Surobodong-04 Iblis Hutan Tengkorak


       

IBLIS HUTAN TENGKORAK

Djvu by Molan_150

Edited by Molan_150

Pdf  by Dewi KZ

1
 Yang terasa hanya desiran angin. Mulanya pelan, lalu semakin kencang. Suro Bodong menepiskan kedua tangannya, merapatkan baju merahnya yang tak pernah dikancingkan itu. Angin menjadi lebih kencang. Rambut Suro Bodong yang panjang tak teratur namun diikat kain merah darah itu menyibak sebagian. Langkahnya terhuyung sejenak, karena dalam keadaan menuruni bukit itu ia merasa mendapat hempasan angin dari belakang. Suro nyaris tersungkur ke depan. Untung ia dapat segera menguasai keseimbangan, la tetap melangkah dalam desiran angin. "Angin setan...!" gerutu Suro Bodong sambil menyipitkan matanya yang sebenarnya lebar. "Dari tadi sepi, tenang, eh... tahu-tahu ada angin sialan...!"

Tubuh Suro Bodong yang gemuk sedikit itu semakin mengkerut, seakan kedua tangannya hendak menyatu masuk ke daging pinggangnya. Angin bertambah kencang. Baju merah model ju­bah berlengan panjang pemberian Resi Padma itu tak berhasil dihimpit oleh lengan. Sebagian terhempas ke samping dan melambai. Hawa dingin menembus kulit Suro Bodong buru-buru merapatkan bajunya supaya tidak melambai.

"Misterius sekali angin ini," katanya dalam hati seraya tetap melangkah, menuruni lereng bukit. Mulutnya tetap terkatup, tapi hatinya terus berkecamuk.

"Kurasa ini bukan angin sembarangan. Hembusannya tidak tetap. Makin lama terasa semakin kencang. Dan udara dingin ini juga cukup aneh. Umumnya udara akan menjadi dingin jika semakin naik ke atas gunung, tapi kali ini justru udara menjadi semakin dingin jika berada di kaki gunung. Jelas ada sesuatu yang tak beres..."

Hembusan angin bertambah kencang. Lalu, Suro Bodong terguling-guling dalam keadaan tak sempat menjaga keseimbangan tubuh. Tanaman jenis rumput berduri, dan bebatuan yang berserakan digilas dengan tubuhnya. Suro Bodong seperti sebuah tong yang dilepas dari ketinggian yang landai. Berguling dan berguling terus, sampai akhirnya ia sadar; tubuhnya telah tersangkut pada sebatang pohon jati besar.

"Kunyuk...!" umpatnya sendiri. Ia meringis. Banyak luka lecet di beberapa bagian tubuhnya. Juga pada perutnya yang gendut tapi bukan buncit. Celana birunya yang longgar robek di bagian tepi. Padahal itu celana baru, juga dari hasil pemberian Resi Padma, sebagai kenang-kenangan, karena Suro Bodong telah berhasil menyelamatkan Perguruan Merak Senggol dari keserakahan para ninja, (ada dalam kisah: Pedang Kerak Neraka),

Angin makin menipis. Suro Bodong mengurut punggungnya yang sebelah kiri. Ada rasa ngilu dan sakit sekali di bagian punggung. Ia mengelusnya dengan geram kedongkolan yang tertahan. Matanya memandang kian ke mari. Tapi hutan di lereng itu tetap sepi tanpa manusia kecuali dirinya.

"Pasti telah terjadi sesuatu..:" gumamnya dalam hati

Hembusan angin itu semakin menghilang. Suro Bodong masih menyeringai sakit sesekali. Sepertinya ia merasa ada yang menendangnya dari belakang sebelum ia terguling-guling tadi. Memang tak tampak ujud makhluknya, tetapi rasa sakit pada punggung kirinya itu benar-benar rasa sakit yang ia rasakan sebelum ia jatuh terguling-guling.

"Ada yang menendangku...!" pikirnya. "Siapa orangnya, ya?" Ia menyempatkan garuk-garuk kumis. "Aku merasakan angin menjadi benar-benar kencang, lalu aku merasa ada yang menendang dari belakang, atau menabrakku dengan suatu alat, dan ia melesat bersama deru angin tadi."

Suro Bodong berdiri, bersandar pada pohon itu. Memandang ke arah jatuhnya tadi. Kemudian memandang ke arah hembusan angin kencang tadi. Sepi. Tak ada siapa-siapa di sana. Angin pun telah berhenti. Reda.

"Kurang ajar..." ia menggerutu, lalu melangkah lagi. Kaki kirinya sedikit pincang. Ia menggerak-gerakkannya sebentar, dan segera melanjutkan perjalanannya ke desa Randang Cinde. Siapa tahu di sana ia bisa bertemu kekasihnya.

Dalam hati ia bertanya-tanya dengan, penasaran: Siapa kiranya yang telah menabraknya dengan sengaja atau tidak tadi? Tak mungkin punggungnya ngilu karena terguling-guling, sebab sebelum ia terguling, ia merasa dikejutkan oleh suatu benda yang bagai menendang punggung. Kalau toh itu memang suatu tendangan, atau pukulan, jelas dilancarkan dari orang yang berilmu tinggi. Siapa orang itu? Apa urusannya dengan Suro Bodong?

Mungkinkah para ninja ada yang masih hidup dan mencari kesempatan untuk membunuh Suro Bodong?

'Tidak mungkin, ah..." Suro membantah sendiri di dalam hati. "Pimpinannya sudah mati. Pimpinan para ninja yang ternyata Ajeng Wasti itu sudah kubunuh, dan bahkan dibakar bersama Pedang Kerak Neraka oleh Resi Padma, guru Ajeng. Jadi, mana mungkin masih ada yang hidup. Kalau toh ada, dia tak akan berani bertindak tanpa perintah pimpinan. Atau... jangan-jangan yang kuanggap pimpinannya itu bukan Ajeng Wasti?! Jangan-jangan anak didik Resi Padma yang cantik itu masih hidup?"

Langkah kakinya berhenti sejenak. Ia berkerut dahi, memikirkan hal itu. Lalu hatinya berkata’

"Ah, tidak mungkin. Ajeng Wasti kami kurung di dalam kamar yang sudah dipantek dari luar dan dijaga ketat. Sekali pun waktu dibuka ternyata kamar itu kosong, tapi toh jenazahnya ada di depan guru dan teman-teman seperguruannya? Dia telah menjadi ninja, sebagai pimpinan, dan berhasil kubunuh. Dan... eh, apa iya, ya...? Jangan-jangan arwah Ajeng Wasti yang lewat dan menendangku tadi?"

Suro Bodong bergidik sendiri, kemudian meneruskan langkahnya. Ia berusaha membuang pikiran tentang arwah. Ia berusaha melupakan kejadian aneh yang baru saja dialami tadi. Memang sulit untuk menghilangkannya, tapi ia selalu mencoba dan mencobanya terus untuk tidak berpikir tentang angin dan udara dingin yang aneh. Ia mencoba untuk tidak merasakan rasa sakit di punggungnya yang juga dikarenakan suatu hal yang aneh.

Beberapa saat kemudian, langkahnya kembali berhenti. Ia melihat ada tubuh telentang di sela ilalang dan tanaman semak. Tubuh itu adalah tubuh seorang lelaki yang bermandi darah. Suro Bodong segera mendekatinya dengan perasaan ngeri bercampur heran. Oh, ternyata orang itu mengerang? Lirih sekali, tapi bisa di dengar Suro Bodong.

"Kembang-kembang...!"

"Kembang? Apa maksudmu...?!"

"Kem... bang...!" nafas terhembus untuk yang terakhir kalinya. Lelaki itu tergeletak dari raihan tangan Suro Bodong. Matanya terpejam sedikit, masih kelihatan warna putihnya.

"Apa maksudmu dengan kembang? Hei, jangan mati dulu!" bentak Suro Bodong. "Hei, bangun...! Kembang apa maksudmu? Di dunia ini kan banyak kembang?! Ngomong yang betul? Hei, hei...!" Tangan Suro Bodong yang menopang kepala lelaki itu digerak-gerakkan, maksudnya supaya lelaki itu sadar. Tapi, karena nyawa telah melayang dari raga, mau tak mau lelaki itu diam saja. Meski Suro Bodong membentak-bentak, tapi lelaki itu tetap 'cuek' saja. Mati.

"Brengsek...!!" bentak Suro Bodong sambil menghentakkan kepala mayat itu. Kepala itu jatuh ke tanah, membentur batu, dan mayat itu tetap diam saja. Namanya saja mayat!

Suro Bodong bersungut-sungut setelah menghempaskan nafas kejengkelannya. Ia memandang ke sekeliling, tak ada orang, tak ada apa pun yang bisa dimintai keterangan

"Mayat tidak beres!" gerutunya. "Cuma ngomong kembang lalu mati! Ngomong dulu

kek yang benar, yang jelas,baru mati. Jadi tidak membuat orang penasaran begini!"

Gemas sekali hati Suro Bodong. Tapi apa boleh buat, nyawa sudah mencelat. Ia bertolak pinggang memandang ke sana sini. Banyak darah berceceran di sekitar terbaringnya mayat itu. Pasti telah terjadi pertarungan sengit yang cukup hebat. Pasti lelaki berusia antara 30 tahunan itu mencoba bertahan ketika lukanya menjadi parah. Kendati luka itu membuatnya mati pada akhirnya, namun terlihat jelas adanya perlawanan yang sungguh ulet dari si korban itu. Beberapa pohon patah, juga terkena percikkan darah. Kulit-kulit pohon banyak yang mengelupas dan sepertinya hangus terbakar api. Pasti akibat sebuah pukulan tenaga dalam yang sungguh hebat; entah pukulan korban atau pukulan lawan si korban. Suro Bodong termenung beberapa saat di sekitar mayat itu seraya garuk-garuk kumisnya.

"Kembang...?!" gumamnya dalam renungan. "Apa kira-kira maksudnya? Apakah lelaki ini bernama Kembang? Atau musuhnya yang bernama Kembang? Atau keduanya sama-sama bernama Kembang? Yang satu Kembang, musuhnya Kempis. Jadi...kembang kempis? Ah, bukan! Pasti bukan begitu maksudnya!"

Kaki Suro Bodong melangkah, masih meneliti keadaan sekitar ditemukannya mayat berlumuran darah pada bagian wajah, dan perutnya terluka lebar. Robek, menampakkan isi jeroannya. Sungguh suatu pertarungan yang sadis telah terjadi. Apakah ada hubungannya dengan angin kencang dan sebuah gerakan yang seakan menendang punggung Suro? Apakah pertarungan itu adalah sebab dari tergulingnya Suro Bodong dari lereng sampai ke dasar?

"Bisa jadi begitu. Bisa jadi hal yang kebetulan saja." gumamnya sendiri. "Kalau ditilik pakaiannya, jelas mayat itu adalah mayat orang berada. Mungkin bukan orang kaya, tapi setidaknya anak buah orang kaya. Orang kaya siapa, dan dari daerah mana? Ini yang membingungkan. Lalu, soal kembang tadi bagaimana, ya? Apakah dia bermaksud menyuruhku menyelamatkan setangkai kembang? Atau... barangkali di sini ada tertinggal setangkai bunga yang perlu diselamatkan? Terus, bunganya seperti apa?! Brengsek..! Aku jadi seperti orang linglung sendiri. Ah, persetan dengan mayat itu, pokoknya aku tidak mau terlibat dengan urusannya! Tujuanku ke desa Tandang Cinde, mencari Ratna Prawesti kekasihku. Itu saja! Selamat tinggal, Mayat...! Terserah kau, bagaimana maumu. Jaga dirimu baik-baik, ya, dan aku akan pergi tanpa mau berurusan dengan masalahmu...! "

Suro Bodong melangkah, meninggalkan tempat itu. Ia berjalan melenggang. Sepertinya orang yang sedang menikmati udara segar tanpa membawa senjata apa pun. Padahal di lengan kirinya, di dalam daging lengan kiri itu sebenarnya tersimpan pedang sakti yang menjadi andalan Suro Bodong. Tak seorang pun bisa merebut dan mencurinya, karena untuk mengeluarkan pedang itu diri harus memakai ilmu yang hanya dimiliki Suro Bodong. Di samping keampuhan pedang pusakanya, Suro Bodong juga memiliki ilmu yang langka didapat di mana-mana, yaitu dapat merubah ujudnya menjadi tujuh rupa dalam jurus salto yang dinamakan jurus Luing Ayan. Itulah sebabnya, Suro lebih dikenal sebagai Pendekar 7 Keliling.

"Siapa dirimu sebenarnya dan dari mana asalmu...?"

Pertanyaan itulah yang selalu menghantui pikiran Suro Bodong selama ini. Pertanyaan itu sering timbul di dalam hati, sebab ia sendiri ingin tahu siapa dirinya sebenarnya? Dari mana asalnya? Siapa orang tuanya? Mengapa ia bisa mempunyai beberapa kesaktian yang maha hebat? Semua itu membuat bayang-bayang gelap di benak Suro Bodong. Orang memperkirakan usianya antara 40 tahunan, tetapi sebenarnya Suro Bodong sendiri tidak tahu, berapa usianya yang sebenarnya.

Kalau Suro Bodong sendiri sulit mengetahui siapa dirinya, bagaimana mungkin ia bisa mudah mengetahui siapa mayat yang ditemukan tadi? Memang banyak pertanyaan yang tumbuh dalam hati Suro mengenai diri mayat itu, tetapi seperti halnya kebingungan tentang dirinya, Suro berusaha melupakan semuanya. Pikirannya sengaja diarahkan pada wajah seorang perempuan cantik, berhidung bangir dan berbibir mungil segar. Wajah Ratna Prawesti, kekasihnya.

Ratna Prawesti, putri seorang bupati Jangga. Seingat Suro, ia pernah saling berjanji dengan Ratna untuk saling sehidup semati. Namun ketika Suro Bodong pergi bersama utusan dari Sriwijaya, la terperangkap badai lautan luas. Untung ia dapat selamat, dan kembali ke Kabupaten Jangga. Tetapi kabupaten itu telah rata dengan tanah. Hangus terbakar, tinggal puing-puing arang dan beberapa mayat yang tak sempat dikuburkan oleh masyarakat setempat. Ratna Prawesti tidak ada. Mayatnya pun tidak kelihatan. Orang bertopeng yang menamakan dirinya Gerombolan Topeng Setan itulah yang telah membantai dan membumihanguskan kabupaten Jangga. Jadi, orang bertopeng itulah yang harus bertanggung jawab atas hilangnya Ratna Prawesti. Hanya saja, sekian banyak orang bertopeng yang telah dikalahkan Suro, tak satu pun ada yang kenal dengan perempuan bernama Ratna Prawesti. Bahkan mendengar namanya pun tidak.

Ini sungguh aneh. Tak seorang pun tahu nama Ratna Prawesti. Padahal perempuan itu kondang sebagai seorang putri bupati yang sangat cantik, kehadiran Suro sendiri sepertinya suatu hal yang asing bagi mereka yang ditemuinya. Ini memang aneh, sangat membingungkan Suro. Bingung tujuh keliling.

Hanya ada satu orang yang mendengar nama Ratna Prawesti. Seorang anak muda bernama Saga. Anak itu adalah anak seorang petani; Ki Pupus, yang telah ditolong Suro Bodong dalam peristiwa di Benteng Batu, (Kisah Pedang Urat Petir). Dan menurut keterangan Saga, ia mendengar nama Ratna Prawesti dari obrolan dua pedagang yang berasal dari desa Tandang Cinde. Itulah sebabnya Suro Bodong melacak ke desa Tandang Cinde, dengan harapan dapat bertemu dengan kekasihnya. Atau, paling tidak ia akan memperoleh keterangan lebih lanjut, tentang di mana kekasihnya berada.

Sambil melangkah, benak dan batin saling berkecamuk. Sampai-sampai ia tak sadar kalau ada orang yang mengikuti gerak-geriknya. Suro Bodong menjadi sadar setelah sebuah tendangan melayang telak mengenai punggungnya. Suro Bodong terpaksa berguling ketimbang ia harus tersungkur mencium tonggak kayu.

Gerakan mengguling tidak cukup dilakukan satu kali, sebab orang tak dikenalnya itu menyerangnya lagi dengan tendangan yang cepat.

'Tahan...!" teriak Suro Bodong yang merasa asing dan benar-benar tidak tahu kesalahannya.

Seruan Suro Bodong tidak dihiraukan oleh penyerangnya. Ketika ia berdiri, orang itu melancarkan pukulannya dengan bertubi-tubi. Tetapi Suro Bodong selalu berhasil menangkisnya. Dilihat dari gerakan dan jurus yang dimainkan lawan, dalam hati Suro Bodong hanya menggumam gemas. Ia sebenarnya dapat mengalahkan lawan dengan satu kali pukulan, tetapi ia tak ingin melakukannya. Suro tak mau orang itu menjadi korban kesalahpahaman. Karenanya, ia mencoba bicara dan menenangkan orang tersebut.

"Jangan bodoh! Berhentilah menyerangku! Kau salah paham. Pasti salah paham...! Berhentilah, kau bisa luka parah oleh pukulanku! Kalau kau mati, aku menyesal! Ayo, berhenti menyerang. Hei, hei...! Jangan nekad kau...! Aku sedang malas bertarung...! Hei, jangan keras kepala...!" Suro jengkel sekali. "Hiat...!" Dan sebuah pukulan keras menghantam dada lelaki tak dikenalnya. Lelaki itu tersentak ke belakang. Kaki kanan Suro menyusul, menendang perut lelaki itu sampai yang ditendang melintir kesakitan.

Nafas Suro Bodong dihempaskan lepas. Ia garuk-garuk kumisnya yang tebal. Matanya memandang keadaan lelaki berbaju hijau tua dengan celana hitam bersabuk putih. Lelaki yang diperkirakan usianya di bawah umur Suro Bodong itu masih rebah bersandar pada batang pohon. Ia meringis menahan sakit di bagian dada dan perutnya. Ia bagai tak sanggup berdiri pada saat itu.

"Bagaimana? Benar kan saranku tadi?!" kata Suro Bodong. "Kalau aku mau, kau bisa kubunuh sekarang juga, sekalipun aku tahu kau belum menggunakan senjata pedangmu. Tapi bagiku, menggunakan senjata atau tidak, aku dapat dengan mudah membunuh kamu! Ngerti?!"

Lelaki bertubuh sedikit kurus itu menarik-narik nafas. Ia ingin bicara, namun masih mengalami kesulitan pada alur pernafasannya.

"Atau barangkali kau memang ingin kubunuh dengan nyaman?" hardik Suro Bodong. Lelaki itu ketakutan.

"Ja... jangan...! Jangan bunuh aku...! Maafkan aku...!"

Suro Bodong mendekat, dan jongkok di depan lelaki itu. Ia memperhatikan wajah dan potongan lelaki tersebut. Menurut Suro, lelaki itu tidak mempunyai tampang sebagai orang jahat. Jadi, ia tak perlu mengambil kekerasan lagi.

"Siapa namamu?"

“Jenar...!"

"Ah, namamu jelek!" ucap Suro Bodong dengan gerutu seenaknya. "Hei, kenapa kau menyerangku, nah?"

"Aku... aku..."

"Aku Suro Bodong...!" sahut Suro. "Aku belum pernah bertemu denganmu, apalagi berkenalan! Tapi mengapa kau tiba-tiba menyerangku? Kau pikir siapa aku ini?"

"Maaf... maafkan aku, Kakang Suro Bodong..."

"Kakang?! Kamu memanggil aku: kakang?" Suro Bodong berkerut dahi, merenung sebentar, lalu manggut-manggut. "Yah... bolehlah. Panggil kakang ada baiknya dari pada kau panggil aku: Nyai...!"

Jenar mengajak tersenyum dalam menahan sakit yang kian berkurang. Tetapi Suro Bodong sengaja tidak membalas senyuman itu. Ia bahkan berkata: "Jangan meringis begitu! Aku ndak suka sama senyummu!" Jenar segera menghentikan senyumannya.

