kan hanya membunuh kalian berdua. Itu soal keciiil...!" Suro Bodong menjentikkan jari kelingkingnya sambil berkala "kecil" tadi. Taruna menggeram gemas, goloknya siap di tangan kanan.
"Makanya," kata Suro Bodong. "Sebelum aku sempat. membunuh kalian, sebaiknya kalian kabur sajalah... lari yang .jauh sana...! Aku pura-pura kehilangan lawan, tak apa!" '
"Mulut sombong bau sampah!" geram Blandong. "Kurobek mulutmu kalau sekali lagi berkata begitu!"
"Kujahit mulutku kalau robek," ujar Suro.
"Kurobek lagi!"
"Kujahit lagi...!"
"Kurobek dan kucacah-cacah!"geram Blandong.
"Kujahit dan kutambal-tambal...!"
Taruna berteriak, "Ini bukan tempat menjahitkan mulut, Bangsat! Ini tempat..." Taruna berbisik kepada Blandong, "Ngomongnya bagaimana ya...?!"
"Ini hutan!" seru Blandong. "Dan aku serta temanku ini menemukan Anjani...! Berarti kesaktiannya akan menjadi milik kami berdua! Kalau kau menghalangi hak kami, kami tidak segan-segan memotongmu menjadi dua puluh bagian!"
"Sudahlah tidak perlu sesumbar. Aku tahu, kau tukang daging...! Sebaiknya pergi saja, tinggalkan Anjani!" kata Suro Bodong.
Taruna menyahut, "Hei, kingkong...!"
"Emakmu yang kingkong!" sahut Suro Bodong dengan membentak. Taruna sempat terkejut mendengar bentakan keras itu. Ia kembali bicara dengan memainkan goloknya pelan-pelan:
"Kurasa kau juga ingin memiliki kesaktian Anjani, ya? Baik. Kita tentukan saja, siapa yang berhak memiliki kesaktian Anjani, kau atau kami berdua. Hiaaat...!!"Taruna menusukkan goloknya ke dada Suro dari kiri, sementara itu Blandong segera menebaskan kampak gandanya dari arah kanan. Suro melompat ke depan dan berguling ke tanah sehingga ia lolos dari serangan kedua lawannya.
Sambil berguling tadi, kedua tangan Suro Bodong berhasil menyahut dua batu seukuran jempol kaki. Maka, begitu ia berdiri dengan salah satu lutut menapak di tanah, kedua batu itu melesat dari kedua tangannya. "Wes... wes...!" Kedua batu terarah ke wajah lawannya.
"Trang...!" Taruna berhasil menangkis lemparan batu itu dengan goloknya yang dikibaskan ke kiri. Batu yang ditangkisnya itu ternyata terbelah menjadi dua bagian, terpotong rapi dengan golok Taruna. Sedangkan batu yang meluncur cepat ke wajah Blandong juga berhasil ditangkis dengan cara memutarkan kampak gandanya dengan cepat, sehingga menyerupai sebuah perisai. Batu itu melesat entah ke mana. Yang jelas, Suro memperoleh kesempatan untuk sigap berdiri menunggu serangan lawan.
"Hiaaat...!"
Blandong maju, mengibaskan kampaknya ke kanan dan ke kiri. Suro Bodong menghindar dengan meliukkan tubuh ke belakang beberapa kali. Lalu kakinya menendang tangan Blandong yang memegangi kampak gandanya. Tangan itu terpental ke atas, namun kampaknya masih terpegang erat. Begitu tangan ke atas, Suro Bodong segera maju dan berluru menekuk hampir menyentuh tanah. Lalu dua pukulan diluncurkan keras ke arah depan.
"Hiaaat...!!"
"Uuh...!" Blandong menggeliat kesakitan karena tulang rusuknya bagai dihantam dengan dua palu godam yang berat. Ia terdorong ke belakang sambil merunduk kesakitan memegangi tulang rusuknya. Suro Bodong berdiri lalu melompat. Sekali ini kaki kirinya yang menghentak kuat ke tulang rusuk tadi.
"Krak...'
"Aaaaaooow...!!" Blandong menjerit. Tulang rusuknya patah, sementara jari kelingkingnya yang kuat ditendang karena memegangi tulang rusuk itu juga ikut patah. Ia berteriak mengaduh-aduh tak karuan.
Taruna segera bersalto di udara sambil mengibaskan goloknya bagai hendak membelah kepala Suro Bodong. Suro Bodong menghindar dengan cara berguling ke tanah dengan cepat. Begitu kaki Taruna menyentuh tanah, Suro menyengkatnya dengan cepat. "Aah...!" Taruna terpelanting jatuh.
Dalam keadaan melonjor di tanah, Suro Bodong masih sempat menggerakkan kaki kanannya ke atas, kemudian tumitnya dihentakkan kuat-kuat ke dada Taruna.
"Huaaggh...!"Taruna mendelik dan sukar bernafas, karena ulu hatinya dihantam oleh tumit Suro Bodong.
Tahu-tahu, Blandong masih sempat melemparkan kampak' gandanya yang ditiap ujung gagang ada mata kampaknya. Kampak itu melayang berputar-putar bagai baling-baling. Suro Bodong tak punya kesempatan menghindar kecuali dengan cara merebahkan kepala rapat-rapat dengan tanah. Kampak itu berputar dan melesat di depan hidung Suro Bodong. Kalau saja kala itu Suro tidak tiduran di tanah, terangkat sedikit, mungkin hidungnya akan gompal, atau mungkin pula bibirnya yang robek ke mana-mana dihantam putaran kampak itu. Baru saja Suro hendak bangun, eh kampak itu membalik sendiri. Kali ini melewati atas perut Suro Bodong dalam putaran seperti roda berjalan, bukan seperti piting berputar. Maka, tak ada kesempatan untuk menghindar kecuali tetap merebah .di tanah dan perut Suro dikempiskan sekecil mungkin dan serendah mungkin.
Benar-benar udel bodong itu nyaris terbelah menjadi dua bagian, kalau saja perut Suro yang agak besar itu tidak dikempiskan serendah mungkin. Begitu kampak telah lewat, Suro segera menghentakkan tangannya dengan kaki melengkung ke belakang. Tangan menghentak, dan tubuh Suro yang sedikit besar itu mampu melonjak dengan kedua kaki menapak di tanah.
"Jleeg...!"
"Hiaaat...!" Taruna mengibaskan pedangnya dalam keadaan berdiri menyambut tubuh Suro. Kibasan golok itu begitu cepat dan di luar dugaan, sehingga Suro Bodong terlambat menghindar. Akibatnya ujung golok itu sempat menggores perut Suro Bodong dan menimbulkan luka yang panjang. Darah mengalir keluar, tapi tidak deras. Luka itu pun tidak begitu parah. Hanya seperti terkena goresan ujung duri.
Suro Bodong mundur sambil membungkuk Taruna mengejarnya dengan tebasan golok ke arah wajah dan leher. Satu-satunya kesempatan menghindar adalah melompat tinggi. Dan hal itu dilakukan Suro Bodong. Kakinya menghentak ke tanah, lalu tubuhnya melesat ke atas. Tangan Taruna molos ke bawah, menebas tempat kosong.
Saat itu adalah kesempatan bagi Suro untuk melancarkan tendangan ke bawah. Kaki kanan Suro bagai menjejak ke bawah dan mengenai pundak Taruna.
"Aaauh...!!"Taruna memekik kesakitan. Pundak kanannya terasa ngilu dan tadi terdengar suara berderak bagai tulang retak. Tangan kanan Taruna menjadi lemas, lunglai dan tak mampu memegang goloknya.
Begitu kaki Suro Bodong mendarat ke tanah, ia bermaksud menendang kepala Taruna. Tetapi dari arah kirinya, Blandong maju dengan terhuyung-huyung menahan sakit di rusuk. Ia hendak mengibaskan kampaknya ke arah Suro. Mau tak mau Suro Bodong melompat lagi. Sambil melompat ke atas kedua kakinya terentang seketika.
"Hiaaat...!"
Kedua kaki itu sama-sama menghentak ke samping dan mengenai lawan. Blandong terjengkang dengan wajah membiru karena terkena tendangan kaki kiri Suro Bodong, sedangkan Taruna terpelanting mencium tanah karena punggungnya terkena tendangan kaki kanan Suro. Keduanya sama-sama menjerit kesakitan.
Blandong berguling beberapa kali sambil mengaduh-aduh, lalu ia segera bangkit dan melesat melarikan diri. Suro Bodong semula ingin mengejarnya, tapi ia merasa tak perlu sampai memburu. Blandong belum bisa dijadikan lawah gigih dalam pertarungan. Tapi Taruna...? Ah, sama saja. Taruna pemuda yang punya keuletan, tapi tidak mempunyai keberanian yang cukup. Ilmu silatnya boleh juga, hanya saja tidak berarti apa-apa jika melawan Suro. Sebab itu, Suro tidak menghajar Taruna terus-menerus. Bahkan ketika Blandong telah melarikan diri, Taruna masih menggeloso nungging-nungging. Suro Bodong mencolek pinggang Taruna dengan kakinya dan berkata:
"Hei,hei... kau ditinggalkan kabur sama temanmu,tuh...!"
Taruna segera bangkit dengan menyeringai dan mengaduh-aduh. Pundaknya terasa sakit sekali dan tak mampu sejajar dengan pundak kirinya. Matanya mengerjap memandang ke sekeliling. Ternyata Blandong sudah pergi. Celaka. Dia sendirian dan itu berarti Blandong membiarkan dirinya mati oleh lawan. Suro Bodong berkata, "Ke sana dia larinya...!"
"Terima kasih, Pak...!" Taruna segera ikut melarikan diri searah dengan kepergian Blandong menurut petunjuk Suro.
Suro Bodong tersenyum dan garuk-garuk kumisnya yang tebal. Kemudian ia ingat Anjani, gadis bergaun jingga yang ditolongnya dari usaha pemerkosaan Blandong dan Taruna.
Tapi, hei... ke mana gadis itu?! Suro memandang kian ke mari, tapi tidak menemukan di mana Anjani bersembunyi.
"Kucing kurap...!" gerutu Suro. "Sudah ditolong malah pergi begitu saja. Tidak tahu terima kasih...!"
Suro Bodong masih sibuk mencari kemungkinan Anjani pergi. Tapi... tak terlihat tanda-tanda ke mana arah kepergian Anjani.
Ia berseru, "Anjaniiii...?! Anjani di mana kau...?!"
Lalu ia menggerutu setelah beberapa saat tak terdengar batang hidungnya! Ah, mungkin hidungnya memang tidak mempunyai batang!
Suro Bodong bersungut-sungut. Ia masih teringat kata-kata Blandong dan Taruna tentang kesaktian. Benarkah mereka bermaksud merebut kesaktian Anjani? Ah, kesaktian apa? Yang Suro ketahui, Anjani tidak bisa melepaskan diri dari cengkeraman Blandong. Ia bahkan nyaris berhasil diperkosa oleh Blandong. Dan lagi, kesaktian macam apa itu sehingga direbutnya dengan cara memperkosa Anjani?
"O, ya, ya, ya..." kata Suro sendirian. "Kesaktian itu adalah mahkota. Maksudnya, mahkota seorang perawan ibarat kesaktian yang harus dipertahankan. O, begitu maksud kata-kata mereka. Uuuh... sial! Kupikir kesaktian yang sebenarnya...!" gerutu Suro dibawanya pergi.
Ia melangkah menuju arah Barat, tempat di mana Kesultanan Praja berada. Bagaimanapun juga, sebagai seorang Senopati Kesultanan Praja, Suro harus kembali ke sana dan melaporkan hasil kunjungannya ke Biara Biku Mahendra. Ia membawa hasil yang menggembirakan bagi Kesultanan, bahwa Biara Biku Mahendra akan siap membantu Kesultanan Praja sewaktu-waktu dalam kesulitan. Mereka bukan lawan, namun kawan yang datang dari negeri seberang. Mereka datang hanya ingin mengembangkan agama dan mengajarkan hidup bersaudara.
Langkah kaki yang menuju Barat terhenti. Suro Bodong menelengkan telinganya, menyimak suatu suara yang samar-samar. Ia mengerutkan dahi dan dalam hatinya berkata:
"Ya. Benar. Itu suara perempuan menangis meratap-ratap. .Hemmm... siapa perempuan itu? Sepertinya suara Anjani!"
Suro menyusuri semak bagian kiri, menuju suara tangis perempuan. Dan Suro yakin, itu tangis dari Anjani. Tadi, sewaktu Anjani hampir berhasil diperkosa Blandong, Suro sempat merekam suara tangisnya dalam otak. Jadi dia bisa mengetahui kalau suara tangis yang kali ini di dengar adalah suara tangis Anjani.
"Kenapa, ya...?" Suro bertanya sendirian sambil melangkah mendekati suara yang semakin jelas. "Sepertinya tadi ia belum berhasil diperkosa, kenapa menangis? Apa dia menyesal gagal diperkosa? Ah, ndak mungkin. Tapi... bisa saja menjadi mungkin,ya...?"
Suro Bodong berkecamuk sendirian sambil berusaha menerobos rirnbunan semak berduri. Untung ia punya ilmu peringan tubuh yang cukup sempurna, sehingga tubuhnya yang besar namun tidak gemuk itu mampu berjalan di atas duri yang tidak terlalu runcing. Dalam waktu beberapa saat, akhirnya sampai pula Suro ke sebuah pohon besar berakar pipih, seperti dinding sebuah bangungan. Di sela-sela akar besar yang pipih itu, Suro melihat Anjani dengan pakaian Jingganya sedang bersimpuh, menangis di depan sesosok tubuh lelaki.
Suro Bodong mendekat, dan semakin jelas, bahwa lelaki itu masih muda, kira-kira seusia dengan Blandong, tetapi dadanya terluka lebar dan lehernya pun hampir putus. Anjani memandang kehadiran Suro Bodong dengan takut. Tangisnya semakin keras. Suro merasa tersinggung melihat Anjani ketakutan padanya. Lalu ia berkata:
"Memangnya aku setan...?! Kenapa kau ketakutan? Kau
seharusnya berterima kasih karena telah kuselamatkan dari
usaha pemerkosaan tadi. Coba kalau aku diamkan dan
kutonton saja... uh, bisa kacau sendiri perasaanku!"
Anjani masih terisak-isak dan memojok pada suatu rongga akar. Ia memandang Suro dengan ngeri. Suro yang berambut sepundak dan acak-acakkan itu segera merapikan diri, membetulkan letak ikat kepalanya. Lalu berkata,
"Apakah tampangku masih seperti rampok..?"
Anjani mengisak, tapi juga mengangguk Suro Bodong menggerutu dalam hati. Ia menghela nafas dengan kesal.
"jangan takut! Aku tidak seperti mereka! Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku orang baik-baik..!"
"Kau... kau tidak ingin memerkosaku juga, kan?"
"Apa kau menghendaki begitu?" kata Suro Bodong, lalu ia memperhatikan mayat lelaki yang terbujur dengan tangan masih memegangi pedang.
"Siapa orang ini?Kekasihmu?"
Anjani menggeleng, masih terisak dan takut.
"Suamimu?"
Anjani menggeleng lagi.
Suro menggumam, memperhatikan mayat yang terluka cukup mengerikan.
"Bapakmu, ya?!" tanya Suro dengan ketus.
Anjani masih juga menggeleng sambil menggigit jari.
"Lalu siapa? Kakekmu atau siapa...? Ngomong! Jangan hanya bisa mengggeleng saja seperti wayang golek!"
Dengan susah payah karena disekap tangis, Anjani berkata dengan terputus-putus: "Di... dia... dia... dia... dia..."
"Dia siapa?!" bentak Suro tak sabar.
"Pe... pe..."
"Pelaut?!"
Anjani menggeleng. "Pe... pelayan... pelayanku...!"
"Pelayanmu? O, kalau begitu, kau anak bangsawan, ya?"
"Bangsa... bangsa..." Anjani mengangguk. "Bangsa Padria...!"
"O, bukan bangsawan tapi Bangsa Padria? Aah... masa bodo apa katamu sajalah...! Lantas, mau ke mana kau? Kenapa di hutan? Kamu tidak tahu, kalau di hutan itu banyak pohonnya!"
"Bahaya! Jangan masuk hutan sembarangan!" Suro masih ketus saja.
"Ak... aku mau pulang, tapi... tapi tempatku jauh... Di sana... jauh. Dan... aku tak berani pulang sendirian...! Aku dikejar-kejar banyak lelaki rakus...! Oh, tolonglah aku, Orang Baik...!"
Suro Bodong tolak pinggang sambil menggumam, ia memperhatikan mayat lelaki itu, tapi pikirannya ke Anjani.
-oo0dw0oo-
2
Matahari bergeser ke Barat tanpa diperintah. Suro Bodong masih berjalan di belakang Anjani. Sejak tadi ia memang tidak mau berjalan bersamaan, karena dengan berjalan di belakang Anjani ia dapat menikmati keindahan lekuk tubuh gadis itu. Suro Bodong tak dapat menipu hatinya, bahwa ia sangat mengagumi keindahan tubuh Anjani. Selain padat, sintal dan sexy, pinggul perempuan itu juga mengundang selera bagi lelaki siapa saja. Pinggul itu bergerak bagai ayunan yang mampu menerobos ketabahan gairah seorang lelaki. Pinggul itu bagai melambai, mengundang ajakan untuk mengusap dan meremasnya.