Suro Bodong berdiri seketika sewaktu nalurinya menangkap bahaya yang datang. Ia melompat ke arah samping dengan kedua tangan terbentang bagai gerak garuda melesat. Pada saat itu, sebatang tombak segera menancap di tempat Suro Bodong jongkok tadi. Suro Bodong tidak begitu tampak kaget. Tetapi, Jenar terpekik ketakutan melihat tombak bertangkai kayu hitam menancap tepat di sisi telapak kakinya. Tak ada sejengkal jaraknya.

Untuk menghindari serangan yang belum diketahui siapa penyerangnya, Suro Bodong segera berguling ke tanah, dan berada di dekat Jenar. Suro Bodong segera menampar pipi Jenar seraya mengancam:

"Beritahukan kepada temanmu; jangan menyerang! Kita tidak punya urusan apa-apa, tahu?! Ayo, lekas beritahu kepada temanmu itu...! Suruh keluar dia dari persembunyiannya...!"

Jenar membelalakkan mata dalam kebingungan bercampur rasa ngeri. Suro Bodong gemas. Ia menampar kembali pipi Jenar dengan tamparan peringatan. Jenar mengaduh dan semakin dicekam kebingungan yang menakutkan.

"Ayo, katakan kepada temanmu! Suruh keluar dia, atau kubunuh kau sekarang juga! Lekas...!"

"Ak.. aku...!"

"Cepat...!" Suro Bodong meremas baju Jenar dengan kasar.

Dalam keadaan takut, Jenar berseru ke arah datangnya tombak bergagang kayu hitam itu.

"Jangan menyerang! Keluarlah dari tempat­mu...! Jelaskan kepada orang ini kalau kita tidak punya hubungan apa-apa...! Oh, lekas, keluarlah! Orang ini benar-benar marah kepadaku...!"

"Bagus..." bisik Suro Bodong. Ia masih menunggu penyerang gelap sambil tetap berlindung di balik tubuh Jenar.

Tak berapa lama kemudian, muncullah seorang perempuan berpakaian rimba; mengenakan celana dan baju dari kulit macan. Bagian dadanya tertutup sebagian, pundak kirinya terbuka. Kulit macan itu bagai menyilang menutupi kedua bukitnya yang sekal. Sedangkan penutup bagian bawahnya juga cukup mini. Hanya sebatas paha, tumit ke bawah dibiarkan polos terbuka, menampakkan jelas kulitnya yang berwarna kuning mulus. Perempuan itu menyandang pisau di pinggangnya. Pisau trisula yang tajam di setiap sisinya.

"Siapa namanya?!" bisik Suro Bodong dalam geram. Jenar menggeragap karena bagai tersentak dari lamunan memandang perempuan berambut sepanjang punggung itu.

"Siapa namanya?!" hardik Suro. "Mana aku tahu...? Aku... aku tidak tahu siapa dia! Dia bukan temanku!"

"Hah...?!" Suro terbengong. "Karena kau memaksaku berteriak, maka aku pun tadi berteriak! Tapi... tapi berani sumpah, dia juga tidak akan mengenal aku...!"

"Busyet...!" gerutu Suro. "Apakah dia juga bukan temanmu, Kang Suro?" Jenar ganti bertanya dengan curiga. "Gila kau...! Sudah jelas dia menyerangku dengan tombaknya, mana mungkin dia mengenalku?!"

Perempuan berikat kepala merah, sama dengan ikat kepala Suro Bodong itu, berdiri tegap dengan kedua kaki terentang bagus. Matanya yang lebar namun berbentuk indah itu memandang dengan dingin. Suro Bodong masih memperhatikan dalam posisi jongkok di samping Jenar. Suro masih asyik mengagumi keindahan lekuk tubuh perempuan itu, ketika tiba-tiba Jenar berkata pelan:

“Dia pasti salah satu dari penjaga Hutan Tengkorak...”

"Hutan Tengkorak?!" kemudian Suro meng­gumam. "Di mana Hutan Tengkorak itu?"

"Di sini...!"

"Ooh...? Jadi ini daerah hutan Tengkorak?!"

"Ya. Dan... kukira kau tadi juga penghuni Hutan Tengkorak. Makanya aku menyerangmu.

"Sial...! Kaupikir wajahku seperti tengkorak?!"

"Aku tidak tega mengatakan begitu, kang..."

Suro Bodong mendesis. Kemudian, karena ditunggu-tunggu perempuan berpakaian kulit macan itu masih diam saja, maka Suro Bodong berdiri. Ia mencabut tombak bergagang hitam. Ia mengamati sejenak bagian ujung tombak yang ter-buat dari besi warna hitam kehijau-hijauan Jelas mata tombak itu sangat mengandung racun, yang sudah tentu cukup berbahaya bagi lawan yang tergores oleh mata tombak itu.

Jenar sudah berkurang rasa sakitnya. Kini perutnya hanya sedikit mual karena tendangan telak dari Suro Bodong tadi. Namun, kini ia belum berani berbuat banyak. Ia masih kelihatan takut menghadapi perempuan berpakaian macan yang sejak tadi diam, membisu, dengan pandangan yang sedingin salju. Jenar berdiri, lalu bersandar pada pohon, agak berlindung ke balik pohon itu. Sedangkan Suro Bodong berjalan mendekati perempuan tersebut dengan tenang, seakan ia tidak merasa dalam bahaya. Ia membawa tombak yang tadi nyaris menancap di tubuhnya. Dan kini berhenti di depan perempuan berpandangan dingin itu.

"Ini tombakmu, ya?"

Perempuan itu tidak menjawab. Pandangan matanya dingin semakin menusuk tulang belulang saja rasanya. Suro Bodong tetap tenang.

"Ini... kukembalikan tombakmu yang tadi salah sasaran!" Suro Bodong menyerahkan tombak . Keadaan mata tombak berada di bawah. Matanya mencoba menembus mata perempuan cantik beralis tebal itu. Namun hampir saja Suro tak tahan menerima kedinginan sorot mata perempuan tersebut.

“Terimalah... ini tombakmu, bukan tombakku. Berani sumpah kok...! Ini tombakmu dan sekarang kukembalikan dengan ucapan: belajarlah yang rajin tentang jurus melempar tombak...!"

Pandangan mata perempuan itu semakin berani, semakin menantang. Lama-lama mulai kelihatan rona kesinisannya. Sorot mata dingin bercampur dendam dan amarah. Perempuan itu hendak menggerakkan tangannya, mungkin mau memukul Suro Bodong, tapi dengan cepat Suro menancapkan mata tombak ke kaki perempuan itu.

"Wesss...!"

Ternyata perempuan itu melayang ke atas dengan cepat, seperti seekor merpati terbang. Tombak itu menancap di tanah dengan mantap. Sementara yang hendak ditancap tombak sudah berada di atas pohon. Berdiri tegak pada sebatang dahan kokoh.

"Wah... kok tahu-tahu sudah berada di atas pohon?!" gumam Suro Bodong dengan jelas.

Suro Bodong mengambil posisi mundur beberapa langkah, tangannya mencabut tombak dan menggenggamnya seenaknya. Ia mendongak, memandang perempuan yang dianggapnya aneh. Lalu, Suro Bodong berseru dengan sikap tenangnya:

"Hei, kamu orang sakti, ya? Kok bisa terbang ke atas begitu? Rasa-rasanya aku juga bisa kok...!"

Suro Bodong menghentakkan kakinya, dan melompat dengan gerakan yang amat ringan. Ia pun tiba-tiba sudah berada di salah satu dahan dari pohon lain. Berbeda pohon perempuan itu. Jenar terbengong melihat Suro Bodong bisa melompat dalam satu kali hentakan, bahkan posisinya sejajar dengan tempat berdiri perempuan tersebut. Di tangan Suro Bodong masih menggenggam tombak bergagang hitam.

“Tuh, bisa kan...?!” kata Suro Bodong seraya mengajak perempuan itu tersenyum.

Tapi tiba-tiba perempuan itu melemparkan senjata rahasia yang agaknya diambil dari punggung. Senjata itu berupa sebuah mata tombak dalam ukuran kecil. Kira-kira seukuran jari telunjuk Suro Bodong. Senjata itu melayang cepat dan sukar dilihat. Namun naluri gerak Suro cukup tajam, sehingga ia pun segera melompat dari dahan yang satu ke dahan yang baru, ia terpeleset dan jatuh. Untung tangan kirinya yang tidak memegangi tombak dapat meraih sebatang dahan kecil sehingga tubuh Suro bergelantungan seperti kelelawar raksasa.

Dalam posisi bingung mencari tempat jejakan kakinya tahu-tahu perempuan itu menyerangnya lagi dengan senjata rahasianya. "Zing... Ziiiing...!"

Tombak digerakkan berputar di sela jemari Suro Bodong. Kakinya kebingungan mencari tempat untuk berpijak. Untung gerakan tombak itu bagai kitiran yang amat cepat, sehingga bisa menangkis dan membelokkan arah ke senjata rahasia itu. Dari bawah, Jenar menjadi cemas melihat Suro kebingungan. Ia bagai sedang memandang seekor gorila yang berusaha turun dari pohon dengan sulit.

“Jangan menyerang dulu! Aku sedang kebingungan...!" seru Suro Bodong dengan wajah tegang. Perempuan itu diam saja.

Tahu-tahu sebuah senjata rahasia dilemparkan lagi dengan kecepatan melebihi senjata yang tadi Gerakan senjata mata tombak kecil itu hanya seperti cahaya putih yang berkilat. Suro Bodong tak sempat menghindar. Namun dengan kepandaian yang luar biasa, ia segera melemparkan tombaknya. Tombak itu melayang menyongsong kilatan cahaya putih. Lalu terdengar suara: "Triing...!"

Ujung tombak dengan ujung senjata rahasia itu bisa tepat bertemu dan beradu. Kedua senjata itu melesat ke atas. Senjata rahasia menancap pada dahan pohon yang lebih tinggi, sedangkan tombak itu lolos menembus dedaunan, lalu kembali jatuh ke bawah.

"Aaauuw...!"

Jenar berteriak ketakutan karena ujung tombak hampir saja menjatuhi ubun-ubunnya.

Suro Bodong buru-buru menggunakan tangan yang satunya untuk meraih dahan lain, kemudian ia naik ke dahan itu dengan susah payah, la bagaikan seorang yang tanpa ilmu sedikit pun.

Tahu-tahu perempuan itu menjerit, "Hiaaaat...!"

Suro Bodong membelalakkan mata. Kaget. Tubuh perempuan itu dapat melayang lurus dengan tangan terarah ke depan. Ia melesat seperti tombak dilemparkan. Pada kedua tangannya telah tergenggam sebuah trisula bertepian tajam, yang agaknya mampu untuk memotong benda lain

Gerakan luncur perempuan itu sangat cepat, seakan hendak menembus perut Suro Bodong, tan Suro Bodong melompat ke dahan di depanya. Lalu segera berbalik, dan pada saat itu perempuan tersebut melintas di depannya, tempat ia berdiri tadi. Entah gerakan jurus apa yang dilakukan Suro, ia sendiri tak tahu, yang jelas tiba-tiba ia berhasil menampar pantat perempuan itu yang tersingkap dari penutupnya. Gerakan itu bagai tak disadari Suro Bodong, sampai-sampai ia tertegun sejenak setelah berhasil menepak pantat perempuan yang berteriak: "Auuw...!" itu.

Hampir saja kepala perempuan itu membentur pohon lain kalau saja ia tidak segera bersalto beberapa kali. Gerakannya sangat cepat. Dan akhirnya perempuan itu menghilang setelah meninggalkan suaranya yang berkata: "Kau pantas menjadi yang terpilih...! Tunggulah saatnya...!" Dan Suro Bodong hanya bersungut-sungut tak mengerti maksudnya

2
 Ucapan perempuan tadi sempat membuat Suro Bodong terbengong beberapa saat, sekali pun ia sudah berada di bawah. Sementara itu, Jenar masih menampakkan kecemasannya. Sebentar-sebentar ia berpaling, memandang sekeliling, lalu bicara kepada Suro Bodong.

"Mari kita tinggalkan tempat ini, Kang."

Suro Bodong garuk-garuk kumis. Melirik Jenar sebentar.

"Kenapa kau kelihatannya sangat ketakutan?!"

"Apa Kang Suro belum tahu bahwa Hutan Tengkorak ini sangat berbahaya?" bisik Jenar yang merasa takut kata-katanya ada yang mendengar.

"Aku tidak mengerti maksudmu. Atau... atau mungkin aku tidak pernah merasa dalam bahaya apa pun."

"Ayolah, ikut aku... nanti akan kujelaskan."

"Aku mau ke desa Tandang Cinde. Aku mencari kekasihku yang bernama Ratna Prawesti. Apa kau pernah melihat atau mendengar nama itu?!"

"Ratna...? Ratna Prawesti...?!" Jenar berkerut dahi. "Sepertinya... sepertinya aku pernah mendengar nama itu. Hemm... siapa, ya? Ada teman yang pernah bercerita padaku tentang nama Ratna Prawesti, tapi... nanti dulu, kang. Aku agak lupa; apa dan siapa perempuan itu? Ceritanya... ah, ceritanya sendiri aku sudah lupa, Kang. Karena sudah lama aku mendengar nama itu. Mungkin nanti bisa kutanyakan kepada Raden Bargawa..."

"Bargawa? Siapa itu Raden Bargawa?!"

"Makanya ikutlah aku, nanti kujelaskan. Sebab... kalau kulihat pertarunganmu dengan perempuan itu, aku yakin kau sangat dibutuhkan oleh Raden Bargawa..."

Jenar melangkah sambil bicara. Tanpa sadar Suro Bodong mengikutinya sambil mendengar kata-kata Jenar.

"Raden Bargawa itu satu-satunya orang kaya di desaku. Dia keturunan dari Tumenggung Murcagati, yang kabarnya akan berusaha mengangkat Raden Bargawa menggantikan kedudukannya di Ketemenggungan."

Sebentar-sebentar Suro Bodong menggumam, dan sesekali juga ia garuk-garuk kumisnya, la melangkah dengan mata memandang waspada, namun telinga menyimak perkataan Jenar.

"Desa kami... saat ini menjadi sasaran korban penguasa Hutan Tengkorak..."

"Sasaran bagaimana, maksudmu?!"

"Banyak kaum lelaki yang mati, atau hilang. Itu semua akibat keganasan Penguasa Hutan Tengkorak yang bernama Kembang Laras...!"

"Kembang...? Kembang Laras...?!" Suro Bodong teringat kata-kata yang diucapkan seorang lelaki berlumur darah. Ketika lelaki itu ditemukan, ia dalam keadaan sekarat, agaknya menjadi korban suatu pertarungan sengit. Lelaki itu sempat nirnyebutkan kata 'kembang', dan sempat pula buat Suro Bodong kebingungan, apa maksud 'kembang' itu. Namun, sekarang rupanya masalah 'kembang' sudah jelas, bahwa pada waktu itu, lelaki yang terluka hendak menyebutkan nama Kembang Laras, pimpinan atau penguasa Hutan Tengkorak. Tapi sebelum sempat menyebutkan dengan tuntas, lelaki itu telah mati tak tertahankan lagi. "Jadi penguasa perempuan yang sangat kejam dari semua Hutan Tengkorak itu bernama Kembang Laras..?”

“Benar, Kang. Dan dia satu-satunya perempuan yang pernah kukenal"

"Kejam bagaimana?"

"Hampir setiap malam, desa kami dicekam kengerian. Hampir tiap malam ada pembunuhan, dan pada umumnya orang lelaki yang dibunuhnya. Atau... seperti kakakku sendiri, sampai sekarang tidak pernah kutemukan lagi. Hilang. Dan... saat ini aku bertekad mencari kakakku, tapi tidak kutemukan. Malahan... aku bertemu denganmu, yang tadinya kukira orangnya Kembang Laras juga-!"

Gumam Suro Bodong memanjang. Ia melangkah di belakang Jenar sambil tetap memasang kewaspadaan.

"Aku menemukan seorang lelaki dalam keadaan luka parah. Orang itu mati sebelum selesai menyebutkan kata Kembang."

Jenar berpaling ke belakang dan berhenti melangkah. Wajahnya kelihatan tegang.

"Bagaimana ciri-cirinya...? Jangan-jangan dia kakakku."

Suro Bodong menjelaskan ciri-cirinya seraya ia tetap melangkah. Kini posisi Jenar ada di belakang Suro Bodong. Mereka menyusuri jalan setapak yang agaknya jarang digunakan manusia.

Tangan Jenar mendadak memegang pundak Suro Bodong. Dengan tangkas dan cepat Suro Bodong menangkap pergelangan tangan Jenar itu. Sementara itu, tangan satunya siap memukul. Namun, ia buru-buru mengendurkan segala ketegangannya setelah ia tahu maksud Jenar bukan menyerang. Hanya ingin menghentikan langkah Suro, dan berkata:

"Itu... itu memang kakakku..." ucap Jenar dengan suara sedih. Suro jadi tertegun sejenak. Ia tak mengira bahwa lelaki yang diceritakan ciri-cirinya itu adalah kakak Jenar. Suro merasa tak enak hati. la tahu perasaan Jenar saat itu. Kemudian sambil menepuk pundak Jenar, Suro berkata menghibur:

"Mati itu di mana saja, sama. Mati di hutan dengan mati di rumah sendiri, tak ada bedanya; sama-sama kehilangan nyawa. Jadi tak perlu disedihkan. Soal cara kematian tiap-tiap orang memang berbeda. Tapi kita tidak bisa memilih sendiri cara itu. Sudah ada garis ketentuannya."

"Dia satu-satunya kakakku yang hilang akibat keganasan Nyi Kembang Laras." Jenar menunduk sedih. Suro Bodong manggut-manggut pertanda mengerti maksud Jenar. Ia berbisik, "Memang, dia korban suatu kekejian. Tapi tugas kita yang hidup bukan untuk menyesali korban, melainkan menumpas habis kekejian itu. Jelas?!"

Sambil melangkah lagi, mereka melanjutkan pembicaraan. Sementara itu, tepian hutan semakin jelas terlihat. Bentangan sawah menghijau di kejauhan. Pohon mulai menipis. Dan Jenar membawa Suro Bodong ke suatu tempat yang belum diketahui Suro Bodong.

"Jenar, apakah perempuan yang tadi menyerangku itu juga ada hubungannya dengan Nyi Kembang Laras?!"

"Dia anak buahnya." jawab Jenar tanpa menoleh. "Kabarnya, Nyi Kembang Laras mempunyai pesanggrahan di dalam hutan ini. Letaknya sangat tersembunyi. Bahkan pernah dicari oleh orang-orang dari dua desa, namun tak berhasil. Mereka semakin ke dalam semakin banyak yang mati menyedihkan, jadi pencarian tempat Nyi Kembang Laras. "Kalau begitu, Nyi Kembang Laras tidak sendirian di dalam hutan, ya?!"

"Menurut dugaan beberapa orang, ada lebih dari 25 pengawal yang selalu siap menjaga Pesanggrahan Hutan Tengkorak ini. Mereka juga sama ganasnya dengan Nyi Kembang."

Suro Bodong melompat ke sebuah batu, karena jalan mereka terhalang parit lebar. Dan dengan satu kali lompatan lagi, kakinya telah mendarat di tepi sungai, di bagian seberang. Sementara itu, Jenar masih tertatih-tatih melompati batu demi batu untuk mencapai seberang parit,

"Aku kagum dengan gerakanmu, Kang," kata Jenar. Tapi Suro Bodong tidak menjawab apa-apa. Ia memandang hutan ganas sambil garuk-garuk kumisnya dengan telunjuk.

"Kang, mari kita segera menuju rumah Raden Bargawa."

"Keturunan Tumenggung itu?" Suro Bodong sempat memandang heran kepada Jenar.

"Ya. Mereka tak setangkas kamu, Kang?"

"Maksudmu?"

"Raden Bargawa membutuhkan jago-jago bayaran untuk melindungi keselamatan keluarganya dari keganasan Nyi Kembang Laras. Jago-jago bayaran itu hampir setiap tiga hari sekali ganti orang. Karena mereka pasti ada yang hilang atau mati. Jadi, kurasa Raden Bargawa sangat membutuhkan kamu. Kalau saja dia sudah melihat kehebatan ilmumu, kujamin ia mau membayarmu mahal, Kang."

"Hei, kau mau menjual aku, ya?!" Suro agak tersinggung

"O, bukan begitu, Kang," Jenar buru-buru menjelaskan maksudnya. "Kalau kau ada di Sana, pasti kau akan bertemu dengan Nyi Kembang. Kau bisa menghadapi Nyi Kembang, sesuai dengan tujuanmu, yaitu membasmi kejahatan. Soal di bayar atau tidak, itu urusanmu."

Suro Bodong jadi terbungkam beberapa saat, namun kakinya tetap melangkah mengikuti Jenar. Kemudian, ia berkata mendadak setelah melakukan suatu pertimbangan:

"Ah, tapi tujuanku adalah mencari Ratna Prawesti dulu, Jenar. Aku harus menemukan kekasihku, setelah itu..."

Jenar menyahut, "Sementara kau tinggal di rumah Raden Bargawa, aku akan mencari keterangan tentang kekasihmu itu, Kang..."

Suro Bodong menarik tangan Jenar.

"Kau berkata dengan sungguh-sungguh?!"

Jenar mengangguk.

"Kita saling membantu, Kang. Kang Suro membantu masyarakat desa kami, sementara itu aku bisa menyuruh para penduduk mencari keterangan tentang kekasihmu itu, Kang."

Agaknya gagasan Jenar cukup menarik perhatian Suro Bodong. Lagipula, jika ia harus berjalan ke desa Tandang Cinde untuk mencari keterangan di mana kekasihnya, masih memerlukan waktu yang cukup lama. Menurut Jenar, dia akan memakan waktu tiga hari dengan perjalanan kaki untuk sampai ke desa Tandang Cinde. Jenar mengatakan, bahwa dengan menyuruh bebrapa orang di desanya yang pergi ke Tandang Cinde, menjual kain tenun sambil mencari keterangan tentang Ratna, adalah langkah yang lebih baik. Sementara Suro membantu mengamankan desa tempat Jenar tinggal, ia sendiri hanya menunggu kabar demi kabar dari orang-orang yang datang dari desa Tandang Cinde.

Jelasnya, Suro sangat setuju dengan gagasan Jenar. Maka, ketika dia dihadapkan kepada Raden Bargawa, orang terkaya di desa itu, ia berharap sekali agar Raden Bargawa mau menerimanya sebagai pengawal keamanan keluarga Bargawa. Tetapi, agaknya suasana menjadi lain. Ketika Suro dan Jenar datang menghadap, keadaan Raden fergawa dalam cekaman sedih.

Istri dan anak Raden Bargawa itu telah terbunuh semalam. Bahkan dua dari tiga jago bayarannya itu pun tewas dengan keadaan kepala terpisah dari leher. Lalu seorang pelayan urusan perbelanjaan, hilang tak ditemukan jasadnya. Suasana berkabung membuat Jenar tak berani bicara apa pun pada Raden Bargawa maupun kepada kedua keponakan Raden Bargawa.

"Bagaimana kalau malam ini kau tidur di rumahku saja, Kang. Tunggu sampai beberapa hari, Mungkin besok atau lusa kita menghadap

Raden Bargawa..."

"Kau tinggal dengan siapa?"

"Dengan emakku. Tapi kurasa dia tidak keberatan kalau kau menginap di rumah kami."

Suro Bodong menggumam. Menimbang-nimbang. Lalu berkata:

"Bagaimana kalau aku antar menemui kepala desa?"

Jenar mendesah. Bersikap menyepelekan, "Ah, percuma. Pak Lurah seakan tidak mau tahu tentang ketakutan rakyatnya. Ia sendiri takut menghadapi Nyi Kembang Laras."

Sekali lagi Suro Bodong menggumam. "Kebetulan, aku perlu membangkitkan keberanian lurah semacam itu. Ayo, antarkan aku ke sana, dan... mungkin aku akan minta izin menginap di sana untuk malam ini."

Hari sudah sore. Jenar sedikit segan pergi ke rumah Lurah Pucung. Tapi agaknya ia tak punya pilihan lain, sebab Suro Bodong mendesaknya. Lurah Pucung menghardik Jenar ketika ia melihat Jenar memasuki halaman rumahnya yang berpekarangan luas.

"Mau apa kau ke mari, Setan?!"

Jenar bingung dan ragu-ragu. Suro Bodong sendiri ikut bingung. Hatinya bertanya-tanya: mengapa Lurah Pucung sikapnya memusuhi Jenar.

"Usir bocah itu...! Usir dia...!" teriak Lurah Pucung dengan suara tuanya kepada seorang pesuruhnya. Rupanya Lurah Pucung juga mempunyai orang-orang bayaran. Tampak dua orang bertubuh tegap dan gempal, berwajah seseram wajah Suro Bodong, berdiri di depan tangga menuju ruang dalam. Dan seorang pesuruh yang tak kelihatan seperti jagoan segera mengusir Jenar.

"Lebih baik tinggalkan tempat ini, daripada Gagak dan Tembong yang mengusirmu," kata pesuruh itu. Gagak dan Tembong adalah dua orang bayaran yang siap menjaga keluarga Lurah Pucung itu.

"Ada yang ingin kubicarakan dengan Ki Lurah, Kang Jupro."

"Ki Lurah tidak mau bicara denganmu lagi!"

Kemudian mendengar suara Lurah Pucung dari ruang tamu yang mirip sebuah pendopo itu. “Suruh pergi dia secepatnya! Aku muak melihat tampang anak itu!"

“Nah, kau dengar sendiri, Jenar...? Ki Lurah muak melihat kamu! Sekarang pergilah dengan orang ini," seraya Jupro menuding Suro Bodong.

“Tunggu dulu," kata Suro Bodong seraya garuk-garuk kumisnya. "Kenapa Jenar agaknya dimusuhi oleh Ki Lurah?"

“Tanyakan saja kepadanya," jawab pesuruh yang bernama Jupro itu. "Kurasa dia masih beruntung, karena tidak digantung oleh keputusan kami.

"Menggantung orang itu gampang. Yang sulit adalah mencari alasan menggantungnya," ujar Suro Bodong tetap tenang.

"Kang..." kata Jenar. "Aku memang pernah berbuat jelek di desa ini. Aku... aku memang pernah mencoba memperkosa anak pak Lurah yang janda itu... dan..."

“Dan kau keburu tertangkap, bukan?" sambung Jupro. "Tapi seharusnya kau beruntung, karena Ki Lurah tidak memaksakan keputusannya untuk menggantung kamu. Kamu cuma dihajar dengan tujuan membuatmu jera."

"Aku memang sudah jera kok, Kang. Aku tidak mau lagi melakukan hal-hal semacam itu Apalagi sekarang aku sudah tidak punya kakak

lagi..."

"Kakakmu...? Kakakmu ke mana?"

Suro Bodong menyahut, "Tewas di Hutan Tengkorak..."

"Oo...?!" Jupro kelihatan kaget dan merinding

Rupanya Ki Lurah segera memerintahkan Tembong untuk mengusir Jenar. Lelaki berambut ikal lebat dengan diikat kain biru muda itu mendekati Jenar, dan tanpa banyak bicara mencengkram baju Jenar. Ia menarik Jenar dengan kasar tanpa memperdulikan Suro Bodong. Saat itu, Jupro segera menyisih, takut terlibat urusan dengan Tembong.

Suro Bodong hanya tersenyum tenang dengan tetap berdiri di tempat ketika Tembong menyeret ke luar halaman. Ia tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya. Sebaliknya, justru Suro Bodong melipat tangannya di dada dan memperhatikan kegalakan lelaki yang wajahnya coklat sebelah, Tembong.

Pada saat Tembong kembali, ia seakan baru menyadari kalau Suro Bodong belum bergerak dari tempatnya. Tembong tak berani mencengkeram baju Suro, seperti yang dilakukan kepada Jenar. la sedikit tegang ketika

berkata:

“Kau... juga keluar!"

"Aku kan tidak ikut memperkosa anak lurah," jawab Suro Bodong seenaknya, seakan tidak merasa gentar sedikit pun melihat kedua mata Tembong melotot.

“Keluar...!!" bentak Tembong tak mau kalah gertak.

Suro Bodong garuk-garuk kumis sebentar, lalu bersilang tangan di dada kembali. Ia bahkan tersenyum seperti menyepelekan gertakan Tembong.

Lurah Pucung berdiri di depan serambi. Tembong tak mau dibilang pengecut di depan Lurah Pucung. Ia segera meraih baju Suro untuk dicengkeram dan diseret seperti ia menyeret Jenar. Tetapi Suro Bodong mengelak dengan cara memiringkan badan ke samping kiri.

Tangan yang tak jadi mencengkeram itu berubah arah menjadi sebuah pukulan menyamping. Tepatnya sebuah tamparan. Namun Suro Bodon menendang tangan itu dengan keadaan tetap bersidekap tangan di dada.

"Mumpung di depan juraganmu, tunjukkan keberanianmu!" kata Suro Bodong dengan sangat tenang.

Tembong penasaran. Ia memukul wajah Suro Bodong dengan pukulan ganda, tetapi dengan lincah kepala Suro Bodong bergerak seperti ular menghindari pukulan itu. Tangannya tetap dalam posisi semula. Sekali lagi Tembong melancarkan pukulannya ke muka Suro, namun Suro merundukkan kepala sehingga pukulan itu lolos melewati atas tengkuknya. Pada saat itu, lutut Tembong digerakkan ke atas dengan maksud ingin menyodok wajah Suro Bodong. Tapi wajah Suro yang merunduk itu bergerak ke samping menghindari sodokan lutut Tembong. Ia buru-buru menegakkan badan. Mundur satu langkah.

"Bangsat kau...!" geram Tembong, lalu menggerakkan kaki kanannya, menendang ke arah Suro Bodong. Tubuh Suro yang sedikit gemuk itu mampu meliuk-liuk dengan lincah walau tetap bersilangan tangan di dada. Tendangan dan pukulan Tembong datang silih berganti, namun tak satu ada yang mengenai tubuh Suro Bodong. Ketika kaki Tembong melompat dengan satu tendangan, tubuh Suro Bodong pun melompat dengan kaki berhasil menendang betis Tembong. Posisi Tembong goyah sewaktu berdiri lagi. Kesempatan itu dipergunakan Suro Bodong untuk menggerakkan kakinya memutar, dan tendangan itu mengenai wajah Tembong. Lelaki berwajah coklat sebelah itu terhuyung.

“Sekali waktu kau perlu belajar menghargai orang lain," kata Suro Bodong yang kemudian mengibaskan kakinya dengan tendangan putar sangat cepat. Kedua tangannya tetap bersidekap di dada: Ia berdiri tenang, memandang Tembong yang terpelanting ke belakang dan kepalanya membentur sebatang pohon melinjo.

“Oouh...!" Tembong memegangi kepalanya mencoba berpegangan pada batang pohon melinjo itu. Suro Bodong sudah dapat memperkirakan bahwa orang yang dari tadi masih berdiri di depan tangga menuju serambi itu pasti akan bergerak membantu temannya.

Dugaan Suro tepat. Lelaki yang sering dipanggil Gagak itu segera berlari dan melompat dalam satu jurus tendangan layang. Suro Bodong berkelit ke belakang dalam posisi tubuhnya melengkung, tapi tangan masih bersidekap di dada. Karena tubuh itu melengkung begitu tajam, lemas, maka arah loncatan Gagak pun mengenai sasaran kosong.

Tetapi dengan segera Suro menegakkan badan, dan mengangkat kakinya, hingga telapak kaki berada di depan perut, sebab saat itu Gagak memukulnya dengan gerak pukulan ganda ke arah perut. Pukulan itu ditangkis oleh kaki Suro, kemudian dengan cepat kaki Suro melesat ke depan. Lurus dan kaku. Telapak kaki itu tepat mengenai dada Gagak.

Tubuh Gagak memang berdada bidang dan lebih kekar dari dada Tembong. Baju rompi hitam yang dikenakannya menampakkan betul kebesaran lengannya, apalagi jika tangannya mengeras untuk memukul, ia kelihatan kekar sekali. Makanya ketika kaki Suro berhasil menendangnya, ia bertahan untuk tidak bergerak sedikit pun

"Wah, kamu lebih kebal dari Si Tembong itu, ya...?" kata Suro Bodong.

“Pergi kau dari sini! Jangan cari gara­gara...!”gertak Gagak. Namun hal itu malahan ditertawakan Suro Bodong.

Dalam keadaan masih bersilang tangan di dada tiba-tiba kaki Suro Bodong bergerak bagai sebuah kibasan memutar. Rupanya dia tahu Tembong telah berada di belakangnya dan siap membacokkan goloknya dari arah belakang Suro. Ketika tangan yang memegangi golok itu terangkat, saat itulah tendangan memutar kaki Suro mengenai bawah ketiak Tembong. Kemudian disusul gerakan kaki kiri yang telak mengenai ulu hati Tembong dengan cepat.

"Huugh...!!" Mata Tembong mendelik dan menahan nafas. Tubuhnya melengkung ke depan, tangan kirinya memegangi ulu hati sementara tangan kanannya memegang golok dengan lunglai.

Pada saat itu, Suro Bodong yang masih bersidekap itu menggerakkan kakinya ke belakang tanpa berpaling. Gerakan kaki itu tepat mengenai tangan Gagak yang hendak menghantam punggung Suro Bodong. Lalu, tubuh Suro segera berbalik dan melancarkan tendangan kaki yang satunya. Tendangan itu dilakukan dengan sedikit melompat, namun tepat mengenai dagu Gagak. Wajah Gagak memang terdongak karena tendangan Namun ia tetap tegar, kelihatan segar. Seakan tendangan itu bukan apa-apa baginya. Ia ganti menendang dengan satu lompatan kaki lurus ke samping. Kepala Suro Bodong miring ke kiri bersama-sama gerak tubuhnya yang merendah. Pada saat itu, tubuh Gagak melayang, dan kaki kanan Suro Bodong segera meluncur ke atas, menyamping. Tendangan itu tepat mengenai kemaluan Gagak, sehingga Gagak pun menjerit kesakitan.

"Aaauoow...!! Pecah barangkuu...! Aaauuh...!" Gagak mengaduh-aduh sambil jalan dengan kaki merapat dan kedua tangan memegangi bagian kemaluannya.

Akhirnya Gagak jatuh terduduk, bersandar pada batang pohon melinjo yang sebesar betisnya itu. Wajahnya meringis menahan sakit, sedangkan Tembong pun kelihatan masih lemas. Ia sempat mencoba membabatkan goloknya ke kaki Suro Bodong. Tetapi Suro Bodong cepat melompat tak begitu tinggi, kaki kanannya mengibas ke depan.

“Plook..!"

Tendangan kaki tepat mengenai wajah Tembong sehingga orang itu memekik kesakitan. Ada darah yang keluar dari hidungnya, dan hal

itu membuat Lurah Pucung terbengong, semakin tertegun ngeri. Apalagi ketika pandangan matanya bertatapan dengan sorot mata Suro Bodong, Lurah Pucung kelihatan gemetaran. Namun, ia masih berusaha menjaga kewibawaannya sebagai lurah dengan diam di tempat, seakan tak akan lari walau Suro Bodong segera mengajak Jenar mendekat ke tangga serambi.

Lurah Pucung masih memandang dengan mata mendelik kepada Jenar. Ia memaksakan suara untuk menghardik Jenar.

"Apa perlumu datang ke mari, hah?! Mau memperkosa anakku lagi?! Iya?!"

"Aku rasa...masalah itu telah ditebusnya, Ki lurah," kata Suro Bodong. "Jenar katanya sudah dihajar hampir mati sebagai hukumannya? Dan sekarang agaknya dia ingin menjadi orang baik-baik. Apakah tak bisa diberi kesempatan? Sebab setahuku, untuk menjadi orang baik harus mempunyai kesempatan."

"Aku tidak bicara denganmu! Kau tidak perlu menggurui aku !" hardik Lurah Pucung kepada Suro."Aku ini Lurah!"

"Yah, biar lurah kalau tindakannya keliru, perlu mendapat teguran. Kalau orang ditegur, berarti orang itu belum terlanjur berbuat salah yang menjadi parah."

Suro Bodong bicara dengan tangan masih bersidekap sejak tadi. Ia kelihatan tenang. Sesekali memandang Tembong dan Gagak yang berusaha bangkit dalam keadaan sakit.

Lurah Pucung mendesis mendengar kata-kata Suro. Ia kembali memandang Jenar yang masih ketakutan dan merasa bersalah di depan Lurah Pucung.

"Hei, Jenar...! Katakan segera, apa maumu datang ke mari, hah? Mau apa kau?!"

"Saya... sayang mengantarkan Kang Suro, Ki Lurah...!" jawab Jenar dengan suara pelan.

"Suro...? Suro siapa?!"

"Suro Bodong...! Orang ini, Ki..."

Sekali lagi Lurah Pucung melirik sinis kepada Suro Bodong yang masih tenang, tangan masih bersidekap. Lurah Pucung menampakkan sikap tak sukanya dengan mulut cemberut ketus. Sesekali ia mendesis jengkel.

"Aku tidak kenal orang ini...!" kata Ki Lurah.

“Justru aku ingin berkenalan denganmu, Lurah...!" kata Suro Bodong seenaknya saja.

"Apa perlumu datang kemari dan bertemu aku? Untuk apa?!"

"Aku ingin menumpang semalam di sini, sambil aku ingin berbincang-bincang denganmu tentang Nyi Kembang Laras..."

Wajah Lurah Pucung kelihatan tegang dan pucat ketika ia mendengar nama Nyi Kembang Laras diucapkan. Gerak matanya jadi liar. Ia sangat ketakutan.

***

3
 Nama Nyi Kembang Laras bukan nama seorang bidadari yang menjadi idaman setiap pria. Nama itu adalah penyebab bangkitnya bulu roma, bahkan sesekali sempat membuat seorang lelaki gemetar jika mendengarnya. Hal itu rupanya dialami juga oleh Lurah Pucung yang berbadan sedang, tinggi tapi tidak jangkung. Kerut ketuaannya terlihat pada bagian dahi dan sudut mata. Kerutan itu semakin tajam dan jelas setelah Suro Bodong duduk di bangku depannya, seraya berkata dengan garuk-garuk kumis:

"Mungkin dalam waktu dekat, penduduk desa ini akan habis binasa di tangan Nyi Laras. Yang utama adalah kaum lelakinya."

Merinding sekujur Ki Lurah Pucung. Sekali pun ia menyimpan ketakutan, tetapi Suro Bodong tahu apa yang sedang disimpan di balik ketenangan Lurah Pucung.

Suro menambahkan kata, "Aku punya firasat kalau suatu saat rumah ini menjadi incarannya."

Nafas Lurah Pucung dihela dalam-dalam. Dengan suara pelan dan bernada getar, ia mencoba menenangkan diri.

"Itulah sebabnya aku menyewa Tembong dan Gagak untuk melindungiku."

"Apakah itu sudah menjamin?" tanya Suro Bodong. Sebelum terjadi pembicaraan lagi, Suro meraih tempat tembakau, melintingnya dan merokoknya seperti keadaan Ki Lurah saat itu. Sebenarnya Suro bukan seorang perokok, tapi ia bisa menyesuaikan diri, bisa bergaya seperti orang yang biasa menyedot tembakau dan cengkih. Ki Lurah memperdengarkan, suaranya yang sedikit serak:

"Di desa ini, setiap orang kaya, atau orang mampu, pasti mempunyai jago-jago bayaran. Paling sedikitnya satu orang. Itu dilakukan untuk menanggulangi keganasan Nyi Kembang Laras."

"Apakah cara itu cukup berhasil? Apakah para jago bayaran itu mampu mengatasi amukan Nyi Kembang?"

Agaknya Ki Lurah sulit menjawab pertanyaan itu. Ia menggumam beberapa saat, lalu berkata ngambang:

"Bagaimanapun juga, ternyata nasiblah yang selalu menentukan hidup kita."

"Nasib...?" Suro Bodong tertawa pelan. Mengisap tembakau kawungnya sejenak, lalu berkata lagi:

"Mungkinkah hanya itu alasan yang bisa kau pakai, Ki Lurah? Apa tidak ada alasan lain?"