Memandang Anjani dari belakang sesungguhnya lebih aman dari pada harus memandang dari depan. Suro sempat merasa tidak aman ketika memandang tubuh Anjani dari depan. Jantungnya sesekali terasa terhenti melihat keindahan dada Anjani. Dada itu tidak terlalu montok, namun menantang, bak buah yang ranum menyegarkan. Semburat kehalusan kulitnya yang memancarkan warna sejuk itu semakin jelas terlihat lewat belahan dadanya yang tersembul sedikit, menggoda mata setiap lelaki. Apalagi jika Suro sempat memperhatikan wajahnya dengan teliti, wow...! Ludah Suro tertelan di luar kesadaran. Bibir yang dipandangnya itu sepintas memang hanya mengandung keindahan yang mengagumkan. Tetapi, apabila ditatap terlalu lama, bibir itu bagai memancing birahi dengan kesegaran yang merekah, seakan hanya satu kecupan yang pulen dan membuat hati berdebar-debar. Bibirnya yang halus lembut sangat membangkitkan gairah untuk mengusapnya dengan hidung, atau dengan mulut perlahan-lahan. Gemetar lutut Suro jika memperhatikannya.
Belum lagi matanya yang berbulu lentik dan lebat. Mata itu mempunyai tepian yang berwarna biru kehitam-hitaman. Memang sangat tipis. Hanya dengan cara memperhatikan dengan teliti baru akan menemui, betapa indahnya sepasang mata yang bagai memiliki garis birahi pada tepiannya. Sorot matanya itu tajam, namun sesekali meredup dan menghadirkan sejuta khayalan asmara yang menggelisahkan jiwa. Apabila mata itu berkedip, bagai suatu ajakan untuk bercumbu dalam kobaran cinta yang tak mengenal tempat dan waktu. Alisnya sendiri sangat mendukung keindahan mata itu. Alis itu memang tebal, tapi teratur rapi, dari tebal di bagian tengah kian melengkung kian tipis, namun terlihat jelas ketipisan itu masih mempunyai bulu-bulu lembut yang seakan enak diusap dengan ujung bibir.
Kebeningan mata dengan bagian tengahnya hitam kecoklat-coklatan itu bagai memantulkan bayangan yang bangis. Ujungnya runcing, tapi teratur indah, membentuk dua lubang yang kelihatan manis, enak di pandang. Apalagi dipadukan dengan lehernya yang tidak terlalu jenjang, juga tidak pendek. Seakan kulit leher yang mulus lembut tanpa goresan sedikit pun itu adalah sebuah bentangan sutra yang nikmat disentuh-sentuh dengan lidah.
Suro Bodong pernah memperhatikan rambutnya yang sepanjang punggung itu. Rambut itu bagai sekumpulan benang-benang sutra yang lembut dan lemas dalam kebeningan warna hitamnya. Jika digerakkan, rambut itu meriap dengan gemulai. Tanpa ikal, tanpa gelombang. Lurus tapi halus. Sesekali rambut itu berjatuhan di dada, mungkin tujuh atau sembilan helai yang meriap di dada, dan hal itu membuat belahan dada Anjani semakin kelihatan menggairahkan.
Kalau saja ia mengenakan gaun yang tebal, orang masih bisa tergiur lemas oleh keindahan tubuh dan wajahnya, apalagi saat ini Anjani mengenakan gaun Jingga yang tipis, oooh... ada kalanya Suro Bodong tak sanggup memperhatikan gadis yang menawan itu. Gaun itu memang berlipat-lipat pada bagian perut ke bawah, ujung kain halus itu berjatuhan di betis yang indah dan mengesankan. Tetapi tadi, ketika Taruna nekad menyingkapkan, Suro Bodong sudah hampir saja jatuh dari atas pohon karena berdebar-debar hatinya melihat kemulusan yang lembut itu.
"Masih jauhkan tempat tinggalmu," Suro Bodong menghalau lamunannya tentang tubuh Anjani dengan berseru begitu, Anjani berhenti melangkah, berpaling ke belakang dengan pundak ikut memutar sedikit dan kaki kiri merenggang ke belakang, ia memandang Suro Bodong, dan sebuah letupan yang menyesakkan pernafasan dialami oleh Suro Bodong, sampai-sampai ia menghela nafasnya dalam-dalam.
"Apakah kau lelah, Suro?"
Suara yang renyah, bening dan sedikit mempunyai keserakan halus itu juga sering menggoda hati Suro Bodong.
"Tidak. Aku tidak lelah. Aku hanya ingin tahu, apakah rumahmu masih jauh atau dekat," kata Suro Bodong seraya menatap ke alam lain.
"Tak berapa lama lagi kita akan sampai," kata Anjani.
Ia sengaja tidak meneruskan langkah, menunggu Suro Bodong mendekat. Suro terpaksa melangkah dan Anjani mengimbangi dalam gerak sejajar.
"Apa kau belum pernah mendengar nama Bukit Maya?" tanya Anjani sambil melangkah. Suaranya yang enak didengar dan mengandung impian basah itu jelas sekali di dengar oleh Suro Bodong. Hati Suro menjadi sering resah dan mendesah-desah.
"Aku baru sekarang mendengar nama Bukit Maya," kata Suro tanpa memandang Anjani. Tetapi Anjani berpaling dan tersenyum memperhatikan Suro Bodong.
"Kalau begitu, anggap saja kau menemukan tempat lain yang belum pernah kau dengar namanya. Kurasa kau akan senang jika berada di Bukit Maya, tempat tinggalku."
"Mudah-mudahan tidak begitu," katanya, sebab Suro takut merasa betah di sana lantas lupa pulang ke Kesultanan Praja.
Hutan mulai meremang. Kalau gelap tiba, hutan itu akan menjadi pekat. Mungkin sebutir beras pun tak akan kelihatan. Karena sebatang pohon besar bisa hilang dari pandangan mata jika malam mulai menyelimuti hutan itu. Suro Bodong memikirkan perjalanan malam. Haruskah mereka tetap melangkah, atau berhenti mencari tempat bermalam?
Akhirnya diputuskan untuk mencari tempat bermalam saja, sebab melanjutkan perjalanan malam merupakan hal yang berbahaya bagi Anjani yang mempunyai tanda-tanda kemanjaan itu.
"Ke mana kita akan bermalam nanti?' tanya Anjani ketika ia pun mulai memikirkan keremangan petang.
"Aku sedang memikirkannya."
"Apakah di sini tidak ada penginapan?"
Suro Bodong setengah menggerutu mendengar pertanyaan seperti itu. Sudah tahu mereka berada di tengah hutan, masih saja pakai bertanya begitu. Konyol!
"Kau cemberut terus, Suro. Kenapa?" Anjani memandang Suro dengan melangkah lebih cepat, lalu berbalik dan melangkah mundur sambil memperhatikan wajah Suro Bodong. Kikuk sekali Suro diperhatikan seperti itu. la buang muka, dan berkata:
"Jangan memandangku begitu! Kau dalam bahaya, tahu!"
"Dalam bahaya?!" Anjani terkejut dan segera mendekat ke Suro Bodong. Suro semakin gemetar sendiri.
"Kau semakin bahaya, Anjani...!"
Gadis itu berpaling ke sekeliling memperhatikan dengan wajah ketakutan. Tangannya telah memegang erat baju merah Suro Bodong dan ia pun berkata:
"Bahayaapa...?Bahaya apa yang mengancamku...?Oh...!"
Anjani tak tahu, bahaya yang dimaksudkan Suro Bodong adalah ledakan birahi Suro yang nyaris tak mampu ditahannya lagi itu. Dadanya bergemuruh saat diperhatikan Anjani, seakan-akan ia di dorong oleh suatu kekuatan untuk mendekap Anjani. Tapi Suro Bodong tetap bertahan untuk tidak mau melakukan.
Tapi, ketika Anjani semakin dekat dan memegang baju Suro Bodong, dada Suro bagai retak. Perih dan tangannya gemetar. Keinginan untuk memeluk Anjani semakin meledak-ledak, membuat pandangan mata Suro berkunang-kunang. Anjani tak tahu kalau keadaannya yang semakin mendekat membuat bahaya bagi Surodan dirinya sendiri.
Suro berhenti melangkah. Memejamkan mata, menarik nafas perlahan-lahan dan menyimpannya di dalam dada. Itulah cara Suro Bodong menjaga keseimbangan nafsunya. Ia melakukan hal itu berulang kali hingga ia memperoleh ketenangan kembali. Anjani memperhatikan dengan heran, lalu ia bertanya:
"Apakah aku masih dalam bahaya, Suro?"
"Tidak..!" Suro menghempas. "Sudah berlalu..." katanya dengan lemas.
"Agaknya... kau orang sakti, ya?" cetus Anjani sambil melangkah lagi beriringan.
"Kenapa kau bilang begitu?" Suro garuk-garuk kumisnya yang tebal. -
"Kau bisa mengusir bahaya dengan memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam. Aku kagum dengan caramu mengusir bahaya...."
"Kagum karena kehebatan cara seperti itu?"
"Kagum karena ketabahanmu menggunakan cara kuno itu," jawab Anjani, lalu ia tertawa. Giginya yang putih bak barisan mutiara itu dipamerkan seirama dengan gelak tawa yang mengandung desah serak yang bening.
Lalu, suara tawa itu hilang. Langkah kaki itu berhenti. Anjani bergegas ke belakang Suro Bodong. Anjani dicekam perasaan takut, karena seorang lelaki brewok bersenjata dua pedang turun dari atas pohon dan menghadang langkah mereka. Suro Bodong secara refleks merentangkan kedua tangannya bagai memagari Anjani. Mata Suro Bodong menatap lurus setelah bergerak cepat menyelidiki sekeliling, dan ia tahu lelaki brewok berbadan besar itu hanya sendirian. Kepalanya botak bagian tengah, rambutnya meriap ke bawah berwarna coklat jagung. Kelihatannya alot juga lelaki itu, karena badannya tampak kekar dan berotot. Ditambah lagi, ia menyandang dua pedang di punggung yang sama panjangnya.
"Siapa kau...!" Suro Bodong membentak lebih dulu. Ini sudah merupakan kemenangan mental bagi Suro Bodong, daripada ia dibentak lebih dulu oleh lawannya.
"Apa kau belum mengenal namaku, Suro Bodong?"
Lelaki brewok itu bersuara besar, cukup mendirikan bulu kuduk Anjani. Ia sudah mengenal Suro Bodong, tapi agaknya Suro Bodong belum pernah bertemu dengannya.
"Kau Suro Bodong, Senopati Kesultanan Praja itu, bukan? Kau yang berjuluk Pendekar Tujuh Keliling. Iya, kan?"
"Benar. Kau tahu namaku dari siapa?"
Lelaki brewok itu tersenyum sinis. "Namamu cukup kondang di kalangan pendekar. Kau tak perlu merendah di hadapanku. Kita sama-sama cukup kondang di dunia persilatan.
"Mungkin namaku memang sudah kondang, tapi namamu belum. Buktinya aku belum tahu siapa kamu," kata Suro mencoba merendahkan mental lawannya.
Lelaki brewok itu tertawa dengan suara besar, bagai ditelan sendiri ke dalam perut. Suro Bodong memperhatikan pakaiannya yang mirip baju Suro, hanya warnanya yang berbeda. Lelaki itu mengenakan baju lengan panjang tanpa dikancingkan dan berwarna hitam. Sedangkan baju Suro merah. Celana Suro biru, sedangkan celana lelaki itu abu-abu. Suro mengenakan ikat pinggang kuning, lelaki itu juga berikat pinggang kuning. Suro mengenakan ikat kepala merah, tapi kepala lelaki itu tidak diikat-ikat apa pun. Wajah Suro kasar, berkumis tebal dan beralis tebal, tetapi lelaki itu lebih kasar lagi dengan berewoknya yang menutup mulut.
"Suro... sebagian orang mengatakan, kau sombong. Tetapi bagiku tidak. Kau bukan sombong, melainkan bodoh."
"Ya. Kurasa memang begitu. Lantas mau apa, kau?" Suro berpenampilan tenang.
"Aku Jagal Iblis dari Lembah Siluman. Apa kau belum pernah mendengar nama itu?"
"Ooo..." Suro manggut-manggut. "Kau yang bernama Jagal Iblis? Kau yang menjadi penguasa Lembah Siluman?"
Lelaki yang mengaku bernama Jagal Iblis itu tertawa menyeramkan. Anjani semakin memegangi baju Suro dari belakang dengan gemetar.
"Suro... aku takut..."Anjani merengek seperti anak kecil.
"Tenang... ia cuma seram di nama sama di brewok... sebetulnya ia tidak terlalu berbahaya. Tenang saja," bisikSuro kepada Anjani. Agaknya Jagal Iblis mendengar bisikan pelan itu sehingga ia menggeram seperti singa melihat tikus.
"Aku tahu kau pernah mengalahkan Siluman dari Utara," kata Suro. "Aku juga mendengar cerita tentang dirimu yang berhasil mengusir pasukan Singosari dari wilayahmu. Dan, kabarnya kau pun pernah mengalahkan tentara Prabu Baladara dari Kerajaan Lesan-mitra. Tetapi semuanya tidak ada hubungannya dengan diriku, bukan?"
Jagal Iblis tersenyum sinis, hampir tak terlihat karena tertutup kumis dan brewoknya yang amburadul itu.
"Aku datang memang tidak ada sangkut pautnya dengan kemenanganku itu, Suro Bodong."
"Lalu, untuk apa kau menyangkut-nyangkut didepanku?"
Mata Jagal Iblis memandang Anjani menyeringai mirip iblis.
"Suro...! Aku tidak ingin mengadakan permusuhan denganmu, tetapi aku hanya menghendaki perempuan yang ada di belakangmu itu.”
Suro berkerut dahi. Jagal Iblis berkata lagi:
"Tolong, jangan timbulkan permusuhan di antara kita. Berikan perempuan itu dan aku akan pergi, tidak akan memusuhimu. Malah kalau kau punya musuh, bilang padaku, biar akuyang membereskan musuh-musuhmu. Asal... Anjani kauserahkan kepadaku."
"Hei, Iblis...!" kata Suro seenaknya. "Itu sama saja kau mau melangkahi mayatku, tahu?! Lagi pula untuk apa kau bernafsu sekali ingin memiliki perempuan ini. Dia memang bukan milikku, tapi dia ada dalam tanggung jawabku. Kalau dia lepas dariku berarti nyawaku terlepas dulu dari ragaku. Jelas. Paham, Nyong...?!"
Jagal Iblis menggeram dengan mata mulai melotot ngeri.
"Lancang sekali mulutmu bicara, Suro!!"
"Dibilang lancang ya tidak, aku kan bicara apa adanya. Anjani minta dikawal aku. Aku sanggup. Tentu saja aku yang akan menjadi pembelanya dalam setiap perkara. Kan begitu?"
"Lama-lama bicaramu memerahkan telinga!"geram Jagal.
"Ah, tidak usah mendengar kata-kataku, telingamu memang sudah merah sejak dulu ..!"Suro bicara enak saja.
Jagal Iblis membentak, tak sabar.
"Serahkan Anjani, atau kita bertarung sampai mati?!"
"Kalau soal tarung sampai mati," kata Suro masih tenang saja. "Aku sebenarnya tidak menyukai pertarungan. Juga tidak menyukai kematian. Tapi... kalau terpaksa yah... anggap-anggap kita bercanda saja. Silahkan, kau memilih bertarung atau memilih mati."
"Bangsat kau,Suro... hiaaat...!!"
"Hap... hap... hap... hap..!"
Suro Bodong menangkis setiap pukulan beruntun dari Jagal Iblis. Ia tak dapat maju menyerang, karena bajunya dipegang terus oleh Anjani, tapi tangannya tetap menangkis setiap pukulan Jagal Iblis tanpa melihat gerakan lawan.
"Cepat lepaskan...! Aku tidak bisa bergerak bebas, tolol!"
"Aku takut..." rengek Anjani manja.
"Aku juga! Tapi kita tidak boleh kalah...! Lepas...!"
Plak.. plak.. plak....
Tangan Suro Bodong beradu dengan tangan Jagal Iblis sekali pun Suro Bodong tidak melihat gerakan tangan lawan.
"Buug...!"
Kali ini Suro Bodong terkena pukulan tangan kanan Jagal Iblis. Perutnya terasa mules dan ia menyeringai sambil agak menunduk menahan sakit di perut. Kaki Jagal Iblis menendang dengan lompatan kecil.
"Aaauww...!!" Suro Bodong mengaduh, kepalanya terdongak sampai ke belakang akibat tendangan lawan.
"Setan! Lepaskan bajuku...!"
"Aku takut... takut sekali...!" Anjani merengek seperti anak kecil dengan genggaman baju semakin kuat.
"Mampus kau,Suro... hiaat...!!"
Jagal Iblis menghantamkan tinjunya yang kekar itu serentak ke depan, ke arah dada Suro Bodong. Dengan keadaan yang terbatas karena tak mampu bergerak, Suro Bodong mengibaskan kedua tangannya naik ke atas. Kedua tangan Jagal Iblis menghantam ke atas kepala Suro. Saat itu, Suro Bodong menggunakan jurus Pukulan Babi Buta. Kedua tangannya menghantam dada Jagal Iblis secara tepat dan cepat. Tujuh kali beruntun pukulan tangan kiri mengenai dada Jagal Iblis, dan tujuh kali beruntun tangan kiri Suro memukul 'ulu hati lawannya hingga tubuh Jagal Iblis terpental ke belakang dengan sempoyongan....