"Entahlah. Aku selalu kebingungan jika harus bicara soal Nyi Kembang. Sepertinya, hal itu bukan wewenang kekuasaanku, juga bukan tanggung jawabku sebagai lurah. Persoalan Nyi Kembang, tidak termasuk dalam rencana kerja seorang lurah. Kalau kutahu akan ada persoalan seperti ini, kurasa pada saat pemilihan Lurah, aku tidak mau dijagokan oleh sebagian penduduk"

Suro Bodong semakin merasa geli. Lurah ini lucu juga, pikirannya. Persoalan Nyi Kembang jelas persoalan yang menyangkut keamanan desa. Tapi dia seolah-olah mau cuci tangan karena merasa ketakutan. Ah, kasihan sekali lurah yang satu ini. Harga dirinya, martabatnya sebagai Lurah, tidak lagi diperhitungkan.

"Apakah persoalan Nyi Kembang ini sudah lama berkembang di desa ini?" tanya Suro Bodong. Waktu itu, seorang perempuan yang masih tergolong muda, segar dan menawan, datang membayakan minuman dan poci teh kental. Suro Bodong memandangnya sebentar, lalu menyimpan wajah ayu itu dalam ingatannya. Tanpa melihat orangnya, Suro sudah dapat menikmati kecantikan dan kesegaran perempuan itu.

Ki Lurah menjawab pertanyaan Suro yang tadi, "Dulu, aku pernah mendengar persoalan Nyi Kembang. Kekejiannya juga pernah kudengar. Namun peristiwa itu terjadi di desa lain. Di seberang Hutan Tengkorak Dan...

kupikir tidak akan merambat sampai ke desa ini."

Perempuan berkulit sawo matang, dengan matanya yang bulat indah itu pergi ke belakang. Suro Bodong sempat melirik jalannya. Oh, mengundang gairah juga pantat perempuan itu dalam lenggok gaya jalannya. Suro Bodong tersenyum tipis, tapi Ki Lurah mengetahui senyuman itu, lalu berkata dengan suara sedikit parau:

"Kau boleh saja menertawakan dengan sinis keadaan rakyatku yang sangat ketakutan itu, tapi kau menghadapi sendiri, mungkin kau tak sempat berani lagi menyebut nama Nyi Kembang..."

Sebenarnya Suro Bodong ingin mengatakan, bahwa ia bukan tersenyum sinis dalam arti mengecilkan masyarakat desa itu, tapi tersenyum geli untuk lenggok gaya perempuan tadi yang sempat membuat batin Suro gelisah. Hanya saja, Suro tahu hal itu tidak perlu dibicarakan. Ia bahkan berkata:

"Aku ingin ketemu Nyi Laras...Setan dari Hutan Tengkorak itu!"

Kini ganti Ki Lurah yang tersenyum sinis, tipis. Katanya, "Kau bergurau terlalu kelewat batas, Suro Bodong..."

"Kurasa kau yang bercanda, Ki Lurah. Aku benar-benar ingin bertemu dengan setan betina itu!"

Ki Lurah menatap Suro, dan ia menemukan kesungguhan dari ucapan Suro Bodong itu. Ia mendekatkan wajah, lalu berkata dalam nada bisik yang tajam:

"Mengerikan...!"

"Siapa yang mengerikan? Wajahku?"

"Nyi Kembang itu...!"

"Ooo..." Suro ikut berbisik

"Kau akan menyesal setelah bertemu dengannya," bisik Ki Lurah dengan kepala tetap terjulur mendekati Suro. Sedangkan Suro Bodong pun menjulurkan wajah dengan suara bisiknya yang mendesah jelek.

"Akan kubikin menjadi sebaliknya; Nyi Kembang yang menyesal bertemu denganku."

"Aaah...kau bisa mati. Percayalah!"

"Dia yang akan lebih dulu mati. Pastikan­lah...!"

"Bagaimana caranya melawan dia? Apa rencanamu?"

"Beri aku kesempatan tinggal di desa ini beberapa hari. Kalau aku tak sanggup, aku akan lari. Kalau lari pun tak sanggup, .aku akan mati." Setelah itu Suro meringis, tepat di depan hidung Ki Lurah.

Malam menggeliat sepi.

Jenar tidur di dekat dapur, satu kamar dengan Jupro. Agaknya Ki Lurah sudah bisa menegakkan kebijaksanaan bagi Jenar. Barangkali karena Ki Lurah Pucung memandang kehebatan Suro Bodong yang mempunyai permainan menjatuhkan jago-jagonya itu, sehingga Ki Lurah merasa ada perlunya untuk tidak mengusir Jenar. Karena diam-diam Ki Lurah sangat mengagumi ilmu silat yang dimiliki Suro Bodong. Bahkan kepada Tembong dan Gagak ia sempat berbisik kesal:

"Payah...! Dia hanya menggunakan kaki. Belum tangannya, tapi kamu berdua tidak mampu menandinginya. Apalagi kalau Suro sudah menggunakan tangannya, mungkin satu antara kalian akan mencret selama tujuh hari...!!"

Tampang kedua jagoan yang dibayar untuk melindungi keluarga Lurah Pucung itu seperti tak berbentuk lagi, malu dan geram menjadi satu di wajah itu. Tembong dalam hati mempunyai rencana untuk membalas rasa malunya kepada Suro Bodong, tapi kemudian ia membantah rencananya sendiri dengan kecamuk benaknya:

"Kalau Gagak saja mampu dikalahkan setan bodong itu, tentunya aku juga mampu diremat-­remat dengan tangan kirinya. Aah... lebih baik mempertahankan hidup daripada mempertahankan dendam."

Patroli malam, seperti biasa dilakukan oleh Tembong dan Gagak. Sekali pun mereka sudah mulai ciut nyali, gara-gara merasa dapat dirubuhkan Suro dengan mudah, namun demi menunaikan tugas bayarannya, mereka tetap mengadakan pemeriksaan keliling. Istilah sekarangnya : waskat. Pengawasan melekat, khususnya terhadap gangguan yang dapat timbul sewaktu-waktu dari Nyi Kembang Laras.

Sementara itu, di dalam kamarnya Ki Lurah dan istrinya sempat saling menggerutu:

"Aku jadi merasa tak aman, Pak..." ujar istri­nya. "Kedua orang andalan kita ini, kurasa tak akan mampu menghadapi kejahatan Nyi Kembang Laras. Buktinya, dengan tamu kita saja mereka dibuat nungging-nungging mirip kambing bunting. Apalagi kalau menghadapi Nyi Kembang...!"

"Aku juga gelisah..." desah Ki Lurah sambil merebah.

"Cari penjaga yang lebih ampuh lagi, jangan seperti kedua orang itu. Yang sakti, Pak. Yang bisa terbang dan yang bisa hilang...!"

Ki Lurah hanya kedip-kedip memikirkan keadaan gawat di sekeliling keluarganya. Ia kembali terngiang kata-kata Suro Bodong dalam pembicaraan sore tadi. Satu-satunya harapan yang bisa diandalkan hanya Suro Bodong. Tetapi, ia sendiri sangsi apakah Suro Bodong itu bisa mengungguli kesaktian Nyi Kembang Laras? Memang tekad dan semangat Suro untuk menumpas Nyi Kembang cukup kuat. Hanya saja, Lurah Pucung masih khawatir akan keberhasilannya. Ia belum banyak mengetahui bagaimana dan siapa sebenarnya Suro Bodong. Ia sesore ini terlalu hanyut dalam pembicaraan kekejaman Nyi Kembang Laras, sehingga ia belum sempat menanyakan keberadaan diri tamunya.

Mungkin bukan hanya Ki Lurah dan istrinya yang dalam kegelisahan malam ini, namun semua warga desa Manggar itu dicekam kegelisahan yang menakutkan. Kegelisahan ini sudah sekian malam berlangsung sehingga membuat malam menjadi arena begadang bagi semua warga desa. Kengerian semakin mencekam apabila sunyi kian sepi. Masing-masing telinga terpancang bagai radar yang siap menerima suara jeritan memilu, seperti yang terjadi pada malam-malam sebelumnya.

Jupro, Jenar, dan dua pelayan bagian taman serta bagian dapur masih mengedip-ngedipkan mata di kamarnya masing-masing. Suro Bodong dapat kamar sendiri di samping kamar Jupro dan Jenar. Di samping dapur ada dua kamar lain, yaitu kamar pelayan kebun dan pelayan dapur yang menjadi satu, serta di sampingnya adalah kamar Juminem, juru masak yang konon masih punya hubungan saudara dengan Nyi Lurah Pucung. Sedangkan di kamar lain, yang letaknya bersebelahan dengan ruang makan, adalah kamar Sundari, anak tunggal Lurah Pucung yang telah menjanda. Suaminya mati dengan keadaan menyedihkan akibat ulah Nyi Kembang beberapa waktu yang lalu. Ia seorang janda kembang tanpa anak, yang dalam usia matangnya itu mampu menciptakan daya tarik tersendiri bagi kaum lelaki.

Di kamar Jupro dan Jenar, terjadi pembicaraan pelan dalam bentuk bisik-bisik malam.

"Makanya, Nar..." kata Jupro, "Jadi lelaki itu jangan clamitan. Mentang-mentang Den Roro Sundari janda, lantas seenaknya saja kau mau memperkosanya. Uuh... semua itu ada aturannya, nar!"

"Aku... waktu itu tidak tahan, Kang. Sangat gak tahan melihat pahanya yang menyingkap waktu ia naik delman. Rasa-rasanya aku sudah kemasukan setan dengan cepat waktu itu. Maka... ah, begitulah jadinya. Tapi... sekarang aku sangat menyesal. Menyesal sekali, Kang. Sudah hasratku tak sampai, namaku jelek, tubuhku pun nyaris hancur di cincang Tembong dan Gagak. Ah, aku tidak mau lagi begitu. Sungguh! Aku lebih baik cari perempuan lain yang mau kukawini dan... beres sudah."

"Baguslah kalau kamu punya pikiran begitu, kalau memang masih punya niat memperkosa, perkosa saja Nyi Kembang. Kan dia sendiri sering memperkosa kaum lelaki."

"Iiih...amit-amit jabang bayi, Kang!" Jenar bersungut-sungut. "Dari pada harus memperkosa Nyi Kembang, lebih baik aku cari sabun, Kang."

"Untuk apa cari sabun?"

"Cuci piring dan cuci baju! Beres!" Jupro tertawa pelan. Mereka bungkam. Sepi semakin merajalela. Ada suara dengkur yang samar-samar. Dengkur dari Suro Bodong di kamarnya. Jupro berbisik

"Aneh. Orang lain ndak bisa tidur, kok Suro Bodong malah mendengkur?!"

"Memang dia serba aneh kok. Aku dulu pernah menyerangnya, tapi... sudah tentu aku dapat ditumbangkan dengan sangat mudah, ibarat ia menyentil lalat saja. Dan... waktu itu, aku mengira dia adalah salah satu dari orang Hutan Tengkorak, eeh... tidak tahunya justru ia diserang oleh perempuan cantik, anak buah Nyi Kembang. Dan aku melihat sendiri betapa hebatnya dia, Kang. Tubuhnya bisa terbang ke atas, gerakannya tangkas dan kelincahan geraknya sungguh sempurna. Hebat pokoknya, Kang!"

"Ya. Aku percaya. Aku melihat sendiri betapa lincahnya kedua kaki itu melawan serangan Tembong dan Gagak Aku tadi sempat terkagum-kagum, Nar. Dan menurutku... dia adalah orang tandingan Nyi Kembang. Tapi, dia belum tahu kalau Nyi Kembang itu sangat sakti. Kau pernah ceritakan kehebatan Nyi Kembang jika sedang membantai lawannya?"

"Sedikit. Tapi belum sempat kuceritakan bahwa Nyi Kembang itu sukar dibunuh. Kalau saja..."

Obrolan kasak-kusuk itu terhenti seketika. Ada suara berdebam di luar, tepatnya dari arah halaman samping. Sepertinya ada sesuatu yang jatuh, disusul dengan suara pekik seseorang yang tertahan.

Jenar dan Jupro berjingkat bangun dari rebahnya. Mata mereka saling memandang tegang. Telinga mereka menyimak bunyi di kesunyian malam. Daun-daun bergeseran terdengar. Detak jantung mereka semakin cepat. Dengan sangat pelan Jenar berbisik

"Ada yang ndak beres ini, Kang..."

"Ho, oh...!" Jupro mengangguk

Dengkuran Suro semakin jelas, karena pusat pikiran mereka menerobos kesunyian malam yang amat hening.

"Nah, dengar...!" bisik Jenar lagi. "Seperti ada suara orang dipukul dadanya, ya?"

"Ho, oh...!" Jupro mengangguk. 'Jangan-jangan Tembong dan Gagak sedang dalam bahaya."

Jupro diam, matanya mendelik, wajahnya tegang. Ia tak berani bergerak Suara yang mereka tangkap kemudian adalah suara pekik tertahan, seperti orang hendak terbatuk namun tak jadi. Suara itu semakin menegangkan mereka.

'Jangan-jangan Nyi Kembang datang..." bisik Jenar.

"Ah, dari mana kau bisa berkata begitu. Belum tentu Nyi Kembang. Siapa tahu Tembong dan Gagak sedang berlatih ketangkasan mereka," bisik Jupro.

"Malam-malam begini berlatih ketangkasan? Ah, ndak masuk akal, Kang. Pasti...! Pasti Nyi Kembang mencari Suro Bodong."

"Mencari Suro Bodong?! Kenapa kau yakin begitu?!"

Bisikan Jenar semakin pelan, "Waktu Suro mengalahkan anak buah Nyi Kembang, ia mendapat ancaman. Katanya, dia terpilih! Entah terpilih apa maksudnya, tapi aku yakin itu sebuah ancaman maut bagi Suro Bodong."

"Gawat...!" Jupro menampakkan kecemasannya. "Padahal sekarang Suro Bodong sedang mendengkur nyenyak. Jangan-jangan... Eh, coba kau keluar dan ketuk pintu Suro agar dia bangun."

"Wah, aku ngeri keluar dari kamar, Kang."

"Aaah...payah kamu, Nar. Buat apa kamu bawa-bawa pedang itu? Buat apa kamu belajar silat sama bapakmu almarhum?"

"Sekedar untuk jaga diri. Bukan untuk melawan Nyi Kembang." jawab Jenar sambil tergagap sejenak.

Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka perlahan-lahan. Jupro dan Jenar nyaris tidak bernafas sama sekali. Jantung mereka bagai berhenti tanpa detak. Untung kenyataan tidak sempat demikian. Jantung mereka hanya terhenti sedetik Namun setelah itu jantung mereka berdetak sangat cepat. Hal itu membuat mulut mereka ternganga namun tak sempat melontarkan kata dan suara apa pun. Tubuh mereka bagai dipantek dengan lantai. Tegak berdiri tanpa bergerak sedikit pun. Mata mereka bagai diganjal oleh sebatang lidi, membelalak lebar tanpa berkedip.

Tak ada suara. Sepi. Tapi di mata Jenar dan Jupro terlihat jelas pintu kamar yang sudah terkunci itu masih bisa terbuka. Lalu muncullah seraut wajah dari balik pintu. Wajah cantik, berbibir mungil dan kelihatan selalu basah. Warnanya merah ranum. Segar sekali. Di atas bibir itu, ada ujung hidung yang mancung, ramping. Berkulit kuning langsat. Bahkan mendekati jenis kulit warna putih susu. Di atas hidung mancung yang indah itu, terdapat sepasang mata yang bertepian hitam pada kelopaknya. Mata itu tidak terlalu bulat, namun cukup tajam dan mempunyai kebeningan yang mengagumkan. Bulu matanya yang lentik, adalah perpaduan keindahan mata sehingga menjadi sebentuk keagungan yang memukau. Alis yang seperti bulan sabit, kelihatan tebal di bagian ujungnya dekat hidung. Dan alis itulah yang membuat satu komposisi kecantikan maha anggun.

Itulah kecantikan wajah Nyi Kembang Laras!

Angin malam sebenarnya sudah sejak tadi berhembus lebih kencang dari biasanya. Namun desau angin itu tak sempat terpikirkan oleh Jenar dan Jupro. Kedua lelaki dalam usia belum bisa dibilang tua itu masih terpukau tanpa gerak sedikit pun. Hati menggumam terkagum-kagum, namun jantung berdetak tersendat-sendat.

Rambut Nyi Kembang Laras meriap sebatas pinggang. Sekalipun bagian kepalanya dikenakan penjepit rambut berbentuk mahkota kecil, namun gerai rambut yang terjuntai sebatas pinggang masih terlihat hitam bening, mirip jurai lumut laut yang lembut. Busana yang dikenakan, sangat melemahkan jiwa seorang lelaki. Kainnya tipis, halus. Berwarna putih bagai gumpalan busa. Kain itu membungkus tubuh tanpa pelapis dalam, sehingga lekuk tubuh dan tonjolan di bagian dada terlihat samar-samar, menggetarkan jiwa siapa saja. Indah tubuh itu. Sungguh indah. Bahkan betisnya pun terlihat amat sempurna dalam komposisi kegempalan paha yang tak bisa dikatakan bengkok, melainkan sekal berukuran prima.

Nyi Kembang berdiri di depan pintu dengan kain tipis berlengan panjang bagai jubah itu meriap-riap dipermainkan desiran angin. Matanya memandang lekat pada Jupro, sementara bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang amat melelehkan liur kejantanan siapa saja yang memandangnya. Dari kebeningan matanya itu, tiba-tiba terpancar sorot sinar kuning pias. Hampir tak kentara. Sorot sinar kuning pias itu memenembus sepasang mata Jupro. Lelaki bertubuh tegap,namun tidak begitu berotot itu masih tak mampu bergerak sedikit pun. Sorot sinar kuning pias bagai mempunyai daya hipnotis yang amat kuat, membuat mata Jupro terpejam perlahan-lahan. Makin sayu, dan terus menjadi sayu, sampai kemudian terpejam kuat. Tapi tiba-tiba terbuka membelalak, kemudian berkedip-kedip.

Bahkan ia bisa menggerakkan kepalanya pada saat Nyi Kembang Laras tersenyum makin lebar. Jupro menoleh Jenar. Wajahnya biasa, tanpa cekaman rasa takut maupun gentar sedikitpun. Ia sepertinya tidak sedang menghadapi bahaya. Sedangkan sinar kuning pias hilang tak terpancar lagi. Jenar terheran-heran, namun tetap terbungkam untuk bisu seribu kata, kaku sejuta gerak. Dan ia memaksakan diri untuk bisa bergerak.

"Kau harus melayaniku..." suara Nyi Kembang terdengar pelan, namun cukup jelas di telinga Jenar. Pada saat itu, Jenar mampu menggerakkan lehernya untuk berpaling ke arah Jupro. Dan ia kaget karena Jupro membuka bajunya perlahan-lahan. Senyum Jupro mengembang, sepertinya ia tidak sedang dalam bahaya sedikitpun. Ia bersikap biasa-biasa saja.

Nyi Kembang melangkah masuk, lalu menutup pintu tanpa suara sedikit pun. Matanya masih memandang Jupro dalam senyum lebar menyatakan kegembiraan hatinya.

"Jangan kau lepas semua pakaianmu..." Nyi Kembang berkata dalam desah yang lembut. Ia semakin mendekati Jupro. Gerakan tangan Jupro berhenti. Ia juga tersenyum dalam bayangan gairah kebirahian.

Nyi Kembang mendekatkan wajah ke depan hidung Jupro. Ia berbisik, namun jelas didengar oleh Jenar yang bagai patung hidup itu.

"Berikan aku duniamu, Sayang..."

"Renggutlah semuanya," balas Jupro pelan.

Nyi Kembang mengusap rambut Jupro pelan-pelan, lalu jari jemarinya yang lentik itu meraba kening Jupro dengan lembut. Pelan-pelan ujung jemari indah itu merayap ke hidung, terus bergeser ke bawah, menyentuh kumisnya yang tipis, merayap lagi ke bawah, menyentuh bibir Jupro yang tebal. Di situ jemari Nyi Kembang bermain sebentar, kadang sengaja didesakkan masuk ke mulut, dan Jupro menghisapnya beberapa saat. Mata Nyi Kembang berbinar-binar penuh gairah bercinta.

"Oooh..." desah Nyi Kembang sangat halus, mirip gesekan kain sutra yang diterpa angin. Pada saat itu, kedua tangan Jupro merayap ke segala penjuru tubuh mulus itu. Kedua mata Nyi Kembang meredup sayu, seakan menikmati sentuhan demi sentuhan. Dan pada saat itu, desah nafas Jenar semakin memburu tanpa ia dapat berbuat apa-apa kecuali memandang dan memandangnya terus. Keringat dingin sudah sejak tadi membasahi di sekujur tubuh Jenar.

"Kuharap kau tidak seperti kedua Jagoan di luar..." kata Nyi Kembang dalam desah yang melenakan. Jupro menjawab setelah melepaskan bibirnya dari jemari Nyi Kembang

"Ambillah apa yang kau inginkan dariku...! Ambillah, Nyi..."

“Gawat...!” Jenar sempat berseru di dalam hatinya. Ia tahu, Jupro tak mampu menghindar dari jerat Nyi Kembang. Jenar tahu, bahwa Jupro telah terbius dan lupa akan bahaya yang ada.

Sebenarnya Jenar ingin mengingatkan, tetapi mulutnya kaku sekali. Tenggorokannya bagai tersumbat segumpal nafas yang sulit dihela. Akhirnya ia hanya menjadi penonton yang dengan terpaksa membelalakkan mata terus dan mendengarkan segala erangan serta desahan birahi beracun itu.

Bahkan ketika Jupro melepaskan tali pengikat gaun yang bersimpul di kedua pundak Nyi Kembang itu, Jenar tak dapat mencegah. Tali itu terbuka, dan gaun tipis itu lepas terkulai di lantai. Sosok tubuh mulus tanpa cacad sebesar ujung jarum pun membentang di depan mata Jenar. Air liurnya tak sempat terkendali. Lebih­lebih ketika ia pun melihat jari-jemari Nyi Kembang melepas semua pakaian Jupro dalam gerakan perlahan-lahan, oooh... Jenar benar­benar tersiksa dalam hentakan darah mudanya yang membakar jiwa. Ia ingin berkedip, ia memaksakan kelopak matanya berulang kali, tapi yang bisa dilakukan hanya melotot, membelalak tanpa kedipan sedikit pun.

Nafas Jenar semakin sesak, setelah ia melihat betapa lincahnya tangan Nyi Kembang menjelajah ke bagian bawah Jupro. Betapa lincahnya lidah Nyi Kembang menjalar bagai ular, dari ujung kepala Jupro sampai ke lutut. Di situ Nyi Kembang menggigit-gigit kecil, dan membuat Jupro menyeringai dalam desah kejantanannya. Bahkan ketika Nyi Kembang merayapkan lidahnya ke atas lagi, lalu berhenti di sekitar dada, turun lagi, dan berhenti di sekitar paha, Jupro kelihatan seperti orang kesurupan dan geliatan tubuhnya. Tangannya meremas-remas rambut Nyi Kembang yang lembut, sementara kepalanya sendiri mendongak-dongak ke atas dalam desis menggetarkan lutut Jenar.

Sekali lagi, Jenar berusaha menggerakkan bibirnya, berusaha menghentakkan suaranya untuk melontarkan jerit, tetapi tenggorokannya benar-benar mampet. Bagai tak ada lobang sekecil jarum pun yang dapat dipakai mengeluarkan suara dari dalam tenggorokkan Jenar. Bahkan ketika Nyi Kembang semakin menggila dalam menggerakkan kepalanya dalam posisi berlutut, Jenar semakin kuat hasratnya untuk meraih pedangnya dari meja. Tetapi jangankan tangan, jari-jarinya pun sukar dikendalikan. Jari-jari tangan itu sepertinya beku. Kaku. Hanya bagian leher yang mampu menggeliat untuk digerakkan.

"Aaaah...!"

Jupro mengerang dalam satu hentakan, dan tubuhnya mengejang dengan nafas memburu tak beraturan, la lemas, jatuh ke kiri, tepat di atas pembaringan berkasur. Saat itu Nyi Kembang semakin menggila. Ia membujurkan tubuh Jupro dalam gerakan brutalnya. Kemudian ia berusaha mengayun sendiri 'perahunya' dan suaranya pun semakin seronok, semakin mengundang kebirahian siapa saja yang mendengarnya. Jupro hanya mengerang dalam geliat hebat. Tubuhnya yang tertindih Nyi Kembang sama sekali tidak ada usaha untuk melawan atau memberontak keluar dari bawah Nyi Kembang. Dan hal itu membuat Nyi Kembang semakin berjingkrak-jingkrak seperti terbakar api. Rambutnya meriap dalam gerakan melambai kian ke mari. Sesuatu yang menggantung di dadanya, terayun-ayun bagai pepaya yang hendak rontok dari tangkainya. Wajah cantiknya meringis, menjerit tertahan, menggigit-gigit bibirnya sendiri, tanpa peduli keringat meleleh di sepanjang punggungnya yang bagai bentangan sutra susu.

"Uug... aaag... uuuh...!" Jenar berusaha berteriak. Nyatanya ia hanya bisa ber-ah, ih, uh...! Tanpa ada makna yang dapat memudarkan amukan gairah kedua insan itu.

Hanya saja, pada saat Nyi Kembang meregang, melontarkan erangan lembut yang memanjang itu, tiba-tiba pintu kamar ditendang seseorang dari luar.

Braaak...!!

Bukan hanya Jenar yang terlonjak kaget, melainkan Jupro dan Nyi Kembang pun menegangkan urat-uratnya. Mereka sama-sama memandang ke arah pintu, dan di situ sudah berdiri sosok tubuh yang sedikit gemuk dengan baju terbuka tanpa kancing dan kelihatan pusarnya yang terjulur keluar. Suro Bodong menggeram. Kedua tangannya mengepal kuat, lalu ia berusaha menendang tubuh Nyi Kembang. Tangan Nyi Kembang mengibas, menangkis tendangan itu sekali pun masih duduk di atas tubuh Jupro. Tapi, tiba-tiba Jupro menjerit panjang:

"Aaaauuhh...!!" Tubuhnya mengejang-ngejang. Nyi Kembang berdiri berusaha menghadapi Suro Bodong. Pada saat itu Suro dan Jenar sama-sama terbengong memandang ke arah paha Jupro.

Paha itu berlumur darah. Bahkan tadi sempat menyembur ke sekitar paha. Suro dan Jenar bagai tidak percaya dengan penglihatannya sendiri, bahwa keadaan Jupro sangat menyedihkan. Segumpal otot kejantanannya telah putus. Hilang. Bagai terpotong benda tajam pada bagian pangkalnya. Ketika itu, tubuh Jupro yang sudah kehilangan alat kejantanannya itu menjadi kaku sejenak jenak, lalu menggeliat lemas dan diam selama-lamanya.

Rupanya Nyi Kembang telah memotong alat kejantanan itu dengan tenaga dalamnya ketika ia masih duduk di atas tubuh Jupro dan diserang oleh Suro Bodong. Rupanya perempuan cantik itu mempunyai tindakan yang tak secantik wajahnya. Ia tega menjepit alat kejantanan Jupro dengan alat kewanitaannya hingga putus tanpa bekas. Mungkin masih tertinggal di dalam bekas potongan 'senjata' Jupro itu, karena sisa potongan itu tidak terlihat tergeletak di suatu tempat. Jika memang benar begitu, ooh...alangkah kejamnya tindakan yang jarang disaksikan oleh Suro Bodong itu. Bukan hanya mulut atas yang dapat menggigit, tetapi juga bagian yang istimewa itu mampu menggigit dan menelan sebatang daging milik Jupro.

Suro Bodong terpental dalam lamunan, karena saat itu ia baru menyadari bahwa Nyi Kembang telah mengenakan pakaiannya dengan cepat kemudian menendang dada Suro dengan keras. Tubuh Suro terpelanting menabrak Jenar hingga kepala Jenar membentur dinding. Nyi Kembang berusaha melesat keluar dari kamar, tetapi Suro Bodong segera melemparkan pedang bersarung milik Jenar. Pedang itu melesat cepat, dan bahkan mampu menancap. Sayang tidak pada tubuh Nyi Kembang, melainkan menancap pada kusen pintu yang terbuat dari kayu jati itu. Jenar makin terbelalak melihat pedangnya mampu menancap pada kayu walau tanpa membuka sarungnya. Sudah tentu itu suatu lemparan bertenaga dalam yang cukup hebat.

Suro Bodong segera melesat keluar mengejar Nyi Kembang yang lari ke halaman belakang. Tetapi beberapa saat ia di sana, ia tak melihat bayangan kain putih yang dikenakan Nyi Kembang. Perempuan itu hilang! Entah lari lewat mana. Suro Bodong memeriksa keadaan sekeliling, namun yang ia temukan bahkan kedua mayat Tembong dan Gagak dalam keadaan usus mereka terburai ke luar dari perut. Mereka juga dalam keadaan telanjang bulat tanpa selembar benang.

***

4
 Ki Lurah tertegun di ruang tamu. Orang-orang yang habis menguburkan ketiga mayat itu berkumpul secara berkelompok di halaman depan. Suro Bodong sengaja menyendiri di halaman samping. Ia menikmati jagung bakar kesukaannya sambil memperhatikan beberapa bunga indah yang ada di pinggir pagar halaman itu. Ia sepertinya tidak mempunyai rasa sedih atau gelisah sedikit pun. Ia paling tenang dari sekian banyak orang.

Bahkan ketika Jenar muncul menemuinya, Suro Bodong masih bersikap biasa-biasa saja. Cuek terhadap situasi yang ada. Jenar bicara dengan wajah yang masih tegang akibat sisa semalam.

"Kang... Temuilah Ki Lurah sekarang juga...!"

"Nanti saja. Dia sedang pusing memikirkan bagaimana cara menanam mayat berikutnya," jawab Suro Bodong seenaknya. Jenar merasa kurang suka dengan sikap Suro Bodong.

“Jangan kelewatan sikapmu, Kang. Itu sangat menyakitkan Ki Lurah. Sekarang bukan hanya Ki Lurah yang merasa kehilangan, tetapi ada orang lain yang menuntut Ki Lurah."

"Orang lain? Orang lain siapa?" Suro bicara tanpa memandang Jenar. Ia bahkan memperhatikan sekuntum bunga anggrek yang waktu itu dinamakan bunga bulan ungu.

"Datanglah ke sana. Temui Ki Lurah. Ia dalam bahaya."

Baru kali ini Suro Bodong berpaling memandang Jenar, namun tubuhnya masih tetap membungkuk mendekati bunga, dan tangannya masih sesekali memetik-metik biji jagung bakar, lalu melemparkan ke mulurnya.

"Ki Lurah dalam bahaya?"

"Benar, Kang. Apakah kau tadi tidak melihat seorang kakek yang mengenakan jubah ungu tua?"

"Kalau pun melihat, mungkin aku akan pura-pura tidak melihat. Hemm... ada apa dengan kakek itu?"

"Dia minta Ki Lurah Pucung bertanggung jawab atas kematian Tembong dan Gagak."

"Apa dia kakek mereka?"

"Dia guru Tembong dan Gagak, Kang. Lihatlah sendiri ke sana, Ki Lurah sedang terdesak oleh tuntutan itu."

"Ah, biar saja...!" jawab Suro seenaknya. "Yang penting bukan aku yang menuntut Ki Lurah."

Jenar menggumam dalam gerutu. Ia bersungut-sungut. Dan suara orang bergemuruh di halaman depan. Semua orang bagai berkumpul menjadi satu pandangan, yaitu tertuju pada serambi depan yang menjadi ruang tamu rumah Ki Lurah itu. Suro Bodong sempat tertarik sebentar, karena waktu itu Jenar pun segera pergi ke halaman depan. Namun Suro tidak mau bergerak Ia hanya diam, berdiri di tempatnya sambil sesekali melemparkan biji jagung bakar yang dipetik-petik dengan jempol tangan kanannya.

'Tolonglah ayahku...!"

Tiba-tiba suara itu terlontar dari sudut rumah, tepatnya dari arah belakang. Dari sana seorang perempuan berkulit sawo matang berlari-lari menghampiri Suro Bodong. Dia adalah Sundari, anak Ki Lurah yang bermata bulat indah. Usianya masih terbilang muda untuk seorang janda, namun hal itu justru membuat Suro Bodong suka memperhatikannya.

"Ayahku dalam ancaman, Kang. Tolonglah dia...!" Sundari sangat cemas. Ia hanya mengenakan pinjung, kain sebatas dada dengan kebaya tipis tanpa kancing. Waktu itu, Suro Bodong tetap tenang. Masih saja mengunyah jagung bakar dengan sesekali garuk-garuk kumis.

'Tolonglah ayahku, Kang Suro...! Tolonglah...! Ia bisa mati kalau Si Jubah Ungu benar-benar marah."

"Aku juga bisa mati. Dan semua orang bisa mati...! Cuma caranya yang beda-beda. Kenapa kamu ribut soal itu?"

Sundari hampir menangis. Ia sangat kebingungan. Sedih dan jengkel akibat sikap Suro Bodong yang acuh tak acuh itu. Ia bergerak ke depan dengan berlari, namun belum sampai di tujuan, ia telah kembali dengan kecemasan yang semakin meningkat.

"Dengar...! Dengar Si Jubah Ungu membentak-bentak ayahku. Apakah kau tidak mendengarnya?!" geram Sundari kepada Suro Bodong yang masih kalem saja.

"Aku mendengarnya, seandainya aku tidak tuli. Tapi... untuk sementara ini, anggap saja aku tuli dan tidak mendengarnya," jawab Suro Bodong masih seenak perutnya.

"Aku... oh, aku takut sekali..." Sundari bagai bicara pada diri sendiri. Ia tak berani mendekat. Ia menggigit jarinya menahan rasa takut yang sangat mencemaskan. Suro Bodong sengaja membiarkan ketakutan itu, sebab wajah Sundari enak dipandang dalam keadaan ketakutan begitu.

"Kenapa hanya memandangiku?!" bentak Sundari. "Apakah tak ada yang dapat kau kerjakan untuk menolong ayahmu selain memandangiku!!"

"Sementara ini belum ada," kata Suro. "Memandangimu lebih mudah daripada menolong ayahmu, Sundari."

'Tapi... oh, tapi tolonglah dia dulu. Kumohon tolonglah dia agar tak menjadi sasaran kemarahan Jubah Ungu, setelah itu... kau boleh memandangiku dengan sepuas hatimu. Tolonglah dia dulu, Kang Suro..."

Suro Bodong tersenyum. "Upah yang paling kusukai itu.." ucapnya seraya bergegas ke halaman depan. Langkah kakinya tidak seperti pendekar, melainkan seperti orang yang sedang jalan-jalan santai. Menjengkelkan sekali.

Orang-orang berkerumun di depan serambi, dekat dengan tangga yang terdiri dari lima baris. Mereka membentuk kelompok yang berada di sebelah kiri dan kanan, sedangkan bagian tengah dibiarkan terbuka. Kosong tanpa orang. Seakan mereka memberi kesempatan kalau-kalau sampai terjadi keributan yang membuat Ki Lurah dilempar keluar. Jalanan tengah yang kosong itu menuju lurus ke pintu pagar. Dan pada saat itu, hanya Suro Bodong yang berdiri di jalanan itu. Sendiri. Menonjol jelas. Ada beberapa mata yang memperhatikan Suro Bodong, namun ada juga yang belum menyadari posisi Suro Bodong di situ.

Lelaki tua berambut putih, namun tidak panjang itu masih membentak-bentak Ki Lurah yang amat ketakutan. Lelaki yang mengenakan Jubah Ungu itu juga belum menyadari tampilnya Suro Bodong yang bagai menghadang jalan keluar. Sedangkan Suro Bodong masih kelihatan kalem. Ia memetik-metik biji jagung bakar, lalu melahapnya dengan sikap tenang.

Terdengar suara Si Jubah Ungu membentak Ki Lurah dengan suaranya yang masih lantang:

"Kematian muridku adalah tanggung jawabmu! Karena kau yang datang kepadaku, menyewa padaku, dan kau pula yang harus menebus kematian kedua muridku, Tahu?!"

'Tetapi..." Ki Lurah gemetaran, demikian juga Nyai Lurah yang berpegangan erat lengan suaminya. 'Soal kematian Tembong dan Gagak, adalah kecelakaan! Ia dibunuh oleh...!"

"Aku tahu!" sahut Jubah Ungu dengan bentakan. "Tapi kau menyewanya bukan untuk dibunuh, kan? Kau menyewanya hanya untuk melindungi, melindungi keluargamu ini, kan? Aku tidak pernah mengizinkan kau menyewanya untuk mati! Dan sekarang kalau mereka mati, aku akan menuntutmu! Harga nyawanya, seratus kali lipat dari harga sewa yang kau bayarkan itu!"

'Itu terlalu mahal, Eyang guru..." jawab Ki Lurah. "Aku tidak mempunyai uang sebanyak itu...!"

"Kalau begitu, tebus dengan cara lain!" seru seorang lelaki yang mengenakan rompi warna biru di samping Jubah Ungu. Pada saat itu, Jenar mendekati Suro Bodong dan berbisik

"Cepatlah bertindak! Tapi hati-hati,.kedua orang yang mengenakan baju pendek biru dan kuning itu juga murid Si Jubah Ungu. Mereka adalah orang sewaan Raden Bargawa. Rupanya ada ikatan kerja sama antara jago-jago sewaan di sini dengan jago-jago sewaan di rumah Raden Bargawa..."

"Kalau kau mau selamat, menyingkirlah," geram Suro Bodong yang tidak suka jika didikte oleh orang seperti Jenar. Tanpa berpikir panjang, Jenar pun segera pergi, dan Suro Bodong menyimak kembali tuntutan Jubah Ungu itu.

"Eyang guru..." tutur Lurah Pucung. "Eyang tahu sendiri, bahwa masa panen tahun ini mengalami kemerosotan. Jadi, dari mana kami dapat menebus tuntutan itu? Dan... cara lain apa yang dimaksudkan tadi?!"

"Kau masih punya anak gadis bukan?!" kata yang mengenakan rompi kuning. "Meskipun dia sudah bukan gadis lagi, tapi mungkin dia bisa mengurangi beban tanggung jawabmu atas kematian saudara-saudara kami...!"

"Benar! Itulah cara lain yang bisa kau lakukan!" kata Jubah Ungu.

Tiba-tjba Suro Bodong menyahut dengan suara keras bernada canda:

"Wah... kalau cuma ingin mengincar perempuan, kawin saja dengan Nyi Kembang Laras...!!"

Suara itu bukan hanya mengagetkan Jubah ungu dan kedua muridnya, namun semua orang yang ada di situ jadi memandang Suro Bodong secara serempak. Guman dan kasak-kusuk kembali terdengar. Suro Bodong masih tenang memetik-metik jagung bakar, dan ia pun tetap berkata lantang :

“Itu namanya pemerasan! Rupanya ada pihak yang ingin memanfaatkan keadaan ini untuk memeras orang yang sudah menderita! Hahh...lucu sekali permainan ini, ya?" Suro bertanya kepada orang-orang, namun mereka menjawab dalam gumam yang ngambang, karena takut terlibat.

Jubah Ungu menggeram. Tongkatnya dihentakkan ke lantai, lalu kedua muridnya yang mempunyai tinggi badan sama itu maju ke depan, menuruni tangga satu baris. Mereka berdiri di kanan kiri jalan, seakan mendampingi langkah Jubah Ungu yang kemudian turun ke anak tangga kedua dari atas.

Mata Jubah Ungu yang sudah sedikit berkeriput namun beralis putih itu memandang tajam ke arah Suro Bodong. Dan pada saat itu,Suro Bodong merasa tidak sedang di pandang. Ia tetap tenang. Berdiri santai, tidak tegap. Baju merah potongan jubah yang tidak dikancingkan itu dibiarkan meriap-riap diterpa angin yang kebetulan berhembus. Rambut panjang tak teratur yang diikat kain merah darah itu juga dibiarkan meriap beberapa helai ke wajahnya. Ia tetap menikmati jagung bakarnya dengan tenang.