Suro Bodong melemaskan semua tangannya, sedikit ditarik ke belakang, lalu "Seet...!" Baju itu dapat lepas dari tubuhnya dengan cepat karena kedua tangannya dapat meloloskan diri dari lengan baju yang dipegangi Anjani.
Lebih baik begitu, tanpa baju namun bebas bergerak. Sebab gerakan Jagal Iblis terasa begitu cepat dan mantap. Kalau tidak diimbangi dengan kelincahan gerak, Suro Bodong bisa muntah darah karena pukulan Jagal Iblis.
"Suro...? Jangan tinggalkan aku...!" Anjani hendak berlari mendekat.
"Tinggalkan ke mana? Aku saja tidak bisa lari, apalagi kamu. Lihat tuh, Jagal Iblis sudah menyiapkan serangan. Ayo sana... sana jangan mendekati aku...!"
"Hiaaaat...!"Jagal Iblis melompat dengan kaki kanan lurus ke depan. Begitu hampir menyentuh kepala Suro, dengan cepat kaki kanan di tarik mundur dan kaki kiri segera melayang lewat samping.
Gerak tendangan tipuan itu hampir saja membuat kepala Suro Bodong pecah. Untung ia punya perasaan yang peka. Dan dengan kibasan tangan kanannya yang membuang ke kanan, kaki kiri Jagal Iblis bisa ditangkisnya, sekali pun terasa cukup linu di lengan Suro Bodong.
Kibasan lengan kanan Suro itu tidak sekedar menangkis, namun disertai tenaga menghentak, sehingga keseimbangan Jagal Iblis sedikit goyah. Ia mendaratkan kakinya ke tanah dengan limbung. Suro menyempatkan menggunakan jurus tendangan samping.
"Rasakan yang ini,hiaaat...!!"
"Huugh...!" punggung Jagal Iblis menjadi sasaran tendangan samping Suro Bodong. Saat itu, Anjani berlari sembunyi dibalik pohon, karena takut disergap Jagal Iblis.
Tendangan Suro tidak membuat tubuh lawan jatuh, melainkan hanya membuat tubuh lawannya sempoyongan nyaris menabrak sebuah pohon. Tangan Jagal Iblis segera memegangi pohon itu daripada wajahnya yang membentur di pohon. Ia segera berbalik, dan menggeram dengan mata liar memandang Suro Bodong.
Suro tidak meneruskan serangannya, karena dilihatnya Jagal Iblis sedang menyiapkan pukulan jarak jauh. Kaki Jagal Iblis merenggang, lalu merendah dengan gemetar. Kedua tangannya mengembang dengan telapak dan jari menyerupai cakar harimau. Kedua tangan itu ada di atas kepalan samping, menekuk sedikit dan gemetaran keduanya.
Suro Bodong tak mau tinggal diam. Jurus Tapak Geni di manfaatkan. Suro Bodong segera meludahi kedua telapak tangannya, lalu saling digosokkan tujuh kali. Tidak lebih. Waktu Jagal Iblis menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan posisi telapak tangan terbuka lebar. Dari telapak tangan Suro Bodong mengeluarkan sinar kecil-kecil sebesar jarum berwarna merah. Sinar merah itu beradu dengan cahaya hijau muda dari tangan Jagal Iblis, lalu terjadilah ledakan yang mengguncangkan beberapa pepohonan.
"Duaaarr...!!"
Tubuh Jagal Iblis terpental mundur beberapa langkah. Anjani yang bersembunyi di balik pohon menjerit ketakutan. Posisinya ada di sebelah kiri Jagal Iblis. Mendengar jeritan itu, Jagal Iblis segera berlari ke tempat persembunyian Anjani. Ia bermaksud membawa lari Anjani, tetapi jurus Tapak Geni Suro masih bekerja, sehingga dengan satu hentakkan ke depan, meluncurlah sinar merah sebesar jarum, jumlahnya puluhan sinar.
Jagal Iblis terpaksa bersalto ke belakang, karena jalan di .depannya telah dihadang oleh kilatan sinar dari tangan Suro Bodong. Sinar itu menghantam pohon di seberang sana. Kemudian pohon itu mengepulkan asap dan terbakar. Suro buru-buru berdiri melindungi Anjani dalam jarak lima langkah dari Anjani.
Jagal Iblis segera mencabut dua pedangnya dari punggung.
"Suro... terimalah jurus-jurus Pedang Kembaran ini!"
"Yah... coba-coba sajalah...!" kata Suro dengan santai. Namun sebenarnya hatinya cukup tegang. Ia mengerahkan ketenangannya begitu melihat pedang Jagal Iblis saling mengibas ke kanan kiri dengan cepat sehingga terdengar desingannya. Angin kibasan itu membuat beberapa daun muda rontok dan Suro Bodong sempat menghela nafas menenangkan diri.
"Belum ada lawan yang luput dari jurus pedang ini, Suro. Jadi harap kau pertimbangkan sikapmu itu!" kata Jagal Iblis dengan sombong.
Suro hanya tersenyum sinis dan berkata:
"Tetanggaku seorang tukang kayu, dia juga pandai memainkan jurus seperti itu. Tapi nasibnya malang, ia mati menelan pedangnya sendiri."
"Hiaaat...!!" Jagal Iblis merasa tersinggung hanya dengan kata-kata seperti itu. Karenanya, ia segera melesat dengan pedang menebas ke kanan dan ke kiri. Kecepatannya luar biasa, sehingga waktu tubuhnya melayang menuju Suro Bodong, tak ada yang bisa dilakukan Suro kecuali buru-buru berguling ke tanah sampingnya. Gerakan berguling itu cukup cepat, dalam waktu beberapa saat saja Suro Bodong telah menjauh dari Jagal Iblis, lalu buru-buru berdiri tegak menunggu gerakan selanjutnya.
Jagal Iblis merasa tertipu dengan gerakan Suro Bodong.. Kibasan Pedang Kembarnya tidak mengenai apa-apa, .sementara ia sendiri segera menggeram dan memandang Suro dengan ganas.
Jagal Iblis segera melompat dan bersalto beberapa kali. Tahu-tahu setelah dekat dengan Suro Bodong pedangnya menebas leher Suro dengan cepat, dan satu pedang lainnya menusuk ke arah samping Suro Bodong. Hampir saja Suro Bodong terkena tusukan, sebab ketika ia miring ke kiri, ternyata disambut dengan ujung pedang itu. Maka Suro pun buru-buru meliukkan badannya ke bawah dan tangannya berhasil menghantam mata kaki Jagal Iblis.
"Praak..!"
"Aaauuuhh...!!" Jagal Iblis yang berwajah sangar itu menjerit kesakitan. Mata kakinya dihantam Suro Bodong dengan kekuatan penuh. Mata kaki itu pecah, paling tidak bergeser dari tulang lainnya. Jagal Iblis menyeringai dan mengaduh-aduh. Ia tak mampu lagi berdiri. Keringatnya mengucur dan giginya menggeletuk sambil ia mengerang kesakitan. Mata Jagal Iblis semakin buas memandang Suro Bodong. Suro sengaja tidak menyerang, karena siapa tahu Jagal Iblis mau diajak damai.
"Kurasa pertarungan ini tidak perlu dilanjutkan, Jagal! Kau nanti bisa mati kalau melawan aku."
"Akan kubalik kata-katamu, Suro. Kau yang akan mati!" geram Jagal Iblis dengan gigi merapat.
Jagal Iblis menahan sakit mati matian. Ia berusaha berdiri dengan satu kaki kanan. Ia menghentakkan kaki kanan itu untuk melesat ke arah Suro Bodong dengan dua kali salto. Suro Bodong sigap. Segera berguling ke samping, dan lagi-lagi kibasan kedua pedang Jagal Iblis tidak menemui sasarannya.
Semakin panas hati Jagal Iblis, semakin penasaran ia. Maka, dengan serta-merta salah satu pedang dilemparkan ke arah Suro Bodong.
"Bangsat kau, Suro...!Terimalah pedang kiri ini, hihh...!"
Pedang meluncur lurus, ujungnya melesat ke arah leher tengah Suro Bodong. Tetapi gerakan tubuh Suro Bodong segera bergeser ke kiri, lalu ketika pedang itu melesat lewat depannya, kaki kanan Suro menendang pedang tersebut dengan satu hentakan yang tersendat, bagai ada aturannya.
Ternyata pedang itu berbelok arah dan tetap meluncur balik, menuju pemiliknya. Bahkan gerakan pedang itu seakan semakin lebih cepat lagi. Jagal Iblis kebingungan melihat pedangnya melesat ke arah dadanya. Segera ia mengibaskan satu pedang yang masih di tangan.
"Trang...!"
Jagal Iblis menangkis pedangnya sendiri. Pedang itu melesat ke arah lain, dan menancap pada sebuah pohon. Nafas Jagal Iblis menghempas lega. Tetapi di luar dugaan, Suro Bodong menendang pohon tempat menancapnya pedang dengan jurus tenaga dalam yang lain dari pada yang lain. Begitu pohon ditendang satu kali, daunnya rontok semua, dan pedang yang menancap itu terlepas dengan satu hentakan kuat. Hentakan itu membuat pedang tersebut melesat ke tempat asalnya, lurus menghampiri Jagal Iblis.
Hanya saja, kali ini posisinya terbalik, gagang pedang yang meluncur paling depan. Namun demikian, Jagal Iblis terpaksa berkelit dan menangkis pedangnya sendiri dengan pedang di tangannya.
"Hiaaaat...!"
"Traaang...!" Pedang dikibaskan dan menghantam pedang yang meluncur. Kini, pedang itu melesat ke atas, menembus rimbun dedaunan. Jagal Iblis melompat ke arah lain dengan satu kaki, karena takut kejatuhan pedang yang melesat ke atas.
Jagal Iblis mulai kelabakan setelah dua kali mendapat .serangan dari pedangnya sendiri. Sekarang pedang itu jatuh tergeletak di tanah. Ia tak mau memungutnya, karena matanya lebih terarah kepada Suro Bodong. Takut kalau sewaktu-waktu diserang Suro Bodong. Dalam hati ia mengakui kehebatan Suro Bodong. Cocok dengan kebesaran namanya yang kondang di dunia persilatan itu.
Tetapi Jagal Iblis satu-satunya orang yang tidak pernah mengenal kata menyerah. Setiap ia bertarung belum pernah tidak menghasilkan mayat. Pasti ia berhasil membunuh lawannya, kendati lawan sudah meminta ampun padanya.
Dan kali ini, Jagal Iblis menyiapkan diri melancarkan suatu jurus lain. Ia menjilat pedangnya, baik sisi kanan maupun sisi kiri. Lalu ia melompat dengan satu kaki dan bersalto satu kali. Ia mendarat di depan Suro Bodong dalam jarak tiga langkah.
Suro Bodong sendiri sudah tahu, akan ada jurus baru yang pasti lebih hebat dari jurus yang sudah-sudah. Maka ketika Jagal Iblis mengibaskan pedangnya, jauh dari perut Suro yang masih kelihatan bekas goresan pedang Taruna itu, tahu-tahu dari pedang Jagal Iblis keluar api memanjang dan bergerak bagai hendak merobek perut Suro Bodong. -
Suro Bodong terpaksa melompat tinggi, hampir saja kepalanya menyentuh salah satu dahan pohon. Nyala api pijar yang memanjang itu melesat di bawah kaki Suro, dan menghantam sebuah pohon.
"Crass...! Bruuuuk..!"
Pohon besar itu terpotong begitu saja akibat ditebas oleh nyala api memanjang yang keluar dari pedang Jagal Iblis. Suro sampai terbengong-bengong melihatnya. Pohon besar itu terpotong dengan rapi, bagai sebuah pedang tajam yang memotong gedebog pisang yang masih kecil. Untung saja pohon itu rubuh ke arah sana, sehingga Suro Bodong masih sempat melompat lagi ke arah lain, mendekati pedang Jagal Iblis yang tergeletak di tanah. Pada waktu itu, Jagal Iblis menjilati pedangnya lagi pada sisi kiri maupun sisi kanannya!
Namun sebelum Jagal Iblis mengibaskan pedangnya lagi, yang tentunya akan mengeluarkan nyala api memanjang, Suro Bodong telah lebih dulu menendang gagang pedang yang tergeletak di tanah.
"Hiaaat...!"
Ujung pedang kebetulan dalam posisi menghadap ke arah Jagal Iblis. Maka ketika gagang pedang ditendang Suro Bodong, pedang itu melesat bagai anak panah yang diluncurkan dari busurnya.
Jagal Iblis terperanjat. Pedang itu meluncur cepat. Ia hendak menangkis dengan pedang di tangannya, namun terlambat. Pedang yang meluncur dengan mantap dan tanpa segan-segan menancap di dada Jagal Iblis.
"Jruub...!!"
"Aaagghh...!!" Jagal Iblis ternganga dengan kepala mendongak dan tubuh melengkung ke belakang. Ia sempoyongan. Pedang di tangannya jatuh. Darah keluar dari dadanya, tepat di bagian jantung. Darah sempat memancar beberapa saat, bagai balon berisi air yang ditusuk paku.
"Aaaagghhh...! Haaaggh...!" suara itu meluncur dari mulut Jagal Iblis yang berkelejot di tanah. Suro Bodong menghempaskan nafas. Ia geleng-geleng kepala. Bahkan menyerukan suatu gerutu:
"Aku kan sudah bilang...! Jangan melawan aku, nanti kamu mati. Sekarang apa buktinya? Benar kan omonganku?!"
Jagal Iblis mengejang sesaat, kemudian terkulai lemas. Ia tak mau berkutik sedikit pun. Ia mati. Dan Anjani mulai mendekati Suro Bodong dengan wajah yang penuh kengerian dan ketakutan. Ia mendekat dari belakang Suro, dan Suro Bodong tersentak kaget ketika tangan Anjani memegang lengan Suro Bodong. Suro mengira ada lawan lain yang hendak membokongnya. Ketika diketahui yang menyentuh itu Anjani, ia jadi menghempaskan nafas lega.
"Kenapa Jagal Iblis sangat menghendaki dirimu, hah?"
Anjani gelagapan. "Aku... aku tidak kenal dia..."
"Aneh. Kenapa ia bersikeras ingin membawamu? Ah... kau terlalu menggiurkan di mata pria,jadi akhirnya begini!"
"Aku..."Anjani bingung. "Aku tidak menggiurkan diri. Aku... aku... oh, tolong, jangan marah padaku, Suro. Jangan...!"
-oo0dw0oo-
3
Entah pohon apa namanya, tetapi menurut Suro, pohon itu cukup aman. Suro sebelumnya telah memanjat sampai ketinggian tertentu, memeriksa keadaannya. Oh, cukup kuat dan aman. Tak ada ular atau binatang jenis serangga berbisa lainnya. Dahan-dahannya pun cukup baik untuk dijadikan tempat tidur darurat. Dengan bantuan akar pohon yang lentur, Suro Bodong merakit dua dahan untuk dijadikan tempat tidur. Akar-akar itu disusun sedemikian rupa membentuk suatu anyaman, lalu Anjani disuruhnya tidur di anyaman akar yang lentur tapi kuat itu.
"Kau membikin tempat tidur di mana, Suro”
"Di bawah sana ada dua dahan yang bisa kujadikan tempat tidur,"jawab Suro.
"Jangan di bawah," kata Anjani dengan nada manjanya. "Ini, di samping ini kan ada dua dahan yang berjajar juga. Bikin saja tempat tidur di sini, jadi kau tidak jauh-jauh dariku. Aku takut tidur di penginapan seperti ini, Suro...."
Sebenarnya Suro Bodong jengkel dengan gaya manja Anjani itu. Namun, karena ia sangat mengagumi kecantikan Anjani, ia masih bisa menahan diri untuk bersabar dan tidak memasalahkan soal itu.
Sebelum malam semakin menyelimuti hutan, dua tempat tidur telah selesai. Tinggal mereka merebah dengan nyaman beralaskan anyaman akar yang lentur itu. Suro akhirnya berbaring di samping Anjani, jarak tempat tidurnya hanya dua jengkal dari Anjani. Dan itu sangat menggelisahkan Suro.
Ada satu hal yang membuat mereka merasa beruntung. Di luar dugaan mereka, ternyata langit waktu itu berbulan cerah. Bintang bertebaran di angkasa. Cahaya rembulan menerobos sela dedaunan, membuat hutan tak segelap dugaan Suro Bodong.
Suro Bodong baru menyadari juga kalau sejak tadi ia mencium bau harum yang melenakan hati. Entah bau kembang apa yang tumbuh di dekat pohon itu, tapi harumnya benar-benar lembut, enak dihirup dan sangat melenakan kalbu. Pikiran Suro Bodong terbawa dalam khayalan tinggi. Mungkin bau harum itulah yang membuat pikirannya melayang dalam keindahan yang amat tenang.
"Kau sudah tidur, Suro...?" sapa Anjani.
"Sudah,"jawab Suro.
Anjani tertawa dalam desah. Suro memejamkan mata dengan kedua tangan terlipat di dada.
"Suro..." sapa Anjani lagi setelah mereka lama tidak bersuara. Suro Bodong hanya menggumam. Teguran lembut bersuara serak tipis itu masih saja menggelisahkan hati Suro Bodong.