"Siapa dia...?!" tanya Jubah Ungu kepada mereka yang berkerumun di samping kanan rumah. Tapi dari mereka tak ada yang berani memberi jawaban.

"Hei, siapa kamu? Apa urusanmu ikut menimpali pembicaraan kami?!" gertak Jubah Ungu dengan mata menyipit.

"Yang jelas, aku bukan seorang pemeras!" Suro Bodong bicara agak tak jelas, karena sambil mengunyah jagung.

"Srengono...! Sonto...! Beri dia pelajaran agar pandai menjaga mulut!" perintah Jubah Ungu. Lalu kedua muridnya yang berdada besar, dan kekar Itu, berjalan seirama mendekati Suro Bodong. Mereka bagai mengepung dari dua arah; kiri dan kanan. Tatapi Suro Bodong tidak merubah sikapnya yang acuh-acuh saja terhadap bahaya seperti itu. Ia tetap memetik-metik jagung bakar dengan tenang. Sesekali menggaruk kumis dengan jari telunjuknya, sesekali melemparkan biji jagung ke mulutnya. Orang-orang yang menyaksikan hal itu sudah menyimpan kecemasan di dalam hati. Bahkan Jenar sempat berbisik kepada salah seorang yang dikenalnya:

"Ah, Kang Suro itu orangnya suka menyepelekan lawan! Kenapa dia tidak mau segera bersiap menghadapi serangan Srenggono dan Sonto...?! Uuh... payah dia!"

"Hei, Setan Buruk..." sapa Sonto kepada Suro Bodong. "Sebaiknya kau minta maaf kepada guruku, supaya aku tidak jadi diperintahkan menghajarmu! Ayo, lekas...minta maaf!"

Suro Bodong memetik-metik biji jagung bakar. Ia tersenyum sinis dan berkata, "Seharusnya gurumu dulu meminta maaf kepada Ki Lurah atas pemerasannya. Tetapi kalau memang punya bakat memeras susu sapi, yah... kurasa memang dia tak perlu minta maaf kepada Ki Lurah."

"Lancang sekali mulutmu. Terimalah hukuman ini, hiat...!"

Srenggono yang berompi kuning segera menyerang Suro Bodong dengan sebuah pukulan tangan kiri. Suro Bodong menghindar ke belakang. Pukulan tak sampai pada sasaran. Srenggono hendak memukul dengan tangan kanannya, tetapi kaki kanan Suro Bodong mengibas ke depan dan mengenai rusuk Srenggono. Pada saat itu, kaki tersebut segera belok ke kanan. Tumit Suro Bodong menghantam pinggul Sonto yang hendak menendang Suro dengan kaki kiri. Keduanya mengaduh karena merasakan linu pada tulang-tulangnya.

Kesempatan itu digunakan Suro Bodong untuk memakan biji jagung yang sudah di tangan. Ia mengunyahnya dengan santai sekali, sehingga banyak orang yang kagum kepada sikap dan keberaniannya. Bahkan pada saat Srenggono mencabut senjatanya, berupa rantai berujung mata tombak, Suro Bodong tidak menampakkan kesiapsiagaannya. Rantai itu melecut ke arah kepala Suro Bodong.

"Ziiing...!"

Kepala Suro Bodong merunduk. Tangannya masih sempat memetik-metikbiji jagung bakar. Orang-orang sangat heran dan gemas sendiri.

"Hiaaaat...!!" Sonto menerjang ke arah punggung Suro Bodong yang merunduk dengan sebuah tendangan melayang. Tetapi Suro Bodong sibuk berkelit menghindari putaran balik dari ujung rantai Srenggono itu. Hampir saja ia terkena tendangan Sonto ketika ia menegakkan badan dan tahu-tahu kaki Sonto sudah berada di depan hidungnya. Dengan cepat Suro menangkis kaki itu memakai lengan kirinya. Ia membuang arah tendangan tersebut, namun tangan kanannya yang telah memegangi biji-biji jagung itu segera ditebarkan ke arah wajah Sonto.

"Makan jagung ini, heeaah...!!" seru Suro Bodong.

"Aaahk...!!" Sonto menjerit kesakitan. Rupanya biji jagung itu bukan sembarang jagung, melainkan mempunyai kekuatan tenaga dalam yang mampu berubah menjadi biji-biji besi yang tajam. Salah satu mata Sonto terkena sebiji jagung dan berdarah. Sonto menjerit-jerit seraya menutupi bagian mata yang terluka dan berdarah itu.

Srenggono terbengong, Suro Bodong tertawa. Katanya:

"Itu baru biji jagung, bukan bijiku sendiri. Maksudku biji kekuatan intiku..." Ia menetralisir anggapan orang yang menertawakan kata­katanya.

"Keparat kau...!!" geram Srenggono, kemudian ia melayang seraya memutar-mutarkan rantai berujung tombak tajam, kendati gagang tombaknya tak kurang dari sejengkal. Hal itu sempat membuat Suro Bodong menggeragap. Dan kaki Srenggono menjejak lengan Suro Bodong dengan keras. Akibatnya Suro Bodong tersungkur jatuh tepat di kaki Sonto yang kesakitan itu. Maka ke kesempatan itu digunakan Sonto untuk menginjak batang leher Suro Bodong.

"Ngeeekk...!!" Batang leher Suro Bodong ditekannya kuat.

"Tahan begitu, Sonto...!!" teriak Srenggono yang segera hendak mencambukkan rantainya. Diperkirakan, ujung rantai itu akan menembus perut Suro Bodong tanpa ampun lagi. Tetapi, Suro Bodong justru menghentakkan kakinya pada saat rantai Srenggono melecutnya. Hentakan itu membuat kedua kakinya melayang dan pinggangnya menekuk ke belakang. Ujung rantai menancap di tanah, tempat perut Suro Bodong berada tadi. Tapi kaki Suro Bodong telah berhasil menendang pinggang Sonto dengan kuat dan keras. Sonto terlempar beberapa meter karenanya. Sementara tangan kirinya masih memegangi biji mata yang terluka parah itu. Tubuh Suro Bodong tidak langsung menekuk ke belakang dan berguling, melainkan justru ia menggunakan punggungnya untuk menghentakkan badan. Tubuhnya seperti udang yang melecit dari sela bebatuan. Tahu-tahu ia dapat berdiri tegap. Namun diluar kesadaran ia telah melangkahi rantai Srenggono yang ujungnya menancap pada tanah. Jelas kalau Srenggono menarik rantainya dalam satu hentakan, maka ujung rantai itu akan melesat ke atas dalam kemiringan tertentu. Dan hal itu pasti akan membuat pantat Suro Bodong ditembus mata tombak itu.

Perkiraan Suro Bodong sungguh tepat. Rantai dihentakkan dalam satu tehnik tarikan khusus. Maka tanpa berpikir panjang lagi, Tubuh Suro Bodong melayang dan bersalto ke belakang sebanyak lima kali.

"Heaaaat...!!" teriakan itu begitu keras dan membuat mata yang memandangnya menjadi kalang kabut. Sebab pada saat putaran salto yang ketiga, rantai Srenggono menyusul gerakannya, sehingga apabila Suro tidak menambah gerakan salto ketika itu, maka begitu ia menapak ke tanah, dadanya akan dihunjam ujung tombak yang terkait di rantai Srenggono. Walaupun Suro Bodong sendiri merasa menyesal, mengapa ia bersalto sampai lima kali. Sebab dengan cara itu, maka ia telah menggunakan jurus saktinya yang bernama Luing Ayan-5. Artinya bersalto lima kali tanpa menyentuh tanah. Dan hal itu mengakibatkan sosok tubuh Suro Bodong berubah bentuk. Ketika kakinya mendarat ke tanah dengan sempurna, maka gumam semua orang bagai irama gaung bernada kagum dan heran. Mereka terkejut semua, termasuk Ki Lurah.

Suro Bodong berubah ujud menjadi seorang kakek berambut putih, alis dan jenggot serta kumisnya juga berwarna seputih serat-serat sutera. Tubuhnya sedikit bungkuk. Matanya sipit karena kerut ketuaannya. Ia mengenakan jubah hijau, sedang baju dalam serta celananya berwarna putih kusam. Di tangannya menggenggam sebatang tongkat yang berujung tengkorak kecil. Tengkorak seekor monyet. Tongkat itu digunakan menopang tubuhnya yang sedikit bungkuk. Dan anehnya, ia menjadi murah senyum, memperlihatkan gusi-gusi tanpa gigi.

Srenggono berhenti menyerang. Matanya memandang takjub, demikian pula dengan Jubah Ungu dan yang lainnya. Mata mereka seakan tak mau berkedip menyaksikan keajaiban yang baru kali ini pernah mereka temukan. Tubuh yang semula sedikit gemuk dengan wajah kasar, mantap, kini telah berubah menjadi seorang kakek usia lebih dari 80-an, dan memiliki mimik wajah yang lucu. Murah senyum lagi.

"Kenapa kalian memandangku seperti itu? Apa kalian belum pernah melihat seorang kakek setua aku?!" katanya kepada semua orang. Sebentar-sebentar ia tersenyum kepada siapa saja yang dipandangnya. Bahkan ia juga tersenyum kepada Jubah Ungu yang terbengong-bengong menatapnya.

"Siapa kau sebenarnya, hah?!" bentak Jubah Ungu setelah terhindar dari cekaman kagumnya. "Namaku...: Rekso Upo...! Kau belum kenal denganku, Jubah Ungu?! He, he, he... tentu saja kau tidak mengenalku, karena kau sibuk memeras orang!"

"Rekso Upo...! Jaga mulutmu kalau ingin nyawamu masih utuh!" bentak Jubah Ungu.

"Maklumilah saja... Orang setua aku mana bisa menjaga mulut. Jangankan menjaga mulut, menjaga gigi saja susah. Lihat, gigiku pada berlarian ke mana-mana sampai tak kumiliki satu pun. Nih, hiii...!" Rekso Upo meringis menampakkan gusinya yang sepi tanpa penghuni. Orang banyak yang tertawa mengikik, antara geli dan rasa takut. Rekso Upo, perubahan ujud Suro Bodong itu, ikut pula tertawa dan menuding orang-orang yang menertawakannya.

Ki Lurah dan Nyai Lurah saling berpandang-pandangan dalam kebingungan, terlebih Jenar yang sejak tadi tak sempat menutup mulutnya. Dan Sundari...? Sundari tidak melihat hal itu, sebab ia bersembunyi di belakang rumah, di suatu tempat yang menurutnya aman.

"Rekso Upo...! Silakan pergi, aku tidak punya urusan denganmu!" gertak Jubah Ungu.

"He, he, he...pergi ke mana? Aku sendiri bingung sekarang aku ada di mana?"

"Dari mana asalmu sebenarnya, hah?!" hardik Srenggono.

"Asalku...?! Asalku dari... dari..." Rekso Upo berpikir, dahinya semakin berkerut, menyipitkan mata kian kecil. Dengan suara tuanya ia berkata lagi, "Dari mana enaknya, ya?"

"Jangan main-main dengan kami, Tua Bangka...!!" bentak Srenggono dengan kegeramannya. Tapi hal itu justru ditertawakan oleh Rekso Upo.

"Kenapa harus membentak-bentak, Anak Muda...? Aku benar-benar tidak tahu, dari mana aku. Bahkan aku tidak tahu kalau namaku Rekso Upo..."

"Nah, itu kau telah menyebutkannya! Menyebutkan namamu sendiri, kan?"

Rekso Upo heran. "O, ya...? Apakah aku sudah menyebutkan namaku?"

"Kau bilang tadi namamu Rekso Upo...?!"

"Ooo..." Rekso Upo manggut-manggut. "Sudah kusebutkan, ya? Kok aku tidak merasa...?" Ia terheran-heran sendiri. Kemudian Jubah Ungu memerintahkan Srenggono untuk membawa pergi kakek tua itu.

"Srenggono, seret dia...! Aku tidak butuh orang linglung ini...!"

Srenggono maju selangkah, tetapi Rekso Upo mundur dan mencegah. "Jangan...! Aku tidak mau digendong siapa pun!"

"Siapa yang mau menggendong kamu, Pikun?!" bentak Srenggono. Lalu dia melangkah lagi, dan Rekso Upo mundur kembali 'Tidak...! Aku tidak mau dipikul...!"

"Tidak ada yang mau memikul kamu, Se­tan...!" .

"Naaah...kalau ketan aku doyan...!" katanya yang semakin membuat Srenggono dan Jubah Ungu dongkol

"Srenggono, jangan banyak omong; seret saja dia!" perintah Jubah Ungu. Lalu, Srenggono segera maju, mencengkeram jubah hijau Rekso Upo dan menyeretnya keluar halaman rumah Ki Lurah Pucung.

Tetapi, Rekso Upo bertahan, tidak mau diseret keluar. "Jangan kasar-kasar sama orang tua. He, he... bajuku nanti robek, Tolol...!"

Rekso Upo tetap diseret paksa. Kemudian dengan cepat dia menyodokkan ujung tongkatnya yang berkepala tengkorak monyet kecil. Benda tersebut menghantam rusuk Srenggono dan membuat Srenggono menjerit kesakitan. Bahkan ia sempat terpental menabrak salah satu pohon, walau sebenarnya sodokan Rekso Upo itu bagai tak bertenaga sama sekali.

"O, oh... maafkanaku, Nak...!" katanya kepada Srenggono. "Maklum, namanya saja orang tua, kalau bergerak suka sembrono...!"

Tangan kanan Srenggono melayang cepat hendak menampar Rekso Upo. Tapi tongkat itu bergerak naik dengan cepat, sehingga tangan Srenggono menyangkut pada tongkat tersebut. Kemudian tongkat itu membalik, ujung yang tadinya menapak pada tanah menjadi terarah pada dada Srenggono, kemudian sengaja disodokkan dengan gerakan tak bertenaga. Tetapi justru hal itu membuat Srenggono mendelik dengan tubuh melengkung ke belakang dan kepala menjorok ke depan. Kedua tangan Srenggono mengembang ke kanan kiri dengan siku sedikit tertekuk. Mulutnya melongo, dan repotnya lagi, tubuh itu tiba-tiba kaku. Menjadi seperti patung yang masih bernafas. Rupanya Rekso Upo berhasil menotok peredaran darahnya, mengenai salah satu urat yang ada di samping ulu hati, lalu membuat tubuh Srenggono kaku seperti itu.

"He, he, he... kalau begini kau malah seperti gorila!" kata Rekso Upo. "Kau seperti tengkorak di tongkatku ini. Eh, kau percaya apa tidak, ini tengkorak gorila raksasa sebenarnya. Tapi karena sering terkena udara lembab jadi mengecil begini..."

"Bangsat...!!" teriak Jubah Ungu dengan kemarahannya. Ia melangkah, Rekso Upo berpaling dan bertanya:

'Siapa yang berangkat? Aku? Ah, aku belum mau berangkat ke mana-mana kok.."

"Kau telah membuat muridku seperti itu, Iblis!" bentak Jubah Ungu.

Rekso Upo menanggapinya dengan senyum dan tawa. "Eeh...Jubah Ungu, kita ini sudah sama-sama tua. Jangan suka bicara soal perempuan mulus..."

'Tuli! Aku tidak bicara soal perempuan mulus! Kukatakan padamu, bahwa kau Iblis! Bukan perempuan mulus!" teriak Jubah Ungu dengan jengkel sekail

"Ooo...kamu mengatakan aku iblis? Wah, aku tidak keberatan, sebab yang mengatakannya anak kuntilanak, kan? He, he, he...!"

"Rekso Upo, kalau mendengar omonganmu, bisa panas hatiku. Sekarang sebaiknya terimalah jurus perkenalanku ini, hiaat..."

Jubah Ungu mengibaskan tongkatnya yang berujung mata pancing bercabang empat. Batang tongkat yang melesat menebas kepala Rekso Upo ditangkis dengan tongkat juga.

Trak...!"

Jubah Ungu segera menyodokkan tongkatnya ke arah wajah Rekso Upo.

"Wesss...!"

Rekso Upo memiringkan kepala ke kiri untuk menghindari sodokan tongkat berujung empat mata kail yang berukuran besar, seperti clurit kecil.

"Eh, untung tidak kena. Wah... kalau main-main dengan tongkat jangan main sodok begini, Jubah Ungu..." kata Rekso Upo sambil menghindari tendangan kaki kiri Jubah Ungu yang hendak menendang kepala Rekso Upo.

Pada saat Rekso Upo menghindari tendangan kaki kiri lawannya, tongkatnya digerakkan ke samping, seakan hendak menyodok perut lawan. Tapi seketika itu tongkat segera kembali dengan ujung bagian bawahnya miring ke arah pinggang lawan. Kakinya maju ke depan sehingga ia nyaris terkena pukulan telak dari Jubah Ungu. Namun sebelum Jubah Ungu sempat menghantam wajah Rekso Upo, ujung tongkat itu menusuk pinggang Jubah Ungu. Gerakannya pendek, namun mempunyai hentakan tenaga dalam yang murni sehingga tubuh Jubah Ungu terpelanting ke samping.

Keadaan Jubah Ungu yang limbung itu dimanfaatkan oleh kaki kanan Rekso Upo yang menendang ke belakang. Telapak kaki Rekso Upo tepat mengenai pangkal leher sehingga Jubah Ungu mendelik dan mengalami kesukaran bernapas. Tubuhnya semakin terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah. Sedangkan Rekso Upo diam, berdiri bertopang tongkat dan menertawakan keadaan Jubah Ungu.

"He, he... belum minum tuak sudah mabok sempoyongan begitu, kau! Uuh... puayaaah...!. He, he,he...!"

Jubah Ungu segera menggerakkan tongkatnya ke arah samping dengan satu kaki menekuk ke kaki lainnya. Kemudian tongkat itu diangkat melintang di depan matanya dengan

dipegang kedua tangan. Tubuhnya merendah, kakinya melebar, lalu dengan cepat ia hentakkan ujung tongkat bersenjata mata kail itu ke depan.

"Hiaaat...!!"

Dan dari sela-sela keempat mata kail itu keluarlah asap biru, seolah melesat dari tengah ujung tongkat. Asap biru kehitam-hitaman itu menyembur ke arah wajah Rekso Upo. Hebatnya, asap itu tidak mengepul ke mana­mana, melainkan membentuk satu gumpalan seperti bunga mawar besar yang melesat tertuju pada wajah Rekso Upo.

"Aha... racun ganas ini, ya...?!" Rekso Upo masih bisa menganggap remeh serangan tersebut. Dan ia segera menggerakkan tongkatnya, berputar cepat di antara jemarinya bagai baling-baling raksasa. Putaran itu menimbulkan arus angin yang kian lama kian menjadi besar, dan menyerupai topan. Akibatnya asap biru kehitam-hitaman itu melayang ke atas bagai tertiup angin kencang dan menghilang di ketinggian awan. Sisa anginnya masih sempat membuat daun-daun bergerak tak teratur, barang-barang ringan terbang terbawa hembusan angin aneh itu. Bahkan beberapa orang ada yang takut terbawa terbang angin hingga harus saling berpegangan. Namun, hal itu segera menjadi reda setelah Rekso Upo menghentikan gerakan tongkatnya.

Begitu tongkat berhenti, ia melemparkannya bagai melempar sebuah tongkat ke arah Jubah Ungu. Jubah Ungu menangkis tongkat tersebut, namun tongkat itu tidak mau berhenti menyerang. Akhirnya, dalam satu kelengahan tongkat Rekso Upo menancap di dada Jubah Ungu, tepat di jantungnya. Tembus! Jubah Ungu menggeliat, mendelik, dan rubuh kehilangan nafas. Hampir semua orang menggumam kagum dalam kengerian.

***

5
 Peristiwa itu membuat gempar di seluruh pelosok desa. Nama Suro Bodong dan Rekso Upo selalu berkaitan dan disebut-sebutkan oleh setiap mulut. Suro Bodong sendiri sampai merasa tak enak karena dipandang kagum oleh setiap orang yang berpapasan dengannya

"Aku ingin pergi dari desa ini," kata Suro Bo-dong yang sejak peristiwa pertarungan dengan Jubah Ungu, ia sudah berubah kembali ke ujud asalnya dengan bersalto di udara satu kali.