"Suro, apa dulu kau bekas orang hutan? Maksudku, sering hidup di hutan?"
"Ya,"jawab Suro pendek, ia seakan malas bicara. Mungkin ia sedang menikmati alam khayalannya di sela hirupan wangi kembang yang enak dinikmati itu.
"Kamu dulu pernah tinggal di hutan berapa lama?"
"Entah. Aku tidak membawa catatan waktu itu," jawab Suro masih dengan suara sedikit datar.
"Kau belajar silat di mana, Suro?"
Cerewet amat orang ini, pikir Suro dengan dongkol. Tapi ia tetap memberi jawaban asal-asalan:
"Aku lupa."
"Gurumu masih hidup, Suro?"
"Aku lupa."
"Kalau tempatmu belajar silat, kau ingat?"
"Aku lupa."
"Uuuh...! Lupa, lupa, lupa...! Kamu diajak ngomong kok, begitu?Kamu marah sama aku, ya?"
Suro tidak menjawab. Dia sendiri bingung, apakah dia .marah pada Anjani atau tidak, tapi yang jelas ia jadi setengah jengkel dalam keadaan seperti ini. Ia ingin meninggalkan Anjani, tetapi hati kecilnya merasa kasihan melihat gadis seperti Anjani berjalan sendirian di tengah hutan. Apalagi Anjani cantik dan menggairahkan setiap pria, pasti banyak godaannya. Sedangkan keadaannya di sini sebagai pengawal Anjani ternyata membuatnya terikat. Ia merasa dibebani tugas. Tugas menjaga Anjani dan mengantarkannya sampai rumah Anjani. Padahal dia belum tahu, di mana tempat tinggal Anjani. Di Bukit Maya, tapi di mana bukit itu? Berapa lama lagi perjalanan bagi Suro untuk mengukur waktu. Tetapi sampai sekarang ia masih seperti orang buta, meraba-raba tempat, waktu dan segalanya.
"Suro..." Anjani menyapa lagi tanpa merasa lelah bicara.. "Kamu jengkel sama aku, ya?"
Pertanyaan demi pertanyaan terlontar, nadanya sama saja, seperti anak kecil. Suro menggumam ketika itu. Anjani menganggap gumaman Suro merupakan jawaban bahwa Suro jengkel kepadanya. Lalu, dengan suara pelan, kepala miring ke kiri, ke arah Suro Bodong, Anjani berkata:
"Suro, jangan jengkel padaku. Aku butuh pengawal, dan kau kupercaya sebagai pengawalku, menggantikan Tamtama."
Suara itu cukup pelan, lembut dan menggetarkan hati. Desir serak yang samar-samar itulah yang membuat suara Anjani enak di dengar, mengundang gairah untuk mendesah. Suro sengaja menyimak suaranya, karena bau harum yang melenakan itu sangat sesuai jika diiringi mendengar suara Anjani itu.
"Aku dan Tamtama tersasar dalam perjalananku ke pelosok Jawa. Kapalku kandas di pantai Utara, bahkan diserang oleh bajak laut. Aku dan Tamtama berhasil mendarat di sini."
Suro Bodong mulai tertarik dengan penuturan itu. Ia membuka matanya, memiringkan tubuh hati-hati, menghadap Anjani yang ternyata sudah menatapnya sejak tadi. Gadis itu semakin mengagumkan dalam terpaan cahaya rembulan yang menyelusup lewat sela dedaunan.
"Suro..." sapanya lirih. "Aku punya cincin..." Anjani menunjukkan cincin yang melingkar di jari tengahnya. Cincin itu bagai terbuat dari logam sejenis perak, namun lebih mengkilat dan lebih bening. Di tengahnya terdapat batu warna hijau muda yang bening, besarnya seukuran kacang hijau. Namun batu itu lebih bening dari kacang hijau. Anjani melepas batu cincin itu.
"Tolong kawal aku dalam perjalanan pulang, Suro. Dan cincin ini kuberikan padamu sebagai hadiah."
Suro tidak menjawab. Hatinya merasa tak enak mendengar ucapan itu, seolah-olah ada sesuatu yang mengiris di tepian hatinya. Anjani mengulurkan cincin itu, namun Suro masih memandanginya saja, tanpa mau menerima.
"Kuhadiahkan kepadamu untuk jasa pengawalanmu, Suro. Cincin ini... memang bukan emas, bukan intan. Tapi percayalah, kau tak akan menemukan cincin dari batuan Zippus seperti ini...."
Sementara Suro Bodong sedikit berkerut dahi, merasa asing dengan nama batuan Zippus, saat itu Anjani mengamat-amati cincinnya ke arah cahaya rembulan.
"Kautahu, kenapa hutan ini terasa sepi tanpa nyamuk?"
Suro Bodong tidak menjawab, tetapi dalam hatinya ia membenarkan perkataan itu. Hutan memang sepi. Tanpa nyamuk, tanpa suara derik jangkrik, bahkan tanpa suara kutu-kutu malam yang biasanya berderit-derit samar-samar.
"Tak ada binatang yang berani mendekati cincin ini, Suro," kata Anjani sambil mengamati cincinnya, sementara itu Suro terbengong dalam hati mendengar keterangan Anjani.
"Batu cincin ini bukan saja bisa menjauhkan semua binatang, tetapi bisa juga untuk membelah baja atau batu sekeras apapun."
Suro Bodong semakin tertarik Ia ikut mengangkat kepala dan mengamatinya lebih dekat, memandang cincin itu.
"Tapi jangan sekali-kali batu Zippus ini kau cium, atau dicium orang lain."
"Kenapa kalau sampai begitu?" Suro terang-terangan mengungkapkan rasa tertariknya.
"Kalau batu ini tersentuh bibir, dan udara disekitarnya terhirup, maka orang itu akan terkena racun asmara. Ia akan menjadi gila karena nafsu birahinya mengamuk terus sampai hasratnya terlaksana."
Gumam Suro Bodong memanjang tapi pelan. Antara percaya dan tidak ia mendengar khasiat batu Zippus itu. Namun, segera ia miring menghadap Anjani.
"Pakailah..."Anjani menyodorkan cincin itu. .
"Tak perlu," ujar Suro Bodong.
"Ini hadiah dariku atas jasamu...."
Suro tidak mau menerima, ia diam saja. Matanya memandang Anjani bagai sedang menikmati kebahagiaan di sela aroma bau harum yang sangat lembut itu. Tetapi, Anjani segera meraih tangan Suro Bodong. Suro diam saja, hanya memperhatikan. Lalu. Anjani mengenakan cincin itu di jari manis Suro Bodong. Mulanya Suro membiarkan, karena ia mengira cincin berlingkaran sempit itu tidak akan masuk ke dalam salah satu jarinya, walaupun jari kelingking.
Tapi kenyataannya, jari manis Suro Bodong bisa mengenakan cincin batu Zippus. Cincin tersebut bisa masuk ke jari Suro, padahal jari tangan Anjani tak ada yang sebesar jari tangan Suro Bodong. Jari tangan Anjani lencir, kecil dan manis-manis. Indah sekali. Tidak seperti jari tangan Suro Bodong yang besar-besar dan kasar. Kenyataannya, cincin itu bagai mempunyai lingkaran yang bisa melebar seperti terbuat dari karet. Padahal bukan karet. Logam!
"Jangan berikan kepada siapa pun cincin ini. Jika kau mengenakan cincin ini, hargamu tak dapat dibeli dengan harga seribu mahkota raja mana pun. Hanya kau yang mempunyai cincin batu Zippus." Anjani bicara semakin pelan, sambil ia memandang jari Suro yang dikenakan cincin Zippus. Anjani kelihatan senang melihat jari tangan Suro memakai cincinnya. Ia tersenyum-senyum, sedangkan Suro Bodong hanya terbengong melompong memandang jari manisnya.
"Cincin inikah yang dikejar-kejar Blandong dan Taruna, atau yang diincar Jagal Iblis itu? Mereka ingin memiliki cincin ini?"tanya Suro.
"Aku tidak tahu, Suro. Sungguh! Aku tidak mengerti mengapa mereka ingin memiliki aku."
"Aku pernah mendengar Taruna dan Blandong berkata ingin memiliki kesaktianmu. Mungkin inilah yang dimaksud kesaktianmu, ya?"
"Mungkin juga. Tapi nyatanya mereka ingin merenggut kegadisanku...!" Anjani cemberut kesal. "Mereka mengejar-ngejarku di mana aku berada!"
"Sekarang kau aman,Anjani."
Gadis itu berpaling memandang Suro. Lama sekali mereka saling bertatapan, kemudian Anjani berkata dengan suara yang membuat hati Suro bagai dibelai nikmat.
"Aku percaya kepadamu. Ibu pernah bilang, orang jelek rupa belum tentu jelek hatinya. Dan... aku menemukan apa yang dikatakan Ibu."
"Terima kasih, kau telah mengatakan wajahku jelek" '
Anjani tertawa dalam desah. "Kau tidak jelek, Suro. Cuma perlu perawatan wajah. Kalau kau sering merawat wajah, mencukur kumismu untuk dirapikan, menyisir rambutmu, membersihkan kulit wajahmu... aku yakin, kau cukup tampan untuk orang seusia kau."
"Aku tidak pernah bisa mengurus diri, juga wajah. Dan... aku memang kurang suka bersolek."
"Aku bisa mengurus wajahmu. Kapan-kapan kita punya kesempatan, akan kurawat wajahmu. Mungkin... nanti, kalau kau sudah sampai ke rumahku. Aku punya beberapa alat untuk mengurus wajah. Kau mau?"
"Masih jauhkah rumahmu?" Suro bahkan bertanya lain.
"Bisa jauh, bisa dibilang dekat. Tergantung hati yang mengatakan."
Suro mendesah. Kalau ia harus mengantar terlalu jauh, ia kurang suka, sebab berarti ia meninggalkan tugasnya sebagai seorang Senopati di Kesultanan. Tetapi, kalau hanya mengantar Anjani sampai di pertengahan jalan, sungguh sia-sia dan kurang bijaksana.
Untung saja bau kembang yang harum dan menyebar di sekitarnya itu berhasil membelai hati Suro Bodong. Alam sepi tanpa gemerisik, kecuali desah daun dihembus angin perlahan-lahan. Suro sudah mempunyai rencana, esok ia akan memetik bunga yang semerbak itu untuk disimpan sebagai kebanggaannya.
Tapi bunga itu tidak ada. Pagi telah menyingsing, tanpa kicau burung di sekitarnya. Ia melongok ke bawah, tak ada Anjani di sana. Ia menyusuri beberapa tempat dari atas pohon dengan mata terbelalak tegang. Anjani tak kelihatan. Ia melirik jari kanannya, ada cincin Zippus melingkar di jari manis. Lalu, ke mana Anjani? Kencing di suatu tempat? Mandi .di suatu telaga? Atau... atau ke mana?
Suro Bodong mengggunakan ilmu peringan tubuhnya untuk melompat dari dahan ke dahan. Ia berseru dengan kedua tangan di samping mulut:
"Anjaniiii...?!Anjaniiii...!!"
Gerakan Suro Bodong seperti monyet kebingungan. Dari pohon ke pohon ia melayang. Matanya memandang liar dengan kegeraman menghentak-hentak dada. Gerutu dan caci maki sudah tak teratur meluncur dari mulutnya.
Tiba-tiba gerakannya terhenti seketika. Ia tidak berteriak, tapi matanya melebar, memandang ke arah jauh. Ia melihat tubuh Anjani digotong di pundak seorang lelaki berjubah putih. Lelaki itu membawa tongkat dan sedang mendaki sebuah tanjakan menuju lereng gunung.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Suro Bodong segera melesat bagai anak panah. Ranting-ranting pohon diterjangnya. Ia tetap berada dari pohon ke pohon. Pengejarannya dilakukan melalui atas, bukan melalui darat. Makin lama gerakan Suro Bodong bisa semakin cepat. Mulutnya masih terkatup rapat, tapi giginya menggeletuk geram kepada lelaki yang memanggul tubuh Anjani di pundaknya itu.
"Hiaaaat...!"
"Jleg...!"
Suro Bodong berdiri tepat di depan lelaki berjubah putih. Ternyata ia seorang kakek berjenggot putih dengan mata sipit beralis putih juga. Rambutnya panjang tak teratur, diikat dengan kain hijau tua. Lelaki berjubah putih ini pernah bertemu dengan Suro Bodong dalam suatu pertarungan di atas sebuah Arena. Hanya saja, waktu itu Suro dan kakek tersebut hanya sebagai penonton.
"Hai... kau rupanya Ki Punjo...!" sapa Suro Bodong dengan tenang. Ki Punjo yang bergelar sebagai Putra Siluman itu terasa kaget sewaktu Suro Bodong muncul di depannya.
"Akan kau bawa ke mana gadis itu, Ki Punjo" Suro santai-santai saja menghadapi kakek berjubah putih itu.
"Suro, menyingkirlah. Jangan halangi aku! Jangan membuat permusuhan denganku kalau kau mau selamat."
Gertakan Ki Punjo tidak membuat Suro gentar sedikit pun. Sebaliknya, Suro Bodong bahkan menertawakan kegalakan Ki Punjo yang kelihatannya ingin menguasai Anjani.
41
"Hei, Ki Punjo... untuk apa kau repot-repot membawa gadis itu? Tidak sebanding dengan usiamu, kan?"
"Tahu apa kau?! Minggir...!"
"Kembalikan Anjani padaku, Ki Punjo. Dia ada dalam tanggung jawabku. Kau tahu itu, kan?"
“Anjani sudah di tanganku! Tak akan kuberikan kepada siapa pun! Akulah yang akan memiliki kesaktiannya, Suro!"
Semakin tertawa Suro mendengar kata-kata itu. Dasar mata tua, tak bisa melihat bahwa kesaktian cincin Zippus sudah melingkar di jari Suro Bodong, ehh... masih saja pemiliknya hendak dibawa kabur ke pondoknya.
"Ki Punjo...! Aku masih bersabar untuk tidak memaksamu. Aku minta dengan hormat, kembalikan Anjani! Kau telah membiusnya, bukan? Pasti kau gunakan ilmu Sembur Lelapmu untuk membuat Anjani tertidur lelap. Eh, nyebut Ki, nyebut...! Ki Punjo kan sudah bau tanah, masa masih menculik anak gadis semuda Anjani?"
"Persetan dengan semua omonganmu! Minggir kau, atau aku bertindak kasar, hah?!" Ki Punjo yang bermata sipit itu menggeram dengan kemarahan yang hendak meluap.
"Kalau kau menghendaki kekerasan, yaah... kulayani pelan-pelan sajalah..." Suro bagai menyepelekan lawannya, padahal dia tahu lawannya cukup tangguh. Ki Punjo terkenal di rimba persilatan. Dia salah satu tokoh rimba persilatan yang terkenal dengan jurus Tongkat Naga-nya. Tetapi dalam keadaan seperti ini, Suro Bodong tidak mau mundur begitu saja.
"Kuhitung tiga kali, kalau kau tidak pergi, kuhancurkan kepalamu, Suro Bodong!"
"Kenapa harus di hitung sampai tiga kali! tak usah dihitung, aku sendiri yang akan menghancurkan kepalamu, Ki Punjo.”
"Hiiaaat...!!"
Suro menyerang lebih dulu untuk menunjukkan nyalinya. Ia melompat dengan suatu tendangan terarah ke dada Ki Punjo. Tetapi tubuh kurus yang tua itu dengan ringan melompat ke atas mengungguli ketinggian Suro Bodong. Tangan Suro Bodong mengibas ke atas. Tongkat berhasil disingkirkan dahi dahinya. Ki Punjo melompat lagi ke arah samping ketika Suro Bodong mendaratkan kakinya ke tanah.
"Anak bau kencur mau coba-coba melawan orang tua," gerutu Ki Punjo sambil tetap memanggul Anjani yang tertidur dengan lelap.
"Haaaiiit...!!" Ki Punjo mengibaskan tongkatnya ke arah kepala Suro Bodong. Suro merendahkan tubuh, dan pada saat itu ia berguling ke depan, lalu berhenti tepat di depan Ki Punjo. Dengan kuat tangan kanan Suro Bodong menghantam perut Ki Punjo, lalu menyusul pukulan tangan kiri Suro yang telah mengenai ulu hati Ki Punjo. Hampir saja mengenai betis Anjani yang disampirkan di pundaknya.
Ki Punjo terdorong ke belakang beberapa langkah. Namun ia tidak terlalu nyata meringis kesakitan. Ia menahan rasa sakit itu dengan menggeram dan menggeletukkan gigi.
Agaknya ia mulai terasa kesulitan jika bertarung sambil memanggul Anjani. Maka ia meletakkan tubuh Anjani di bawah pohon dengan hati-hati. Lalu, ia maju dengan semangat dan mencaci Suro:
"Anak Babi...! Harus dihajar biar tahu hormat pada orang tua. Haaaiiit...!" Ki Punjo menggerakkan tongkatnya yang berwarna hitam ke kiri dan ke kanan, sebagai jurus pembuka. Lalu salah satu kakinya diangkat dengan lutut menekuk ke samping. Posisi berdirinya serong ke kiri di mana kaki kanan itulah yang terangkat ke kiri. Sementara itu, ia memegangi tongkatnya dengan kedua tangan, melintang di atas kepala, siap menebas pakai tangan kiri atau kanan, sulit dipastikan.
Suro Bodong mencoba membuat gerak tipuan. Ia seakan hendak memukul ke kiri, namun kaki kanannya segera terangkat lurus ke wajah Ki Punjo dengan sedikit berputar.
"Hiaaaaaat...! Haaaahh...!!"
"Plaaak..!!"
Tangan kanan Ki Punjo menangkis tendangan kaki Suro, tapi tangan kirinya menyodorkan tongkat itu ke dada Suro.
"Huuuh...!"
"Haaat...!" Suro Bodong menangkis sodokan tongkat itu dengan kibasan tangannya. Tetapi Ki Punjo melangkah maju, lalu kaki yang belakang terayun ke depan, lurus ke dagu Suro Bodong, hingga kepala Suro Bodong tersentak ke belakang karena terkena tendangan Ki Punjo.
"Modar kau,Suro,hiiih...!"
"Aauhh...!!" Suro Bodong menyeringai kesakitan, karena tongkat Ki Punjo menghantam pinggangnya tanpa ampun lagi. Suro jatuh dengan meringis kesakitan. Kaki Ki Punjo segera mengibas ke depan, langsung mengenai pipi Suro Bodong. Segera Suro Bodong terguling-guling ke kiri sekalian mengatur jarak dengan Ki Punjo.
Tetapi baru saja Suro hendak bangkit, tiba-tiba tangan kiri KiPunjo menghentak dengan cara membuka semua jarinya.
"Heaaaaaahh...!!"
Tangan itu bergerak mengejang dan gemetar. Suro tak sempat melihat ada uap putih tipis keluar dari telapak tangan itu. Tubuh Suro menjadi kaku dan sulit digerakkan. Hawa dingin tersalur lewat tangan Ki Punjo. Tubuh Suro menggigil bagai dalam kebekuan yang amat dingin. Daun-daun di sekitar Suro Bodong menjadi putih dilapisi busa-busa salju.
Suro Bodong menggigil. Tapi ia berusaha sekuat tenaga untuk meludahi kedua telapak tangannya tujuh kali, kemudian menggosokkan telapak tangan dengan pelan dan susah sebanyak tujuh kali, dan dengan gemetar Suro menghentakkan tangannya ke depan.
"Heaaat...!"
Jurus Tapak Geni digunakan. Sinar merah berupa jarum-jarum membara melesat cepat dari kedua telapak tangan Suro Bodong. Ki Punjo segera melesat ke atas dan bersalto ke belakang dengan cepat. Pukulan jurus Tapak Geni telah membuat beberapa tanaman semak terbakar seketika. Suro Bodong bangkit. Tetapi tiba-tiba ia harus menerima pukulan jarak jauh yang terlontar melalui ujung tongkat Ki Punjo.
Tongkat itu mulanya diputar di atas kepala beberapa kali, kemudian dihentakkan ke depan, dan Suro Bodong merasakan adanya suatu tekanan yang berat dan mendorongnya ke belakang. Suro tak dapat bertahan, dan ia pun terpental hingga punggungnya membentur batang pohon.
"Aauuhh...!!" Suro Bodong terasa digencet kuat-kuat antara batang pohon dengan tenaga yang keluar dari ujung tongkat Ki Punjo. Tenaga itu tak terlihat, namun Suro Bodong merasakan bagai ada batu besar yang menggencetnya. Makin lama terasa semakin kuat, dan nafas Suro Bodong teramat susah.
Untung ia dapat segera meludahi telapak tangannya lagi. Jurus yang dipakai bukan lagi Tapak Geni, melainkan jurus Salam Tempel. Jurus ini berguna untuk menghancurkan batu. Dengan meludahi dan menggosokkan telapak tangan tujuh kali, Suro membayangkan sebuah batu besar sedang mendesaknya kuat-kuat. Ia menempelkan kedua telapak tangannya pada batu besar yang berupa tenaga dalam Ki Punjo itu. Lalu dengan menghirup nafas panjang susah-susah, ia menghentakkan tangannya,
"Haaaah...!!"
"Blaar...!" Terjadi ledakan yang mengguncangkan tanah tempat pertarungan mereka. Nafas Suro Bodong terhempas lepas. Lega sekali. Ia memandang keadaan Ki Punjo yang terjengkang ke belakang lebih dari lima langkah.
"Suro!" teriak Anjani yang terbangun karena suara ledakan tadi.
"Jangan bergerak ke sana, ke sini, Anjani...!"
Anjani buru-buru berlari dengan sembunyi-sembunyi dari pohon ke pohon. Ia mendekati Suro, tapi Suro segera berkata,
"Menjauh di belakangku, dan hati-hati. Orang yang menculikmu sampai di sini punya banyak ilmu tenaga dalam!"
Anjani berlindung di sebuah pohon bersemak belukar bagian bawahnya. Dari situ ia bisa melihat pertarungan antara Suro Bodong, pengawalnya, dengan seorang lelaki tua yang tadi pagi sempat diingat wajahnya, sebelum lelaki tua itu meniupkan sesuatu ke wajah Anjani, dan membuat Anjani tertidur bagai dibius.
"Suro...! Kau benar-benar tak dapat kumaafkan lagi!"
"Aku tidak meminta maafmu!" balas Suro dengan berani.
"Jahanam! Terimalah jurus Tongkat Naga ini, hiaaat...!"
Ki Punjo mengurut tongkatnya dari atas sampai ke bawah, lalu melemparkan kepada Suro Bodong. Tongkat itu melesat di udara dan berubah menjadi seekor ular sebesar tongkat itu. Lidah ular menjulur dan menyembur-nyembur. Gerakannya begitu ganas, berkelok-kelok dalam satu lompatan yang amat cepat.
"Jangan takut, Suro...! Kau memakai Zippus...!" teriak Anjani dari persembunyiannya. Suro Bodong ingat tentang cincin bermata batuan Zippus warna hijau muda. Ia pun diam saja ketika ular itu semakin dekat. Namun, dalam jarak kira-kira empat langkah dari depan Suro, ular itu melemas dengan sendirinya. Ia berhenti, tidak mau bergerak menyerang. Ia melilit-lilitkan tubuh bagai merasa takut mendekati Suro Bodong. Ular berwarna biru muda itu membelokkan kepalanya dan hendak meninggalkan Suro Bodong.
Segera jurus Tapak Geni digunakan lagi oleh Suro. Telapak tangannya memancarkan sinar bagai percikkan api berupa jarum-jarum api. Sinar itu menghantam tubuh dan kepala ular dan binatang itu pun terbakar seketika.
"Gila...?! Kau gila, Suro...?!!" teriak Ki Punjo yang sangat ketakutan dan panik ketika melihat ularnya terbakar oleh jurus Tapak Geni Suro Bodong. Ia bagai orang yang hendak menangis, tapi lupa caranya menangis. Api yang membakar ular segera berkobar sebentar, lalu padam. Tapi ular itu sudah berubah menjadi kayu arang. Tongkat Ki Punjo menjadi arang panjang dan pecah beberapa bagian.
"Itu pusakaku...? Oh, pusakaku kau hancurkan seperti itu, Suro...?! Bangsaat...!"
Suro Bodong segera melompat menghadang gerakan Ki Punjo yang bersalto di udara. Tangan Ki Punjo bergerak cepat memukul Suro Bodong selama di udara, sedangkan Suro Bodong menangkis dengan cepat bagai tak mampu dilihat.
"Plak, plak... plak... dueeer...!!" Kedua tangan Ki Punjo bertemu dengan kedua telapak tangan Suro Bodong, menghasilkan kilatan api biru dan ledakan yang menggelegar.
Tubuh Ki Punjo terpental bagai boneka kain ditendang oleh anak-anak. Ia jatuh dalam posisi tak karuan. Ketika ia tergeletak di tanah, Suro Bodong segera mengejarnya dengan tubuh masih segar bugar. Baju merahnya berkelebat seperti sayap elang menghampiri mangsa.
Suro Bodong tak tega hendak menyerang Ki Punjo lagi. Darah mengalir dari semua lobang, hidung, mulut dan telinga Ki Punjo mengeluarkan darah. Tetapi lelaki tua itu masih sanggup berdiri walau dalam keadaan limbung. Ia menggeram menahan rasa sakit terkena pukulan tenaga dalamnya sendiri yang dibalikkan oleh Suro tadi.
"Ku akui... kau unggul...! Tapi kapan waktu kita akan. bertemu lagi Suro..." ucap Ki Punjo dengan suara serak.
Lelaki tua berambut putih itu segera melesat, pergi meninggalkan Suro Bodong yang masih berdiri tegar. Suro tidak mengejarnya. Ia tak sampai hati untuk membunuh tokoh persilatan yang dikenal dengan gelar Putra Siluman itu. Bagi Suro, persoalan yang dihadapi, bukan persoalan yang berat, namun juga bukan persoalan ringan. Suro tidak ingin membunuh dalam urusan seperti ini, kecuali ia sangat terpaksa, seperti ketika ia berhadapan dengan Jagal Iblis kemarin.
Anjani keluar dari persembunyiannya dengan mata masih membelalak memandang kepergian Ki Punjo.
"Kenapa dia tidak kau bunuh, Suro?"
"Aku bukan algojo, tapi pengawalmu! Tugasku bukan membunuh, tapi menyelamatkan kau, Anjani."
Anjani tersenyum manis. Lalu ia bersungut-sungut bagai anak kecil yang ingin mengadu:
"Aku terbangun ketika dia naik ke pohon, aku mau menjerit tapi tak sempat. Aku ditiupnya, lalu aku lemas dan tak sadarkan diri."
Suro Bodong duduk di sebelah akar yang melintang. Ia menghempaskan nafas.
"Kau pernah bertemu dengannya sebelum ini?
Anjani menggeleng. "Tapi dia mengenalmu, Suro."
"Ya. Aku pernah ngobrol lama dengannya di suatu arena pertarungan para jagoan. Tapi aku tidak menduga kalau dia juga menghendaki dirimu."
Nafas Suro Bodong menghempas lepas sekali lagi. Ia berkerut dahi dan masih duduk beristirahat di atas akar yang melintang sebesar betisnya. Anjani ikut duduk di samping Suro Bodong.
"Benar-benar aneh..." kata Suro. "Mengapa para tokoh persilatan keluar semua, dan ingin memiliki kamu?! Apa yang mereka cari pada dirimu sebenarnya?"
Anjani diam saja, seperti sedang merenungkan masalah itu. Namun ia juga kelihatan sedih dan menyesal, seakan ia menjadi orang yang serba salah.
Waktu Suro Bodong melirik, ia menangkap rona sendu di wajah Anjani. Rasa iba menjalar, dan Suro mencoba bicara dengan ramah, santai tapi bersungguh-sungguh.
"Ki Punjo juga berkata ingin memiliki kesaktian yang ada padamu. Apa maksudnya itu, Anjani?"
"Aku nggak tahu...!" Anjani cemberut, sepertinya enggan diberi pertanyaan seperti itu.
"Kalau bukan ada hal yang istimewa, tak mungkin tokoh-tokoh rimba persilatan muncul semua. Yang kutahu, Jagal Iblis dan Ki Punjo ini tokoh yang jarang ke luar kalau tidak ada urusan sangat penting."
"Aku tidak menyuruhnya ke luar," kata Anjani seraya bersungut-sungut. Suro geleng-geleng kepala.
"Aku lapar..." kata Anjani tiba-tiba dengan ketus, seperti anak kolokan.
"Mari kita cari buah-buahan untuk pengisi perut."
"Aku mau makan di warung!"Anjani masih cemberut.
Suro gemas sendiri. "Anjani, kau ini sudah dewasa. Sudah pantas menjadi seorang Ibu, tapi sikapmu masih saja seperti anak kecil yang manja. Jangan membuat aku kesal, Anjani! Di hutan mana ada warung?!"
Anjani menghentak-hentakkan kakinya ke tanah dengan wajah cemberut kesal. Suro Bodong memperhatikan sikap itu yang benar-benar seperti anak kemarin sore. Suro Bodong lama-lama bisa muak jika menghadapi kemanjaan seperti itu. Dalam hati, Suro sampai tega berkata, "Jangan-jangan dia orang sinting?! Tapi, masa orang sinting buat rebutan para tokoh persilatan?! Mungkin sinting bukan sembarang sinting!"
-oo0dw0ooo-
4
Ombak lautan bergulung memercikkan buih-buih putih. Suro Bodong tidak banyak bicara. Duduk di atas batu karang yang datar, memandang laut yang meliuk-liuk Tebing tempatnya duduk itu cukup dalam. Di bawah ombak tiada bosan-bosannya menepak-nepak tebing karang itu. Bukan ombak dan karang dipikirkan Suro Bodong, tetapi keadaan Anjani.
Sejenak ia melirik Anjani. Perempuan itu masih berdiri di samping kanannya, agak ke depan. Ia memandang ke cakrawala lepas dengan kebisuan mulutnya. Suro kembali menenggelamkan diri dalam kecamuk batinnya: mengapa Anjani diperebutkan banyak tokoh persilatan? Suro sudah menghadapi dua tokoh penting yang jarang muncul di dunia persilatan: Jagal Iblis dengan Ki Punjo. Tadi juga begitu: dua tokoh persilatan yang dikenal Suro dan mengenal Suro juga muncul ingin memperebutkan Anjani. Mereka adalah Resi Bayudara dan Pendekar Pisau Mayat. Untung keduanya bisa diatasi Suro Bodong tanpa harus membunuh mereka, kecuali luka-luka berat pada diri Resi Bayudara. Keheranan Suro Bodong sangat mengganggu ketenangannya. Ada suatu rahasia yang belum terungkap, dan membuat Suro Bodong menjadi penasaran. Sebab Resi Bayudara dan Pendekar Pisau Mayat itu bukan orang persilatan. Mereka jarang menampakkan diri, kecuali ada urusan penting. Dan sekarang mereka muncul untuk memiliki Anjani, itu berarti Anjani adalah sesuatu yang penting bagi mereka. Penting yang bagaimana?
"Anjani..." sapa Suro Bodong setelah beberapa saat mereka terbungkam. "Di mana letak Bukit Maya itu? Kenapa kau minta berhenti di sini?"
Anjani yang berada dalam jarak tiga langkah di depan Suro segera berbalik. Kedua tangannya terlipat di dada. Matanya yang indah berwarna aneh namun teduh dipandang itu menatap Suro Bodong dengan lembut. Suro membuang pandangan matanya, tak tahan jika lebih lama lagi menatap gadis bertubuh elok dengan ketinggian tubuh yang hampir menjadi jangkung. Cukup tinggi bagi ukuran seorang gadis cantik seusia dengannya.
"Kau bisa membuat perahu, Suro?"
Suro Bodong buru-buru memandang Anjani karena kaget.
"Perahu...?!!"
Anjani mengangguk "Bukit Maya ada di sana..." Anjani memandang ke lautan lepas. Suro Bodong terbengong sambil ikut memandang ke lautan lepas.
"Gila...!"gumamnya lirih.
Nafsu Suro dihempaskan lepas. "Aku tidak sanggup! Benar-benar tidak sanggup kalau harus menyeberangi lautan," kata Suro Bodong. "Banyak bahayanya menyeberangi lautan bersama perempuan cantik seperti kamu, Anjani! Apalagi kau rewel, manja dan... aah... aku tidak sanggup!"
"Jadi hanya sampai di sini tugas pengawalanmu, Suro? Kau tidak bisa mengawal aku? Kau menyerah?!"
"Terserah apa katamu!" ketus Suro Bodong. "Sebaiknya kukembalikan saja cincin ini...! Aku tidak mau dibayar dengan cincin ini hanya untuk..."
Suro Bodong berhenti bicara, karena merasa heran terhadap cincin batu Zippus. Cincin itu susah dikeluarkan dari jari manisnya. Padahal waktu dimasukkan ke jari manisnya oleh Anjani, dapat dilakukan dengan mudah sekali. Kenapa sekarang jadi sukar dicabut?
Suro Bodong turun, mencari percikan air laut. Ia berusaha membukanya dengan keadaan basah, tetapi cincin itu tak bisa dicabut. Bagai lengket dengan kulit jari manisnya. Ia kembali menghampiri Anjani sambil berusaha membuka cincinnya:
"Kau orang negeri mana sebenarnya, Anjani? Kau sangat misterius bagiku!"
"Kau akan senang tinggal di negeriku," kata Anjani.
"Tapi aku tidak sanggup kalau harus mengawalmu sampai tiba di tempat. Aku tidak mempunyai persiapan apa-apa! Aku tidak mungkin berangkat menyeberangi samudra dalam keadaan cuma seperti ini, tanpa peralatan, tanpa perahu dan tanpa perbekalan yang cukup! Mengawal kamu itu lebih rumit dari pada mengawal raja, tahu?"
Suro Bodong ber-ah, uh... susah payah mencoba melepaskan cincin Zippus itu. Ia masih berusaha terus sampai jarinya menjadi merah, seraya berkata:
"Aku menyerah! Aku menyerah kalau harus mengawalmu hari ini juga berangkat menyeberangi lautan! Cincin ini kukembalikan. Berikan kepada orang lain sebagai upah ngantarmu menyeberang...! Cincin ini... cincin... ah, sial!"
Anjani yang sejak tadi diam, memandang ke cakrawala, tiba-tiba berkata dengan suara datar dan pelan:
"Kau harus memotong jarimu jika ingin mengembalikan cincin itu,Suro...."
Mulut Suro Bodong melongo, gerakan mencabut cincin menjadi lamban dan ragu-ragu. Anjani berpaling dan membiaskan senyum yang menyesakkan pernafasan Suro.