Ki Lurah keberatan jika Suro Bodong harus pergi. Terutama Sundari yang menjanda itu.

"Kenapa Kang Suro harus pergi? Apakah pelayanan kami di sini tidak memuaskan Kang Suro?" tanya Sundari pada suatu malam. Suro Bodong menggeleng. Ia sibuk mengunyah jagung bakarnya.

"Bukan soal pelayanan," katanya. "Tapi justru sikap dan anggapan masyarakat desa Manggar ini terlalu berlebihan kepadaku, terlalu mengagungkan diri, aku jadi serba salah jadinya."

Suro Bodong, sejak peristiwa pertarungan dengan Jubah Ungu yang kondang sebagai tokoh sakti di dunia persilatan, selalu menjadi sanjungan setiap warga desa. Tiga malam Suro berada di desa Manggar, dan selama itu ia berhasil menggagalkan aksi kekejaman Nyi Kembang Laras. Secara tidak disuruh oleh siapa pun, Suro Bodong selalu keliling desa bila malam tiba. Justru ia bisa tidur jika siang hari. Dan dua malam yang lalu, ia telah berhasil menggagalkan aksi kekejaman Nyi Kembang dengan mencoba melawannya.

Sayang, Nyi Kembang Laras selalu saja melarikan diri dengan cepat. Seakan ia tahu bahwa lawannya kali ini bukan orang sembarangan. Nyi Kembang selalu pergi dengan meninggalkan ancaman:

"Ada saatnya sendiri untuk kamu, Jahanam...!"

Hanya itu yang didengar Suro Bodong. Selebihnya Nyi Kembang tidak pernah melontarkan kata apapun. Jika kepergok Suro Bodong, ia cepat menghindar sekalipun menyerang sejenak kemudian lari.

Suro Bodong sendiri tidak tahu, mengapa Nyi Kembang tak mau melayani pertarungan dengannya? Padahal menurut banyak cerita, setiap orang yang hendak menghalangi niat Nyi Kembang selalu saja menjadi korban yang paling keji. Ini suatu keanehan yang sempat mengganggu pikiran Suro Bodong. Hanya saja ia tak pernah bercerita kepada siapa pun. Bahkan ketika Sundari menanyakannya, Suro Bodong hanya berkata:

'Tanyakanlah kepada Nyi Kembang sendiri. Dia yang takut kepadaku, bukan aku yang takut kepadanya..."

Sundari merasa aman jika Suro Bodong tetap tinggal di rumahnya, sebagai pengganti Tembong dan Gagak yang hanya sekali gebrak langsung tak mau bernapas lagi itu.

'Tapi kalau aku tetap tinggal di sini," kata Suro Bodong kepada Sundari, "Aku takut keluargamu menjadi korban keganasan Nyi Kembang."

"Apakah... apakah hal itu akan terjadi, Kang?" Sundari memandang sayu kepada Suro Bodong.

"Ya. Pasti. Sebab untuk melemahkan keberanianku, untuk mengguncangkan jiwaku, ia akan membunuh keluarga ini. Termasuk juga kau, Sundari."

Sundari kelihatan gelisah. Ia mengusap lengannya yang mulai merinding, la merapatkan duduknya, semakin dekat Suro Bodong. Perasaan takut tergambar lewat gerak mata dan getaran tangannya.

"Apakah kau akan membiarkan Nyi Kembang menyentuhku, Kang?" pancing Sundari dengan satu maksud tertentu.

"Kalau hanya menyentuhmu, kenapa aku harus marah?"

Sundari mendesah. Kurang suka mendengar jawaban itu.

Ki Lurah sendiri sempat mengajukan tawaran khusus ketika mendengar Suro Bodong ingin meninggalkan desa itu.

"Berapa kami harus membayarmu? Sebutkan saja jumlahnya, kami akan setuju. Sebab Raden Bargawa sendiri sudah menjalin kesepakatan denganku untuk membayarmu sesuai dengan permintaanmu, Suro. Yang penting bagi kami adalah membuat desa Manggar ini menjadi aman seperti sediakala."

Waktu itu, Suro hanya memperlihatkan senyum hambar. Ia garuk-garuk kumis sebentar, lalu sambil memetik-metik jagung bakar kesukaannya, ia menjawab:

"Aku tidak mempunyai harga. Tetapi kekayaan desa ini pun tak akan mampu membeliku, Ki Lurah. Hanya ada satu yang mampu membayarku..."

Ki Lurah dan istrinya memandang Suro Bodong yang berhenti sejenak. Sundari merasa tegang waktu Suro Bodong menghela nafas. Tetapi Suro bagai tidak merasa ditunggu kelanjutannya Ia enak-enakkan makan jagung bakar dengan santai.

"Katakan, Suro..."

"Ya, lanjutkan kata-katamu, Kang," Sundari menimpali.

Kemudian Suro pun menjawab, "Carikan aku perempuan"

Ki Lurah dan istrinya tertawa. Sundari tersenyum malu. Kemudian Suro melanjutkan lagi:

"Hanya perempuan yang bernama Ratna Prawesti yang mampu membuatku bertahan di desa ini..."

Sekarang, ketiga orang itu saling bungkam, saling pandang sejenak, kemudian saling merenung. Ki Lurah mengulangi kata Ratna Prawesti dengan suara lirih, kemudian juga istrinya. Tetapi Sundari menunjuk. Wajahnya hambar tak mempunyai sinar kecerahan sedikit pun.

"Bagaimana kalau perempuan lain, mungkin yang menjadi kembang di desa Manggar ini?" tawar Ki Lurah setelah terbungkam beberapa lama.

Sundari tak berani mengangkat wajah, karena dia tahu, bahwa kembang desa yang dimaksud ayahnya itu tak lain dari dirinya sendiri. Tetapi apa jawab Suro Bodong?

"Hanya dia yang kucari dalam hidupku. Dan hanya dia yang dapat kujadikan pelabuhan hatiku..."

Wih, puitis sekali Tapi memang begitulah Suro, kadang ia mampu berbahasa baik, tapi jika disuruh mengulang, kebingungan. Ia sering meniru kata manis yang diucapkan orang lain.

Bagi Sundari, kata-kata itu adalah getah yang pahit di telannya. Sebab secara diam-diam, rupanya hati Sundari menaruh simpati kepada Suro Bodong dengan segala kehebatan ilmunya. Sundari sadar, Suro Bodong banyak lebih tua darinya. Sundari juga sadar bahwa wajah Suro Bodong tidak tampan, bahkan terkadang sifatnya pun kaku. Tetapi Sundari juga sadar bahwa Suro Bodong mampu menyelesaikan segala macam perkara dengan gayanya sendiri.

Wajah Suro memang kasar. Tetapi di balik kekasarannya itu, Sundari menemukan suatu kelembutan hati yang jarang di miliki lelaki lain. Dari pembicaraan demi pembicaraan yang dilakukan Sundari dan Suro di sela keheningan malam, atau di ambang keredupan senja, ada sesuatu yang bisa diperoleh Sundari. Sesuatu itu adalah rasa tanggung jawab seorang lelaki, baik kepada keluarga atau pun kepada tugas, sudah dimiliki oleh Suro Bodong. Sundari bisa mengambil kesimpulan tersebut melalui tanya jawab yang ia lakukan dengan penuh penghayatan. Rupanya Sundari bukan perempuan bodoh. Ia mempunyai otak cerdas sehingga Suro Bodong tidak pernah merasa dipantau segala gerak dan sikapnya oleh Sundari. Suro menganggap, Sundari hanya seorang janda yang butuh kesibukan untuk membuang rasa sepi di hatinya.

Ternyata anggapan itu keliru. Jauh keliru, melesat dari dugaan Suro Bodong. Maka, wajarlah kalau Suro Bodong tercengang ketika pada suatu malam, sebelum Suro Bodong keliling desa mengontrol suasana, Sundari sempat berkata:

"Bagaimana kalau aku ikut keliling, Kang?"

"Nanti kamu pusing," jawab Suro Bodong seenaknya seraya mengenakan baju merahnya. Sundari masih berdiri di depan pintu kamar khusus Suro Bodong.

"Aku perlu mendampingimu," desah Sundari."Kenapa? Alasanmu apa?""Aku khawatir kalau Nyi Kembang mampu

memikatmu, dan kau akan pergi ke Hutan Tengkorak dengannya."

Suro Bodong diam saja, seakan tidak mendengar. Namun sebenarnya ia tahu, Sundari mulai menaruh kecemburuan pada dirinya. Dan ini membuat Suro gelisah.

"Dia cantik, Kang..." ujar Sundari pelan.

"Memang. Tapi... aku tak akan terpikat oleh kecantikan manusia berhati iblis. Aku masih waras." bisik Suro.

'Tapi dia punya cara sendiri seperti yang dituturkan Jenar sewaktu ia menguasai Jupro, Kang. Kalau kau terkena sinar kuning yang keluar dari matanya, tentu kau tak akan bisa menyadari keadaan dirimu. Kau akan terbius dan akhirnya kau akan mau diajak ke Hutan Tenkorak Lalu... lalu kau akan menjadi raja baginya di sana."

Suro Bodong keluar dari kamar. "Ah, jangan berpikiran seperti itu, nanti aku jadi ngiler...!" ka­tanya seraya pergi ke serambi depan. Tetapi pada saat itu Sundari masih ikut juga seraya berjalan agak cepat untuk sejajar dengan Suro Bodong.

Ketika sampai di halaman depan, dan Sundari masih ikut, Suro Bodong berhenti melangkah, lalu berkata:

"Aku mau perang, Sundari. Bukan mau nonton wayang!"

"Aku mau ikut perang, Kang!"

"Uuh...! Gombal!" geram Suro Bodong yang merasa sia-sia melarang dengan kata apa pun. Akhirnya Suro Bodong membiarkan Sundari ikut serta keliling desa.

Malam itu, bulan nongol di balik awan. Tidak sepenuhnya menyoroti bumi, namun sudah cukup membuat alam gelap menjadi remang. Rumput di tanah terlihat, dan raut-raut wajah yang sempat berpapasan dengan Suro juga bisa dikenali, kendati tidak mengenali namanya.

Perjalanan malam, seperti perjalanan sepasang muda-mudi yang sedang dirundung cinta. Malam itu tak ada ketegangan, tak ada kengerian, dan tak ada teror yang selama ini selalu mencekam penduduk desa. Malam itu begitu mulus, bahkan Suro Bodong hampir saja terbius dalam amukan birahi saat Sundari merebah dalam dadanya, dan minta dipeluk oleh Suro Bodong.

Kalau saja Suro tidak selalu ingat Ratna Prawesti, mungkin ia telah hanyut dalam buaian birahi yang menyalak-nyalak. Kalau saja Suro tidak menjaga debaran jantungnya, mungkin ia telah merenggut suatu kebahagiaan yang hangat bersama Sundari di sela rimbun semak ilalang.

Hanya saja, pada malam berikutnya, Suro Bodong tidak mau diganggu oleh gelitik birahi seperti kemarin malam. Sebab itu ia keluar dari rumah tanpa setahu Sundari. Dan ia dapat merasakan betapa pentingnya pergi malam tanpa Sundari, karena ia dapat memusatkan pikiran dan mempertinggi kewaspadaan.

Nyatanya, pada malam ini, Suro Bodong sem­pat melihat sekelebat bayangan putih menyusup melalui rimbunan semak di belakang rumah Raden Bargawa. Dulu, tepatnya setelah ia berhasil membunuh Si Jubah Ungu, ia pernah bertandang ke rumah Raden Bargawa. Orang keturunan Tumenggung itu sempat membujuk Suro untuk menjadi orang bayarannya. Tetapi, waktu itu Suro hanya menjawab:

"Bukan maksudku menolak tawaranmu, melainkan aku tidak ingin terikat oleh suatu perjanjian dengan siapa pun. Tetapi, percayalah... aku akan sering-sering memeriksa sekitar rumah ini juga untuk menjaga keluargamu. Kau tak perlu khawatir tentang hal itu, Raden Bargawa..."

Dan sekarang, ketika terlihat bayangan putih menyusup di antara rimbun semak di sekitar belakang rumah Raden Bargawa, Suro Bodong merasa berkewajiban memeriksanya. Ia mengendap-endap ke arah rimbunan semak itu, lalu diam di suatu tempat yang terlindung. Matanya masih mampu memandang penuh selidik keadaan di sekitar tempat itu, di mana cahaya rembulan menyinari dengan sorot keredupannya.

Tepat di tepi tembok belakang rumah bangsawan itu, Suro Bodong melihat seseorang sedang melompat dengan gerakan yang amat ringan bagaikan kapas terbang. Orang itu mengenakan pakaian putih tipis dan berambut panjang sebatas pinggang. Sorot cahaya bulan menampakkan jelas, bahwa sosok tubuh yang kini sudah berada di atas tembok itu adalah sosok tubuh Nyi Kembang Laras. Suro masih ingat dengan sebentuk mahkota kecil yang menghias di atas kepala.

Secepatnya Suro Bodong bergerak dengan ilmu peringan tubuh yang sama sempurnanya dengan Nyi Kembang. Ketika Nyi Kembang menebarkan sesuatu dari tangannya, membentuk suatu asap tipis yang mampu menyelimuti atap rumah tersebut, saat itulah Suro Bodong tahu-tahu sudah berada di atas tembok juga. Jaraknya antara 25 meter kurang dari Nyi Kembang. Dan Suro sengaja menegurnya lebih dulu untuk menurunkan mental Nyi Kembang:

"Apa yang kau lakukan, Nyi Kembang?!"

Dugaan Suro benar. Perhitungannya tepat. Nyi Kembang terperanjat melihat Suro Bodong berdiri tegak dan siap menghadapinya. Dalam menghadapi sesuatu yang tak disangka itu, Nyi Kembang segera melompat ke atas genting. Tetapi Suro Bodong tidak mau tinggal diam. Ia juga ikut melompat ke arah genting rumah mewah itu. Suro yakin, asap yang ditebarkan tadi adalah semacam ilmu pembius agar seluruh penghuni rumah itu tertidur lelap tanpa tergugah oleh suara apa pun. Sebab itu, Suro Bodong berniat bicara agak keras kepada Nyi Kembang yang bagai masuk dalam jebakan.

"Malam ini adalah malam penghabisan bagi kamu, Perempuan mesum...!" Suro Bodong melangkah, tidak menimbulkan suara kendati menapak di genting kodok. "Malam ini kau tidak bisa lolos lagi, tahu?!"

Nyi Kembang yang cantik berkulit bagai seputih susu, dan selembut busa salju, tidak membalas kata-kata itu. Ia hanya melangkah pelan ke arah samping, seakan mencari posisi yang tepat untuk memukul Suro Bodong.

"Kalau orang lain tak mampu menghentikan kekejianmu, akulah orang yang akan mampu menghentikannya, Nyi Kembang!"

Nyi Kembang memandang tajam, lalu menggerakkan kedua tangannya bagai mengembang di atas kepala. Kedua kakinya bergerak turun sedikit. Lalu ia berkata dengan suara pelan:

"Kau terlalu banyak ikut campur, Suro Bodong...!"

Suro menggaruk kumisnya sambil memandang tanpa berkedip. Tiba-tiba ia harus melompat tinggi karena Nyi Kembang menggerakkan kedua tangannya ke depan, dan seberkas sinar sebesar jarum melesat dari tiap ujung jarinya. Sinar itu berwarna hijau, seperti urat-urat berserakan.

"Ini yang harus kau terima, Jahanam...!" geram Nyi Kembang sambil semakin menggerakkan tangannya ke atas. Lalu sinar hijau yang keluar dari tiap ujung jarinya itu melesat berkelok-kelok hendak menghantam Suro Bodong. Suro segera bersalto satu kali. Apabila ia bersalto satu kali, maka tubuhnya tidak akan mengalami perubahan, sebab bersalto satu kali sama saja merubah ujudnya menjadi Suro Bodong. Jurus Luing Ayan-1, memang berguna untuk mengembalikan dirinya menjadi Suro Bodong. Dengan begini, maka kali ini Suro Bodong pun tetap menjadi Suro Bodong yang tak mengenal rasa takut sedikitpun.

Melesatnya sinar hijau yang tidak mengenai tubuh Suro Bodong itu sempat menghantam pohon kelapa di seberang jalan. Pohon kelapa dan beberapa pohon di sekitarnya menjadi retak, sebagian ada yang pecah, rusak bagai terkena dentuman bom, walaupun semua itu terjadi tanpa suara dan dentuman apa pun.

Nyi Kembang bermaksud melarikan diri saat Suro Bodong terperangah menyaksikan kehancuran pohon kelapa itu. Namun dengan cepat Suro Bodong melompat dan berlari ke arah

lain dan menghadang Nyi Kembang dengan siap melancarkan serangan dari arah depan.

Nyi Kembang bagai terperangkap. Di depannya sudah berdiri Suro Bodong dengan gayanya yang berlagak kalem. Nyi Kembang menyerang, tangannya segera menghantam wajah Suro Bodong, tetapi dengan mudah tangan itu dipegang oleh Suro Bodong. Lalu secepat itu pula kaki Suro Bodong menendang rusuk Nyi Kembang dalam keadaan tangan Suro masih memegangi tangan Nyi Kembang. Tendangan Suro membuat Nyi Kembang tersenyum. Kini tangan kiri Nyi Kembang meraih rambut Suro Bodong dengan kasar, Suro melepaskan pegangan tangannya. Dalam keadaan kepala menunduk yang hendak disodok lutut oleh Nyi Kembang, Suro segera melancarkan pukulan Babi Buta. Pukulan itu sangat cepat dan bertubi-tubi ke segala arah, sehingga Nyi Kembang kewalahan menghadapinya. Akhirnya tubuh perempuan cantik itu terpental dan hampir saja jatuh dari atas atap rumah Raden Bargawa.

Suro Bodong merasa heran. Biasanya lawan yang terkena pukulan Babi Buta akan memuntahkan darah segar dari mulutnya, kemudian ia akan tergeletak lemas tanpa daya. Tapi kali ini agaknya Suro benar-benar mendapat lawan yang sangat tangguh.

Nyi Kembang segera berdiri. Tangannya menyilang di depan wajah, mengeras kaku, lalu bergerak membuka perlahan-lahan. Pada saat itu, ternyata dari ujung jarinya keluarlah kuku-kuku panjang yang rucing dan tajam.

"Kau harus mati dengan ilmu Cakar Besi-ku, Suro...!" geram Nyi Kembang sambil bergerak maju. Tangannya mengibas ke wajah Suro dari atas ke bawah, antara tangan kiri dan tangan kanan mempunyai gerakan yang berbeda. Yang kiri mengibas dari atas ke bawah, yang kanan mengibas dari kanan ke kiri. Dan hal itu dilakukan secara bertubi-tubi sehingga kali ini Suro Bodonglah yang keteter menghadapi serangan Nyi Kembang. Sampai akhirnya kaki Nyi Kembang berhasil menendang dada Suro Bodong dan Suro jatuh terjengkang.

Nyi Kembang ingin memberi pelajaran kepada lawannya. Ia langsung menerjang, bagai harimau menerkam mangsa. Tubuhnya meloncat ke bawah dan cakar tangan kirinya mengibas cepat sehingga Suro Bodong sedikit terlambat menghindar. Sabetan tangan kiri Nyi Kembang lewat di depan wajah Suro, dan hal itu membuat salah satu kukunya ada yang berhasil menggores pipi Suro Bodong.

"Aaauww...!" Suro Bodong terpekik seketika. Pipinya luka, darah keluar walau tak seberapa banyak. Tetapi pada saat ia terpekik, kaki kanannya bergerak secara reflek. Kaki itu menendang ke atas dengan keras dan mengenai perut Nyi Kembang. Maka, tubuh perempuan mulus itu pun melayang ke udara bagai kupu­kupu terbang.