"Kau ingin mengembalikan cincin itu padaku, Suro?"
"Ya. Karena... aku tak sanggup mengawalmu ke seberang."
"Potong jarimu itu, dan kembalikan cincin itu bersama potongan jarimu."
"Apa maksudmu bicara begitu?"
Anjani kembali memandang cakrawala sambil membiaskan senyum tipis.
"Cincin itu tak akan bisa dicabut oleh siapa pun."
"Apa...?!"Suro terkejut.
"Tak ada yang bisa melepaskan cincin itu dari jarimu, bahkan dengan cara apa pun, tak akan bisa. Kecuali... aku!"
Sepertinya Suro ingin tidak percaya mendengar kata-kata itu. Tapi nyatanya dia sendiri merasakan betapa susahnya melepas cincin bermata hijau muda ini. Dan jarinya malah. menjadi sakit, lecet sebagian. Suro pun segera dihinggapi ketegangan.
"Gawat...!"gumam Suro Bodong dengan melongo sedih.
Tak ada jalan lain. Tak ada pertimbangan apa pun, kecuali memotong beberapa batang bambu, atau batang pohon untuk dijadikan rakit. Daun-daun kelapa dianyam dijadikan layar. Suro sendiri tidak yakin apakah rakit buatannya mampu menahan ombak besar jika sewaktu-waktu muncul, tetapi baginya lebih baik dicoba daripada diperdebatkan melulu. Sebelumnya, Suro Bodong telah memperkirakan beberapa kemungkinan yang akan menghalang perjalanan laut. Tetapi Suro sudah mempunyai cara penanggulangannya jika ada beberapa hal yang tidak diinginkan tiba-tiba terjadi di tengah perjalanan.
"Kau pernah menjadi pelaut, Suro?" tanya Anjani ketika rakitnya mulai berlayar menembus ombak.
"Aku lupa," jawab Suro Bodong yang berdiri di buritan. Ia mengendalikan arah jalannya kapal miskin itu. Anjani duduk di bagian depan, di mana di sana disediakan tempat duduk bagi Anjani.
Rambut Anjani meriap-riap disapu angin laut, demikian pula gaunya yang tipis, berkelebat bagai sayap kupu-kupu. Suro sendiri berdiri gagah, memegangi kemudi dan memperhatikan layar yang amat menyedihkan itu. Untung angin berhembus cukup untuk mendorong lajunya rakit. Kalau tidak, entah berapa lama Suro harus mendayung rakit itu. Ia berdiri dengan pandangan lurus ke depan dan tidak banyak bicara. Benak dan pikirannya kusut. Ia tak mau melepas kekusutan itu. Ia membiarkan semuanya terjadi sebagaimana nasib telah membawanya ke atas rakit sederhana itu.
"Ayahmu dulu seorang pelaut, ya?" tanya Anjani dengan gaya bicara seperti anak kecil. Suro diam saja. Anjani mengulang dengan suara lebih keras, baru Suro menjawab:
"Aku tidak tahu...!"
"Tapi kau punya pengetahuan membuat rakit, mengendalikan jalannya rakit, membuat layar sederhana... dari mana kau tahu semua ini, Suro?"
"Kepepet...!" jawab Suro Bodong datar.
"Kamu marah sama aku, Suro?" Anjani mendekat. Rakit goyang.
Suro menghardik:
"Kalau tak mau mati tenggelam, jangan banyak bergerak!"
Anjani bersungut-sungut, lalu duduk dengan murung. Suro tak perduli dengan keadaan itu.
Langit menjadi mendung ketika matahari di ambang cakrawala. Anjani yang sejak tadi diam saja segera berkata dengan perasaan takut dibentak
"Suro..."katanya pelan. "Langitnya mendung...!"
"Bukan aku yang membuatnya," kata Suro Bodong ketus.
"Kalau sebentar lagi hujan, bagaimana?"
Dengan malas Suro menyahut, "Basah...!"
Anjani diam lagi, duduk termenung, sesekali memandang ke depan, sesekali menatap ke langit dengan dahi berkernyit. Suro masih bungkam kalau tidak diajak bicara. Ia masih disekap kedongkolan pada Sang Nasib. Ia menyesal, mengapa ia ditemukan dengan gadis secantik Anjani, namun juga serewel dan semanja Anjani. Ah... lagi-lagi Suro tak tahu harus marah kepada siapa.
"Suro..." sapa Anjani lagi dengan hati-hati. "Mendungnya semakin tebal. Pasti akan hujan, ya?"
Suro tidak menjawab. Ia membetulkan letak layar anyaman yang sangat menyedihkan bagi sebuah pelayaran itu.
"Kenapa tadi kau tidak membuat payung? Coba membuat payung juga dari daun kelapa, jadi kalau hujan kita bisa mengenakan payung."
Suro masih tidak memberi komentar apa-apa, kecuali menggerutu tak jelas. Ia memegangi layar anyam karena angin bertiup cukup kencang. Rakit melaju dengan cepat, tapi kalau terlalu lama dihembus angin kencang, layar itu akan jebol dan berantakan. Ini yang dikhawatirkan Suro.
Rintik hujan mulai turun, mendung makin gelap.
"Suro... ada hujan...!" kata Anjani. Persis sekali anak kecil yang masih doyan nenen. Suro kesal mendengar kata-kata seperti itu.
"Hei, itu ada pulau...! Kita singgah ke sana dulu, Suro." Teriak Anjani sambil berdiri.
Gugusan pulau terlihat. Ah, sangat kecil. Tetapi demi menghindari badai laut, ada baiknya kalau pelayaran itu .ditunda. Mereka dapat membenahi rakit di pulau itu, dari pada hancur dihempas badai laut yang jahat itu. Begitulah pemikiran Suro ketika ia melihat ada pulau di sebelah kirinya. Layar pun diarahkan ke sana, rakit di belokkan ke arah pulau tersebut.
Hujan semakin lebat. Angin cukup kencang. Anjani sempat berteriak sambil mendekap kedua tangannya:
"Suro,aku kebasahan...!"
Suro masih tidak memberikan jawaban, karena menganggap perkataan itu adalah perkataan anak kecil. Suro sempat menggigil didera hujan lebat. Rakitnya oleng karena ombak semakin gencar dan menghebat.
"Aku takut, Suro...! Aku takut...!" Anjani berpegangan tiang layar yang sudah mau lepas dari badan rakit. Suro Bodong berusaha membetulkan tiang dan bertahan, karena tak berapa jauh lagi mereka sampai di pantai sebuah pulau kecil. Anjani waktu itu berkata lagi di sela deru badai:
"Kita kembali saja, Suro. Jangan lewat sini. Di sini banyak angin...!"
"Kalau kau mau, kembalilah sendiri! Aku tidak ikut!" teriak Suro Bodong dengan dongkolnya. Anjani jadi terbungkam. Lentur wajahnya menandakan kesedihan di sela rasa takut. Suro berjuang mati-matian agar rakit bisa bertahan utuh dan mencapai pantai.
Ternyata, usaha Suro tidak sia-sia. Rakit ambrol, tepat mereka sampai di pantai pulau itu. Anjani berlari lebih ke darat. Suro berjuang menarik rakit. Tapi angin berubah total menjadi badai. Ombak laut bagai kibasan ekor naga yang murka. Rakit itu dihempaskan ke pantai, lalu ditarik lagi oleh ombak dan dihancurkan kian ke mari.
"Suro...! Surooo...! Oh, jangan pergi...!"
Anjani menjerit-jerit, karena Suro Bodong ditelan ombak. Tubuhnya digulung ke tengah dan Anjani kebingungan melambaikan tangan, "Surooo...! Kembali! Jangan nekad ke-tengah!"
Kecemasan Anjani memuncak dan menjadikan suatu tangis. Ia sendirian di pulau yang baru disinggahi itu, tanpa teman, tanpa pengawal. Ia ingin menceburkan diri ke laut dan berenang menyusul Suro. Tetapi di sela derasnya hujan, ia melihat Suro Bodong duduk di atas sebatang kayu rakit yang sudah pecah. Tubuh Suro menyatu dengan kayu itu, meluncur di atas ombak yang segera menghempaskannya ke pantai. Anjani segera berlari dan memeluk Suro tanpa canggung-canggung lagi. Ia menangis di dalam pelukan Suro, sementara Suro sendiri bagai mengalami shock beberapa saat.
Pulau itu cukup kecil. Hutannya tidak terlalu lebat. Banyak tanaman semacam ilalang atau rumput liar yang tumbuh di sana. Tetapi bagian tengah pulau itu kelihatan membukit, sekali pun tidak tinggi dan hanya ditumbuhi oleh beberapa pohon tinggi.
Suro Bodong segera mengajak Anjani masuk ke rimbunan pohon yang kira-kira hanya dua puluh pohon besar saja di sana. Hujan tidak terlalu deras, karena tertutup beberapa dedaunan. Suro mencoba menyelidiki pulau itu melalui pendengaran dan penglihatan selintas, lalu ia menduga, pulau ini kosong. Tanpa penghuni. .
"Suro... ada goa di sana..." bisik Anjani.
Mereka segera berlari-lari ke kaki gundukan tanah luas yang membukit. Ada beberapa pohon berjarak tak rapat. Di sana memang ada sebuah goa dalam ukuran kecil. Pintu goa atau mulut goa hanya seukuran tinggi Suro Bodong lebih sedikit. Lebar mulut goa hanya cukup dimasuki dua orang bersamaan. Mulut goa itu memanjang ke atas dengan bebatuan warna hitam berserakan di depan mulut goa. Siapa penghuninya?
Kosong. Suro Bodong telah memeriksa bagian dalam goa, ternyata kosong. Banyak bebatuan yang menjulang di bagian dalam goa yang ternyata melebar itu. Tapi setelah diteliti melalui penciuman, pendengaran dan pandangan mata, goa itu kosong. Tanpa ada manusia atau pun binatang yang menghuninya. Hanya saja, bagian dalam goa cukup gelap. Pandangan mata tak akan jelas memperhatikan bagian yang lebih dalam lagi. Itu sudah cukup. Paling tidak Suro tidak terlalu khawatir tentang keselamatan Anjani selama berada di dalam goa itu.
"Aku kedinginan, Suro...! Dan... dan agak takut, karena gelap..." kata Anjani. Suro tidak banyak bicara, kecuali segera mencari kayu kering. Tapi, semua kayu basah, karena hujan turun dengan lebat. Apa boleh buat, kayu basah pun harus bisa diusahakan menjadi bara api menyala, selain sebagai penghangat juga sebagai penerang di dalam goa.
Hanya ada satu cara untuk menghidupkan tumpukan kayu basah yang sudah ditata sedemikan rupa itu, yakni dengan menggunakan jurus Tapak Geni. Sebelumnya, Anjani sempat berkata:
"Jangan kayu basah. Cari kayu kering...!"
Suro Bodong tidak banyak bicara selain berkata, "Cari saja sendiri...!"
Kayu-kayu basah disusun menggunung. Kemudian jurus Tapak Geni digunakan. Dan kayu-kayu basah itu segera terbakar. Sebentar kemudian, api itu padam. Suro mengulangnya kembali, menggunakan jurus Tapak Geni. Dan .begitu sampai tiga kali, baru kayu bisa dibakar dan menjadi penerang sekaligus sebagai penghangat tubuh yang kehujanan. Mereka berdiang menghangatkan badan di dekat api unggun itu. Mulanya sepi tanpa ada pembicaraan yang akrab, namun lama-lama Suro Bodong terpancing untuk berbicara, sekali pun masih kelihatan memendam kekesalan hati.
"Kau menyesal, Suro?"
"Ya. Aku tak pernah merencanakan dan bercita-cita diam di tempat seperti ini," kata Suro dengan ketus.
"Kau ingin pulang?"
"Apa kau sudah tidak membutuhkan aku lagi?!"
Anjani bergeser duduknya, lebih dekat dengan Suro Bodong. Ia memperhatikan Suro Bodong yang tengah memainkan api dengan setangkai ranting.
"Kalau aku tidak membutuhkan kamu lagi, aku tidak akan menangis waktu melihat dirimu terbawa ombak ke tengah laut!"
Diamnya Suro pasti mempunyai kecamuk batin yang penuh perasaan. Suro Bodong menjadi gemetar ketika Anjani semakin merapatkan tubuhnya ke tubuh Suro lalu ikut memainkan api dengan ranting, dan semakin disukai Suro Bodong. Suara itu empuk, tapi ada serak-serak sedikit yang membuat kemerduan tersendiri bagi jenis suara semacam itu.
"Lama-lama aku memahami pribadimu. Cukup aneh, ada kelembutan dibalik kekasaran sikapmu. Ada ketegasan di balik ketenangan gayamu. Tapi... yah, itulah kamu!"
"Aku senang mendengar bicaramu, kalau kau bicara sebagai orang dewasa seperti itu," kata Suro. "Tapi aku muak jika kau bermanja diri dan menggunakan otak kekanak-kanakan."
Anjani hanya tersenyum sambil melirik Suro Bodong. Ia kelihatan seperti seorang putri raja yang pantas diagungkan.
"Aku suka takut kalau kau cemberut dan diam saja," kata. Anjani tanpa memandang Suro, melainkan memandang api.
"Tanpa cemberut pun wajahku memang sudah menakutkan."
"Sebenarnya tidak. Kalau kau mau tersenyum, sebenarnya kau lumayan..."
"Lumayan apa?"
"Lumayan jeleknya..." goda Anjani. Suro Bodong tersenyum malu, tapi Anjani menertawakan dengan suara yang sungguh menggoda kejantanan Suro.
Di luar goa, malam telah menyelimuti bumi dan hujan sedikit reda. Tidak sederas tadi. Debur ombak di lautan lepas terdengar samar-samar bagai irama keperaduan.
"Nanti, kalau sudah sampai di Bukit Maya, kau tidak boleh cemberut lagi."
"Memangnya kenapa?" kata Suro melirik Anjani.
"Di sana tidak ada orang bertampang susah seperti kamu. Di sana yang ada hanya keramah-tamahan dan keceriaan. Masyarakatnya saling hormat menghormati dan kasih mengasihi. Di sana senyuman tak boleh disimpan."
"Bagaimana dengan cemberut dan kemanjaanmu?"
"Ah, aku tidak pernah cemberut. Cuma... kesal saja sama kamu...."
"Kalau begitu, aku juga tidak pernah cemberut. Cuma jengkel saja sama kemanjaanmu."
"Memangnya aku ini manja menurutmu?"
Suro mengangguk setelah garuk-garuk kumis. Lalu ia berkata, "Orang cantik kalau manja tidak baik"
"Kenapa tidak baik?"
"Ditertawakan burung-burung di langit...."
Anjani tertawa lepas. Ia menyenggol paha Suro Bodong yang ditekuk ke atas keduanya.
Ouw... indah sekali kalau begini, pikir Suro. Andai saja Anjani mau bersikap dewasa dan membuang kemanjaannya, mungkin Suro Bodong tidak sekesal tadi meski dalam keadaan terlantar begini.
Suro banyak melamun, memandang api. Sementara itu, ia sebenarnya tahu kalau Anjani menatapnya dari tadi dengan kedua lututnya ditekuk ke atas dan dirangkulnya. Ia meletakkan dagunya ke lutut itu dan memperhatikan Suro Bodong tanpa bicara apa-apa. Suro
Bodong akhirnya menjadi salah tingkah dan berkata:
"Tidurlah..."Suro memandang damai.
"Nanti saja..." kata Anjani. Ia masih memperhatikan Suro Bodong dengan sorot mata yang sebenarnya indah dipandang, hanya saja Suro tak berani balas menatapnya, ia lebih berani garuk-garuk kumis dan mendesah berulang kali karena menahan sesuatu yang bergejolak di dalam hati.
Lama-lama Suro Bodong memberanikan diri bertanya:
"Kenapa kau memandangku terus?"
Anjani tidak segan-segan memberi jawaban tegas:
"Aku mengagumimu." -
Debaran jantung Suro Bodong seperti ombak disapu badai. Berdebar tak karuan, bahkan sempat membuat lidah kelu sejenak. Lalu, Suro mencoba bertahan menatap Anjani.
"Apa yang membuatmu kagum?"
"Kau...."
"Kau? Maksudmu?"
"Aku kagum pada keberanianmu. Kau perkasa di depan lawan pertarunganmu. Kau kelihatan jantan! Pantas kalau menjadi seorang Senopati. Tapi... apakah kau perkasa di depan istrimu?"
Suro Bodong tak dapat memusatkan pikiran. Kacau.
"Kau sudah berkeluarga, Suro?"
Ah, ini semakin kacau lagi. Tapi akhirnya dijawab oleh Suro, "Kalau sudah, kenapa? Kalau belum, mau apa?"
Anjani menghela nafas dan mengalihkan pandangan. Apa maksudnya? Ia bergegas membersihkan tempat, lalu terbaring tak jauh dari api. Ia tidak bicara apa-apa. Suro memperhatikan dengan pikiran semakin kacau. Ia kebingungan. Resah. Bahkan sempat menggeram dalam kepanikan.
-0dw0-
5
Suro Bodong menemukan bajunya sudah tidak ada. Tadi malam, ketika ia akan pergi tidur, menyelimutkan baju itu ke dada Anjani. Ia kasihan melihat Anjani dalam cengkeraman hawa dingin. Lalu ia melepas baju merahnya, dan diam-diam menyelimutkan ke tubuh Anjani yang telah tertidur dengan lelap. Ia bahkan semalam memberanikan diri, nekad, mencium kening Anjani pelan-pelan, dan mengusap pipi, lalu mengelus rambutnya dengan penuh perasaan, setelah itu baru pergi tidur. Ia tak mau mengganggu Anjani. Perempuan itu terlalu agung baginya. Lebih dari seorang istri. Lebih dari seorang putri.
Dan sekarang, ketika mata Suro Bodong terbuka karena terjaga dari tidurnya, ia tidak menemukan baju merah lengan panjang. Bahkan ia tidak menemukan tubuh mulus dan wajah cantik yang menggiurkan itu. Anjani tidak ada. Baju merahnya juga tidak ada.
Buru-buru ia bangkit dan mencari ke luar goa. Sepi. Ah, memang pulau ini sepi. Hutannya tak begitu lebat. Ukurannya kecil. Satwa pun hanya terlihat satu dua yang ada. Ke mana Anjani,ya...?
Suro bergerak ke arah pantai. Tapi baru beberapa langkah ia menuruni bukit kecil itu, ia telah melihat Anjani berjalan santai sambil mengenakan baju merahnya. Suro Bodong tersenyum dalam siratan rasa haru melihat bajunya dikenakan Anjani.
Suro Bodong segera bersembunyi di balik rimbunan ilalang. Ia bermaksud membuat kejutan bagi Anjani. Tapi tiba-tiba ia mendengar suara dua orang lelaki berbisik di semak lain.
"Benar, kan?! Dia yang namanya Anjani...!"
"Masa'...?Kau tahu dari mana ciri-cirinya?"
"Semua tokoh persilatan sudah mendengar kabar bahwa Anjani pergi dari Bukit Maya. Dan semua jago-jago Tanah Jawa saling berebut mendapatkannya."
"Untuk dijadikan istri?"
"Husy, bukan sekedar istri. Waah... kamu ketinggalan berita...."
Suro Bodong diam, mengatur pernafasan, sekalian mengawasi Anjani. Semua pembicaraan yang didengarnya langsung segera dicatat dalam benak
"Menurut para ahli, Anjani mempunyai kekuatan yang maha hebat. Kekuatan itu akan tersalur ke dalam tubuh kita apabila kita berhasil memperkosanya. Kekuatan itu dapat menghancurkan gunung dengan sekali tepuk"
"Wah...hebat sekali?!" '
"Konon, Anjani sendiri tidak bisa menggunakan ilmu itu. Kesaktian yang hebat seolah-olah dipersiapkan bagi calon suaminya. Dengan kesaktian yang ada padanya dan terserap ke dalam tubuh kita melalui hubungan suami-istri, maka kita dapat menjadi orang terkuat di dunia. Jangankan pukulan kita, ucapan kita kalau sedang marah bisa menjadi kenyataan. Itu menurut kabar yang kuterima dari mulut ke mulut. Makanya, tokoh-tokoh persilatan yang tadinya sudah tidak mau muncul, sekarang muncul lagi. Sebab ia ingin memperoleh kesempurnaan...."
"Kesempurnaan apa?"
"Yah, kesempurnaan ilmunya. Sebab itu, kesaktian yang ada pada diri Anjani itu dinamakan Ilmu Sampurna Jati."
"Ooo... kalau begitu, kita laporkan saja kepada ketua kita, biar nanti...."
"Eeeh... jangan bilang siapa-siapa. Kita perkosa saja sendiri, nanti kita akan lebih unggul dari Sang Ketua!"
"O, ya,ya... bagus usulmu itu. Ayo, kita kepung dia!"
"Jangan sampai dia berteriak, ya? Nanti Ketua kita tahu!"
"Bereslah... aku yang sekap dia dari belakang, dan kau yang segera angkat kakinya untuk kita bawa ke tempat yang lebih aman....!"
Sekarang jelas sudah, mengapa tokoh-tokoh rimba persilatan saling bermunculan. Rupanya kesaktian yang dinamakan Ilmu Sampurna Jati itulah yang diincar oleh mereka. Pantas kalau orang seperti Resi Bayudara, Ki Punjo yang tua, masih punya gairah untuk membawa lari Anjani. Rupanya dengan cara memperkosa atau berhubungan badan itulah ilmu Sampurna Jati akan mengalir di tubuh lelaki yang berhasil bergumul dengan Anjani.
Mendengar rencana kedua orang yang belum diketahui bentuk dan ujudnya, Suro Bodong segera menampakkan diri perlahan-lahan. Rupanya ia tepat berada di belakang dua orang lelaki yang sama-sama mengenakan rompi hitam. Mereka semua bersenjatakan golok di pinggang. Menyimpulkan kata-katanya yang tadi menyinggung soal Sang Ketua, berarti bukan hanya dua orang ini yang datang ke pulau itu. Suro Bodong tak boleh menyia-nyiakan waktu dan kesempatan. Bisa jadi kedua orang itu mempunyai banyak teman yang lebih kuat.
Maka, ketika Suro sudah berhasil mendekati orang yang paling belakang, tangan Suro segera meraih orang itu. Mendekap orang itu agar tidak berteriak, lalu membenamkan kerimbunan ilalang, dan memutar lehernya hingga terdengar suara : "Kreek..!" Dan orang itu pun mati seketika dengan leher patah total.
Seorang lagi sedang mengendap-endap Anjani dari belakang, ia tak tahu kalau ia sendiri ada yang mengincarnya dari belakang. Suro Bodong bergerak dengan hati-hati. Dan ketika orang itu menggerakkan tangannya untuk membekap mulut Anjani, tahu-tahu mulutnya telah dibekap dari belakang. Lebih dulu oleh Suro Bodong. Seperti tadi juga, orang itu tak mampu berteriak. Ia diturunkan ke bawah, dan kepalanya segera dihentakkan ke belakang dengan keras. "Kreek...!"
Pada saat itu, Anjani berpaling.
"Oo...?!"
"Ssst...!!" Suro Bodong memberi isyarat agar Anjani jangan berteriak. Mata Anjani membelalak pucat, Suro Bodong mendekatinya. Anjani masih memegangi dadanya dan menutup mulutnya. Ia amat gemetar. Suro Bodong segera menyeret Anjani ke dalam goa, masuk ke bagian lebih dalam lagi. Sisa kayu bakar yang masih membara dibawa masuk.
"Ada pendatang..." bisik Suro Bodong.
"Pendatang?!"
"Ya. Dua orang tadi akan memperkosamu."
"Ohh...?!" Anjani terpekik tertahan. "Dua orang? Aku hanya melihat satu orang."
"Yang satu sudah kulumpuhkan di ilalang bawah. Kurasa ia tidak datang hanya berdua. Pasti ada teman-temannya. Ia memergoki kamu secara tak sengaja. Jadi, mereka pasti punya maksud datang ke mari tidak bertujuan memperkosa kamu, hanya kebetulan mereka mengenal kamu dan mau melakukan pemerkosaan terhadap d irimu."
Anjani semakin cemas dan ketakutan. Ke-kanak-kanakannya mulai kambuh kembali. Ia berbisik kebingungan dan serba salah. Suro Bodong mengingatkan berulang-ulang:
"Jangan keluar dari goa! Tetap saja di sini sampai aku datang lagi! Jelas?! Aku akan mencari mereka...."
"Tapi... tapi kalau mereka cukup banyak, bagaimana?"
"Itu urusanku. Pokoknya aku ingin kau tidak ke mana-mana selama aku belum kembali ke mari."
Anjani bagai tak rela melepas Suro Bodong sendirian keluar goa. Ia berbisik, "Biasanya... hanya para bajak laut yang suka mencari pulau-pulau kosong seperti ini untuk persembunyian harta mereka, atau sebagai pusat kegiatan mereka. Hati-hati Suro... kalau mereka benar bajak laut, berarti mereka berjumlah paling sedikit tujuh orang. Dan mereka pasti mempunyai kapal yang dilabuhkan...!"
"Anjani... asal kau tidak dijamah orang lain, aku akan melindungimu dengan cara apa pun. Aku pengawalmu, kau harus serahkan masalah ini padaku."
Anjani sengaja memeluk Suro Bodong yang seakan ingin maju perang. Anjani menangis, kemanjaannya keluar lagi.
"Aku takut kehilangan kau, Suro...! Aku takut...!"
"Hilangkan pikiran semacam itu, nanti bisa membuat pikiranku terganggu...."
Belum selesai mereka bicara, terdengar ada suara orang mendekati sekitar goa. Anjani tegang dan makin ketakutan. Terdengar suara seseorang berseru: "Cari pembunuhnya sampai ketemu! Bantai dia di tempat! Dia harus tahu Bajak Laut pimpinan Barong tidak boleh dipermainkan begitu saja! Cari mereka...!Cepat...!"
Tiga orang masuk ke dalam goa. Anjani semakin gemetaran sekujur tubuh. Suro Bodong melepas pegangan tangan Anjani.
"Aku takuut..." bisik Anjani tak kedengaran lagi.
Terdengar seorang yang bersuara keras itu berkata kepada dua orang lainnya:
"Hei, ada bekas api di sini! Pasti pembunuh kedua teman kita itu ada di dalam goa ini!”.
"Sreet...! Sreet...!"
Dua orang mencabut golok. Anjani semakin merasa ngeri. Suro Bodong berbisik tepat di telinga Anjani, "Tenang. Mereka dapat segera kuatasi. Lihat...."
"Aku...oh,Suro...aku takut...."
Suro Bodong meraba tangan kirinya pelan-pelan. Ketika sampai pergelangan tangan, usapan tangan kanan itu sedikit menghentak, seakan mencabut sesuatu. Dan ternyata benar. Suro Bodong mencabut sesuatu yang memancarkan warna ungu. Makin lama benda itu semakin panjang, tarikannya perlahan-lahan bagai keluar dari bawah kulit dan daging lengan kirinya. Mata Suro Bodong tetap biasa saja, sesekali melirik ke depan. Tetapi mata Anjani terbelalak dengan mulut terbengong.
"Oooh...!" Ia bahkan terpekik ketika melihat tangan kanan Suro Bodong telah memegang Pedang yang memancarkan warna ungu. Indah sekali warna itu. Dan itulah pusaka Suro Bodong yang bernama Pedang Urat Petir.-
"Hei, aku mendengar suara pekikan seorang perempuan di dalam sana!" kata salah seorang dari kawanan bajak laut itu. "Coba kita periksa...!"
Seseorang yang tadi berbicara keras sekarang memberi perintah, "Serang dia...! Pasti dia pembunuhnya! Serang dan jangan diberi ampun...!"
Suro Bodong segera muncul dari persembunyiannya dengan Pedang Urat Petir sudah di tangannya.
"Itu dia...!"kata salah seorang.
"Hiaaat..." salah seorang lagi melompat dari atas batu' setinggi satu lutut. Ia mengibaskan goloknya ke arah kepala Suro Bodong bagai ingin membelah kepala itu.
"Trang...!" Suro Bodong menebaskan pedangnya ke golok lawannya. Golok itu patah seketika. Pedang bercahaya ungu bagai berpijar itu segera menebas perut lawan.
"Aaaahh...!"
Perut itu robek tak karuan, sedangkan sebuah tebasan golok datang lagi dari arah samping kiri Suro. Tak sempat Suro menangkis golok itu. Ia hanya memiringkan badan untuk menghindar. "Weess...!" Pedang Suro Bodong ganti melesat ketika golok lawan tidak mengenai kepala Suro Bodong.
Lawan sempat melompat sambil menendang pundak Suro. Hampir saja Suro Bodong terpelanting jatuh karena tendangan itu. Namun badannya segera bersandar pada tonjolan batu besar yang dibalik batu itu terdapat Anjani bersembunyi. Gerakan lawan begitu cepat mengayunkan goloknya dari atas ke bawah dan kepala Suro Bodong yang menjadi sasarannya. Tetapi Suro Bodong lebih dulu memegang pedang dengan kedua tangan, dan... "Hiaaat...!!" Pedang itu ditusukkan ke perut lawan.
"Aaah...!!"orang itu mengerang dan jatuh berlimbah darah. Suro Bodong sudah memastikan lawan itu mati. Ia segera bergerak dengan lincah ke mulut goa. Sepi. Tak ada orang di ruang depan mulut goa. Ia bergegas keluar sebelum terjebak dalam goa itu. Ternyata ada seorang berambut panjang yang baru saja meninggalkan goa itu dan berseru kepada yang lainnya.
"Hooii...! Musuh kita ada di sini, lekaas..."
Rupanya dialah tadi yang berbicara keras di dalam goa. Suro Bodong melihat lima orang berlari dari arah Barat menuju kepada orang yang bersuara keras, yang salah satu matanya ditutup kulit hitam.
"Ia ada di dalam goa, eeh... itu dia orangnya! Serang!"
Sementara itu, Suro Bodong sempat melihat enam orang datang dari arah lain. Mereka kebanyakan bersenjata golok dan bola berduri dengan rantainya yang panjang. Suro merasa tak ada waktu untuk bermain-main. Segera saja ia menggunakan jurus Pedang Jitu yang sering digunakan menyerang lawan secara rombongan.
Suro Bodong merenggangkan kaki dalam keadaan tetap tegak. Kemudian pedangnya dilemparkan ke atas dalam putaran tujuh kali. Ketika pedang sudah berputar tujuh kali, Suro tidak menangkapnya memakai tangan, namun kaki kanannya menendang pedang tepat bagian gagangnya.
"Traaak...!" Pedang pecah menjadi tujuh bagian, terpotong dari pucuk sampai gagangnya. Potongan ketujuh pedang itu melesat ke depan memburu lawan bagai anak panah lepas dari busur yang kuat.
Suro tetap bersikap waspada dengan salah satu kaki menekuk sedikit. Matanya bergerak liar memperhatikan kerja ketujuh potongan pedang yang menembus tubuh lawan dari bagian depan sampai lolos ke bagian belakang. Kemudian ketujuh pedang itu berkumpul ke tangan kanan Suro Bodong.
Jerit dan teriakan menjelang maut terdengar dari mulut kelima orang yang hendak menyerangnya itu. Bahkan lelaki yang matanya tertutup satu itu pun dalam keadaan kelojotan karena lehernya ditembus potongan ujung pedang.
Enam orang yang hendak menyerbu dari arah lain itu segera berhenti. Mereka terbengong memperhatikan teman-temannya mati dalam satu kali gebrakan melawan Suro Bodong.
"Ketua kita juga mati...?!"
"Ya. Itu tubuh Barong Sumo sedang berkelojot sekarat!"
"Serang saja orang itu! Lekas seraaaang...!!" teriak salah satu dari keenam orang. Mereka segera bergerak menuju ke goa. Kali ini Suro Bodong menggunakan jurus lain.
"Suro... jangan jauh-jauh...!"Anjani menampakkan wajah dari pintu goa.
Suro cemas. Lalu berteriak:
"Masuk...!!"
Suro tak sempat memperhatikan Anjani lagi sebab keenam orang itu telah menyerbu lebih dekat dengan senjata siap di tangan. Suro Bodong segera mengacungkan pedangnya ke langit dengan kedua tangan, lalu pedang itu diputar-putar sebanyak tujuh kali bersamaan dengan itu badannya pun ikut berputar tujuh kali. Mendadak ia berhenti pada putaran yang ketujuh, lalu pedangnya ditusukkan dari jarak jauh ke arah enam orang lawannya. Dari setiap tusukan, menghasilkan kilatan cahaya biru bening dan berkelok-kelok Cahaya itu meluncur dari ujung pedang dan menembus ke masing-masing tubuh lawannya. Terdengar bunyi ledakan enam kali.
Kejadian berikutnya amat mengerikan. Keenam tubuh itu hancur berkeping-keping dari kepala sampai kaki, tak ada yang tertinggal sepotong pun. Tubuh mereka menjadi cuilan-cuilan daging yang sangat mengerikan. Anjani rupanya mengintip dari tadi. Dan ia menjerit ketika mendengar ledakan yang mengguncangkan bumi sebanyak enam kali. Ia sangat ketakutan dan ngeri melihat tubuh keenam lawan Suro Bodong menjadi meledak hampir bersamaan.
"Lekas kita cari kapal mereka...!" seru Suro Bodong seraya menyeret tangan Anjani. Mereka berlari ke pantai, tapi tak ada kapal di sana. Mereka menyusuri pantai sambil berlari-lari. Anjani masih mengenakan baju merah milik Suro Bodong, dan Suro Bodong sendiri masih telanjang menggaruk kumisnya yang tebal sebagai kebiasaan tak disadari. Dan pelarian mereka menyusuri pantai pun berhenti.
Mereka menemukan kapal berlayar dua. Cukup besar. Letaknya agak jauh dari pantai, sebab agaknya kapal tak bisa .merapat ke pantai.
Tak ada jalan lain bagi Suro untuk memperoleh kapal itu kecuali dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang cukup sempurna itu. Ia segera mengangkat tubuh Anjani dan berlari dengan telapak kaki mengangkat di atas air. Anjani kebingungan melihat kehebatan Suro Bodong yang mampu berjalan di atas air tanpa tenggelam. Apalagi ia membawa beban tubuh Anjani sambil berlari, buih-buih ombak itu bagai menjaga telapak kaki Suro Bodong agar jangan sampai tenggelam.
Suro Bodong segera menghentakkan kaki dan melompat ke atas kapal dalam keadaan melayang.
"Jleg...!" Ia mendarat di geladak kapal bajak laut. Tubuh Anjani diturunkan dan disuruh bersembunyi di balik gulungan .tambang. Dua orang muncul dari kabin bawah. Mereka segera menyerang Suro dengan pedang lebar di tangan kanan. Suro Bodong memainkan pedangnya dengan dikibaskan ke kanan-kiri dengan cepat sehingga terlihat mereka hanya serangkaian nyala sinar ungu yang menyilaukan.
"Hiaaat...!!" mereka berdua mencoba menembus kibasan Pedang Urat Petir.
"Aaah...!" mereka berteriak bersamaan dan sama-sama saling memandang perut masing-masing yang robek dalam keadaan parah. Lalu keduanya sama-sama rubuh tak bernyawa lagi. Pada saat itu, Suro Bodong mendengar teriakan Anjani yang berseru, "Surooo...!! Awas di atas...!"
Rupanya ada orang yang muncul dari kamar atas, tempat peneropong pantai. Orang itu sendirian, dan segera melemparkan empat pisau belati yang bentuknya sama. Keempat pisau itu meluncur cepat ke arah Suro Bodong. Dengan gesit Suro Bodong berguling ke geladak, menghindari keempat pisau itu. Pedangnya sempat dikibaskan bagai membentuk setengah lingkaran dari atas ke bawah. Salah satu pisau belati itu terkena kibasan pedang.
"Traaang...!"
Dan pisau itu berbalik arah, meluncur ke tempat semula. Bahkan lebih cepat dari gerakan pertama. Orang yang memiliki pisau itu terbelalak dan terkesima melihat salah satu pisaunya kembali. Tahu-tahu, "Juub...!" Pisau menancap di ulu hati orang itu. Teriakannya tak sempat terdengar. Ia mendelik dan bersandar pada pagar ruang alas. Ia diam tak berkutik untuk selamanya.
Suro Bodong segera memeriksa bagian geladak dengan pedang masih teracung dengan kedua tangan memegangi gagangnya. Matanya bergerak liar, menendang papan-papan yang dicurigai, membuka pintu-pintu yang dikhawatirkan ada orang menunggu di sana.
Ruangan geladak kosong, tanpa orang. Suro segera masuk ke ruang bawah. Anjani mengikutinya dari belakang. Tetapi Suro tetap dengan hati-hati dan penuh waspada setiap melangkah. Sampai beberapa saat mereka masih melakukan pemeriksaan. Ternyata tidak ada satu orang pun yang tersisa di kapal itu. Yang ada hanya tumpukan harta, perhiasan dan macam-macam bahan makanan yang sengaja ditimbun di ruang bawah bagian sudut. Agaknya semua itu merupakan barang hasil bajakan mereka.
"Kita aman...!" kata Suro Bodong seraya memasukkan pedangnya ke lengan kiri. Anjani memperhatikan dengan mata tidak berkedip ketika Pedang Urat Petir itu menyelusup masuk dengan lembut ke dalam lengan kiri Suro, seolah sengaja disimpan di bawah kulit dan daging. Dan ketika pedang sudah tersimpan, Anjani menjadi heran karena di pergelangan tangan kiri tidak ada bekas luka sedikit pun.
"Kau benar-benar mengagumkan, Suro..." bisik Anjani sambil meraba dada Suro yang bidang.
"Kau juga!" kata Suro cepat sambil pergi, karena ia tak mau tersiksa lebih lama lagi karena usapan jari-jemari Anjani itu. Ia bergegas naik ke geladak dan menurunkan bendera kapal yang bergambar tengkorak dan tulang bersilang itu.
"Itu bendera lambang bajak laut," kata Anjani ketika Suro Bodong menyempatkan memperhatikan gambar bendera itu.
"Mau kita ganti dengan bendera apa?" tanya Suro. "Kapal ini sudah menjadi milik kita. Terserah, kau suka gambar apa...!"
Anjani menjawab dengan tersenyum nakal, "Bagaimana kalau gambarmu saja?"
"Dasar konyol...!" Suro Bodong meraih Anjani tapi Anjani menghindar. Suro penasaran dan mengejar, Anjani lari sambil tertawa lepas. Suro tak mau melanjutkan, ia takut dihunjam seribu gairah jika terlalu lama berdekatan dengannya. Ketika Anjani tertawa-tawa sambil melemparkan baju lengan panjang milik Suro yang tadi dikenakan, Suro hanya menangkap baju itu, lalu mengereknya menjadi bendera.
Kapal pun berlayar dengan tenang. Anjani menertawakan bendera merah dari kain baju Suro Bodong. Ia memperhatikan dari ruang teropong pantai sambil mengikik geli. Suro Bodong ikut tertawa kecil dan berkata:
"Kau tahu, itu bendera apa?"
"Bendera Bodong...!" jawab Anjani semakin geli. Suro yang berada di atas geladak hanya menggumam dalam tawanya yang tak mau lepas berderai. Ia ikut memandang bendera Bodong yang siap mengarungi samudra raya.
Rembulan menyorotkan cahayanya yang pucat ke atas kapal berbendera Bodong. Angin berhembus dengan damai. Air laut tenang, berkilauan bagai agar-agar yang memantulkan cahaya bulan juga. Suro Bodong sengaja berhenti, menurunkan jangkar di tengah samudra. Ia ingin menikmati alam damai yang tenang untuk beberapa saat. Matanya memandang lepas ke setiap cakrawala yang mengelilinginya. Ia bagai memperoleh kelegaan dan kesegaran dalam otaknya.
Anjani tidak mau terkurung dalam kamar terus-menerus. Ia tahu kalau kapal dalam keadaan berhenti. Ia naik ke geladak, ke ruang kemudi, laut ikut memandang ke lautan lepas di sisi Suro Bodong.
"Kau menurunkan jangkar?" tanya Anjani tanpa memandang Suro Bodong. Suro hanya menggumam.
"Aku ingin menikmati kebebasan ini..." kata Suro dengan wajah berseri. Hanya saja, sesekali ia masih menggaruk kumisnya yang tebal. Badannya yang kekar tanpa baju itu tidak merasa dingin sedikit pun, karena hembusan angin tak sekejam ketika mereka berada di atas rakit.
"Aku juga ingin menikmati kebebasan. Aku merasa lega telah jauh dari orang-orang yang memburuku." Anjani berkata dengan lembut dan suaranya masih enak di dengarkan oleh Suro Bodong.
Apalagi Suro mencium bau harum yang melenakan hati, ia semakin damai rasanya diam di tengah samudra itu. la sedikit heran, mengapa bau harum itu tercium lagi pada malam ini, seperti bau harum yang semerbak ke-iika ia tidur di atas pohon, di hutan. Ia mengira ada bunga yang tumbuh di sana dan wewangiannya sungguh membuai kalbu, menghadirkan sejuta khayalan indah. Ternyata di lautan lepas ini, ia pun mencium bau harum kembang yang amat dikagumi itu.
Mungkinkah di sekitar laut tumbuh bunga serupa dengan yang ada di hutan itu?
"Tak berapa lama lagi kita akan sampai ke Bukit Maya," kata Anjani memecah kesunyian di antara mereka berdua.
"Aku tahu," kata Suro tanpa menyadari ucapannya.
"Dan... mungkin kau akan pergi meninggalkan aku, kembali ke negerimu." Anjani bersuara pelan bagai menahan duka.
"Aku tahu..."
"Apa yang kau tahu?"
"Segalanya tentang kau...!"
Anjani menatap Suro Bodong sampai beberapa saat. Cantik sekali wajahnya dalam terpaan sinar bulan dan hembusan angin sepoi-sepoi itu. Suro Bodong sengaja memandangnya untuk menikmati kecantikan itu beberapa saat.
"Apa yang kau tahu tentang aku?" desak Anjani pelan. Ia kelihatan seperti benar-benar dewasa.
Beberapa saat kemudian, Suro Bodong baru menjawab:
"Sekarang aku tahu mengapa kau dikejar-kejar oleh tokoh persilatan, dari yang tidak pernah muncul menjadi muncul. Semua itu karena Ilmu Sampurna Jati yang ada pada dirimu, bukan?"
Anjani menahan diri untuk tidak terkejut, sekali pun hal itu tidak semua bisa dikuasai. Gerakan mata yang sedikit melebar sempat ditangkap Suro Bodong sebagai gerakan terperanjat. Suro menjelaskan lagi,
"Aku mendengar tentang Ilmu Sampurna Jati dari dua orang yang hendak memperkosamu di pulau kecil itu. Mereka segera kubunuh, karena aku pengawalmu. Tugasku menyelamatkan kamu dari ancaman siapa saja dan dengan cara apa saja. Jika orang memburumu, maka ia harus memburuku lebih dulu!"
Hati Anjani terharu mendengar kata-kata itu. Ia pun berkata dalam bisikan yang masih jelas enak di dengar:
"Kau termasuk tokoh rimba persilatan, bukan?"
"Mungkin.".
"Semua tokoh memburuku untuk memiliki ilmu itu, kenapa kau tindak memburuku juga?"
Anjani bicara dengan kepala sedikit miring karena itulah gaya ketulusannya. Matanya melirik ke wajah Suro dengan sorot mata yang benar-benar melumpuhkan jiwa Suro Bodong Mulut Suro sulit bicara sampai beberapa saat. Ia mencium bau harum semakin tajam. Kegelisahan semakin mendebarkan hati, bagai ingin membuat dada menjadi meledak
"Kau tak berminat memburuku?"
"Kau..." Suro kebingungan. "Kau terlalu anggun, terlalu agung bagiku. Aku hanya sekedar pengawalmu dengan imbalan cincin yang amat mahal. Aku tak layak memburu keagunganmu, Anjani." .
Anjani menghela nafas, lalu memandang ke cakrawala. Ia berkata dengan suara tertiup angin, semakin menggelitik birahi Suro Bodong.
"Aku telah mempunyai pilihan..." Suro tidak menjawab. Anjani melanjutkan ucapannya, "Aku ingin memberikan keagungan ini kepadamu...."
Suro tidak bicara. Suro gemetar dan sukar bernafas dengan lancar, la masuk ke kamar teropong pantai. Di situ ada sebuah tempat tidur untuk satu orang. Suro menjatuhkan tubuhnya di sana karena lemas, tak mampu menahan kedua lututnya untuk berdiri. Ia gemetar dan berdebar-debar.
Anjani masuk ke kamar teropong pantai. Tak ada tempat lain untuk duduk, ruangan itu sempit. Ia berdiri di samping Suro Bodong, memandangnya penuh pesona.
"Aku telah memagari tubuhku dengan gaun ini, jangankan disobek orang, dibakarpun tak akan bisa."
Suro tertarik mendengar kata-kata itu. Ia ingat ketika Blandong dan Taruna yang merasa kesulitan waktu ingin merobek gaun itu. Rupanya gaun Jingga itu terbuat bukan dari kain sutra, melainkan dari bahan kain yang jarang ada di pasaran. Suro menggumam kagum di dalam hati.
Anjani duduk di tepian balai kayu, pahanya menempel pinggang Suro. Hangat rasanya bagai mengalir ke seluruh tubuh. Suro semakin gelisah.
"Kau menyesal mengawalku sampai di sini, Suro?" Anjani berbisik. Suro hanya menggeleng, memberanikan diri menatap mata Anjani yang mempunyai daya lebur hati. Hidung Suro Bodong mendengus-dengus, bau harum semakin jelas.
Anjani meraih tangan Suro Bodong yang mengenakan cincin.
"Di sinilah sebagian ilmu Sampurna Jati melekat. Hanya sebagian kecil saja. Tak ada sekuku hitamnya." Anjani .mengusap-usap jemari Suro, dan Suro Bodong semakin lemas. Ia bertambah kaget ketika Anjani dengan pelan mencium batu Zippus yang menjadi mata cincin di jari Suro. Akibatnya Suro Bodong jadi seperti orang bego, terbengong-bengong. Bahkan ketika Anjani menekuk pelan tangan Suro, dan menciumkan cincin itu ke bibir Suro, tak ada yang bisa dilakukan Suro Bodong.
Ia hanya bisa merasakan gejolak dalam dadanya sudah semakin meledak-ledak Ia melihat mata Anjani menjadi sayu dan nafasnya mendesah tak teratur. Suro pun mengucurkan keringat dinginnya. Ia merasakan adanya gairah birahi yang meledak-ledak sangat kuat, dan lebih kuat dari yang pernah di alami. Mungkinkah itu karena ia dan Anjani telah mencium batu Zippus berwarna hijau muda itu?
"Oooh... bau kembang mewangi itu... sungguh meluluhkan hatiku..."desah Suro Bodong.
Anjani merayapkan tangannya dengan lembut di dada dan terus bergeser ke perut. Ia berkata dalam iringan desah birahi yang kian menjadi, "Bau harum itu... bukan bau kembang, Suro. Melainkan... bau nafasku sendiri... Ahhh...!"
Kapal berlabuh menurunkan jangkarnya.
Suro berlayar menurunkan jangkarnya pula. Anjani menjerit dalam tangis kebahagiaan. Ia menyerahkan keagungan itu kepada Suro yang amat dikagumi, sekaligus dicintai secara diam-diam. Pribadi Suro yang sempat dipelajari dengan cepat oleh Anjani membuat ia tak mampu mengelak lagi, bahwa ia telah terjerat dengan keperkasaan Suro Bodong. Ia serahkan keagungan itu, ia biarkan jangkar ditebarkan dan merobek selembar keagungan dalam dirinya.
Anjani memeluk Suro Bodong erat-erat dan menjerit dalam genangan mimpinya. Ketika jangkar menghantam, dan puncak keagungan melanda Suro Bodong, tiba-tiba tubuhnya menjadi memerah bagai besi membara. Suro menjerit di antara dua rasa, kebahagiaan dan kesakitan. Sama halnya dengan jeritan Anjani sebelum itu. Dan ketika tubuh Suro dalam keadaan menjadi semerah bara, isak tangis Anjani semakin jelas disusupkan dalam pelukannya yang erat sekali. Sebab saat itulah, ilmu Sampurna Jati telah merasuk dalam tubuh Suro Bodong bersama segenggam cinta yang tak terungkap lewat kata.
Sekarang, Surolah pemiliknya. Namun sebagai pengawal, Suro Bodong tetap setia mendampingi Anjani sampai ke Bukit Maya. Suro sama sekali tidak menduga kalau Bukit Maya itu sebuah pulau es yang terapung-apung di tengah lautan. Cahayanya yang putih memantulkan sinar matahari membuat Suro terkagum-kagum. Bahkan ketika kapal mendarat, sepasukan prajurit lelaki dan perempuan berjajar di dermaga. Mereka cantik-cantik semua, ganteng-ganteng semua. Namun hanya Anjani yang paling cantik dari sekian banyak wanita mungkin seluruh jagad raya.
Ketika Anjani turun bersama Suro Bodong, semua prajurit menunduk memberi hormat. Suro Bodong mengikuti langkah kaki Anjani yang masuk ke dalam goa, menurun ke bawah dan duduk di atas kereta beroda pipih. Kereta itu meluncur ke bawah, dan terus ke bawah, sampai akhirnya berhenti di suatu ruangan besar. Anjani masuk ke ruangan berikutnya dengan diiringi Suro dan empat prajurit. Ternyata itu adalah ruang Istana Bukit Maya. Anjani duduk di singgasana dengan mengenakan mahkota seorang ratu. Suro memandang bengong, sementara Anjani berkata, "Akulah ratu dan penguasa di sini! Aku putri seorang bidadari yang punya wewenang menyempurnakan sebuah ilmu pengabdian...."
"Kau...?!" Suro Bodong makin terbengong.
"Mengabdilah kepada perdamaian Suro. Tumbangkan segala bentuk keonaran, kekejaman, dan kejahatan... kau kuangkat sebagai Manggala Yuda, pelindung perdamaian di seluruh jagat raya ini. Tetapi kau juga punya hak untuk kembali ke negerimu, juga punya hak untuk.." Anjani berkata pelan, "kembali kepelukanku...."
Anjani, gadis manja yang kekanak-kanakan itu, ternyata anak seorang bidadari yang mampu mempunyai kewibawaan serta ketegasan seorang ratu. Suro tak habis pikir. Ia seperti bermimpi. Apalagi ketika Sang Ratu sendiri yang menyiapkan segala ramuan dan merawat wajah Suro Bodong, sehingga wajah itu menjadi tampan, walau tidak merubah ujud aslinya, oooh... Suro Bodong benar-benar seperti tidur di atas pelangi yang sulit baginya untuk dipercaya.
Suro masih tertegun di samping Anjani, Sang Ratu Bukit Maya, yang sesekali tenggelam ke perairan laut dan sesekali muncul di permukaan. Itulah Bukit Maya. Kali ini Suro berpakaian rapi, berdiri di pucuk Bukit Maya bersama Sang Ratu Dewi Ayu Anjani. Mereka sama-sama tertawa ceria ketika memandang sebuah kapal yang masih berlabuh, dan mempunyai sebaris kenangan tersendiri bagi Sang Ratu.
"Kau ingat sesuatu di kapal itu?" tanya Suro Bodong sambil memeluk Ratu Bukit Maya.
"Ya. Aku ingat,"katanya.
"Apa yang kau ingat?" desak Suro.
"Bendera Bodong...!" Anjani tertawa geli, Suro Bodong merenggutnya dalam senyum kegembiraan yang menghangatkan.
SELESAI