Suro Bodong bergegas bangkit. Pada saat itu tubuh Nyi Kembang bersalto di udara untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. Dan Suro Bodong segera menyongsong gerakan tubuh Nyi Kembang yang turun ke bawah dengan sebuah tendangan kaki kanan ke atas lurus. Tendangan itu dilancarkan dengan sangat cepat dan beruntun tujuh kali. Itulah yang dinamakan jurus Tendangan Ayam Kawin. Apabila kaki kanan telah tujuh kali menendang beruntun, maka kaki kiri akan menyusul dengan tendangan serupa. Yang jadi sasaran adalah dada serta perut Nyi Kembang. Tetapi Suro Bodong kembali merasa heran, karena tubuh Nyi Kembang hanya terhuyung-huyung ke belakang tanpa merasakan sakit. Sebaliknya, bahkan Suro Bodong mengalami luka pada betisnya akibat cakar besi yang mengibas pada saat kaki kirinya menendang beruntun tujuh kali.

Nyi Kembang hendak melarikan diri lagi. Tetapi Suro Bodong segera melayang dan berseru, "Kau tak mungkin lolos lagi, Bangsat Cantik...!!"

Nyi Kembang merundukkan kepala seraya mengibaskan cakar besinya ke atas. Hampir saja tubuh Suro yang melesat ke atas kepala Nyi Kembang menjadi sasaran kembali. Untung secepatnya Suro Bodong mengibaskan kaki kiri yang saat itu sedang menekuk ke arah paha kanan Kibasan kaki kiri membuat kepala Nyi Kembang tersentak ke samping dan gerakan cakarnya meleset dari arah paha Suro Bodong. Ketika itu Nyi Kembang berguling, lalu segera melompat turun dari genting rumah Raden Bargawa. Suro Bodong buru-buru menyusul turun untuk menjaga agar lawannya tidak melarikan diri lagi.

Saat itu, Nyi Kembang menyambut kejaran Suro Bodong dengan melemparkan beberapa senjata rahasianya berupa mata tombak yang tajam dan berkilat. Suro Bodong sengaja berguling di tanah. Arahnya semakin dekat dengan kaki Nyi Kembang. Senjata rahasia menancap di tanah beberapa biji. Pada saat itu, kaki Suro Bodong kembali melancarkan jurus Tendangan Ayam Kawin. Sasarannya adalah paha dan perut Nyi Kembang. Cakar Nyi Kembang mengibas lagi hendak merobek kaki Suro Bodong, namun kali ini gerakan jurus tendang itu sengaja tertuju pada lain arah. Tendangan kaki Suro Sepertinya berjalan cepat dari perut terus ke paha. Dan hal itu membuat Nyi Kembang kewalahan, kemudian jatuh terpelanting ke belakang. Suro melompat berdiri dan siap menginjak leher Nyi Kembang.

Tetapi pada saat itu Suro menjadi kelabakan, sebab dari telapak tangan Nyi Kembang keluar sinar biru yang melesat cepat ke arah Suro Bodong. Suro Bodong secepatnya menjatuhkan tubuh, maka sinar biru itu melayang dan menghantam pohon di arah belakang Suro. Sebuah ledakan mengguncangkan bumi. Tanah bergerak. Pohon itu hancur tak tersisa seranting pun. Menjadi serpihan-serpihan yang terpancar ke segala penjuru.

Pada saat Suro Bodong menjatuhkan tubuh untuk menghindari sinar tadi, ia tak sengaja jatuh Ji dekat kaki Nyi Kembang. Tentu saja itu kesempatan baik bagi Nyi Kembang untuk menjejak wajah Suro Bodong dengan keras.

"Aaauuw...!" Suro Bodong menjerit. Hidungnya berdarah, ia segera berguling, dan Nyi Kembang menyerangnya lagi dengan tendangan kaki yang keras. Dagu Suro Bodong menjadi sasaran.

Akibatnya bibir atas pun terluka akibat benturan keras dengan gigi. Suro mengaduh seraya menutup mulut dengan kedua tangan. Secepatnya cakar besi Nyi Kembang bergerak merobek perut Suro Bodong. Tetapi kaki Suro Bodong menendangnya kuat-kuat sehingga tubuh Nyi Kembang justru terpental beberapa langkah jauhnya. Anehnya, tak ada pekik atau pun seman kesakitan sekali pun yang di dengar Suro dari mulut Nyi Kembang. Perempuan itu seakan tidak pernah mengenal rasa sakit, kendati masih bisa terpental. Bahkan beberapa kali tendangan dan pukulan Suro yang hebat, yang sering membuat luka dalam pada lawannya itu, sama sekali tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Nyi Kembang kelihatan tetap tegar, tanpa luka dalam sedikit pun.

Suro Bodong mengusap darah yang membasahi hidung, luka di pipi dan bibirnya. Baju merahnya dipakai sebagai lap pembersih. Ia bangkit mendekati Nyi Kembang. Tetapi pada saat itu Nyi Kembang telah menyiapkan sesuatu. Dari kedua matanya yang terbilang bening itu memancarkan sinar kuning ke arah mata Suro Bodong.

Suro Bodong teringat cerita Jenar tentang Sinar kuning yang menerpa mata Jupro, lalu setelah itu Jupro bagai ada dalam pengaruh birahi, dan ia pun mau berbuat mesum dengan Nyi Kembang. Suro pun terbayang betapa ngerinya keadaan Jupro ketika mati dengan keadaan kehilangan urat kejantanannya.

Suro Bodong tertegun memandang sinar kuning yang menembus kedua matanya. Badannya menjadi terasa panas. Jalan darahnya mengalir cepat hingga menimbulkan desiran-desiran lembut di sekujur tubuh. Saat itu ia mendengar suara Nyi Kembang berkata:

“Kau seharusnya tidak menjadi korbanku. Tapi keadaan memaksa aku harus bertindak, tapi jadikanlah ini suatu pelajaran bagimu, Suro Bodong:..!"

Suro Bodong menahan nafas sejak tadi. Entah apa yang sedang dilakukannya secara diam-diam. la sempat berkata:

"Kenapa tidak kau bunuh aku? Lakukanlah kalau kau mampu membunuhku, Iblis Cantik.:.!"

“Tidak. Suro. Aku... aku tidak bisa membunuh orang yang kucintai..."

Suro Bodong terperanjat, namun ia bertahan untuk tetap tenang. Dan pada detik berikutnya, Suro Bodong mengeraskan semua otot tubuhnya. Tangannya bergerak lamban bagai sedang menyingkap suatu tabir yang menghalang di depannya. Kemudian tangan yang keras dan kaku itu menghentak ke depan. Kedua tangan itu bagai sedang mendorong sesuatu yang amat berat, sampai-sampai keringat Suro Bodong mengucur dari pelipis dan beberapa tempat lainnya. Ia pun mengeluarkan suara erangan yang berat sehingga semua anggota tubuhnya bergetar mengagumkan. Tenaganya bagai terkuras untuk mendorong sesuatu yang tidak tampak. Sedangkan sinar kuning yang terpancar dari mata Nyi Kembang itu kian lama kian redup. Suro Bodong pun semakin mengerang panjang.

"Aaah...!" kali ini Nyi Kembang terpekik lirih. Nafasnya terengah-engah. Sinar kuning itu lenyap, sepertinya membalik pada dirinya sendiri. Ia segera menutup wajah, lalu gemetar. Menggigil. Matanya meredup dan mulutnya mendesah-desah. Ia menyerukan kata dalam bisikan:

"Oh, aku tak tahan...! Peluklah aku... peluklah walau sebentar saja..." Nyi Kembang mulai merintih.

Suro Bodong tersenyum lega. Ia telah berhasil mengembalikan sinar kuning itu sehingga bukan Suro yang menjadi diamuk birahi meledak-ledak.

"Senjata makan tuan, itu lebih baik daripada tuan makan senjata..." kata Suro Bodong seraya garuk-garuk kumis dalam senyumnya yang mengejek.

Nyi Kembang merintih, mendesah dan meraba bagian tubuhnya sendiri. Kini ia jadi diamuk nafsu birahi akibat membaliknya sinar kuning yang biasa untuk membius lawan itu.

"Suro..." rengeknya. "Oooh... kau tega kepadaku. Renggutlah aku... ayo, Suro... renggutlah aku dan peluklah erat-erat..." Nyi

Kembang mendekat dengan tangan menggapai-gapai. Suro sengaja menghindar pelan-pelan.

"Suro... aku... ooh,.. aku sungguh tak tahan. Berikan sebentar saja kehangatanmu, Suro... Uuuhh...Ssss... Suro..."

Nyi Kembang mendesis-desis, meremas-remas dadanya sendiri. Mulut dan lidahnya bergerak tak beraturan. Ia berjalan terhuyung mendekati Suro Bodong. Ia bahkan telah merobek gaun tipisnya. Bagian dadanya telah polos akibat kain gaun robek tak beraturan. Ia mencoba menggapai tubuh Suro Bodong dengan nafas berbau nafsu birahi yang menyalak-nyalak. "Suro... peluklah aku... Ooh, peluklah aku dan berikan aku kehangatanmu..." rintihnya dalam desah suara mesum.

Suro Bodong tiba-tiba menghantam wajah Nyi Kembang dengan tangan kanannya kuat-kuat. Lalu ia terbengong-bengong. Nyi Kembang hanya melengos, bagai terkena tamparan. Ia tidak merasa sakit, tidak terluka sedikit pun. Sekali lagi Suro Bodong menghantamnya dengan pukulan bertenaga dalam. Tapi tubuh Nyi Kembang hanya terdorong satu langkah ke belakang. Jatuh pun tidak. Ia masih mendesah-desah dan meremas-remas bagian penting dalam tubuhnya. Ia bagai tidak merasa sedang dipukul dengan kekuatan penuh. Suro Bodong semakin terbengong dan kebingungan.

"Kamu ini setan apa manusia, hah?!" bentak Suro Bodong karena jengkelnya.

“Suro, lupakan pertarungan kita... ooh, turutilah sebentar keinginanku. Peluklah aku, Suro. Peluklah dan berilah aku cumbuan yang menghangatkan...! Suro, sekali ini saja... Aku tak akan mengganggumu lagi. Tolong, ooh...aku tidak tahan, Suro..."

Tendangan Suro dihentakkan tepat mengenai dada Nyi Kembang. Keras sekali. Paling tidak akan jebol dada itu. Tapi, Nyi Kembang bukan seperti manusia biasanya. Ia terdorong ke belakang beberapa langkah, lalu maju lagi dengan tangan minta dipeluk dan matanya kian sayu. Desah yang keluar dari mulutnya membuat Suro Bodong semakin penasaran.

"Kamu setan, ya?! Setan atau demit?! Ngaku saja!"

“Ooooh... aku... aduuuh... aku tak tahan betul, Suro. Peluklah aku... lekas... lekas...!"

"Aku tidak ingin bercinta denganmu! Aku ingin membunuhmu, tahu?! Jangan paksa aku untuk melayani nafsumu...!"

“Sebentar saja, Suro..."

“Mana bisa sebentar kalau begituan, tolol!" bentak Suro Bodong yang semakin jengkel pada diri sendiri.

"Aku yakin, bisa sebentar... Ayolah, aku mau sebentar saja..."

"Enak saja. Kau mau sebentar, tapi aku tidak mau kalau sebentar... Tidak! Sebentar atau lama, aku tidak mau bergumul denganmu!"

Tak terasa fajar telah menyingsing dan di beberapa tempat banyak orang yang memperhatikan dengan sembunyi-sembunyi, termasuk Raden Bargawa yang memperhatikan kejadian itu dari balik pagar rumahnya.

"Hiaaaat...!!" Suro Bodong menendang tubuh Nyi Kembang dengan tendangan lompat yang begitu kuat. Tetapi Nyi Kembang tidak mengalami rasa sakit sedikit pun. la memang terpental, namun segera bangkit dan mendesah-desah, minta dipeluk Suro Bodong.

"Kau gila...! Aku ini musuhmu, kenapa kau minta aku bergumul denganmu...! Bodoh! Tidak tahu tata kesopanan orang bermusuhan...!" bentak Suro Bodong. Dan pada saat itu, tangan Nyi Kembang berhasil meraih baju Suro. Ia langsung mendekap Suro Bodong dengan nafsu yang brutal. Ia menciumi Suro Bodong sembarang tempat dengan nafas seperti anjing habis lari jauh. Suro Bodong malah kegelian. Ia meronta dan mencoba menghindar. Tapi Nyi Kembang mengejarnya. Suro Bodong jijik jadinya.

"Surooo... tunggu aku...! Suro jangan pergi, tunggu aku..." Nyi Kembang berlari-lari mengejar Suro Bodong. Suro kebingungan dan menggeram gemas bercampur jengkel, entah kepada siapa. Tetapi akhirnya, ia berhenti dan menghadang Nyi Kembang yang minta dipeluk Waktu itu, ada beberapa orang yang melihat kejadian tersebut dari tempat agak jauh.

Suro Bodong mengusap lengan kirinya. Lalu dari pergelangan tangan kiri itu, ia bagai sedang menarik sesuatu. Dalam waktu yang singkat, tahu-tahu tangan kanan Suro Bodong telah memegang sebilah pedang bercahaya ungu. Semua mata yang menyaksikan hal itu terbelalak lebar. Mereka tak tahu kalau Suro Bodong mempunyai senjata pusaka yang dinamakan Pedang Urat Petir. Senjata itu bisa disimpan masuk ke dalam daging tangan kirinya, sehingga orang tak pernah tahu bahwa ke mana pun Suro pergi, sebenarnya ia selalu membawa pedangnya. Itulah kehebatan Suro bersama pedang Urat Petirnya.

"Nyi Kembang...! Inilah saat penghabisanmu...! Hiaat...!" Suro Bodong menghunuskan pedangnya ke depan, tepat mengenai dada Nyi Kembang yang sudah pasrah minta dicumbu. Tetapi, anehnya tubuh itu tidak mengeluarkan darah sedikitpun. Pedang memang tembus ke dada Nyi Kembang, namun Nyi Kembang tidak merasa sakit. Tidak juga merasa ditusuk Ia bahkan berhasil memeluk Suro Bodong dengan nafsu birahi yang kian membara.

"Gila...! Manusia lempung kamu ini...!" bentaknya sambil Suro menendang tubuh Nyi Kembang dan mencabut pedangnya. Ia sendiri jadi gemetar melihat pedang Urat Petir seperti tusuk sate tanpa keampuhan apa pun. Nyi Kembang terpental, namun segera menggapai-gapai dalam desah dan erangan nafsu birahinya. Tempat yang tertusuk pedang merapat tanpa bekas.

"Suro... peluklah aku. Jangan membuang tenaga untuk membunuhku. Aku tidak akan bisa mati Aku sudah hampir sempurna mencapai ilmu Serap Sukma. Aku tak akan bisa mati. Tinggal tiga lelaki lagi aku harus dapatkan, lalu sempurnalah ilmu Serap Sukmaku, dan aku akan menjadi orang yang tak pernah bisa mati. Tapi... kepadamu aku tidak bermaksud menjadikan korban, Suro. Aku mencintaimu. Aku tak ingin menyerap tuntas air kejantananmu, dan membunuhnya sekaligus. Tidak akan terjadi padamu, Suro„. Aku hanya butuh pelampiasan nafsu dan cinta darimu. Ooh...peluklah aku...!”

'Ilmu Serap Sukma...?" gumam Suro Bodong. "Ooh...pantas ia banyak mencari korban...!"

Suro berjalan menghindari raihan tangan Nyi Kembang yang sudah tidak peduli dengan keadaan tubuhnya. Polos tanpa selembar benang pun. Suro Bodong sebenarnya merasa malu sendiri, karena banyak mata, dan bahkan semakin banyak orang yang memperhatikan adegan itu. Tetapi ia harus bisa bertahan dan segera mencari titik kelemahannya.

"Suro... turutilah keinginanku... sebentar saja," Nyi Kembang merengek dalam tangis.

'Tidak! Aku harus mengetahui letak kelemahanmu dulu, baru nanti aku akan memuaskan nafsumu..." kata Suro sambil berharap, mudah-mudahan kata-katanya itu tidak didengar Sundari. Mudah-mudahan Sundari tidak ikut menyaksikan adegan itu. Jika sampai Sundari tahu, maka akan timbul kekacauan lain, sebab ia agaknya sangat cemburu.

"Akan kucoba untuk menusukmu dengan pedang ini, sampai kutemukan letak kelemahanmu, baru aku berani memberi kepuasan padamu. Aku tak mau terkecoh, tak mau mati setelah aku bisa memberi kepuasan kepadamu...!" kata Suro Bodong sambil menebaskan pedangnya ke leher Nyi Kembang. Tapi ternyata ia bagai menebas busa-busa sabun. Leher itu segera merapat tanpa darah setetes pun. Pedang Urat Petir tak mampu merobek leher Nyi Kembang.

“Percuma, Suro... kau tak akan bisa membunuhku, karena kau tidak menebaskan pedangmu di ketiakku. Lebih baik kita bercumbu saja, Suro..."

Nyi Kembang hendak memeluk, langkahnya limbung, dan Suro Bodong diam saja, seakan sengaja menunggu pelukan Nyi Kembang. Tetapi pada saat jarak mereka cukup dekat, Suro Bodong segera berguling, dan menebaskan pedangnya pada ketiak kiri Nyi Kembang. Kontan Nyi Kembang menjerit histeris dengan mata melotot.

"Ahhh...!!"

Suro Bodong menyisih jauh, Nyi Kembang terguling-guling dengan jerit yang melengking panjang. Suaranya bagai jeritan dari alam kubur. Ia menggelepar-gelepar, lama-lama mengeluar kan asap putih. Asap semakin tebal dan Suro Bodong membiarkan hal itu berlangsung dengan sendirinya.

Orang-orang mulai bergerak mendekat. Mereka berwajah tegang. Jeritan Nyi Kembang mulai menipis, tinggal suara erangan orang menjelang ajal. Tetapi asap putih semakin menebal. Menutupi sekujur tubuh Nyi Kembang. Suro Bodong masih berdiri tegak dengan pedang yang memancarkan sinar ungu tergenggam erat di tangan kanannya.

Pada detik-detik berikutnya, asap putih itu mulai menipis. Orang-orang menggumam dengan mata melotot memandang asap yang menipis. Kian lama angin bertiup membawa asap putih, dan akhirnya hilang sudah asap itu. Lalu orang-orang menyerukan pekik bersamaan dengan mata kian melebar. Bahkan Suro Bodong sendiri juga melebarkan mata dengan mulut terbengong melompong.

Tubuh Nyi Kembang yang berhasil ditemukan kelemahannya itu kini menggelepar dalam erang yang tipis. Tubuh itu sudah bukan lagi tubuh yang berkulit seputih susu selembmt busa salju. Tubuh itu menjadi tubuh berkulit sawo matang dengan wajah yang sudah dikenal oleh setiap warga desa. Itulah wajah Sundari, putri Ki Lurah Pucung yang menjadi janda kembang.

"Sundari...?!"

Hampir semua mulut melontarkan kata itu. Rupanya selama ini tak seorang pun tahu bahwa Sundari sedang memperdalam ilmu Serap Sukma, di mana untuk menyempurnakan ilmu tersebut, ia harus mencari seribu korban lelaki. Korban itu harus dinikmati dulu kejantanannya, kemudian menyerap semua benih lelaki dan membunuh lelaki itu sebagai serap nyawa sang korban. Dengan demikian, maka nyawa yang ada pada korban akan menjadi bagian dari kekebalan tubuh aan kesaktiannya. Itulah sebabnya Nyi Kembang mengatakan, bahwa dirinya tidak akan bisa mati.

Semua orang tertegun memandang tubuh Sundari, yang sudah pasti tega membunuh suaminya sendiri demi ilmu yang dituntutnya. Ki Lurah dan istrinya pingsan seketika sewaktu melihat kenyataan itu. Dan... sudah tentu hal itu membuat heboh di seluruh desa. Tersiarlah kabar tentang Sundari, yang menuntut ilmu warisan kakek buyutnya di mana kitab pusaka itu seharusnya dibakar. Namun ada satu yang tersisa, yaitu kitab Serap Sukma. Dan di hutan Tengkorak itulah Sundari menjalankan segala ilmunya bersama satu jasad yang mampu memecah diri menjadi sekian banyak ujud.

Suro Bodong hanya menggumam, dan memasukkan kembali pedangnya.

Selesai

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews