Surobodong-08 Tumbal Mahkota Ratu

TUMBAL MAHKOTA RATU

Djvu by Abu Keisel

Edited by Fujidenkikagawa

Pdf by Dewi KZ



1
 Penghuni istana Kesultanan Praja menjadi gempar. Tubuh Sendang Wangi melayang dalam keadaan terbaring tidur. Pintu kamarnya terbuka sendiri setelah angin menderu dengan buas. Bahkan hembusan angin sempat memporak-porandakan beberapa barang. Tubuh Sendang Wangi bagai tersedot oleh suatu kekuatan gaib dalam keadaan tertidur nyenyak.

Para pengawal dan penjaga di depan pintu kamarnya menjadi tergagap-gagap melihat keanehan tersebut.

"Gusti Ayu terbang...! Gusti Ayu terbang...!! Tolong! Kejar dia...! Kejar dia...!" beberapa pengawal berteriak. Ada yang membu­nyikan kentongan tanda bahaya yang ditabuh berkali-kali. Semua penghuni barak keprajuritan tersentak bangun dan berlarian.

Bahkan para perwira kesultanan, termasuk Demang Sabrangdalu dan Patih Danupaksi juga ikut mengejar tubuh yang melayang di tengah derasnya angin yang mengerikan. Sebatang pohon di samping ruang paseban roboh, menimbulkan suara berderak dan berdentam. Angin begitu kuatnya menghembus, bagai mengamuk, menciptakan suatu topan yang dahsyat.

"Cegat, di luar benteng! Cepat, hadang di sana...!!" teriak Ki Patih sambil berusaha bertahan karena tubuhnya hampir saja dihempaskan oleh kekuatan hembusan angin.

Suatu kekuatan maha tinggi telah menculik istri Suro Bodong. Pada saat itu, Suro Bodong dalam keadaan sedang berkeliling mengadakan patroli malam, sehingga ia tidak tahu kalau istrinya disedot oleh tenaga maha dahsyat.

"Jangan berjalan tegak...!" teriak Demang Sabrangdalu. "Berjalanlah sedikit merendah biar tubuh kalian tidak dihempas oleh angin setan ini...!!"

Para prajurit mengejar tubuh Sendang Wangi yang melayang setinggi kepala manusia.

Tubuh itu melalui atas taman, lalu naik, dan melesat perlahan-lahan melewati atap dapur.

"Siapkan beberapa orang untuk berdiri di atas benteng!" teriak Danupaksi dengan berlari ke arah lain, menghadang gerakan tubuh Sendang Wangi yang melayang tenang itu.

Beberapa orang yang menghadang di tembok atas benteng ternyata kecele. Tubuh itu berhenti di udara, kemudian bergerak lagi ke arah lain, seakan mencari jalan untuk melewati kepungan para prajurit.

"Setan mana yang membuat gara-gara tengah malam begini?!" kata Demang kepada Ki Patih. Matanya menyipit dengan tangan menyilang di depan mata menahan derasnya angin.

"Cari sumbernya!" teriak Ki Patih mengatasi deru angin. "Pasti ada orang yang sedang mengerahkan ilmunya untuk mencuri Nyai Sendang Wangi…!!"

Sementara itu. Sultan Jurujagad sendiri ikut mengepung ke arah tubuh Sendang Wangi melayang. Tetapi ia gagal menghadang, karena tubuh putrinya itu melayang ke tempat lain lagi. Sultan sempat berteriak kepada Patih Danupaksi:

"Paman Patih...! Cari tambang dan ikat tubuhnya sebisa mungkin...!" Deru angin yang bergemuruh diimbangi dengan teriakannya, sekari pun tidak memadai.

Seorang prajurit terlempar oleh hempasan angin gila itu hingga kepalanya terbentur tiang dan bocor dengan suka rela. Prajurit itu segera bangkit tanpa menghiraukan kebocoran di kepalanya. Ia mengambil tambang dari barak keprajuritan. Membuat suatu jerat lebar dan memutar-mutarkan sesaat, kemudian tambang yang berbentuk kolong jerat itu dilemparkan ke tubuh Sendang Wangi yang melayang.

Prajurit itu sepertinya sudah terbiasa menjerat kuda liar, sehingga dengan sekali lempar, tali itu telah mampu menjerat tubuh Sendang Wangi.

"Kena...! Tubuhnya kena kujerat...!" teriak prajurit itu.

Prajurit menarik, menahan tubuh yang telah terjerat. Tetapi bagai ada kekuatan yang sungguh hebat, sehingga tubuh prajurit itu pun menjadi terseret-seret.

"Tambah tenaga...! Cepat, tahan dia...!" teriak Patih Danupaksi. Lalu, beberapa orang membantu prajurit tadi untuk menahan agar tubuh Sendang Wangi tidak bergerak terus.

Tetapi, empat orang sudah ikut menahan, namun kekuatan mereka tidak sebanding. Keempat orang itu bagai tersentak ke depan dan menabrak pohon besar.

"Aaaoow...!!" teriak mereka.

Angin masih menderu dengan kuat dan makin menggila. Patih Danupaksi segera bersalto beberapa kali ke arah tubuh Sendang Wangi yang melayang semakin meninggi. Maksudnya ingin memegangi kaki Sendang Wangi supaya tidak terbawa terbang. Namun, tubuh patih segera terhempas kuat ke belakang saat ia mendekati tubuh Sendang Wangi. Suatu kekuatan besar melemparkan patih hingga jatuh ke kolam di taman keputren.

Demang Sabrangdalu dan Sultan Jurujagad segera mengambil tambang yang masih menjerat tubuh Sendang Wangi. Keempat prajurit itu sebagian pingsan, sebagian mengaduh kesakitan. Mereka tidak dihiraukan oleh Demang dan Sultan. Mereka berdua sibuk mengikatkan tambang pada sebuah pohon yang tak cukup dipeluk oleh tiga orang.

"Ikat yang kuat, Ki Demang...!" perintah Sultan dengan gugup. "Ikat kuat-kuat, jangan sampai lepas. Ini satu-satunya cara menahan tubuh anakku...!"

Demang mengerahkan tenaganya untuk menarik tambang kuat-kuat. Tambang telah dililitkan ke pohon, dan pohon besar itu menjadi bergerak-gerak bagai ditarik oleh seratus ekor kuda jantan. Sultan dan Demang serta beberapa orang yang ada di sekitar situ menjadi cemas.. Tetapi Sultan dan Demang masih bertahan untuk memegangi ujung tali, menahannya agar ikatan tali pada pohon tidak lepas.

"Awas...! Pohon mau rubuh…! Minggir... minggir...!" teriak beberapa orang yang melihat pohon mulai tersumbul akarnya dari dalam tanah.

Demang Sabrangdalu tidak ikut lari tunggang-langgang, melainkan justru mencoba menahan batang pohon. Dengan kaki merendah dan tangan kiri menyangga batang yang hendak rubuh, Demang menggerakkan tangan kanannya ke atas dan ditariknya turun ke dada dengan otot dan tubuh yang mengeras. Ia berusaha menahan gerakan pohon besar yang makin condong akibat tarikan tambang yang terikat di tubuh Sendang Wangi.

"Hiaaaattt...!!" Demang berusaha sekuat tenaga sampai wajahnya menjadi merah.

"Trass...!"

Akhirnya tambang itu pun rantas dan putus. Tubuh Sendang Wangi yang tertidur nyenyak bagai terkena pengaruh sihir itu masih melayang dan bahkan semakin tinggi. Pohon tak jadi rubuh, hanya miring dengan sebagian akarnya mencuat ke atas. Demang Sabrangdalu meninggalkan pohon tersebut. Ia berlari dan bersalto ke arah tubuh Sendang Wangi.

Tetapi nasibnya sama seperti Ki Patih Danupaksi. Sebelum ia menyentuh kulit tubuh Sendang Wangi, ia telah terpental dengan hentakan keras, dan jatuh di rumpun bunga berduri.

"Aaaaahh...! Pinggangku... aduuh...!!"

Sultan Jurujagad mengeluarkan tombak pusakanya yang bernama Kyai Jatayu. Sambil menggenggam tombak itu, sultan mengejar raga putrinya yang melayang di atas benteng, sebagai batas luar dan dalam istana kesultanan.

"Iblis...! Tampakkan wajahmu dan lawanlah aku!" teriak Sultan Jurujagad dengan geram kemarahan. Tetapi, matanya yang bergerak nanar itu sejak tadi tidak menangkap sosok tubuh orang yang menggunakan ilmunya untuk mencuri Sendang Wangi dengan kekuatan yang maha hebat. Tubuh Sendang Wangi masih melayang pelan, sepertinya sengaja menggoda kemarahan orang-orang kesultanan Praja.

Dengan kemarahan yang meluap. Sultan Jurujagad melemparkan tombak Kyai Jatayu ke sembarang arah. Ia berseru:

"Kyai Jatayu... cari iblis itu dan bunuh dia...!!"

Tombak berwarna emas itu melesat tanpa tujuan. Tombak itu mampu membelok ke beberapa tempat, bahkan menukik dan bersalto balik juga bisa. Semua prajurit terkesima melihat tombak pusaka sultan beraksi. Tombak itu bagai sedang mencari sasaran kian ke mari, sampai akhirnya tombak itu berhenti bergerak di depan sultan dalam posisi melintang.

Sultan Jurujagad mendengus kesal. Tombaknya tak mampu memburu lawan yang sedang mempermainkan putrinya. Ia meman­dang Sendang Wangi dengan perasaan sedih dan marah. Tubuh itu berhenti di atas tembok benteng. Semua mata memandang dalam kebingungan.

Eyang Panembahan mendekati Sultan Jurujagad dan berbisik, "Ada suatu kekuatan yang tak dapat saya lacak sumbernya. Sungguh hebat kekuatan itu, sehingga ia bisa bersembunyi tanpa bisa dilacak dengan indra ke tujuh. Gawat ini, Kanjeng...!"

"Lalu bagaimana nasib Sendang Wangi itu...?!" gumam sultan bagai hendak putus asa.

Baru saja Eyang Panembahan hendak bicara lagi, tapi tiba­tiba Suro Bodong muncul dari pintu gerbang dan setengah berlari mendekati sultan.

"Apa yang terjadi?! Kenapa jadi gaduh begini?!"

Sultan menjawab dengan berapi-api, "Istrimu...! Lihat, itu...! Ada yang mempermainkan istrimu seperti itu!"

Eyang Panembahan menyahut, "Suatu kekuatan yang maha hebat, tak bisa dilacak sumbernya...!"

Suro Bodong memandang dengan garuk-garuk kumisnya yang tebal. Ia menggumam melihat istrinya tertidur di udara dengan nyenyak. Bahkan sekarang kian bergerak lamban, menuju luar benteng. Demang Sabrangdalu yang tubuhnya baret-baret karena duri segera berteriak.

"Dia mau membawa Gusti Ayu...!! Lihat itu...!"

"Suro Bodong, bertindaklah...!" geram Sultan Jurujagad.

Suro Bodong bagai tidak menghiraukan seruan mertuanya. Ia masih garuk-garuk kumis beberapa saat, kemudian segera meludahi kedua telapak tangannya, masing-masing tujuh kali. Kedua telapak tangan itu saling digosok-gosokkan beberapa saat. Posisi berdirinya mulai merendah dengan kaki renggang.

Tiba-tiba kedua tangan Suro Bodong menghentak ke atas kepalanya, arahnya ke langit. Dan bersama dengan itu, meledaklah bunyi petir perak. Di sela-sela sinar putih perak itu melesat beberapa kali sinar biru berkelok-kelok dengan bunyi ledakan yang menggun­tur,

"Oh, dia menggunakah aji Tapak Naga...?!" Eyang Panembahan yang mengetahui hal itu menjadi merinding ngeri. Suro Bodong masih menengadahkan kedua tangannya ke atas ke­pala dengan mata tak berkedip memandang langit.

Bunyi ledakan yang mengguntur itu sempat membuat hembusan angin semakin kencang seperti topan mengamuk. Lalu, tanah tempat mereka berpijak itu pun terasa bergetar. Tanaman­tanaman ikut bergetar menimbulkan suara gaduh. Daun-daun mulai berhamburan, rontok. Semua orang tercekam kengerian. Salah seorang berbisik takut kepada temannya:

"Apakah ini mau kiamat, ya Kang...?!"

"Entahlah. Mengapa tanah ini menjadi gemetar seakan hendak meledak...! Oh, aku takut sekali...!"

Ada beberapa orang yang saling berpegangan untuk menjaga keseimbangan, ada yang merangkul pohon atau tiang untuk bertahan. Bunyi ledakan itu masih bersahut-sahutan. Dan setiap ledakan memancarkan api di angkasa yang membuat langit membara bagai terpanggang matahari.

Suro Bodong berseru, "Kembalikan istriku!! Atau kuhancurkan nyawamu...?!"

Bumi masih bergetar, langit memerah sesekali dan kilatan cahaya biru masih bersimpang -siur bagai benang-benang api yang menjilat kian ke mari. Tiba-tiba, di langit muncul wajah yang samar­samar. Wajah seorang perempuan berambut panjang namun disanggul ke atas, hingga sisa rambutnya terjuntai ke dada kiri. Wajah itu samar-samar, sepertinya dibungkus kabut putih. Semua orang berusaha untuk memandangnya dengan jelas, namun tak ada yang berhasil memperjelas penglihatannya.

"Kembalikan istriku, iblis...!!" bentak Suro Bodong dengan kedua tangan masih menengadah ke atas.

Lalu terdengar suara orang bicara dalam gema:

"Kami butuh tumbal seorang anak raja...! Dan perempuan ini telah terpilih sebagai tumbal kami...! Siapa menentang, akan mati...!"

Suara itu menyerukan sebuah gema yang kian lama-kian mereda dan hilang. Bersamaan hilangnya suara, wajah yang terlihat samar-samar itu pun hilang. Kemudian, semua orang menjadi tegang, dan sangat tegang.

"Gusti Ayu akan menjadi tumbal...?!" kata-kata itu hampir terlontar di setiap mulut prajurit dan pegawai istana. Sultan Jurujagad sendiri kebingungan, memandang Suro Bodong dengan tenang.

"Bangsat itu harus kubunuh...!!" geram Suro Bodong.

Ketika ia hendak bergerak, tubuh Sendang Wangi telah melesat lebih dulu, menjauhi benteng kesultanan. Suro Bodong menghentakkan kakinya dan melejit bagai terbang ke tembok benteng. Baju merah lengan panjang yang tak pernah dikancingkan itu mengiringi kepergiannya, seperti sayap rajawali menepak-nepak. Ketika kaki Suro Bodong berhasil mendarat di tembok benteng, tubuh Sendang Wangi telah melesat jauh. Terpaksa ia mengejarnya dengan bersalto beberapa kali. Kecepatan saltonya sangat mengagumkan setiap orang yang memandangnya. Karena itu berarti Suro Bodong telah menggunakan jurus Luing Ayan 1 sampai Luing Ayan 7, dan diulang berkali-kali. Padahal, setiap ia bersalto di udara, tubuhnya akan berubah ujud, sesuai dengan putaran saltonya. Apabila ia bersalto dua kali, maka ia akan berubah menjadi Arum Sajen, bersalto 3 kali berubah menjadi Tole, bersalto 4 kali berubah menjadi seekor kera... dan begitu seterusnya sampai tujuh kali putaran salto ia mampu berubah ujud tujuh kali untuk mengejar istrinya yang terbawa oleh kekuatan dahsyat itu, maka tubuh yang bersalto itupun berubah-ubah dengan cepat sehingga bagi orang yang melihatnya akan terkagum-kagum, karena perubahannya yang cepat itu seperti perubahan rangkaian burung yang terbang dengan berbagai gaya.

Suro Bodong tidak perduli lagi dengan orang-orang kesultanan Praja. Matanya masih tertuju pada gerakan Sendang Wangi yang terus melayang dalam posisi tidur terlentang nyenyak sekali. Suro Bodong bergerak mengejar raga istrinya dengan mulut menyumpah-nyumpah tak karuan.

Gerakan raga Sendang Wangi terasa melayang lebih cepat. Suro Bodong tertinggal jauh, ia tambah kebingungan dan sepertinya tak tahu apa yang harus dilakukan, kecuali mengejar dan mengejar terus ke arah melesatnya raga istrinya. Ia tak kenal lagi di mana dia saat itu, sampai akhirnya ia menghentikan gerakan karena tubuhnya yang melayang itu bagai dihantam sebuah gada besar yang membuat Suro Bodong keliyengan.

Tubuhnya yang besar namun tidak gemuk itu terpental menghantam batang pohon. Ia dapat menjaga kepalanya agar tak sampai terbentur, tetapi perutnya yang sedikit membuncit dengan puser yang nongol keluar itulah yang menghantam batang pohon.

"Huuggh...!!" Suro Bodong menyeringai kesakitan. Mules perutnya, sesak pernafasannya. Ia jatuh ke tanah seperti nangka busuk. Ia bahkan sempat terpekik, "Aaoww...!!" karena pantatnya tertusuk ranting runcing. Untung tak sampai menancap di daging pantat itu, sehingga Suro Bodong dapat segera bangkit dengan tangan meraba-raba pantat dan tangan yang satu mengusap-usap perutnya. Wajahnya masih menyeringai kesakitan. Meringis seperti anak kehilangan makanannya. Celana biru yang longgar itu diperhatikan sekali lagi, oh... untung tidak sempat robek. Namun pada saat ia hendak memandang ke depan lagi, mencari sumber pukulan yang tadi menjatuhkan dirinya itu, tiba-tiba sebuah kaki mulus menendang wajahnya dengan keras. "Iyaaaoouww...!!"

Suro Bodong menjerit keras, antara kaget dan kesakitan. Tubuhnya yang besar, bukan gendut itu, terpelanting ke belakang dan sekali lagi punggungnya menghantam pohon. Tepat mengenai salah satu bagian pohon yang menonjol sebesar genggaman tangannya. "Uuhhff...!!" Suro makin meringis.

Ia segera mengibaskan rambutnya yang panjangnya sepundak, namun tidak terawat itu. Ia sengaja mengikat rambutnya dengan ikat kepala warna merah, yang ternyata membuat penampilannya semakin diperhitungkan oleh setiap lawannya.

Seperti kali ini, ia berhadapan dengan seorang perempuan cantik bertubuh lencir, ramping. Perempuan itu berhenti menyerang karena memandang kain merah yang diikatkan pada kepala berambut panjang itu. Perempuan itu langsung berkata:

"Kau pasti orang andalan Sultan Jurujagad, bukan?!"

Suro Bodong menahan nafas sejenak, lalu menghembuskan pelan-pelan guna memperoleh ketenangannya kembali. Matanya yang sedikit lebar itu memandang acuh tak acuh kepada perempuan berpakaian biru muda yang menyelipkan senjata cakra di pinggang.

"Siapa kau? Kenapa kau tahu-tahu menyerangku?!" bentak Suro Bodong.

"Aku yang berhasil kau singkap dari persembunyianku lewat ilmu Tapak Nagamu itu. Aku Laras Peri...!" perempuan itu menyunggingkan senyum tipis, berdiri dengan tenang dan kedua tangannya memegangi ikat pinggang di bagian perut. Ikat pinggang itu terbuat dari kain panjang yang pantas dikatakan sebagai selendang panjang. Karena jika dikatakan sebagai angkin terlalu pendek ukurannya. Warna kain itu kuning, sama dengan ikat pinggang yang dikenakan Suro Bodong.

"Baru sekarang ada orang bisa menyingkap kabut persembunyianku. Menurut guruku, kabut pelapis diri itu hanya bisa disingkap oleh ilmu Tapak Naga. Rupanya kaulah pemilik ilmu Tapak Naga. Uhh... hebat juga kamu, ya?"

Suro Bodong sudah berhasil menguasai diri sehingga ia lebih berpenampilan tenang.

"Kalau begitu, gurumu pasti mengenal Suro Bodong! Siapa gurumu itu sehingga ia tahu ilmuku?!" tanya Suro Bodong sedikit curiga.

"Itu tak perlu kau tanyakan, Suro Bodong. Yang penting kau ketahui, kau harus segera pulang supaya kau bisa hidup sampai hari-hari tuamu nanti. Kalau kau nekad mengikuti aku, kau akan mati dengan mendadak!" ancam Laras Peri.

"Kau memang perempuan cantik, Laras Peri. Tapi jangan gede rasa dulu. Aku tidak mengikutimu! Aku mengikuti istriku. Sendang Wangi, putri Sultan Praja itu. Aku tak mau istriku dijadikan tumbal dengan alasan apa pun. Kecuali istri orang lain, terserah. Tapi jangan istriku."

Laras Peri makin sinis saja senyumnya. Ia berjalan pelan, bergerak ke samping dengan memandang Suro dalam lirikan yang sebenarnya memukau hati: Tapi Suro Bodong berlagak tidak mempunyai perasaan apa-apa. Ia garuk-garuk kumisnya dengan telunjuk, sambil memperhatikan gerakan Laras Peri dalam sikap tenangnya.

"Laras Peri... sayangilah kecantikanmu itu. Jangan sampai wajah cantik itu bonyok oleh siksaanku jika kau tak mau menyerahkan Sendang Wangi padaku!" Suro menggertaknya. Tapi Laras Peri bukan anak kemarin sore yang takut akan gertakan seperti itu. Ia bahkan berkata:

"Sebelum kau membuat wajahku bonyok, kurasa kau akan kehilangan nyawa lebih dulu, Suro Bodong...! Ciaaat...!!"

"Hei, kau...?!"

Suro Bodong tak sempat bicara karena tiba-tiba Laras melompat seperti macan terbang. Kedua tangannya merenggangkan jari yang berkuku tajam kendati tidak panjang. Gerakan kedua tangan yang lurus itu tiba-tiba saling merobek ke kanan dan kiri. Hampir saja wajah Suro Bodong menjadi sasaran ketajaman kuku Laras Peri. Ia segera menghentakkan kepala ke belakang sambil kaki kanannya melesat ke atas, dan mengenai perut Laras Peri.

"Aauh...!!"

Laras Peri mengaduh dengan gerakan tubuh membalik, bersalto di udara. Begitu ia mendarat, kaki kanannya mengibas seperti seekor kuda menyepak batok kelapa. "Wess...!"

Tendangan itu berhasil dihindari Suro Bodong dengan cara merendahkan kepala. Namun bertepatan dengan kepala Suro merunduk. Laras Peri menghentakkan telapak tangannya hingga mengeluarkan percikan api dari telapak tangan itu. Percikan api mengenai punggung Suro Bodong, lalu Suro Bodong menjerit bagai tersiram air panas. Ia terguling-guling di tanah. Pinggangnya seperti patah seketika.

Suro Bodong bertahan memendam rasa sakitnya, ia bergegas untuk berlari. Tetapi baru saja ia berdiri dengan lutut, tahu-tahu tangan Laras Peri memercikkan api lagi ke arahnya. Suro buru-buru menjatuhkan diri, terlentang. Tapi ia sedikit terlambat, karena percikan api itu telah sebagian mengenai ujung pundaknya, sehingga tulang di ujung pundak itu bagai dihantam dengan palu godam.

"Aaouuw...!!"

Suro Bodong kelojotan. Ia berusaha berguling ke kiri beberapa kali. Laras Peri mengejarnya dengan tendangan yang satu kali mengenai dagu Suro Bodong, dan yang kedua berhasil ditangkap oleh tangan Suro Bodong. Tangan itu bergerak cepat memulir pergelangan kaki Laras Peri, hingga perempuan itu menye­ringai kesakitan.

Tetapi, tanpa diduga-duga, dari ujung ibu jari kaki Laras keluarlah jarum warna kuning emas. Jarum itu melesat cepat dan menancap di telinga Suro Bodong. Kontan Suro menjerit keras dan kesakitan. Ia buru-buru menghentakkan punggungnya yang sakit itu untuk bisa berdiri. Lalu, ia buru-buru mencabut dua jarum yang menancap di daun telinganya.

"Bangsat kau...! Hihhh...!!" Suro Bodong melemparkan kedua jarum emas ke arah Laras Peri yang hendak menyerangnya dengan cakar mautnya. Ia pun menjerit kesakitan ketika kedua jarum itu menancap di telapak tangan kirinya.

"Uuuhh...!! Setan belang kau...! Hiaaaat...!!"

Suro Bodong menangkis tendangan kaki Laras Peri dengan kibasan tangan kirinya. Tendangan itu meleset dan kaki tersebut berhasil terpelanting ke samping. Segera Suro Bodong memanfaatkan jurus Tendangan Ayam Kawin. Tubuh Laras yang sempat terpelintir sedikit akibat kakinya terpental oleh kibasan tangan Suro tadi dimanfaatkan untuk menjadi sasaran jurus Tendangan Ayam Kawin. Suro Bodong melancarkan tendangan ke pinggang Laras dengan cepat sebanyak tujuh kali, lalu kaki kirinya menyusul menendang beruntun dengan tendangan ke arah punggung Laras. Dan sekali lagi kaki kanan Suro Bodong meng­hentak keras beruntun tujuh kali ke arah rusuk Laras Peri.

Perempuan itu hanya mengerang beberapa kali, tapi tidak rubuh karena tendangan itu. Sebaliknya, ia justru semakin garang dan ganas. Ia mencabut senjata cakranya, berupa lempengan bergerigi dengan gagang berbentuk huruf L. Lempengan baja bergerigi itu sebesar tutup cangkir, tetapi ada jurus yang di­permainkan sehingga membuat benda seperti gir sepeda itu berputar sendiri.

Laras Peri mengacungkan senjatanya ke arah Suro Bodong. Saat itu, Suro hanya berdiri dengan kaki renggang dan siap menerima serangan lawannya. Tanpa diketahui olehnya, bahwa gerakan gerigi yang berputar makin cepat dan menimbulkan suara desing itu telah berhasil menciptakan suasana lain.

Udara di sekitar Suro Bodong menjadi dingin, lama-lama kedinginannya mencekam tulang. Suro sempat melihat beberapa daun di sekitarnya menjadi layu, kemudian putih perlahan-lahan. Suro Bodong baru sadar bahwa warna putih yang menempel pada daun itu tak lain dari busa-busa salju yang dingin. Suro Bodong melihat lengannya sendiri sudah menjadi seperti lengan mayat, putih dan berbintik-bintik bagai dihinggapi serat-serat kapas.

"Heaaaaatt...!!" Suro Bodong menggerakkan kedua tangannya tak karuan, ke sana-sini untuk memperoleh udara panas dalam tubuhnya. Senjata cakra itu semakin berputar kencang. Laras Peri hanya tersenyum tipis seraya berkata:

"Tak ada yang pernah bisa lolos dari jurus Cakra Pembeku ini, Suro... termasuk kau pun akan mati dalam kedaan tetap segar bugar...!"

"Heaaat...!! Heaaaahh...!! Huaaat...!" Suro Bodong loncat sana-loncat sini dengan tangan bergerak hendak menghantam Laras. Namun ia sendiri mengakui bahwa gerakan tubuhnya menjadi berat dan kaku. Sampai akhirnya ja benar-benar sadar bahwa beberapa jarinya tak dapat ditekuk lagi. Tubuhnya menjadi semakin putih dan berbintik-bintik, ia menggigil dalam keterbengongannya.

Dengan susah payah, Suro menggerakkan tangannya dan membuka telapak tangan untuk diludahi. Tapi pada saat itu, Laras Peri menjerit kesakitan dengan tubuh tersentak melayang, lalu menabrak pohon. Suro terperanjat. Siapa yang telah menyerang Laras Peri itu? Bahkan kini pelipis perempuan itu berdarah, dan ia sangat kebingungan.

2

Seorang lelaki tua bertubuh kurus berdiri di depan Suro Bodong. Ia mengenakan kain merah yang hanya disilangkan di dada melalui pundak kanannya. Lelaki kurus, tinggal kulit dengan tulang itu jelas berusia lebih tua dari Suro Bodong. Rambutnya yang putih digelung pada bagian atasnya, sedangkan sisanya dibiarkan terurai sebatas punggung. Kendati kurus dan tua, namun lelaki itulah yang berhasil membuat Laras Peri lari terbirit-birit karena serangannya yang cepat dan beruntun itu.

"Siapa kau? Kenapa kau ikut campur urusanku, hah...?!" geram Suro Bodong setelah hawa dingin tidak mencekamnya lagi.

"Apakah kau belum mengenal ciri-ciri orang seperti aku?"

"Aku tidak pernah perduli dengan orang kurus," kata Suro Bodong kurang bersahabat.

"Aku Empu Segah."

"O, kamu yang bernama Empu Segah, ahli pusaka dari gunung Sembur itu?"

"Benar," jawab Empu Segah tanpa tersenyum.

"Sakti juga kamu, ya? Laras Peri bisa lari terbirit-birit begitu mendapat serangan darimu."

"Dia lari bukan karena aku, manusia tolol! Dia lari karena jarum emas yang kau lemparkan dan menancap di telapak tangannya."

Suro Bodong mengerutkan dahi, ia baru ingat tentang jarum emas yang meluncur dari jempol kaki Laras Peri.

"Ada apa dengan jarum itu?" Suro bertanya segan-seganan.

"Dia harus segera mengambil penangkal racun jarum emas itu. Karenanya, ia segera lari, tak mau terlambat...!"

"Kalau begitu aku harus segera lari mengambil istriku dari tangannya...!"

Dengan hentakan satu kaki, Suro Bodong melompat pergi. Tetapi Empu Segah segera menghadangnya, lalu dengan gerakan tangan kanan, Empu Segah menghentakkan tubuh Suro yang melesat. Suro Bodong terjengkang ke belakang dalam posisi jatuh terduduk. Ia meringis karena pantatnya terbentur batu sebesar tinjunya.

"Uuuhff...! Kunyuk...!" cacinya sambil berdiri dengan peringas-peringis. Ia mengusap-usap pantatnya.

"Kuingatkan padamu, Suro Bodong... jangan pergi ke sana!" kata Empu Segah yang agaknya tadi sudah mendengar nama Suro Bodong waktu Laras Peri mengenalkan dirinya.

"Persetan dengan kau, kakek keriput...!"

Suro Bodong melesat ke atas pohon, lalu dari atas pohon ia melompat ke pohon yang satunya. Dengan cara begitu maka Empu Segah tak bisa menghalangi langkahnya. Tetapi, tiba-tiba tubuh Suro Bodong bagai ada yang menyedot ke bawah hingga ia terjatuh dari atas pohon. Anehnya, gerakan tubuh yang jatuh itu tidak secepat jika orang jatuh pada umumnya. Gerakan tubuh itu sangat lamban, seakan hanya merendah dalam posisi kaki ke atas keduanya. Kalau saja gerakan jatuh itu tidak lamban, maka sudah pasti tulang pung­gung Suro akan patah seketika itu.

"Kau belum bisa menandingi Laras Peri. Apa lagi gurunya. Aku yakin kau akan ditungging-tunggingkan jika nekad pergi ke Istana Awan."

"Apa perdulimu...!" geram Suro Bodong sambil berdiri. "Aku harus merebut istriku. Aku tidak mau istriku jadi tumbal di tempat mereka. Kalau istrimu yang dijadikan tumbal, terserah. Yang penting, aku tak mau kehilangan Sendang Wangi!"

Empu Segah menghadang langkah Suro...

"Jangan nekad!"

"Jangan menghalangiku, minggirlah...!"

"Batalkan niatmu!"

"Kakek bandel..." geramnya. "Hiaaat...!!"

Suro Bodong menyerang dengan pukulan tangan kanan, tapi dengan cepat Empu Segah mengibaskan tangan kirinya hingga pukulan Suro ditangkisnya. Suro tidak tinggal diam, ia segera melayangkan pukulan tangan kirinya, seakan hendak menghantam dada Empu Segah. Lelaki tua itu menangkis, tapi gerakan tangan Suro justru menekuk ke atas, dan dagu Empu Segah berhasil dipukulnya dengan pergelangan tangan. Empu tergeragap sebentar. Kesempatan itu digunakan untuk memukul rusuk Empu Segah oleh Suro Bodong. Kakek tua itu menyeringai menahan sakit. Dan Suro Bodong segera kabur ke arah hilangnya Laras Peri tadi. Gerakan Suro sengaja dipercepat agar tak tersusul Empu Segah. Tapi... buru­buru ia menyadari kalau gerakan larinya itu tidak mencapai tempat di depannya. Ia lari dalam keadaan tetap di tempat. Ia berhenti dan berpaling; oh... ternyata Empu Segah telah menahannya dengan tenaga dalam yang berat dan membuat Suro tidak dapat melaju. Empu Segah mengulurkan tangan kirinya dengan tangan kanan melintang di depan dada. Kaku dan gemetar. Itulah jurus menahan gerakan dari jauh. Dan pada saat Empu Segah menghentakkan tangan kirinya ke belakang, tubuh Suro Bodong ikut tertarik dan melesat kembali ke tempatnya, di depan Empu Segah.

Sudah tentu hal itu membuat Suro Bodong sangat dongkol. Waktu Empu Segah berkata:

"Jangan menyusulnya sekarang...!"

Suro Bodong tak menjawab, kecuali menghentakkan kakinya ke depan, menendang Empu Segah. Tetapi gerakan kaki Empu Segah pun bersamaan diadu oleh tendangan Suro Bodong. Suro Bodong terpelanting ke belakang dan menggeloyor. Empu Segah menyusulkan pukulan ke dada Suro Bodong yang tak sempat dilihat oleh mata Suro. Tahu-tahu pukulan itu menyesakkan pernafasan. Suro Bodong sempat terbatuk-batuk. Empu Segah ber­kata:

"Ikutlah aku, dan aku akan menolongmu, Suro."

"Brengsek kau, kakek ceking!" umpat Suro yang sudah terlanjur jengkel.

Tangan Suro Bodong mengibas ke samping bagai ia hendak memotong pohon pisang. Empu Segah menahan gerakan tangan itu dengan dua jari kanannya. Lalu, begitu tangan Suro sudah tertahan, ia memutar jari tersebut dan menghentakkan pada salah satu bagian tangan itu, dekat dengan sendi sikunya. Jari tangan menotok jalan darah di lengan Suro Bodong, dan hal itu membuat Suro Bodong tak mampu bergerak banyak, kecuali menggerakkan kepala dengan

indranya, dan salah satu kaki kirinya dengan gerakan masih kaku.

"Hei, apa-apaan ini" Kau ini musuhku atau...."

"Aku ingin menolongmu, Suro Bodong! Tapi, aku tahu kau tidak cukup mampu, melawan orang-orang dari Istana Awan. Kau akan mati sia-sia jika sekarang juga kau ke sana!"

"Mau mati atau hidup, itu bukan urusanmu, melainkan urusan paru-paruku, tahu?! Aku harus ke sana sekarang juga sebelum terlambat istriku dijadikan tumbal!"

"Tidak. Kau tidak akan terlambat. Percayalah! Mereka hanya akan memanfaatkan korban jika sudah tidak ada sinar bulan sedikit pun."

Suro Bodong diam. Ingin menggaruk kumisnya tak bisa, karena semua tangan dalam keadaan kaku.

"Empu Segah...! Tolong bebaskan totokan jalan darahku ini, dan mari kita bicara empat mata...!" kata Suro yang mulai menampakkan nada pasrahnya.

"Kau harus berjanji untuk tidak lari, Suro."

Sehela nafas dihempaskan lepas. Kesal sekali hati Suro Bodong menghadapi kakek kurus ceking itu.

"Baiklah. Aku berjanji tidak akan lari. Tapi, lepaskan dulu pengaruh totokanmu ini. Empu Segah...!"

"Baik. Tapi ingat, kalau kau lari dan menipuku, kau akan mati di tempat jauh. Aku dapat membunuhmu dari sini di mana pun kamu berada Suro."

"Silahkan. Dan aku tidak akan ingkar dari janjiku!"

Empu Segah menghantam tulang rusuk Suro Bodong dengan kedua jarinya. Begitu jari itu telah menghantam kuat-kuat, maka Suro Bodong pun meringis dan kedua tangannya bisa digerakkan lagi.

Tak ada pilihan lain bagi Suro kecuali ikut Empu Segah ke pondokannya, di lereng gunung Sembur. Memang, mulanya Suro Bodong menolak ajakan Empu Segah untuk ke gunung Sembur, tetapi setelah Empu Segah berkata:

"Telingamu harus diselamatkan, Suro. Apa kau tak ingat telingamu yang terkena jarum emas Laras Peri itu?"

"Aku ingat. Tapi... tidak apalah. Tidak terasa sakit lagi. Tubuhku mampu menolak racun yang ganas," kata Suro dengan garuk-garuk kumisnya.

"Racun yang ini berbeda dengan racun yang pernah kau kenal, Suro. Rabalah telingamu itu...."

Suro Bodong dengan malas meraba daun telinga kirinya. Ternyata ia sempat terbelalak kaget. Daun telinganya menjadi kecil dan berkerut kriting.

"Telingaku...?! Jadi kecil?!"

"Racun itu mengisap semua benda yang dikenainya. Pohon beringin yang besar akan menjadi kerdil sampai sekecil pohon toge, jika terkena racun Jarum Malaikat," ujar Empu Segah yang kelihatan cukup menguasai di bidang senjata dan pusaka beracun. "Setelah te­lingamu yang mengkerut dan menjadi kecil, lalu hilang... maka kepalamu pun akan menjadi mengkerut dan kecil. Bahkan seluruh tubuhmu nanti akan menjadi kecil karena pengaruh racun Jarum Malaikat."

Sekarang baru sadar Suro, bahwa Laras Peri tadi kabur bukan karena enggan menghadapi Empu Segah, melainkan ingin segera memperoleh penawar racun jarumnya sendiri. Kalau ia tidak segera memperoleh penawar itu, maka tangannya akan menjadi kecil dan tak berfungsi lagi.

Suro Bodong manggut-manggut, lalu dengan gerakan cepat ia mengimbangi lompatan Empu Segah yang seperti terbang itu. Mereka menuju gunung Sembur, tempat Empu Segah tinggal bersama beberapa pusaka atau senjata ciptaannya.

Rumah yang dikatakan Pondok Sembur itu cukup besar untuk ukuran satu orang. Terbuat dari belahan kayu-kayu jati yang rapat dan tersusun rata sebagai dindingnya. Pondok Sembur itu berbentuk rumah panggung berlantai kayu juga. Ruang dalamnya tanpa kamar penyekat. Lebar dan luas. Hanya saja ada bagian­bagian di mana untuk tidur, di mana untuk duduk-duduk dan lain sebagainya. Tempat itu amat sunyi. Sepi sekali.

"Suro, sebelum kita bicara panjang lebar, mari kusembuhkan dulu racun di telingamu itu...!" kata Empu Segah.

Hati Suro lega mendengar kesanggupan Empu Segah. Tetapi ia jadi terperanjat kaget ketika melihat Empu Segah mengeluarkan seekor ular sebesar kelingking dari kandang yang ada di belakang rumah. Ular itu berwarna merah cabe, dan panjangnya lebih dari lima jengkal.

"Mari, mendekatlah, Suro...."

Bibir Suro kelihatan gemetar sambil mengusap-usap telinganya. "Apa maksudmu memegang ular Sanca Welang begitu? Aku tahu, Sanca Welang jika menggigit orang akan mematikan orang tersebut dalam tiga hitungan, Kek."

"Justru telingamu harus digigit ular ini, Suro."

"Edan...!" gerutu Suro. "Orang-orang akan lari terbirit-birit jika melihat ular Sanca Welang, ini malah aku sengaja digigitkan ular jahat itu. Apa-apaan kau...?"

"Suro... mendekatlah. Jangan mundur-mundur begitu!"

"Tidak! Aku tidak mau digigit ular seganas itu. Jangankan digigit, melihat pun tidak berminat aku...!"

"Hanya bisa dari ular ini yang dapat menawarkan Jarum Malaikat itu Suro. Ayolah... Sebelum racun Jarum Malaikat itu merambat mengkerutkan kepalamu, tawarkanlah lebih dulu dengan racun ular ini...."

Suro Bodong serba salah dan kebingungan. Ia meraba daun telinganya yang kiri. Oh... semakin mengkerut saja. Kecil. Sebesar jempol tangannya. Wah... gawat. Suro tak sanggup membayangkan bagaimana rupanya jika kepalanya pun mengkerut sekecil jempol tangannya. Sudah jelas, sulit mengenakan ikat kepala, dan mungkin ia tak akan bisa garuk-garuk kumis lagi.

Ketika sedang termenung membayangkan kengeriannya, tahu-tahu kaki Empu Segah merangkul leher Suro, dan menggamitnya kuat-kuat, dan menariknya ke bawah dengan cepat.

"Hei, hei...! Jangan begini caranya, aaauhh...!"

Suro Bodong berteriak ketika telinganya terasa digigit oleh ular Sanca Welang. Panas sekali rasanya. Dan kaki Empu Segah pun melepaskan jepitan lehernya.

"Aaooww...!! Aaaahww...!"

Suro Bodong berteriak-teriak sambil berguling-guling di tanah. Empu Segah membiarkan. Ia bahkan berjalan dengan tenang meninggalkan Suro Bodong, memasukkan ular merah cabe itu ke dalam sangkarnya. Lalu, ia kembali lagi menyaksikan Suro Bodong gulung-koming di pelataran pondoknya. Tubuh Suro Bodong mengejang-ngejang, berkeringat dan menjadi pucat. Membiru.

Sekali pun Suro Bodong berteriak minta tolong sambil kelojotan di tanah. Empu Segah hanya mengelus-elus jenggotnya yang panjang sebatas dada berwarna putih. Semua cacian, kata-kata kotor, terlontar dari mulut Suro Bodong. Apalagi setelah Suro Bodong menyadari bahwa telinganya yang digigitkan ular itu menjadi bengkak dan sakit disentuhnya. Suro mencaci maki Empu Segah tak ada habis-habisnya. Namun yang dicaci hanya diam, me­mandang alam sekeliling yang tipis akan hutan dan tanaman tinggi. Hanya ada beberapa batang pohon yang ada di sekitar Pondok Sembur, dan hal itu membuat pemandangan ke bawah semakin jelas, enak dinikmati.

Beberapa lama setelah itu, Suro Bodong tidak terdengar suaranya lagi. Ia lelap, setengah pingsan. Ia mengerang dengan tubuh menggigil. Kemudian Empu Segah membawanya ke dalam dengan setengah diseret. Suro Bodong dibaringkan di sebuah tikar tebal berlapis daun-daun pandan kering.

"Aku haus... aku haus...!" Suro Bodong mengerang lemas.

Empu Segah memberikan minuman kepadanya seraya berkata, "Peganglah telingamu itu... sudah membesar lagi, bukan?"

"Ohh... oouh... tapi sakit jika tersentuh apa pun, Kek."

"Lebih baik sakit sesaat dari pada kecil selamanya, bukan?"

"Aku... aku apakah bisa sembuh lagj... uuh?!"

"Racun Sanca Welang sedang melumat habis racun Jarum Malaikat. Keduanya akan menjadi tawar dan meleleh berupa cairan hitam dari bekas gigitannya tadi..."

"Waduuohh...! Tapi lain kali jangan melakukan penyembuhan dengan cara asal gigit begini, ah...! Uuh... sakitnya tidak tahan aku...!"

"Usahakan tidur sesaat untuk mengurangi rasa sakit."

Empu Segah keluar pondok sampai beberapa lama. Suro tak ingat lagi. Pandangannya tadi kabur, suram. Lalu ia pun tertidur. Dan ketika bangun, pertama-tama yang dilihatnya adalah sinar dari lampu minyak yang menempel pada salah satu saka menyangga atap rumah. Ia menggeliat dengan suara erangan tipis.

Oh, tubuhnya jadi terasa ringan sekali. Gerakannya enteng. Begitu pula dengan nafasnya, sangat lega. Segar sekali badannya ketika itu. Ia mencoba meraba telinga kirinya dengan hati-hati. Wah, telinga itu telah menjadi seperti biasa. Sama dengan daun telinga yang kanan. Juga tidak terasa sakit lagi disentuh.

Ia bergegas bangun, astaga... Empu Segah mendengkur dengan nyenyaknya. Agaknya hari sudah lewat tengah malam. Karena sebentar kemudian ia mendengar cicit burung dan suara ayam berkokok di kejauhan sana. Samar-samar sekali terdengarnya.

O, oh... rupanya bukan tengah malam lewat saja, tapi memang sudah pagi. Suro Bodong membuka jendela samping, dan ia sempat melihat langit memerah dengan bias sinar di ufuk Timur yang membara. Itulah sang surya yang hendak bangun dan peraduannya. Segar sekali udara di luar. Suro Bodong pun keluar dengan pelan-pelan agar tidak membangunkan tidur Empu Segah.

Di pekarangan Pondok Sembur, ia merentangkan tangannya dan menghirup udara pagi yang dingin menyegarkan itu. Sekujur badannya benar-benar nyaman, nafasnya pun sungguh lega dan menghirup udara pagi yang segar sebanyak-banyaknya. Suara cicit burung menambah kesegaran bagi otak Suro Bodong di pagi itu.

Hanya saja, sewaktu ia masih merentangkan tangannya lebar-lebar, tiba-tiba ada anak panah yang melesat terarah ke dadanya. Seketika itu pula Suro Bodong melompat ke samping sambil tangan kirinya bergerak melambai, menangkap anak panah tersebut. "Jaab..!!"

Suro segera bangkit dengan lutut bertumpu pada tanah. Pada saat itu, punggungnya terasa dihempas angin tipis yang kian lama, terasa kian jelas. Seketika itu pula, Suro Bodong berguling sambil menggerakkan tangannya ke belakang, dan ternyata ia menangkap satu lagi anak panah dari orang yang bersembunyi.

"Apa-apaan ini...?" pikir Suro Bodong. "Baru saja mau menikmati alam segar sudah ada penyakit yang datang!"

Mata Suro Bodong bergerak liar dengan badan membungkuk di balik pohon dadap. Ia mencari-cari seseorang dari rimbunan semak atau belahan batu besar, namun ia tak menemukan seseorang di sana. Lantas siapa yang telah berani memanahnya? Apa urusannya? Mungkinkah mereka anak buah Laras Peri?

"Pasti dua orang yang sengaja memanahku, karena dua anak panah ini datangnya dari dua arah yang berbeda." Suro berkata sendirian dalam gerutu. Matanya masih bergerak nanar meneliti tiap jengkal tanah dan tempat-tempat yang dicurigakan.

Tetapi, nalurinya segera mengatakan, ada orang yang sedang mengendap-endap dari arah belakangnya. Oh, bukan dari belakang persis, tetapi dari atas... atas pohon? Oh, bukan. Bukan atas pohon, melainkan... atas genteng sirap rumah itu. Segera Suro Bodong berguling ke depan dengan membiarkan tubuhnya menerjang embun yang melekat di rerumputan. Tepat ketika ia bergerak, seseorang meluncurkan anak panahnya dari atap rumah. "Jeeuub...!!" Panah tajam menancap pada pohon dadap, tempat yang dipakai Suro Bodong berlindung.

Di tangan Suro Bodong masih menggenggam dua batang anak panah yang berhasil ditangkapnya tadi. Salah satu segera dilemparkan dengan hentakkan tenaga dalam yang kuat. Anak panah itu melesat seperti terlepas dari busurnya.

"Weess...!"

"Aaah...!"

Orang di atas atap menggelinding dan menahan sakit. Ia tak mampu berteriak lebih keras lagi, karena yang terkena panah lemparan Suro adalah bagian lehernya. Tepat tengah leher dan tembus ke belakang. Tentu saja hal itu membuat orang itu menggeliat limbung dan jatuh ke tanah tanpa bisa bernafas lagi. Pada saat itu, seorang lagi melayang dari atas sebuah pohon di belakang rumah. Mungkin ia ingin menolong temannya, namun gagal. Temannya sudah terlanjur jatuh dan ia sudah terlanjur dilihat oleh Suro Bodong.

Baru saja orang berpakaian hitam itu hendak berbalik melarikan diri, Suro Bodong telah menyusulnya dengan satu kali lompatan tenaga dalam. Suro berdiri di belakang orang itu, lalu mencolek punggung orang tersebut. Yang dicolek berpaling, lalu ia tergagap karena wajahnya dihantam kuat oleh kepalan tangan Suro Bodong yang tidak memegangi anak panah.

"Sapi Kempot...! Siapa kau sebenarnya, hah? Mengapa kau hendak membunuhku?! Bangsat kodok...!" dan sebuah tendangan bersarang di perut orang yang mengenakan pakaian serba hitam dengan ikat kepala biru muda.

Orang itu hendak terguling jatuh, namun ia buru-buru menghentakkan tangannya hingga membuat suatu lompatan yang tak terduga oleh Suro Bodong. Lompatan itu membawa kedua kakinya ke arah Suro Bodong, lalu keduanya dijejakkan secara serentak. Dada dan pipi Suro Bodong dengan rela menjadi sasaran tendangan berganda itu. Suro terpelanting jatuh di atas atap itu. Ia juga hampir saja tergelincir jatuh ke bawah, untungnya ia segera memperoleh keseimbangan tubuh dalam posisi setengah berdiri. Lututnya masih bertumpu sebagai ganti kaki kirinya, sedangkan kaki kanannya menaplak di atas atap itu.

Namun, ternyata sebuah anak panah telah disiapkan oleh lawannya. "Sreet...!" Anak panah melesat cepat dalam jarak tak kurang dari lima langkah.

"Trak...!"

Suro Bodong menangkis anak panah itu dengan anak panah yang tadi berhasil ditangkapnya. Hampir saja telinga Suro menjadi sasaran anak panah yang ditangkisnya kalau dia tidak segera berguling ke arah kaki lawannya.

Orang berpakaian serba hitam segera mencabut goloknya dari pinggang. Ia menebas tubuh Suro Bodong yang dilompatinya.

Dua kali tebasan kilat bisa dihindari Suro Bodong dengan satu tangkisan memakai anak panah, dan satu lagi dengan cara berguling ke arah lain. Tetapi kaki Suro Bodong tidak mau diam saja. Dengan menggunakan kedua tangannya sebagai ganti kaki, ia menendang lawan dengan kaki kanan. Tendangan itu cukup tinggi dan sampai ke dada lawan sehingga lawan pun terpental jatuh di atap tersebut.

Empu Segah terbangun akibat suara bergedebuk di atapnya. Ia melirik tempat Suro Bodong berbaring, ternyata sudah tidak ada penghuninya. Ia bergegas keluar, dan menemukan mayat seseorang yang lehernya ditembus anak panah. Suara orang bertarung masih terdengar di atas atap. Empu Segah berjalan ke pekarangan dan memandang ke atas atap, ooh... Suro Bodong sedang bermain-main dengan seorang lawan yang lumayan tangguhnya, pikir Empu Segah. Dan ia tidak banyak bertindak kecuali melipat kedua tangannya di dada sambil nonton pertarungan tersebut.

Suro Bodong tidak sempat mengetahui bahwa Empu Segah menyaksikan pertarungannya. Ia memadukan jurus kibasan golok dengan hantaman busur yang agaknya terbuat dari kayu sawo dengan masing-masing bagian ujungnya runcing, siap untuk menusuk lawannya.

Suro Bodong lebih hati-hati lagi, karena kedua jurus yang dipadukan itu mempunyai gerakan yang mengejutkan. Jika golok melesat ke samping maka busur runcing itu menghunjam ke depan, entah ke bawah atau ke atas. Jika busur menebas ke samping kanan, maka gerakan golok membelah dari atas ke bawah atau sebaliknya.

Suro Bodong mulai terasa terteter oleh gerakan simpang siur itu. Ia hanya bersenjatakan satu anak panah hasil tangkapannya tadi. Kalau anak panah sering dipakai menangkis senjata lawan, sudah pasti akan patah pada suatu ketika. Karena itu, Suro Bodong tidak banyak melakukan jurus tangkisnya, selain gerakan menghindar sambil menyerang sesekali. Terkadang ia merunduk mendadak, menghindari tebasan golok ke leher, tapi tiba-tiba ia harus menjatuhkan diri ke samping depan karena busur runcing itu terhunjam ke arahnya. Dan pada saat ia menjatuhkan diri ke depan itulah ia sempat menendang kemaluan lawannya dengan kerasnya.

Permainan itu sempat terulang untuk yang kedua kalinya. Tapi kali ini Suro Bodong tidak mau hanya menendang bagian vital lawannya, melainkan juga melemparkan anak panah dengan kekuatan tenaga dalamnya, sehingga anak panah itu melesat bagai terlempar dari tali busur yang keras.

"Juub...!" Lalu disusul teriakan tertahan, "Aaauhh...!"

Anak panah itu berhasil menancap di lambung lawannya. Orang itu masih sempat bertahan dengan mengibaskan busurnya ke arah Suro Bodong. Busur lewat dengan cepat di bawah kaki Suro Bodong yang melompat. Lalu, Suro pun berteriak keras, "Mampus kau, heeaat...!!"

"Aaakh...! Uuukh...!"

Lawan berpakaian serba hitam dengan ikat kepala biru muda itu mengerang memegangi lambungnya, sebab kaki Suro Bodong menendang anak panah yang menancap di lambung. Tendangan itu berhasil membuat anak panah masuk ke lambung seluruhnya. Tinggal sisa beberapa yang kelihatan pada bulu­bulunya.

Orang itu menggeliat lemas, dan jatuh terguling hingga ia sampai ke tepian atap. Suro Bodong menyempatkan untuk menen­dang kepala orang itu dengan keras, seperti ia menendang rongsokan bakul nasi. Tak ayal lagi, orang itu terjungkal jatuh ke bawah, tepat di samping kiri Empu Segah. Telinganya mengucurkan darah, namun ia tak mampu berdiri lagi. Ia masih punya nafas sisa nafas yang tersengal-sengal. Empu Segah segera jongkok dan bicara dengan tenang kepada orang itu:

"Siapa yang menyuruhmu ke mari? Apa maksudmu membuat kekacauan di pondokku, hah? Kalau kau mau menjawab, aku akan menolongmu. Aku bisa menyelamatkan kamu...!"

"Tu... tumenggung Simboyo... me... me..." Orang itu tak sanggup bicara lagi. Nafasnya menghempas panjang, dan ia pun terkulai tanpa nyawa.

"Hei, kalau mau kusembuhkan jangan mati dulu...!" kata Empu Segah seenaknya saja. Kemudian geleng-geleng kepala sendiri memperhatikan kedua mayat tak dikenal itu.

Suro Bodong masih nongkrong di atas atap, di tepian. Dari sana ia berseru:

"Siapa mereka, Kek? Kenapa mau membunuhku?"

"Kau disangka aku...!" jawab Empu Segah.

"Apa ada orang yang mau membunuhmu?"

"Banyak! Di antaranya Tumenggung Somoboyo. Ia memaksaku untuk membuat pedang pusaka tiruan. Tapi aku tidak bersedia. Dia takut aku membocorkan rencananya, maka dia mengirim kedua orang andalannya untuk membunuhku. Ternyata mereka salah pilih. Kau disangka aku. Padahal kau dengan aku jauh berbeda, terutama di dalam hal kesaktiannya. Betul, kan? "

Suro Bodong hanya nyengir sinis dan duduk di tepian atap.

3

Banyak hal yang harus diketahui Suro Bodong tentang Istana Awan. Rupanya, Empu Segah banyak mengetahui siapa Laras Peri itu.

"Dia menyimpan cermin di balik pakaiannya. Apabila ia ingin mati, maksudku dalam keadaan sekarat, ia akan segera mengambil cerminnya, dan ia akan mengaca. Jika ia mengaca ia memperoleh kekuatan kembali dan dapat hidup lagi. Cermin itu yang dinamakan pusaka Benggala Titis."

Suro Bodong menyimak pembicaraan Empu Segah sambil makan jagung bakar kesukaannya. Empu Segah masih menyimpan persediaan makanan, termasuk beberapa buah jagung yang kemudian dibakar oleh Suro. Ia paling suka makanan jagung bakar, sampai-sampai ia merasa sehari semalam betah tidak makan nasi kecuali jagung bakar.

Sambil mengunyah-ngunyah jagung bakar itu, Suro Bodong membiarkan Empu Segah membeberkan segala yang diketahui mengenai Laras Peri.

"Jangan menganggap remeh Laras Peri. Ia orang kepercayaan Ratu Istana Awan. Ilmunya cukup tinggi. Dan hati-hati dengan senjata Cakranya itu. Itu senjata yang sangat berbahaya dan serba bisa. Kalau kau mau merebut kembali istrimu, kau harus membawa beberapa piranti; perlengkapan untuk menghadapi orang-orang Istana Awan, terutama Laras Peri..." Empu Segah meraih sebuah kantong kecil dari kulit celeng.

"Apakah semua orang Istana Awan mempunyai ilmu setinggi Laras Peri?" Suro Bodong bertanya sementara Empu Segah hendak menjelaskan sesuatu.

"Tidak. Hanya Laras Perilah orang terkuat nomor dua di Istana Awan itu."

"Yang nomor satu?"

"Ratu, yang acap kali dipanggil Sri Ratu Manis...!"

Kepala berambut panjang tak teratur itu manggut-manggut sambil mengunyah jagung bakar. Sesekali Suro menggaruk kumisnya yang tebal sambil menggumam. Kemudian ia sempat bertanya dengan suara tak jelas karena mulutnya penuh jagung:

"Di mana letak Istana Awan itu?"

"Sulit ditentukan."

Suro Bodong yang beralis tebal itu mengerutkan dahi.

"Kenapa sulit ditentukan?"

"Istana itu seperti berada di atas gumpalan awan, dan karenanya istana itu berubah, berpindah-pindah tempat. Setiap mereka mengorbankan tumbal, istana itu akan bergerak meninggalkan tempat tersebut. Kemudian berhenti di suatu tempat untuk satu purnama. Lalu mereka mencari tumbal lain yang pada umumnya adalah putri seorang raja. Mereka tak berani pergi sebelum mereka melakukan upacara adat yang membutuhkan tumbal bagi dewa mereka."

"Jadi..." gumam Suro Bodong termenung sesaat. "Jadi letak istana itu ada di atas kepala manusia?"

"O, tidak! Istana Awan memang tidak menyentuh tanah. Namun ketinggiannya dari tanah hanya satu meter. Kau bisa masuk melalui tangga, menuju halaman luar Istana Awan.

Tetapi untuk mencari tangga itu tidak mudah. Kalau toh kau berhasil menemukan tangga yang terdiri dari empat baris itu, maka begitu naik, kau akan disambut oleh dua penjaga berseragam pakaian kuning gading...."

Suro Bodong tertegun beberapa saat, mengunyah jagungnya dengan badan bersandar pada tiang penyangga atap.

"Bawalah kantong ini," Empu Segah menyerahkan sebuah kantong kecil bertali pendek, warnanya hitam.

"Kantong apa ini?!" tanya Suro heran.

"Di dalamnya berisi biji-bijian sejenis kacang tanah. Makanlah itu untuk bekal di perjalanan."

Suro Bodong mengamati kantong kecil itu, membuka pengikatnya, dan melihat isinya yang memang terdiri dari biji-bijian seperti kacang tanah namun lebih besar sedikit dan berwarna hijau kehitam-hitaman. Mulanya Suro ingin mencicipinya, tapi ia takut mengganggu kelezatannya dalam mengunyah jagung bakar. Akhirnya ia simpan saja di balik sabuk kainnya yang berwarna kuning itu.

"Kalau kau mau menyelamatkan istrimu," kata Empu Segah. "Kau harus menemukan Istana Awan sebelum rembulan tenggelam. Sebab pada saat bumi tanpa bulan, ketika itulah ia akan dijadikan tumbal masyarakat Istana Awan."

"Kenapa harus begitu? Kenapa tidak pada saat malam diterangi rembulan?"

"Secara pasti, aku tidak tahu. Tetapi dugaanku mengatakan, bahwa pada saat bumi tanpa bulan dan mereka mengorbankan tum­balnya, maka Istana itu sepertinya tetap bercahaya bulan. Terang. Dan Sri Ratu Manis menyukai cahaya bulan. Hati-hati kalau kau ber­temu dengannya, sorot mata Sri Ratu Manis dapat mengakibatkan kau lumpuh mendadak."

"Berarti dia berilmu tinggi, ya?"

"Kalau muridnya, seperti Laras Peri saja mempunyai kekuatan yang hebat, apalagi gurunya."

Suro manggut-manggut lagi. Kemudian, Empu Segah mengambil sepotong kayu dari meja yang penuh dengan senjata.

"Gunakan kayu ini. Apabila kau masuk ke halaman Istana Awan, lemparkanlah kayu ini. Buang saja di sembarang tempat. Kayu ini dapat menyelamatkan kamu."

"Cara kerja kayu ini bagaimana?"

"Kau akan tahu sendiri, nanti. Dan... bawa juga tiga batu ini..." Empu Segah menyerahkan tiga batu kerikil seukuran ujung jempol kaki Suro Bodong. Ia menambahkan:

"Lemparkan tiga batu ini satu persatu ke tempat-tempat yang kau anggap gawat. Jika tidak terpaksa, jangan untuk melempar."

"Kalau sudah kulemparkan akan bagaimana?"

"Lakukanlah sendiri, baru kau tahu jawabannya."

Tak banyak tanya lagi, Suro Bodong memasukkan tiga butir batu ke dalam ikat pinggangnya yang lebar. Kendati lebar, namun masih juga tak berhasil menutup pusernya yang bodong itu.

"Dan... ini adalah topeng. Bawalah topeng ini..." kata Empu Segah seraya menyerahkan sebuah topeng berwarna merah dengan wajah seorang satria tampan. Topeng itu terbuat dari kayu, namun bagian dalamnya berlapis kain empuk yang sedikit tebal. Suro Bodong menerimanya dengan wajah heran, karena sejak tadi ia dibekali banyak benda yang baginya aneh, sepertinya tak masuk akal jika benda itu adalah piranti untuk menyerang ke Istana Awan.

"Suro, kalau kau tertangkap dan dipenjara, pakailah topeng itu. Paling tidak bisa membuat penjaga kamar penjara terkejut melihat wajahmu, kemudian ia akan membukakan pintu dan kau bisa melakukan penyerangan."

"Oo... begitu. Baiklah. Tapi, kalau boleh aku bertanya padamu: mengapa kau membekaliku seperti ini? Kau sangat setuju kalau aku menyerang ke sana. Ada apa sebenarnya? Dan... mengapa kau seolah-olah hafal betul dengan keadaan di Istana Awan itu? Apakah kau bekas orang Istana Awan?"

"Bukan! Aku bukan orang Istana Awan. Tapi aku pernah menjadi tawanannya. Lima tahun aku diperbudak dan dijadikan tawanannya. Pada waktu itu, aku ingin membebaskan istriku yang ingin dijadikan tumbal...."

Suro buru-buru memotong, "Kalau begitu istrimu dulu juga putri seorang raja?"

"Benar. Putri raja di negeri Swaranadwipa. Peristiwanya sama dengan yang kau alami. Aku ditawan karena ingin membebaskan istriku. Aku disuruh memilih hidup di Istana Awan atau mati di luar istana. Maka, aku memilih untuk hidup di sana sambil mempelajari cara meloloskan diri. Dan aku berhasil. Lalu, aku menyiapkan beberapa cara untuk dapat mengalahkan orang-orang Istana Awan. Termasuk dengan menggunakan cermin ini..." Empu Segah menunjukkan cermin bulat bersisi tiga. Jadi seperti segi tiga, namun bidang miringnya itu berbentuk bulat.

"Bawalah pula cermin ini, dan usahakan bisa kau letakkan di tengah tempat lapang di depan kamar atau serambi Sri Ratu Manis. Di depan serambi itu ada tempat luas, biasanya untuk melakukan upacara korban, atau untuk mengadakan malam sukaria. Di sana ada lantai bergambar lingkaran dalam bentuk bunga matahari. Letakkan cermin ini di tengah-tengah lingkaran itu, lalu tinggalkan saja dia, sementara kau bisa melanjutkan mencari jalan keluar, atau mencari di mana istrimu ditahan mereka."

Suro Bodong menghela nafas, lalu berkata, "Apa kau yakin aku akan bisa merebut istriku kembali?"

"Tentu. Bahkan aku yakin kau bisa mengalahkan mereka."

"Dari mana kau bisa yakin begitu?" pancing Suro.

"Ilmu silatmu cukup tinggi. Kau pun mempunyai ketahanan tubuh yang cukup kuat. Hanya saja, kau akan kalah akal dengan mereka jika tanpa perabot yang kubekalkan kepadamu itu. Kuharap, kau mau menghancurkan mereka dan hati-hati dengan jebakan mesra, kau bisa mati kaku kehabisan darah karena mereka mempunyai daya serap yang sungguh berbahaya dan mengagumkan."

Sekali pun semua kata-kata tidak diresapi, tapi Suro Bodong kali ini hanya menangkap garis besar dari keterangan tadi. Ia tahu, bahwa di sana banyak jebakan, dan ia diminta untuk hati-hati dalam melangkah.

"Apa aku perlu pusaka lain untuk membunuh Laras Peri?" tanya Suro Bodong setelah mereka sama-sama bungkam beberapa saat.

"Kau sudah punya? Kalau belum kau bisa kubekali keris pusakaku yang pernah menjadi bahan rebutan oleh tokoh-tokoh dunia persilatan, bahkan sampai geger besar di sebuah kadipaten sebelah Barat Kediri."

Setelah mempertimbangkan kerepotan membawa perabot itu, Suro Bodong berkata:

"Aku punya pusaka sendiri."

"Aku tidak melihatnya!" bantah Empu Segah. Suro diam sejenak, lalu berkata lagi:

"Pedang Urat Petir, itu pusakaku. Apakah cukup?!"

Empu Segah bagai tersambar petir mendengar kata-kata Suro Bodong. Ia terhenyak duduknya jadi bergeser mundur. Wajahnya menjadi tegang dan matanya yang keriput itu membelalak berapi-api.

"Kau... kau memiliki pusaka Pedang Urat Petir?!" nada­nadanya Empu Segah kurang percaya, paling tidak bimbang terhadap pengakuan Suro Bodong.

"Kurasa lebih baik kau tidak percaya, daripada kau paksa aku untuk membuktikannya."

Tetapi Empu Segah justru berbengong-bengong memandang Suro Bodong. Mulutnya yang melongo itu seakan sulit bicara. Bibirnya kelihatan gemetar ingin mengucapkan sesuatu.

"Kau... kalau begitu... kau anak Eyang buyut Birawa Paca penguasa gunung Krakatau?!" Empu Segah menuding dengan jari gemetar.

"Eyang buyut?" Suro berkerut dahi. "Mengapa kau memanggil ayahku dengan sebutan eyang buyut? Apa hubungannya denganmu?"

"Eyang buyut Birawa Paca mempunyai kakak Jayeng Wirobo. Dia adalah kakekku, yang melahirkan ayahku dengan nama Windusanja. Akulah anak Windusanja...."

Suro Bodong masih tercenung dengan dahi berkerut. Matanya memandang Empu Segah yang berwajah tegang. Tapi tak sebersit pun ada ingatan di benak Suro tentang nama-nama keturunannya. Ia telah lupa sama sekali. Barangkali dulu ayahnya yang memang penguasa gunung Krakatau itu pernah bercerita tentang keluarganya, tapi Suro tidak ingat sama sekali. Bahkan kalau tidak melalui bantuan Eyang Panembahan Purbadipa, Suro juga tak akan mengetahui siapa ayahnya, siapa ibunya dan dari mana asalnya. (Ada dalam kisah: Pertarungan Bukit Asmara).

Maka, ketika ia mendengar pengakuan Empu Segah bahwa ia dan kakek berjenggot panjang itu masih ada hubungan darah per­saudaraan, Suro Bodong tidak begitu tertarik. Menganggapnya hal yang biasa-biasa saja. Bahkan ketika Empu Segah melepas kepergiannya dengan hormat sebagai seorang yang merasa lebih tua dalam susunan darah keturunan, Suro Bodong hanya tersenyum tipis. Dalam hati merasa geli, sebab kakek setua itu masih mau memberi hormat kepadanya sebagai saudara yang lebih tua dari Empu Segah.

Suro Bodong tidak pernah menghiraukan, apakah pengakuan Empu Segah itu benar atau palsu. Yang penting baginya adalah menyelamatkan Sendang Wangi agar jangan sampai menjadi korban tumbal orang-orang Istana Awan. Hanya saja masalahnya sekarang, di mana ia bisa menemukan negeri yang bernama Istana Awan itu? Dan apakah benar bahwa Istana Awan itu adalah suatu tempat yang dapat berpindah-pindah? Apakah benar Istana Awan mempunyai tempat yang mengandung banyak jebakan?

Apa pun yang terjadi, dan bagaimana pun keadaannya, Suro Bodong tetap ingin melacak istana itu, dan menyelamatkan istrinya. Satu-satunya arah yang harus dituju adalah kembali ke tempat pertemuannya dengan Empu Segah yang pertama, yaitu tempat ia bertarung melawan Laras Peri. Dari sana Suro dapat mengingat­ingat ke mana perginya raga istrinya yang ditarik melayang oleh kekuatan hebat dalam keadaan tertidur nyenyak.

Langkah kaki Suro Bodong terhenti. Tempat pertarungannya dengan Laras Peri masih jauh. Tapi ia terpaksa menghentikan langkah kakinya karena ia mendengar suara seorang mengerang dalam kesakitan. Ia memasang telinga, menyimak asal suara tersebut. Ternyata dari arah kirinya. Maka, bergegaslah Suro Bodong ke arah tersebut.

Astaga...! Ia melihat seorang lelaki kurus dalam keadaan terbaring tanpa busana dan berwajah pucat pasi. Lelaki itu tergeletak di rerumputan semak sambil menangis dan mengerang. Tubuhnya tak ada luka, tapi ia sangat pucat pasi seperti mayat.

Waktu Suro Bodong mendekat, lelaki itu memandangnya dengan sorot mata yang redup. Layu.

"Hei, kenapa kau?" Suro Bodong bertanya tegas, karena ia ingin menutupi hatinya yang terharu melihat keadaan lelaki tanpa busana itu. "Kenapa kau santai-santai saja di sini? Istirahat, ya?"

"Ooh... tolonglah... tolonglah aku...."

"Apa yang harus kulakukan untukmu? Aku tidak tahu kau kenapa dan siapa dirimu. Jadi, apa yang bisa kulakukan?"

"Nnnna... namaku... Sss... Setu... uuhh...!" lelaki itu tersengal­sengal, sulit bernafas. Suro menahan kepedihan dalam hati melihat kesengsaraan orang yang mengaku bernama Setu itu.

"Apa yang telah terjadi padamu. Setu?!"

Setu semakin megap-megap. "Tolonglah... bunuh... bunuh...."

"Siapa yang harus dibunuh?"

"Aa... ak... aku...!"

Suro Bodong terperanjat mendengar permintaan Setu. Ia minta dibunuh. Aneh. Apa sebenarnya yang telah terjadi?

Setu menjelaskan lagi dengan suara pelan dan susah payah. Suro Bodong benar-benar menyimak dengan hati trenyuh.

"Ak... aku... lumpuh, dan... dan… luka parah...."

Mata Suro meneliti keadaan Setu yang masih bugil itu, namun ia tidak menemukan bekas luka atau memar sedikit pun di tubuh Setu. Hanya warna kulit yang memucat saja yang terlihat oleh mata Suro Bodong.

Setu masih berusaha menjelaskan kendati ia sangat kepayahan dalam menuturkan kata.

"Aku... tid... tidak tahan menderita sak... kiit... oh, oh... bunuhlah aku sekarang... juga. Tolong...."

Setu memohon dengan mata yang semakin sayu dan berair. Suro Bodong menelan ludahnya sendiri menahan kenyeriandi hatinya melihat keadaan Setu. Lelaki itu benar-benar tidak dapat menggerakkan badannya lagi, kecuali hanya mulutnya yang mampu bergerak dengan susah. Bahkan ia berpaling memandang Suro Bodong pun tak sanggup.

"Siapa yang membuatmu sampai lumpuh begini?" Suro bertanya dengan hati-hati, suaranya cukup pelan.

"Sss... ss... Sri..." Setu menghela nafas dengan berat sekali. Suro menyimak dan memperhatikan dengan teliti, sampai-sampai ia tak sadar kalau dahinya berkerut kian tajam.

"Sri siapa?" desak Suro.

"Sss... sri... Sri Ratu... Manniis... Huugh...!"

Terperanjat Suro mendengar nama Sri Ratu Manis disebutkan oleh Setu. Pasti Setu dapat menunjukkan di mana letak Istana Awan berada. Pasti bisa!

"Setu, di mana letak Istana Awan? Di mana?!" Suro kelihatan bersemangat sekali. Setu masih tetap dalam posisi semula, terlentang dengan keadaan kepala miring ke kiri, menghadap tanaman semak belukar. Matanya yang basah memancarkan sinar yang pudar. Bagai sorot mata di ambang kematian.

"Setu, lekas katakan di mana Istana Awan itu? Aku akan ke sana untuk membunuh Sri Ratu Manis...."

"Bun... bunuhlah... aku dulu. Tol... tolong, bunuhlah. Aku tak tahan lagi... ooh, tak tahan...."

"Katakan dulu di mana letak istana itu, nanti kau akan kubunuh," desak Suro Bodong yang menjadi cemas kalau-kalau Setu mati sebelum menyebutkan tempat Istana Awan.

"Ddd... di... di dekat telaga... seb... sebelah kiri...."

Suro Bodong semakin mengerutkan dahi, wajahnya jadi lebih kasar dari biasanya, ia memandang keadaan sekeliling. Ia masih bingung. Tak ada tanda-tanda yang meyakinkan kalau Istana Awan ada di sekelilingnya.

"Mengapa kau minta dibunuh? Ini permintaan yang sukar bagiku, karena kau tidak mempunyai kesalahan apa-apa padaku, Setu. Sebaiknya, kau bertahan dan aku akan menolongmu sekarang juga."

"Per... percuma." Setu berusaha menghirup nafas melalui mulut. "Akk.. aku terkena... ilmu... Suryapati... Aku akan lumpuh, dan... dan bagian dalamku rusak. Dalam beberapa hari akan tersiksa merasakan... sakit. Ooh... sakit sekali. Ak... aku dibuang oleh mereka, setelah... huuuugh! Setelah..." Setu semakin parah. Nafasnya tersendat-sendat. Tangannya bergerak karena sendatan nafas itu.

"Setu...?! Hei, jangan mati dulu... hei...?!"

Suro Bodong mengangkat kepala Setu. Kemudian mulut Setu mengeluarkan cairan hitam keputih-putihan, seperti busa yang kental. Suro Bodong menyeringai jijik dan ngeri. Lalu, nafas Setu pun tersengal kuat satu kali, kemudian hilang bersama terkulainya kepala yang melemas.

"Hei, Setuuu...?! Setuu...!" Suro Bodong berteriak membangunkan lelaki itu, tapi percuma. Tubuh itu menjadi kian dingin dan tanpa nafas lagi.

Akhirnya Suro sendiri yang menghempaskan nafas panjang sambil berdiri. Tubuh Setu yang telah menjadi mayat masih digeletakkan di rumput semak, sementara mata Suro memandang lagi ke sekeliling sambil garuk-garuk kumisnya.

Merinding juga ia melihat keadaan korban kekejian Sri Ratu Manis, terutama yang terjadi pada diri Setu. Tubuhnya menjadi lumpuh dan bagian dalamnya rusak. Mungkin itu disebabkan oleh ilmu Suryapati yang dimiliki Sri Ratu Manis. Menyesal sekali Suro tidak dapat memperoleh banyak keterangan dari Setu mengenai Istana Awan. Tetapi paling tidak ia sudah dapat meraba, bahwa Istana Awan tidak jauh dari tempatnya berdiri saat itu. Sebelah kiri? Ya, di sebelah kiri dekat sebuah telaga. Di sebelah kiri telaga atau di sebelah kiri...? Wah, ini membuat Suro Bodong bingung dan garuk­garuk kumis lagi.

Tetapi akhirnya naluri Suro memutuskan untuk berjalan ke arah sebelah kiri mayat Setu yang terbujur seperti pada posisi semula itu. Langkahnya cukup hati-hati, sebab Suro tahu kalau ia melangkah semakin dekat dengan Istana Awan, paling tidak akan semakin banyak perintang yang akan ditemuinya. Namun, sampai sejauh ia melangkah, ia belum juga menemukan sebuah telaga yang menjadi patokan letak Istana Awan. Suro masih harus bersabar dan melangkah dengan hati-hati lagi.

Matahari mulai condong ke Barat. Langkah kaki Suro yang pelan-pelan menimbulkan rasa pegal yang menjengkelkan. Suro berhenti sejenak. Ia mulai ragu, jangan-jangan ia salah arah. Ia menghempaskan nafas seraya duduk di bawah pohon besar. Perutnya yang tumben-tumbenan terasa lapar itu mengkeriuk minta diisi. Suro ingat biji-bijian sejenis kacang pemberian Empu Segah. Maka, satu demi satu ia memakan biji-bijian tersebut. Sedikit keras dan getir, tapi lumayan sebagai pengganjal perut. Dua biji dimakan, terasa cukup untuk membuat perut mulai kenyang.

"Aneh," gumam Suro sendirian. "Baru makan dua seperti sudah makan dua buah pisang kepok. Lumayan juga, ya?"

Masih ada sebagian biji-bijian yang belum dimakan, tapi Suro tak jadi melanjutkan melahapnya. Ia mulai curiga melihat tanah gembur dan empuk. Semakin ia melangkah memperhatikan tanah itu, semakin basah daerah sekelilingnya. Tanah itu mengandung air. Ini berarti dekat dengan sumber air. Ya. Air telaga?

Semangat Suro Bodpng kembali menyala. Ia bergegas melangkah maju. Ia yakin sudah dekat dengan telaga yang tadi disebutkan oleh Setu. Dan, ternyata dugaannya itu benar. Suro melihat genangan air telaga yang tidak terlalu luas. Garis tengah telaga itu kurang lebih hanya 15 meter. Akhirnya terlihat bening berkilauan. Di tepian telaga banyak tanaman perdu dan pohon menjulang. Beberapa daun sempat merimbun menaungi telaga. Berkas sinar matahari masuk melalui celah-celah dedaunan, mengakibatkan suasana di sekitar telaga menjadi lebih teduh dan nyaman.

"Ini telaga yang dikatakan Setu tadi..." gumam Suro Bodong. Tetapi ia melirik ke kanan-kiri, namun belum menemukan bangunan yang layaknya disebut sebagai istana.

Suro melangkah semakin maju dengan penuh kewaspadaan. Ternyata ketika ia membuka rumput ilalang di depannya, matanya menjadi terbelalak melihat pemandangan yang mengherankan. Di suatu sisi telaga, kira-kira 25 meter dari tepi telaga, terlihat suatu bentuk gumpalan asap tebal yang menyerupai awan. Gumpalan awan berwarna putih bagai sekumpulan kabut itu mengambang di atas tanah. Tingginya sekitar satu meter dari permukaan tanah. Sedangkan tebal awan itu sendiri satu meter lebih. Gumpalan awan itu melingkar, bagai memagari sebuah bangunan indah yang kelihatan samar-samar karena diselimuti asap-asap yang bergerak searah gerakan matahari. Bagian ujung atap bangunan terlihat lebih jelas ketimbang bagian dasar atau bangunan bawahnya.

Suro mengerjap-ngerjapkan mata, bagai tidak yakin dengan keanehan yang dilihatnya. Sebuah bangunan indah dan megah berdiri di atas gumpalan awan tebal, ini sungguh ajaib. Pantas rasanya jika bangunan itu bisa berubah tempat sewaktu-waktu, karena awan yang menggumpal dan seolah-olah dijadikan landasan itu juga mampu bergerak kian ke mari.

Mata Suro Bodong mengawasi bangunan megah itu, mencari-cari di mana letak tangga yang akan menghubungkan orang dari tanah naik ke atas gumpalan awan. Sukar sekali meneliti tempat aneh itu dari kejauhan. Mau tidak mau Suro harus berani mendekat dan mencari tangga tersebut. Ia juga ingat kata-kata Empu Segah, bahwa mencari tangga itu sendiri merupakan pekerjaan yang sulit.

Selagi Suro Bodong merenung dari balik semak ilalang, tahu-tahu leher kirinya terasa dingin. Ada logam yang menempel di lehernya, lalu disusul dengan suara seorang perempuan yang bernada rendah, kecil namun terlihat kecentilannya lewat suara:

"Apa yang kau lakukan di sini, hah?!"

Suro Bodong bagai tersiram air dingin. Merinding bulu kuduknya, berdebar pula jantungnya dengan cepat. Ah... menyesal sekali ia bisa tertangkap dengan mudah. Padahal ia masih membutuhkan waktu untuk menyelidiki daerah gumpalan awan itu.

"Bangun...!" bentak perempuan berpakaian hitam dari kulit beruang. Ia menodongkan tombak berujung runcing dengan kanan kiri ujung terdapat semacam kail besar yang melengkung, seperti pancing ikan raksasa. Ujung tombak itu sendiri cukup panjang dan tajam. Ada kira-kira sejengkal dan berbentuk segi empat ketupat. Ujung itu bagai semakin ditekankan ke leher begitu Suro Bodong bangkit dan berdiri.

"Apa yang kau lakukan di sini? Mengintai istana kami?" hardik perempuan genit yang suka tersenyum namun agaknya berdarah dingin yang tak kenal ampun kepada siapa pun.

"Aku... aku hanya terheran-heran melihat istana itu," kata Suro Bodong mencoba untuk tetap tenang. "Aku... aku sangat senang lihat gumpalan awan yang membungkus bangunan itu. Apakah aku tak boleh mengagumi bangunan itu?"

"Kau bohong...!" bentak perempuan itu dengan lebih menekankan tombaknya ke leher Suro. "Kau pasti memata-matai kami, bukan?"

"Bu... bukan! Aku... aku sekedar mengaguminya."

"Bohong!" bentakan itu seiring dengan gerakan tombak yang kian menahan dan menekan leher Suro. Waduh... bagaimana ini? Haruskah Suro menyerah begitu saja?

4

Perempuan berpakaian kulit beruang itu menyeringai ketika Suro Bodong berhasil dipepetkan ke pohon. Leher Suro digencet de­ngan batang pohon dan ujung tombak. Bergerak sedikit, pasti tombak akan menembus kulit leher. Sebab itu, Suro tidak berani memberi perlawanan atau gerakan yang memancing kemarahan perempuan itu.

"Buka pakaianmu...! Lekas!" bentak perempuan itu dengan suara tidak terlepas lantang, namun sedikit menggumam dan berbi­sik. Suro Bodong semakin kebingungan.

"Lekas buka semua pakaianmu!" ulang perempuan berikat kepala dari logam perak tipis.

"Ma... maaf, aku... aku tidak bisa tahan jika harus buka pakaian di depan perempuan cantik. Pasti... pasti gairahku berkobar­kobar, bahkan... bahkan bisa membabi buta... oh, jangan. Jangan suruh aku buka pakaian di depan perempuan secantik kamu. Aku bisa nekad menggumulimu sampai esok pagi..." Suro Bodong sengaja memancing dengan lagak ketakutan, gemetar dan kata-kata yang memancing birahi perempuan itu. Dan, ternyata pancingannya itu berhasil. Suro tahu tujuan perempuan itu menyuruhnya membuka semua pakaian, karena itu Suro pun menciptakan alam pikiran perempuan itu untuk semakin menyala-nyala dalam bayangan pergumulan yang menggairahkan.

"Apa kau biasanya begitu?"

"Betul...! Aku... oh, aku malu. Aku punya keanehan jika bercinta, selalu saja tak pernah lepas gairahku sebelum terdengar kokok ayam di pagi hari....."

"Aneh... tapi menarik sekali untuk dicoba..." perempuan itu mulai mengendorkan tekanan tombaknya. "Kau orang dari mana?"

"Aku..." Suro masih berlagak bingung, gemetar dan ketakutan. "Aku... hanya seorang pencari madu hutan untuk dijual kepada para bangsawan. Dan... dan karena aku sering memakan sarang lebah hutan, maka... aku jadi mempunyai kelainan seperti yang kukatakan tadi. Maaf, jangan paksa aku untuk berbuka pakaian. Nanti aku nekad menggumulimu!"

Perempuan itu menyeringai dengan sorot mata yang berbinar-binar penuh gairah. Lalu, ia pun melepaskan acungan tombaknya. Kini ia berdiri dengan tombak di tangan dan dalam keadaan tegak di depan kaki kanannya.

"Melihat badanmu yang berotot dan celanamu yang menonjol, aku percaya kau memang orang kuat dalam hal bercumbu. Sekarang, tolong layani aku di tempat yang rimbun itu."

Suro Bodong berlagak terkejut dan terbengong. "Aku... oh, jangan. Nanti aku memaksamu bertarung sampai pagi...."

"Itu yang kumau...! Ayo..." perempuan itu benar-benar yakin bahwa Suro Bodong punya kekuatan yang maha hebat dalam bercinta. Sebab dari tadi matanya melirik ke celana Suro Bodong, dan ia melihat sesuatu yang cukup menonjol di sekitar paha Suro Bodong. Gairahnya sudah bernada pancingan untuk bercumbu. Ia melangkah ke semak rimbun yang kelihatan lebih rapi dan lebih tersembunyi.

Ketika itu Suro Bodong berada di belakangnya. Perempuan itu sesekali berpaling sambil tersenyum merangsang. Bahkan tali ba­junya sudah mulai dilepas satu persatu.

"Ayolah... jangan takut. Aku tidak akan membunuhmu kalau kau mau memberiku kebahagiaan sampai esok pagi..."

Tetapi, kali ini Suro Bodong sengaja berkata:

"Justru kau harus membunuhku dulu, baru arwahku mau bergumul denganmu...!"

Perempuan itu terkejut. Segera memandang Suro Bodong dengan mata terbelalak dan menyimpan geram.

"Apa maksudmu berkata begitu, hah?" tombak mulai diacungkan. Tetapi Suro Bodong tidak mau banyak bicara.

Sewaktu tombak hendak disodokkan ke leher Suro Bodong, kaki Suro segera menghentak ke atas, menendang tombak itu dengan kuat. Kaki kiri menendang tombak sampai tombak terangkat ke atas, sementara kaki kanan segera masuk ke ulu hati perempuan itu dengan keras juga.

"Huuuggh...!!"

Perempuan itu menyeringai menahan sakit di mana nafasnya tak mampu dihirup lagi. Ia membungkuk menahan sakit yang membuat matanya terpejam kuat-kuat. Posisi berdirinya mulai limbung. Suro Bodong tak mau banyak membuang waktu. Ia segera menghantam pelipis perempuan yang bertugas menjaga keamanan di luar istana itu. Pukulan Suro membuat perempuan itu melintir dan rubuh ke tanah. Tombaknya terlepas. Lalu, Suro buru-buru memungut tombak itu, dan tanpa ampun lagi ia menancapkan tombak tersebut ke perut perempuan itu.

"Mati sajalah kau, daripada nanti menjadi biang penghalang gerakanku...!!" kata Suro Bodong dengan geram dan suara pelan.

Setelah tombak itu menancap sampai tembus ke tanah, Suro Bodong segera mengendap-endap mendekati gumpalan awan yang memagari bangunan mewah dan indah itu. Suasananya cukup sepi. Tak ada suara apa-apa, tak ada gerak apa pun juga, kecuali asap yang melilit-lilit mengitari bangunan besar yang luas itu. Suro Bodong masih kebingungan mencari tangga yang dapat untuk naik ke landasan apung bagi istana tersebut. Ia belum berani mendekati terlalu nyata, takut kalau-kalau ada penjaga yang bisa melihatnya dari atas awan tersebut. Barangkali saja orang-orang di atas gumpalan awan itu dapat melihat dan mendengar keadaan di luar, sedangkan orang yang di luar gumpalan awan tak bisa mendengar atau melihat apa pun yang terjadi di atas gumpalan awan itu.

"Aku harus menggunakan jurus Luing Awan Empat, supaya tidak menimbulkan kecurigaan bagi para pengawal yang pasti ber­jaga-jaga di balik gumpalan awan itu," pikir Suro Bodong. Kemudian ia mencari tempat sedikit lega, dan jurus Luing Ayan-4 segera dila­kukan; Suro Bodong melompat ke udara dan bersalto sebanyak 4 kali tanpa menyentuh tanah. Itulah Luing Ayan-4 yang langsung merubah ujud Suro menjadi seekor monyet berbulu ungu.

Apabila monyet ungu itu melompat ke udara dan bersalto satu kali putaran, maka ia akan berubah ujud menjadi Suro Bodong kembali. Namun, untuk saat itu, Suro tidak mau melakukan dulu. Ia bergegas melompat-lompat dalam ujud raga seekor monyet berbulu ungu kehitam-hitaman. Monyet itu dengan gerakan yang lincah mendekati gumpalan awan, memandangnya dengan kepala bergerak-gerak miring seperti seekor monyet yang terkagum-kagum melihat gumpalan awan selebar itu. Bahkan kini monyet itu bergerak mengelilingi lingkaran awan yang cukup luas dan lebar. Sambil melompat-lompat selayaknya kera kebingungan, ia menyelidiki di mana letak tangga yang dapat digunakan sebagai jalan naik ke landasan apung dari istana tersebut.

Beberapa saat kemudian, Suro Bodong yang berujud seekor monyet ungu itu menggerutu sendiri sambil garuk-garuk ketiaknya, "Sialan...! Di mana tangga itu, ya?"

Kemudian ia menemukan suatu gagasan unik. Monyet melompat-lompat sambil menjerit-jerit. Gerakan dan suaranya mirip monyet kena sawan celeng dan menjadi gila. Ia mengelilingi lingkaran awan tebal, bahkan menyelusup masuk di bawah lingkaran awan itu. Jeritannya diperkeras, dan ternyata pancingan itu berhasil. Cara itu membuahkan hasil yang diharapkan. Seorang perempuan berpakaian kuning gading turun dari tangga. Saat itu mata monyet membelalak, ia memperhatikan anak tangga yang terdiri dari empat baris keluar dari gumpalan awan. Anak tangga itu seperti sebuah bingkai kaca berlapis sinar yang dapat sewaktu­waktu padam sendiri. Muncullah tangga berwarna sinar merah itu bukan dari atas ke bawah, namun menyala secara tiba-tiba, bagai disorotkan dari atas ke bawah. Ini merupakan tangga aneh dan unik yang baru pertama kali dilihat Suro Bodong, sekali pun sekarang dia dalam ujud seekor monyet ungu.

Perempuan berseragam kuning gading, dan menyelipkan sebilah pedang di punggungnya itu mendekati monyet ungu. Ia tampak girang melihat monyet ungu melonjak-lonjak seraya bergerak mundur. Perempuan itu, yang tentunya salah satu penjaga istana, dengan sangat hati-hati mendekati monyet ungu. Jemarinya bercetek-cetek membujuk monyet ungu agar jangan takut kepadanya.

"Kemarilah sayang.... kemarilah... jangan takut, sayang..." perempuan itu membujuk sambil berjalan membungkuk. Suro Bodong yang berujud monyet ungu memasang strategi. Ia diam berlagak seperti monyet jinak. Sebenarnya, saat itu ia ingin menyerang perempuan itu. Ia bisa saja melompat dan menerkam leher perempuan itu hingga digigitnya sampai putus. Tapi, tiba-tiba ia mempunyai rencana lain.

Monyet ungu diusap-usapnya oleh perempuan itu. "Jangan takut, sayang.... kami tak mungkin memakan dagingmu... hi, hi... lucu sekali monyet ini," kata perempuan itu sendirian.

Hampir saja monyet ungu bicara dengan suara manusia, tetapi Suro Bodong buru-buru menjaga suaranya agar jangan sampai menimbulkan kecurigaan bagi lawan. Jika ia bicara dalam suara manusia, bisa jadi ia dicurigai lalu dibunuh dan dijadikan santapan sebagai 'monyet guling'. Oh, Suro tak ingin mati sebagai monyet. Sebab itu ia tetap beker-beker seperti suara seekor monyet pada umumnya.

Ia membiarkan perempuan itu menggendongnya dengan tetap mengusap-usap. Ia digendong dan diletakkan di dada perempuan itu yang menonjol dan terasa hangat.

"Gawat..." kata Suro Bodong dalam hati. Ia jadi kebingungan ketika wajahnya disandarkan di tubuh perempuan itu, persis di antara belahan dadanya. Debar-debar jantung monyet menjadi keras, seperti umumnya debar-debar seorang lelaki yang menempelkan kepalanya di dada seorang perempuan sexy seperti penjaga berseragam kuning gading itu.

"Kau monyet lucu...! Monyet siapakah kau? Hemm...? Ah, ikut aku ke atas saja, yuk...! Jangan takut, kau di sana akan menjadi hiburan bagi kami. Hei...? Wah, wah, wah...?!"

Perempuan itu membelalakkan matanya dengan terperanjat dan menahan rasa geli. Ia akhirnya tertawa sambil melangkah menaiki anak tangga yang sama-sama berseragam kuning gading dengan pedang di punggung, hanya saja rambutnya lebih pendek lagi dan tali kepalanya berwarna biru tua.

"Kenapa kau tertawa terpingkal-pingkal begitu, Nyumi?" tanya temannya. Perempuan yang dipanggil Nyumi itu masih menghabiskan tawa, dan ia bicara di sela tawanya:

"Lihat... monyet ini ternyata monyet jantan. Lihat saja barangnya, ketika kurebahkan di dadaku, ia menjadi kejang dan... hi, hi, hi.... lihatlah ini?!"

Perempuan berikat kepala biru itu memeriksa kejantanan monyet ungu. Ia terperangah girang dan berkata:

"Astaga... mirip sekali dengan barang manusia lelaki, ya? Woow... hi, hi, hi...."

Perempuan itu ikut mengikik geli. Monyet ungu bagai dipangku, dihadapkan ke depan dan perempuan berikat kepala ungu itu mempermainkan dengan geli dan terkikik-kikik.

"Rupanya dia punya nafsu juga, ya Buli?" kata Nyumi kepada perempuan berikat kepala biru yang dipanggil Buli itu.

Keduanya menjadi semakin mengikik geli setelah Buli berbisik kepada Nyumi dengan kata-kata yang dapat didengar oleh monyet ungu:

"Siapa tahu monyet ini bisa bekerja seperti seorang lelaki dewasa. Ayo, kita coba...!"

"Ah, gila kau! Masa aku harus tidur dengan seekor monyet? Bagaimana nanti kata teman-teman kita, Buli?" seraya Nyumi ter­tawa geli.

"Ah, yang penting kan bisa dipakai! Siapa tahu lebih hebat dari pada seorang lelaki...! Eh, astaga... Nyumi, lihat... semakin besar saja dia...?! Ih, aku jadi berdebar-debar...!"

Tiba-tiba, monyet ungu tak tahan dipermainkan oleh jari jemari perempuan-perempuan berseragam kuning gading. Ia melompat dan lepas dari pegangan Nyumi. Ia berlari menghindari kejaran Nyumi dan Buli, lalu bertengger di sebuah atap dari bangunan kecil yang rupanya sebagai pos penjagaan di luar benteng istana. Kedua perempuan itu ribut membicarakan monyet tersebut, tetapi si Monyet tetap tidak perduli. Ia terlanjur dongkol dipermainkan anggota tubuhnya yang paling peka. Ia diam saja bertengger di atas genting yang terbuat dari logam seperti baja putih itu. Dari sana ia dapat melihat keadaan sekeliling istana tersebut.

Istana Awan ternyata dipagari oleh logam tebal yang mengelilingi bangunan istana. Logam setebal satu jengkal itu tampaknya bukan baja, bukan juga jenis kuningan. Warnanya abu­abu dan kekar melebihi selempeng baja. Tingginya dua kali ukuran tombak, berkeliling menutup ruang halaman dalam istana. Suro Bodong yang sebagai monyet ungu bertengger di atap rumah penjagaan itu dapat melihat isi di dalam benteng logam kekar itu.

Ada beberapa bangunan yang terbuat dari logam juga berwarna putih perak, tetapi dari sekian bangunan, ada yang paling utama dan terbuat dari logam yang memantulkan cahaya. Bersih dan mengkilat. Bisa untuk bercermin dinding itu. Suro yakin itulah istana utama bagi Sri Ratu Manis yang dikenal sebagai penguasa Istana Awan.

Tak banyak orang berlalu-lalang di dalam pagar istana. Hanya terlihat beberapa orang perempuan saling membentuk kelompok bicara sendiri-sendiri. Di sana juga ada tanaman. Pohon, bunga, dan kolam air mancur. Pohon dan tanaman lainnya di taman dalam sebuah pot besar dan panjang. Pot itu berisi tanah dilapisi rumput yang terawat rapi. Pot besar dan panjang itu terbuat dari batu marmer hitam yang bersih dan indah. Bunga-bunga juga tampak menghiasi halaman istana yang layaknya disebut sebagai taman.

Suro Bodong dalam ujud monyet ungu sempat menggumam dan berdecak kagum melihat kemegahan dan keanehan istana terse-but. Luas, tapi rapi. Di luar pagar hanya terlihat dua perempuan berseragam kuning gading tadi. Selebihnya sepi. Tetapi lantai yang menjadi dasar berdirinya bangunan itu terbuat dari sejenis logam tembus pandang. Seperti kaca, tapi bukan kaca. Seperti baja, tapi tembus pandang. Entah dari bahan apa itu, Suro kurang jelas. Dari luar pagar sampai di dasar taman semuanya berlantai bening, tem­bus pandang. Setiap orang bisa melihat tanah atau tanaman yang ada di bawah komplek Istana Awan itu. Kabut-kabut yang membungkus daerah itu pun bisa dipakai melihat ke arah luar, tetapi dari luar tidak bisa melihat ke dalam kabut yang menggumpal itu.

Lalu, di mana Sendang Wangi ditahan untuk menunggu dijadikan tumbal? Suro Bodong belum dapat memastikan di mana letak para tawanan mereka. Yang jelas ia harus segera bertindak. Kedua perempuan berseragam kuning gading itu sedang sibuk berupaya memegang monyet ungu. Saat itu juga monyet ungu tersebut melompat dari atap dan bersalto satu kali. Jurus Luing Ayan-1 beraksi, dan Suro Bodong yang asli muncul kembali. Kedua perempuan berseragam kuning terkejut melihat monyet ungu yang tadi diusap-usapnya telah berubah ujud menjadi seorang lelaki ber­baju merah tanpa dikancingkan, bercelana biru dan mengenakan ikat kepala merah untuk mengikat rambutnya yang panjang sebahu.

Suro Bodong yang telah kembali dalam ujud aslinya segera menyunggingkan senyum sinis seraya garuk-garuk kumisnya yang tebal. Nyumi dan Buli bersiap siaga menghadapi Suro Bodong. Mereka memisah menjadi dua arah, depan kiri dan depan kanan dari Suro Bodong.

"Siapa kau?!" hardik Nyumi. Buli pun kelihatan tegang karena ia merasa lalai dalam penjagaannya.

"Aku Suro Bodong...! Istriku ditawan di sini, mau dijadikan tumbal," kata Suro dengan tenang. Lalu sambungnya lagi, "Aku ingin mengambil istriku. Aku tidak rela kalau istriku dijadikan tumbal. Cari saja istri orang lain, jangan istriku. Soalnya..." Suro nyengir seenaknya. "Aku belum menikah dengannya dan masih gatal-gatalnya untuk saling berpacu di atas ranjang. Jadi, tolong keluarkan istriku dari kamar tahanan. Keluarkan sekarang juga, sebelum aku hancurkan istana ini. Mengerti?!"

"Mulut lancang!" geram Buli. "Kau tidak mungkin bisa lolos dari sini, karena kau telah masuk ke wilayah istana kami maka kau harus pergi dalam keadaan sekarat. Nyumi... serang dia!"

"Ciaaaat...!!" Nyumi menyerang dengan jurus tendangan salto yang telak mengenai pundak Suro Bodong. Oh, terasa ngilu tulang Suro terkena tendangan yang begitu gesit dan cepat itu. Suro terpelanting ke kanan, untung tak sampai jatuh, sehingga ketika Buli menyerangnya dengan pukulan tangan kanannya, Suro dapat menangkis dan segera lompat ke belakang, kemudian bersigap menunggu serangan berikutnya.

Kedua perempuan itu segera mencabut pedang mereka dari punggung. Suro Bodong garuk-garuk kumis dengan mata jeli memandang tajam kepada kedua perempuan itu.

Nyumi memegang pedang dengan kedua tangannya, menggerakkan ke atas kepala dengan kekar, posisi kaki merenggang dan merendah miring, seakan siap menusukkan ujung pedangnya ke tubuh Suro Bodong. Sedangkan saat itu, Buli juga memainkan jurus serupa. Hanya saja Buli memegang pedang dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya teracung ke depan dengan kokoh. Hanya dua jari yang ditekuk ke dalam sedangkan tiga jari, termasuk jempolnya, berdiri tegak dan bertenaga hingga tampak getarannya.

"Hiaaaat...!!" keduanya berteriak dan berguling ke lantai bersamaan. Pedang mereka menebas perut dan kaki Suro Bodong secara bersamaan. Suro Bodong tak kalah gesit. Ia segera melompat ke depan bagai harimau menerkam anak ayam, lalu berguling­guling sampai tiga kali. Tapi bukan bersalto, sebab itu ia tidak berubah ujud.

Suro Bodong lekas berdiri tepat pada saat kedua perempuan itu telah siap menyerangnya kembali. Kali ini Buli melompat dari arah kiri ke kanan, sedangkan Nyumi melompat dari arah kanan ke kiri. Mereka memainkan jurus pedang silang, yang sempat membingungkan Suro Bodong.

"Hiaaaat...!" pedang Nyumi menebas leher Suro.

"Ciaaaatt...!!" pedang Buli menebas tangan kanan Suro. Tak ada jalan lain bagi Suro Bodong kecuali segera merebah untuk menghindari tebasan kedua pedang yang bersilang itu. Begitu ia merebah di lantai yang mirip kaca itu, kedua kakinya mengayun ke atas, menekuk sampai ke arah belakang. Kaki kanannya sempat menendang pinggang Buli dengan keras. Buli tersungkur ke lantai tanpa ada keseimbangan. Sedangkan kaki kiri Suro hanya sempat menendang betis Nyumi yang membuat Nyumi terpelanting sedikit, tapi tidak sampai jatuh. Suro Bodong buru-buru mengayunkan kedua kakinya ke depan, dan tangannya menghentak di samping kedua telinganya. Sekali hentak, ia melayang dan jatuh dalam posisi berdiri tegak memunggungi lawannya.

Nyumi melesat dengan satu lompatan bersalto tiga kali dalam keadaan tangan tiga kali menyentuh lantai. Saat ia berhenti, langsung menghunjamkan pedangnya ke tengkuk kepala Suro. Seketika itu pula, Suro Bodong merunduk dan menendangkan kakinya dengan tendangan belakang. Tumit kaki Suro Bodong tepat mengenai dada Nyumi hingga Nyumi terpekik tertahan.

"Aakhh...!!"

Suro Bodong membalikkan badan sambil mengibaskan kaki kirinya ke wajah Nyumi. Tendangan berputar itu membuat Nyumi terpental beberapa langkah dari tempatnya, dan jatuh dengan kepala membentur lantai yang keras namun tembus pandang itu.

Suro Bodong segera berguling maju, karena dilihatnya Buli hendak melompat menyerangnya. Tepat pada saat tubuh Buli melayang dengan pedang diayunkan ke depan, pada saat itu Suro sudah berada di bawah Buli, dan tendangan yang dinamakan jurus Ayam Kawin itu melesat ke atas. Perut Buli terkena tendangan beruntun tujuh kali. Cepat dan kuat kaki Suro menendang, kemudian tubuh Buli melengkung dalam berdiri menahan sakit, dan kaki kiri Suro melanjutkan jurus Tendangan Ayam Kawinnya, tujuh kali melancarkan tendangan beruntun yang tak dapat dilihat oleh mata gerakan kaki itu.

Ada darah yang meleleh dari pinggiran mulut Buli. Perempuan berikat kepala biru itu menyeringai dengan mata terpejam. Kesempatan bagi Suro untuk melancarkan pukulan ke arah pinggang Buli. Namun belum sempat ia menggerakkan tangannya tiba-tiba sebilah pedang melesat dan tertuju ke arah perutnya. Terpaksa Suro Bodong melompat dan tak jadi memukul pinggang Buli.

"Hiaaat...!!" Nyumi yang melemparkan pedangnya segera melayang bagai macan kumbang menerjang elang. Tangan Nyumi keduanya teracung ke depan dan siap merobek wajah Suro dengan kukunya yang tajam namun tidak panjang. Saat itu, mereka bertemu dalam keadaan sama-sama melompat di udara. Suro segera mengibaskan kakinya ke depan untuk menangkis serangan kedua tangan Nyumi. Tangan itu ditendangnya kuat-kuat sampai ter­angkat ke atas.

"Aaaow!!" Nyumi terpekik karena sikunya terasa mau patah terkena tendang Suro Bodong. Mereka sama-sama turun dan menapakkan kakinya ke lantai tersebut. Untung Suro Bodong sudah mempunyai perkiraan kuat, bahwa ia akan diserang Buli kembali begitu ia turun. Dan dugaannya itu benar. Dia diserang Buli, tapi bukan dengan pedang, melainkan dengan telapak tangan kiri Buli yang mengeluarkan semacam serbuk biru berhamburan. Suro buru­buru menghindar dengan cara berguling-guling menjauhi Buli. Tahu-tahu serbuk biru itu meletup-letup di udara dan membuat nyala api yang berpijar-pijar di udara. Lalu, padam karena habis masa kobarnya.

Suro Bodong berdiri hendak melancarkan serangan kepada Buli. Tetapi tiba-tiba dari pintu gerbang benteng logam itu keluar beberapa perempuan berseragam kuning gading. Mereka menyerang Suro Bodong dengan tali-tali warna coklat. Tali-tali itu ditebarkan dari berbagai arah, dan langsung dapat membelit tubuh Suro Bodong.

Ada sekitar tujuh tali dari tujuh perempuan yang membelit tubuh Suro, dan anehnya lagi, tali-tali itu berkembang bagai merayap di tubuh Suro Bodong. Tangan Suro Bodong mencoba bergerak, meronta-ronta untuk melepaskan diri dari tali-tali yang berkembang itu. Namun usaha tersebut sia-sia. Setiap tali ber­kembang makin lebar dan membentuk suatu jaring yang kuat dan lekat.

"Huaaaaahhh...!!" Suro Bodong meronta sekuat tenaga. Namun ketujuh perempuan itu memegangi tali dengan kokoh. Sampai akhirnya tubuh Suro Bodong benar-benar tak dapat bergerak dililiti tali yangsungguh mengherankan itu. Tali-tali membentuk jaring yang lengket dan kini bahkan membungkus tubuh Suro Bodong dari kepala sampai ke kaki. Nyumi dan Buli berhenti menyerang, mereka hanya memandang dengan senyum seringai kemenangan.

"Seret dia ke dalam...!!" teriak seseorang yang berdiri di ambang pintu gerbang menuju dalam halaman istana. Mata Suro sempat memandang perempuan itu yang ternyata adalah Laras Peri.

"Bawa dia ke kamar tahanan sekarang juga! Lekas!"

5

Ketujuh perempuan pemegang tali menyeret masuk Suro Bodong ke dalam sebuah kamar yang berdinding logam, sama dengan logam yang dipakai untuk membentengi halaman istana itu.

Suro Bodong seperti kepompong dibungkus jaring-jaring aneh. Lebih aneh lagi ketika ketujuh perempuan itu menghentakkan talinya satu persatu, ternyata tali-tali itu bisa mengkerut dan menyatu kembali menjadi satu tali. Jaring tersebut bagai mengatup dan menggumpal, dengan masing-masing perempuan memegang satu tali utuh. Kemudian tali-tali yang sudah tidak berupa jaring itu ditarik oleh ketujuh perempuan, maka bebaslah Suro Bodong dari jerat aneh yang sangat mengherankan itu.

"Kau harus menyaksikan sendiri bagaimana istrimu dijadikan tumbal pada malam tutup purnama nanti!" kata Laras Peri setelah ketujuh perempuan berseragam kuning itu keluar dari kamar, dan tinggal Suro Bodong dengan Laras sendiri.

Suro Bodong tak dapat bergerak leluasa untuk sementara waktu, karena tulang-tulangnya terasa pegal dan linu-linu. Mungkin akibat daya perekat pada jaring tali yang dirasakan semakin lama semakin merekat erat dan seakan hendak meremukkan tulang. Suro Bodong menggerak-gerakkan persendian tangannya, sementara Laras Peri mengajaknya bicara dengan nada angkuh dan sinis.

"Tak kusangka kau akan senekad ini, Suro Bodong!"

"Mungkin akan lebih nekad lagi...! Hiaaat...!"

Di luar dugaan Suro Bodong menendang perut Laras Peri dengan gerakan cepat. Laras Peri memang sempat mengibaskan tangan kirinya untuk menangkis, tetapi kekuatan tendangan Suro Bodong tetap saja membuat tubuh Laras Peri terpental ke belakang dan menabrak pintu penjara.

"Braak...!"

Dua penjaga bergegas masuk, tetapi Laras Peri memerintahkan agar pintu segera ditutup dan dikunci. Suro Bodong tersenyum tenang sewaktu penjaga menutup pintu yang agaknya terbuat dari logam serupa dinding tapi lebih tebal lagi. Suro sempat tertawa pendek melihat Laras Peri menjadi tegang dan mengerang saat tubuhnya tahu-tahu terpental karena tendangan Suro.

Pintu itu memang tebal dan kokoh, tetapi mempunyai semacam jendela yang berjeruji. Ukuran jendela itu tidak terlalu lebar, hanya cukup untuk menampakkan seraut wajah. Dan dari jendela yang mempunyai pintu khusus itu wajah Laras muncul dengan sorot mata kegeraman.

"Kau akan merasakan akibatnya, Suro! Kalau kau bisa tahan dalam penjara ini, aku akan salut terhadapmu!" kemudian Laras Peri memerintahkan kepada penjaga, "Tutup jendela ini...!"

Suara jendela yang ditutup semacam lempengan baja itu terdengar. Agaknya cukup rapat juga jendela itu ditutup oleh lempengan baja, karena ketika Suro memeriksanya, tak ada seberkas sinar yang dapat dilihat dari luar tahanan. Ruangan itu cukup rapat. Langit-langit kamar tinggi dan juga terbuat dari semacam almunium tebal yang sulit dibocorkan. Ada tempat tidur yang terbuat dari logam juga, berbentuk kotak panjang tanpa alas apa-apa. Sedangkan lantai kamar itu, tetap seperti lantai tembus pandang yang dilihat di luar benteng tadi, namun lantai ini agak buram dan tak bisa untuk melihat keadaan di bawah. Di kamar itu ada meja marmer ukuran kecil, ada pot bunga dari kramik dan ada bunga segar, seperti bunga mawar namun besar dan kelopak bunganya kecil-kecil. Bukan mawar. Hanya semacam mawar. Ada tiga tangkai bunga yang warnanya merah muda semua. Entah apa maksudnya kamar tahanan diberi pot bunga kecil dengan tiga tangkai bunga.

Baru beberapa saat kemudian Suro Bodong menyadari bahwa tiga tangkai bunga itu adalah pemberitahuan atas kematian yang akan tiba. Sebab, dari dinding kamar penjara itu ternyata mempunyai beberapa lobang kecil sebesar jarum. Tiap lobang memyemburkan asap biru samar-samar.

"Racun...?!" pekik Suro sendirian. Ia menjadi tegang. Asap berwarna biru muda itu semakin banyak, dan menggumpal di dalam kamar karena memang tak ada lobang pembuangan udara.

Mata Suro Bodong terbelalak melihat salah satu bunga itu layu, dan mengering.

Buru-buru Suro Bodong tahan nafas, menutup hidungnya dan memandang sekeliling dengan tegang. Gawat! Ini pertanda dia akan mati karena asap racun itu.

Untung ingatan Suro Bodong sempat melayang pada sebuah topeng yang diberikan Empu Segah sebelum ia berangkat. Ia meng­ambil topeng tersebut yang disimpan di balik baju merahnya. Ia memperhatikan topeng itu, dalamnya berisi semacam kain tebal yang empuk. Kendati tidak tahu persis manfaatnya, Suro Bodong segera mengenakan topeng itu di wajahnya.

Topeng terbuat dari kayu berwarna merah dengan wajah seorang satria tampan itu membungkus wajah Suro Bodong. Pernafasan Suro sedikit terganggu, karena topeng itu ternyata tidak mempunyai lobang yang cukup untuk menghirup udara. Memang di bagian hidung topeng ada lobang, namun tak seberapa besar. Dan lobang pada matanya itu ternyata dilapisi suatu bahan mirip kaca yang tidak tembus udara. Suro Bodong berpendapat, lebih baik mengenakan topeng itu dengan sedikit kesukaran bernafas daripada tanpa topeng tapi ia harus menghirup udara beracun dalam kadar banyak. Kain yang melapisi dalam topeng itulah yang menjadi penghalang pernafasan Suro Bodong. Tapi dia tidak perduli, sebab dilihatnya, kini tiga bunga itu telah layu dan menjadi kering semua. Berarti asap racun yang tersembur dari lobang-lobang dinding itu sungguh berbahaya jika terhisap oleh pernafasan manusia. Untung ia segera mengenakan topeng tersebut yang ternyata mampu menyaring racun melalui kain pelapis di dalam topeng itu.

Asap semakin banyak. Bunga telah kering dalam keadaan layu, lemas. Suro Bodong masih duduk memojok sambil mencari cara untuk keluar dari kamar tersebut. Hatinya sedikit tenang setelah dia mengetahui, bahwa topeng itu ternyata mampu menjadi penangkal racun. Uap racun yang masuk melalui lobang hidung topeng telah disaring dan diubah oleh lapisan tebal dalam topeng tersebut menjadi udara biasa. Jika tanpa kain tebal yang dilengkapi dengan ramuan khusus, maka udara yang masuk melalui lobang topeng akan tetap berupa udara racun. Rupanya Empu Segah memang ahli dihidang senjata, seperti halnya penggunaan topeng anti racun itu.

Kendati uap itu bergulung-gulung memenuhi ruangan yang sempit itu, namun Suro Bodong masih bisa bertahan tetap hidup dan menunggu saat baik untuk lolos. Hanya saja, sebelum ia menemukan cara untuk lolos, ternyata asap biru muda itu bagai tersedot kembali dari lobang tempatnya menyembur tadi. Uap yang bergulung-gulung memenuhi ruangan jadi menipis. Masing-masing lobang kecil pada dinding sekarang berfungsi sebagai penyedot udara. Suro Bodong menunggu sampai udara menjadi bersih kembali tanpa uap beracun. Dan setelah beberapa lama, maka ru­angan itu pun kembali menjadi seperti semula. Uap biru muda sudah tersedot habis. Tak ada asap tipis sedikit pun. Kini bahkan yang ada udara dingin yang samar-samar merambat di dinding. Udaranya cukup sejuk, terasa jelas menyentuh pori-pori kulitnya.

Suro Bodong membuka topeng merah berwajah satria tampan. Dan ia merasakan kesegaran bernafas. Ia tersenyum, lalu menyembunyikan topengnya ke balik baju merah, diselipkan di bagian belakang. Di pinggang.

Udara benar-benar segar dan sejuk. Tak ada kesesakan bernafas. Yang ada kini rasa lapar. Ya, perut Suro sekarang menjadi terasa lapar sekali. Untung dia masih menyimpan biji-bijian seperti kacang yang tadi dimakannya sebagian. Kini ia memakan sisa biji­bijian itu dengan lahap. Sambil mengunyah biji-bijian yang terasa seperti makan kacang kedelai itu, Suro memeriksa seluruh ruangan tersebut. Ah, tak ada celah yang bisa memungkinkan untuk lolos.

Sambil duduk melonjor, punggung Suro Bodong bersandar pada dinding. Ia menghadap ke pintu masuk yang cuma ada satu­satunya itu. Ia sedang berpikir di mana kira-kira istrinya ditawan untuk menunggu saat dijadikan tumbal? Lalu, ia memutuskan untuk berusaha lolos dari kamar tahanan ini dengan cara tidak menimbulkan keonaran, supaya ia dapat menyusup dan menyelidiki keadaan di dalam istana yang merupakan ruang utama keratuan.

Tiba-tiba pintu tebal itu dibuka oleh penjaga. Seraut wajah yang sudah dikenal muncul: wajah Laras Peri. Wajah itu terbelalak kaget melihat Suro Bodong duduk dengan santainya. Hal itu pasti dikarenakan Laras Peri mengira Suro Bodong telah mati, atau setidaknya pingsan akibat racun yang disemburkan dari lobang dinding itu. Tapi, nyatanya ia melihat Suro Bodong dalam keadaan segar bugar tanpa kurang satu apa pun.

Keadaan Suro Bodong yang berhenti mengunyah makanan yang terakhir itu membuat Laras Peri menjadi ragu-ragu untuk mendekat. Hanya matanya yang tajam dan bening itu yang menatap Suro Bodong penuh kesangsian.

Dengan sengaja Suro Bodong tersenyum ramah, matanya berkerling seakan menggoda Laras Peri.

"Kau memandangku seperti setan melihat kemenyan," kata Suro Bodong. "Apa kau kira aku akan mati karena asap beracun itu? O, tidak! Aku tidak akan bisa diracuni lagi, sebab tubuhku sudah penuh dengan racun."

Suro Bodong bahkan lebih merebah lagi, seakan tidak perduli dengan kesempatan pintu terbuka itu. Laras Peri menjadi semakin ciut nyalinya. Ia berkata dengan suara pelan dan datar:

"Kurasa kau iblis, bukan manusia! Kau bisa bertahan menerima racun Naga Biru, ini sangat di luar dugaan. Biasanya setiap tawanan akan mati dalam keadaan kering dan rapuh tulang­tulangnya jika menghirup racun itu terlalu banyak. Tapi kau... kau benar-benar iblis yang sulit dimatikan...."

Sekali pun Suro Bodong sebenarnya merinding mendengar keterangan itu, namun ia memaksakan diri untuk tertawa dengan te­nang.

"Ha, ha, ha... kau pikir aku ini lampu minyak yang gampang dimatikan?!" Suro Bodong semakin menertawakan keadaan Laras Peri yang tertegun memperhatikannya.

"Sekarang, sebaiknya kembalikan istriku dan aku akan membiarkan kalian hidup," ancam Suro Bodong dengan santai.

Laras Peri mulai mendengus.

"Jangan mengharap kami mundur karena gertakanmu. Kau akan menemui ajal pada saatnya nanti, Suro Bodong!"

Laras Peri hendak pergi, tetapi Suro Bodong segera berseru,

"Tunggu...!" ia bangkit dan berjalan dengan tenang mendekati Laras Peri. Laras Peri sudah siap memegangi senjata cakra yang terselip di pinggangnya. Matanya memandang tegang, seakan penuh waspada. Tetapi yang dipandang hanya tersenyum­senyum dan tak perduli akan kesigapan Laras Peri. Suro Bodong semakin dekat dan berhenti melangkah ketika Laras Peri sudah mencabut senjata cakranya.

"Sebenarnya apa yang kalian butuhkan di sini?" kata Suro Bodong dengan suara pelan, seakan bersungguh-sungguh dalam berembuk.

"Tumbal! Dan istrimu itulah yang menjadi pilihan kami!" Laras Peri menjawab dengan tegas.

"Selain tumbal...?" Suro memancing.

Laras Peri diam, matanya makin tajam karena Suro Bodong semakin maju satu langkah.

"Apakah kau dan yang lainnya tidak membutuhkan seorang lelaki?" bisik Suro Bodong.

Laras Peri diam. Masih belum mampu mengucapkan kata apa pun. Bahkan kini Suro Bodong sangat dekat dengannya. Suro berbisik lagi:

"Bagaimana kalau kita tukar tawanan?"

Setelah diam beberapa saat, terdengar suara Laras Peri dengan lirih, "Apa maksudmu...?"

"Lepaskan istriku, dan tawanlah aku sebagai teman berkencan. Lalu, kita cari bersama putri raja lainnya untuk pengganti tumbal pada saatnya nanti..."

Wajah Suro Bodong tepat di depan wajah Laras Peri. Mata yang kecil tapi bening dan tajam itu menatap Suro Bodong dalam kebimbangan. Senjata cakra hanya dipegangnya tanpa digunakan untuk berbuat sesuatu. Bahkan ketika Suro Bodong meraba pelan­pelan pipi Laras Peri, perempuan itu masih mematung dengan mulut sedikit terperangah.

"Jangan katakan kepada istriku tentang rencana ini. Kuharap, kau dan ratumu mau menerima usulku ini. Dan... kau akan mendapat kesempatan yang istimewa dariku. Kau belum tahu siapa aku, bukan? Mungkin kau bisa bertanya dulu kepada istriku tentang kekuatan suaminya dalam malam-malam yang dingin dicekam kesunyian. Tanyakanlah dulu, nanti kau baru tahu apa yang seharusnya kau lakukan. "

Laras Peri tidak berkata apa pun. Ia memperhatikan Suro Bodong dengan dada bergemuruh. Semakin Suro Bodong menyentuh-nyentuh bibir Laras Peri yang mirip kuncup bunga melati itu, semakin berdebaran hati Laras Peri dibuatnya. Ia hanya merenggangkan sedikit bibirnya dan terpaku di tempat. Lebih-lebih setelah Suro Bodong berbisik,

"Ratu dan kau akan mendapat pelayanan yang berbeda. Sebab, bagaimana pun juga, kau adalah perempuan yang memenuhi seleraku. Kau cantik, tapi galak. Itu yang kusuka. Sebab itu aku bertekad menyusul ke mari dengan alasan membebaskan istriku, tapi sebenarnya kaulah yang kuburu."

Suro Bodong semakin mendekat wajah, lalu berbisik dengan lebih pelan lagi:

"Kau mau membuktikannya nanti malam?"

Laras Peri seperti orang terkena hipnotis, diam tanpa bisa bergerak sedikit pun. Ketika Suro Bodong mencium pipinya, dan kumisnya yang tebal menggelitik kulit wajah Laras Peri, perempuan itu semakin gemetaran dan berdebar-debar. Lalu, Suro Bodong berbisik sangat pelan:

"Kurasa kau bisa membunuhku kalau aku bohong... nikmatilah tawanan ini, Laras.... nanti kita cari tumbal lain..." Laras masih terbungkam kendati ia mendesah lirih lewat hembusan nafasnya yang tersendat-sendat.

"Kau setuju?" bisik Suro Bodong. "Kau yang istimewa...."

Lama-lama Laras menjauh setelah Suro Bodong merenggangkan wajah. Kemudian mata yang masih menatap itu berkedip lembut, dan suara Laras terdengar pelan: "Akan kubicarakan dulu dengan ratu... aahh..." ia mendesah dan pergi.

Suro Bodong tersenyum lega. Ada usaha halus yang mulai terlihat tanda-tandanya. Ia mulai mengerti bagaimana cara menaklukkan orang-orang Istana Awan ini yang terdiri dari perempuan semua. Salah satu cara untuk menaklukkannya adalah dengan cara buaian asmara yang amat dikuasai oleh Suro Bodong. Jika dengan kekerasan terlalu dini, bisa jadi istrinya yang akan mengalami bencana menyedihkan. Dengan cara buaian asmara itu, Suro berharap agar istrinya dapat diselamatkan tanpa luka sedikit pun.

Yang membuat Suro Bodong lebih lega lagi, adanya sebuah hidangan yang diantar oleh seorang perempuan berseragam hijau tua. Hidangan itu cukup mewah, buah-buahnya segar, dan panggang ayam yang dimasak dengan sangat menarik itu membuat Suro Bodong tersenyum-senyum. Bau masakan sedap sempat membuat perut Suro Bodong berkuku-ruyuk karena seleranya membara.

"Makanan ini apa tidak terlalu mewah untuk seorang tawanan seperti aku?" kata Suro kepada perempuan cantik berambut panjang terurai yang membawakan makanan itu.

"Panglima Putri yang menyuruhku menghidangkan makanan ini," jawab perempuan itu.

"Panglima Putri? Siapa dia? Aku belum kenal."

"Panglima Putri Laras Peri... Masa' kau belum kenal dengannya."

"O, Laras Peri? Dia itu panglima di sini?"

"Benar. Dan aku adalah kakaknya! Namaku Panjar Arum."

Perempuan itu tersenyum lebar, manis sekali. Bibirnya memang lebih lebar dari bibir Laras, tapi bibir itu cukup tipis dan mengundang gairah bila tersenyum. Suro Bodong memperhatikan wajah Panjar Arum yang mempunyai kemiripan denjgan Laras Peri, terutama pada matanya yang kecil tapi bening dan tajam. Bulu matanya lentik dengan hiasan alis yang melengkung indah. Mata itu memang mirip sekali dengan mata milik Laras Peri. Hanya saja, tubuhnya lebih padat dan sedikit besar ketimbang tubuh Laras Peri.

Juga dada Panjar Arum kelihatan lebih menonjol dan berisi ketimbang dada Laras Peri.

"Kenapa Laras Peri menyuruhmu memberikan hidangan ini?" Suro Bodong ingin mengorek segalanya.

Panjar Arum yang mengenakan baju longgar warna hijau itu duduk di kotak logam yang panjang. Ia menyibakkan rambutnya yang panjang, yang jatuh ke dada dan dirapikan kebelakang.

"Banyak yang telah diceritakan oleh Laras Peri,"

Suro Bodong melirik ke pintu, oh... agaknya pintu dikunci kembali. Pasti penjaga takut kalau Suro Bodong menyempatkan diri untuk lolos dari kamar tahanan itu.

"Apa yang kau dengar dari Laras Peri?" pancing Suro sambil mengambil buah anggur berwarna hijau bening.

Panjar Arum tertunduk malu.

"Dia menceritakan tentang diriku?"

"Ya," jawab Panjar Arum yang merasa kikuk dipandang Suro Bodong senanap itu. Suro Bodong sendiri mengakui bahwa kulit Panjar Arum ini kelihatan lebih halus, lebih lembut dan lebih mulus ketimbang kulit Laras Peri. Warnanya pun lebih kuning, bersih, daripada kulit Laras Peri. Ini menandakan Panjar Arum tidak pernah keluar dari istana dan lebih tekun merawat tubuhnya.

"Ceritakan apa yang kau dengar dari Laras Peri, kalau-kalau ternyata dia menipumu; Aku bisa membetulkannya."

Setelah tersenyum malu. Panjar Arum mengatakan:

"Dia menceritakan telah bertemu dengan lelaki yang jantan dan perkasa. Namanya... Suro Bodong, dan dia ada dalam tahanan. Tetapi... kata Laras, tawanannya kali ini sungguh merupakan tawanan yang hangat."

"Dia bohong!"

"Dia pernah kau sentuh dengan kumisnya, bukan?"

"Ah, dia bohong! Aku hanya menciumnya tanda aku sangat bergairah terhadapnya."

"Terhadapnya saja?"

Pancingan itu membuat Suro Bodong tersenyum. Bau harum tercium dari tadi, namun kali ini lebih tajam dan nyata. Ini akibat Suro Bodong berdiri tepat di depan Panjar Arum. Perempuan itu menengadah memandang wajah Suro. Ia tetap duduk di depan Suro tanpa bergeser.

"Kudengar darinya, kau mau memberi sentuhan kepada kami asal kau bertukar tawanan."

"Ya. Asal istriku dibebaskan dari genggaman Sri Ratu Manis. Aku sanggup mencari penggantinya yang sama-sama putri raja ju­ga"

"Dan kau bersedia menjadi pelayan kenikmatan kami? Kau mau membagi kehangatanmu itu, bukan?"

"Kalau memang aku mau, kenapa?"

"Itulah sebabnya aku dikirim ke mari untuk membuktikan keterangannya tentang kamu."

Suro Bodong mengerti gelagat yang dihendaki perempuan berkulit mulus itu. Maka, dengan tetap berdiri di depan Panjar Arum yang duduk itu, Suro Bodong mengusap rambut Panjar Arum.

"Apakah aku harus memulai dari kamu?" kata Suro.

Panjar Arum menengadah dan berkata pelan, "Dia mengizinkan kakaknya untuk menyelam dalam kehangatanmu lebih dulu. Apa kau keberatan kalau aku mengawalinya?"

Tangan Panjar Arum mulai gerayangan tak karuan. Ada sesuatu yang diremas lembut dan Suro Bodong mendesah lalu berkata:

"Tubuhku kotor... aku harus membersihkan tubuh dulu. Aku butuh mandi."

"Tak perlu. Justru yang dalam keadaan seperti ini yang menjadi seleraku..." Panjar Arum semakin berani, merayap kian ke mari seperti tangan seorang dukun pijat.

"Bagaimana dengan penjaga di depan kamar ini?" bisik Suro Bodong ketika Panjar Arum semakin menjadi binal.

Nafasnya sesekali tersengal dan ia pun menjawab, "Penjaga tetap akan menjaga kita. Ohh... ternyata Laras Peri tidak berbohong padaku."

"Soal apa?"

"Keperkasaanmu...!" Panjar Arum mendengus-dengus. "Sungguh di luar dugaan. Kukira hanya biasa-biasa saja, ternyata ini lebih dari sekedar jarum. Kurasa... kurasa ini sebuah tombak yang kucari selama ini... yaaah...!" Panjar Arum dibiarkan melahap apa yang hendak dilahap. Tetapi dalam hati Suro Bodong timbul berbagai pertanyaan yang membingungkan diri sendiri.

Mengapa jadi seperti ini? Ia memandang pusakanya sendiri, begitu hebatnya?! Dia heran. Dia nyaris tidak percaya kalau dia memiliki suatu kebesaran yang memang amat besar dan menggugah birahi perempuan. Padahal seingatnya, ia tidak memiliki senjata seperkasa sekarang. Mengapa kini ia seperti memiliki barang baru yang lebih hebat dari barang miliknya semula? Aneh!

Ada suara benda bergeser, Suro Bodong melirik ke kiri, dan ia melihat dinding bagian atas ternyata dapat digeser seukuran 3X4 jengkal tangan dewasa. Ada semacam kaca gelap di sana, dan Suro buru-buru memahami, bahwa di balik kaca gelap itu pasti ada wajah manusia dua atau tiga orang yang dapat memandang ke arah kamar itu. Pasti ada yang sengaja memperhatikan adegan tersebut dari balik kaca hitam. Suro berlagak tidak tahu, namun ia semakin memainkan gaya yang mampu mengundang gairah bagi mereka. Mungkin Sri Ratu Manis sendiri yang sengaja mengirim Panjar Arum untuk menguji sampai di mana kehebatan Suro Bodong.

"Kenapa tidak kau lepas saja pakaianmu?" bisik Suro Bodong karena Panjar Arum sudah melucuti busana yang dikenakan Suro Bodong.

"Panjar Arum... kenapa tidak kau lepas saja perintangmu itu...?" ulang Suro Bodong yang diterkam terus oleh Panjar Arum. Perempuan itu berhenti sebentar dan berkata,

"Kalau kau bisa melucutinya, kenapa tidak kau lakukan saja...? Lakukanlah dan aku akan bekerja untukmu... Hmmm...?"

Panjar Arum memandang dengan sorot mata sayu. Suro Bodong tak mau mendapat izin dua kali, segera jari-jemarinya beraksi di sekujur tubuh Panjar Arum.

Makin lama, Suro Bodong semakin heran dengan barang miliknya. Sungguh heran. Karena selama ini ia merasa tidak memiliki kebesaran dan kepanjangan senjata rahasia yang saat ini dilihatnya. Ia sempat bertanya, senjata siapakah yang ia kenakan itu? Mengapa menjadi sebegitu megah dan kokoh? Benar-benar suatu kejantanan yang menggelitik hati perempuan. Panjar Arum sendiri menjadi tergila-gila dan tidak memperdulikan lagi gincu tipis di bibirnya yang mempunyai aroma harum itu. Ia menghapus gincu itu dengan kebesaran yang amat didambakan, dan kebesaran itulah yang kini menjadi milik Suro Bodong.

"Lakukanlah...! Lakukanlah apa kau mau...!" bisik Panjar Arum. Suro Bodong memanfaatkan perintah itu untuk hal lain. Ia berbisik ketika wajahnya naik, menyusuri perut ke dada dan ke leher, kemudian ke telinga:

"Di mana Sendang Wangi? Lekas katakan...."

"Ooh... lakukanlah sekarang juga... lakukanlah...!" Panjar Arum merintih.

"Di mana tumbal itu ditawan? Di mana...? Tidak akan kulakukan sebelum kuketahui tempat tumbal itu ditawan?!"

"Oh, kau menyiksaku...!" rengeknya. "Tawanan itu ada di ruang bawah tanah... Lekas lakukan, oooh... tolonglah..."

Suro Bodong menggeluti dengan desah berpacu dengan desah. Ia masih sempat berbisik:

"Di ruang bawah tanah yang mana? Bukankah istana ini tidak menyentuh tanah?"

"Bukan... bukan di ruang bawah tanah, maksudku... di bawah kamar ratu... di bawah kamar ratu...."

"Aku ingin menemuinya...."

"Lakukanlah dulu, ooh... jangan siksa aku... lakukanlah, setelah itu kau bebas menemuinya di ruang berpintu bulat. Cepat... aaah...!!" rengekan itu semakin tajam dan jelas.

Akhirnya Suro Bodong melakukan apa yang diinginkan Panjar Arum. Percaya atau tidak, Suro Bodong sudah punya sasaran, yaitu ruang di bawah kamar ratu, berpintu bulat. Entah benar atau tidak, tapi Suro Bodong tetap akan mencoba mendobrak pintu kamar itu setelah melakukan keinginan Panjar Arum.

Ketika terkena udara di luar, sesuatu yang amat perkasa itu telah menjadi mengendur, surut, dan mengecil kembali. Suro Bodong sendiri memandang penuh keheranan dan merasa takut yang membingungkan. Lalu ia teringat biji-bijian yang mirip kacang pemberian Empu Segah. Apakah hal itu juga dikarenakan ia memakan habis biji-bijian itu? Apakah kacang yang dimakan itu mempunyai keistimewaan dapat membunuh perempuan dengan kebesaran seperti itu? Entahlah.

Yang jelas, ia mendengar pintu kamar segera dibuka oleh penjaga, lalu beberapa orang menghambur masuk dan berteriak:

"Sri Ratu...?! Sri Ratu Manis dalam bahaya...! Lekas bawa keluar beliau...!"

Tetapi pada saat itu, semua orang yang ada di situ berteriak nyaring karena Panjar Arum melepaskan nafasnya yang penghabis­an. Banjir darah melimpah di lantai dan membuat suasana menjadi sangat mengerikan. Suro Bodong buru-buru mengenakan pakaian­nya termasuk perlengkapan yang diberikan oleh Empu Segah.

"Ratu tewas...! Tidaaak...!! Kau membunuh ratu kami!"

Suro Bodong mendesah oleh amukan orang-orang yang berseragam kuning gading itu. Mereka menuduh Suro Bodong telah membunuh ratu mereka.

"Aku tidak membunuh ratumu! Itu Panjar Arum...! Dan..."

"Dialah ratu kami! Dia Sri Ratu Manis yang sengaja menemuimu dengan menyamar sebagai perempuan biasa bernama Panjar Arum...!!"

"Mana aku tahu?! Dia tidak bilang kalau dia ratu...! Dan lagi, dia mati karena ulahnya sendiri. Aku tidak berbuat apa-apa, dia yang berbuat jingkrak-jingkrak seenaknya!"

"Kau membunuh ratu kami, seraaaaang...! Serang dia...!"

Pedang dihunus oleh para perempuan berseragam kuning. Suro Bodong ada dalam posisi tersudut. Ia kebingungan menghindari pedang-pedang yang bersimpang siur hendak membunuhnya. Bahkan pundaknya sempat tergores pedang salah satu dari prajurit berseragam kuning itu.

Suro dapat memastikan ia akan mati dalam posisi terjepit seperti itu. Maka, ia pun ingat tiga butir batu pemberian Empu Segah. Ia mengambilnya sebutir dan melemparkannya kuat-kuat hingga menghantam dinding. Dan, di luar dugaan, ternyata batu itu meledak dengan cukup dahsyat dan kuat. Suro Bodong segera merunduk di bawah kaki mereka. Ledakan itu menjebolkan dinding dan membuat beberapa orang menjadi hancur, terutama yang dekat dengan ledakan tadi. Sementara itu, Suro Bodong sendiri tertimbun dinding dan mayat orang-orang yang berlumur darah. Tak satu pun yang hidup, kecuali Suro Bodong yang selamat karena tertindih tubuh perempuan-perempuan itu.

Dengan susah payah Suro Bodong berusaha keluar dari timbunan mayat dan logam kuat dari pecahan dinding itu. Oh, ternyata hari sudah menjadi malam. Ia tak sadar akan hal itu. Sinar bulan masih kelihatan memancarkan cahayanya ke bumi. Dan sinar bulan itu menampakkan betul sosok orang-orang perempuan yang berdiri membentengi reruntuhan kamar tahanan. Mereka semua berpedang dan siap menghabisi nyawa Suro Bodong.

"Itu dia...! Dia masih hidup...!" teriak salah seorang. Kemudian mereka beramai-ramai menyerbu Suro Bodong dengan pedang terangkat ke atas dan siap ditebaskan.

Suro Bodong tergeragap sebentar. Kemudian ia mengeluarkan sepotong kayu pemberian Empu Segah. Ia tak tahu kayu itu berguna untuk apa, tapi menurut pesan, kayu itu dibuang saja di sembarang tempat. Karena Suro yakin bahwa Empu Segah pasti tidak sia-sia memberikan kayu tersebut. Maka, ia pun membuang kayu itu, seakan dilemparkan kepada kerumunan orang yang hendak mendekatinya.

Dua orang maju dari belakang dan hendak menghunjamkan pedangnya ke punggung Suro. Tetapi Suro segera melompat dan menendang kedua tangan orang itu. Kedua pedang terlepas dari genggaman lawan, lalu tangan Suro kedua-duanya menghantam ke depan, dan kedua lawan itu terpental jatuh. Suro Bodong punya kesempatan untuk melarikan diri. Seorang menghadang dengan tombak di tangan. Suro Bodong melompat dengan gerak tendangan berputar di udara.

"Aaaooh...!!" orang itu terpental terkena kibasan tendang kipas Suro Bodong. Lalu ia berlari lagi ke suatu tempat, yaitu halaman depan istana. Namun sebelumnya ia sempat mendengar suara perempuan-perempuan berteriakan, menjerit dalam ketakutan dan berlarian tunggang langgang. Suro berhenti dari larinya, memandang ke arah mereka. Ia mengira ada bantuan dari pihak lain yang tak dikenal, ternyata dugaannya meleset. Perempuan­perempuan itu menjerit-jerit karena tubuh mereka disengat kalajengking hitam. Banyak binatang kalajengking yang tersembul dari tanah dan menyebar ke mana-mana. Jumlahnya lebih dari dua ratus ekor kalajengking hitam berkepala besar. Mereka merayap ke setiap tubuh dan menyengatnya tanpa ampun lagi.

Suro Bodong segera menyadari bahwa kayu yang dibuangnya tadi mengundang banyak ketonggeng atau kalajengking bermunculan dari tanah. Tapi... tapi bukankah istana ini mengambang, tidak menyentuh tanah? Lantas dari mana binatang itu bermunculan?

"Istana mendarat...!! Istana mendarat...!!" seru seorang yang keluar dari menara pengawas. Dan seruan itu mebuat suasana menjadi semakin kalang kabut. Rupanya istana sudah menapakkan landasannya ke tanah dan barangkali segala kekuatan yang melapisi istana itu telah punah sejak tewasnya Ratu Manis yang mengaku bernama Panjar Arum itu.

Suro Bodong hampir saja terkena lemparan tombak dari seseorang yang muncul di belakangnya. Untung ia segera menangkap tombak itu, dan kembali dilemparkan ke orang tersebut sehingga orang itu tak sempat menghindar karena cepatnya. Tombak menancap di pinggang orang itu, dan Suro Bodong berlari ke tengah lapangan yang ada di depan serambi istana. Di sana memang ada tempat luas, berbentuk lukisan bulat dengan wajah bunga matahari. Suro Bodong buru-buru meletakkan cermin kecil berbentuk bulat tapi bersusun segitiga. Tiga cermin bulat yang setiap sisinya bertautan itu diletakkan persis di tengah lingkaran gambar bunga matahari. Pada saat itu. Laras Peri berteriak sambil menghunus pedangnya:

"Suro...!! Hentikan tindakanmu atau istrimu kubunuh sekarang juga!!"

Laras mengancam Sendang Wangi dengan pedang di leher. Suro Bodong menjadi tegang, kebingungan. Ia bergerak ke samping dengan hati-hati. Ia ingin membujuk Laras Peri, namun pada saat itu ternyata cermin yang diletakkan di tengah lingkaran itu memancarkan sinar hijau bening. Sinar itu memancar ke mana-mana dan membuat beberapa letupan, mengenai beberapa orang dan membuat orang itu terbakar. Laras Peri sendiri tiba-tiba menjerit dan jatuh terguling-guling dari serambi istana.

"Nyai... cepat ke mari...!" Suro Bodong segera menangkap istrinya yang melompat kepadanya. Saat itu. Laras Peri masih sempat berdiri.

"Kangmas... hati-hati terkena sinar dari cermin itu...!"

Rupanya cermin itu bukan sekedar cermin. Empu Segah telah mengaturnya dan membuat sedemikian rupa, sehingga apabila cermin itu terkena cahaya bulan, akan memantulkan suatu kilatan api warna hijau muda, api itu berkelok-kelok dan menimbulkan ledakan jika terkena tubuh orang-orang Istana Awan. Nyatanya, kilatan sinar itu terkena di kaki Suro Bodong, tidak menimbulkan ledakan yang membakar.

"Kangmas...! Awas senjata itu...!"

Suro Bodong dengan istrinya sama-sama merunduk ketika senjata cakra melesat dan berputar-putar mencari mangsa. Suro Bodong segera mencabut pedang pusakanya yang tersimpan di dalam kulit lengan kirinya. Begitu ia meraba lengan kirinya dan menariknya dengan suatu hentakan khusus, maka tangan kanan Suro Bodong pun telah memegang pedang yang berpijar memancarkan sinar warna ungu. Laras Peri setengah terkejut melihat Pedang warna ungu. Itulah Pedang Urat Petir yang menjadi pusaka Suro Bodong.

Ketika senjata cakra yang melayang-layang itu hendak menghantam istri Suro dari belakang. Pedang Urat Petir segera ditebaskan dan terjadilah percikan api dalam suatu letupan kecil akibat pedang Suro menebas senjata cakra. Senjata itu sendiri hancur menjadi beberapa potong dan tak mampu berbuat lebih banyak lagi kecuali menjadi sampah.

Laras Peri semakin turun nyalinya. Ia melarikan diri, tetapi Suro Bodong segera melancarkan suatu jurus yang bernama Jurus Pedang Jitu.

Ia melemparkan Pedang Urat Petir ke udara sampai berputar tujuh kali. Kemudian ia menyongsong turunnya pedang dengan suatu tendangan yang mengenai gagang pedang. Maka pedang itu melesat ke arah Laras Peri dalam keadaan pecah menjadi tujuh bagian. Masing-masing bagian menyerang Laras Peri dan beberapa orang yang ada di sekitarnya. Kemudian terdengar teriakan Laras Peri yang dihunjam oleh salah satu pecahan pedang, juga teriakan beberapa di sekitarnya yang juga terkena pecahan pedang. Ketika mereka bergelimpangan, pecahan pedang itu melayang terus dan kembali membentuk satu bagian, tergenggam erat di tangan Suro Bodong.

"Lekas tinggalkan tempat ini...!" teriak Suro Bodong sambil menggeret istrinya.

"Kakang, ada kalajengking banyak...!!" Sendang Wangi menjerit. Ia jijik dengan binatang kalajengking. Mau tak mau Suro Bodong segera memanggul istrinya ke pundak. Dan ia segera berlari menjauh. Berhenti sebentar, lalu melemparkan dua butir batu sisa pemberian Empu Segah itu. Satu batu dilemparkan ke serambi istana dan satu dilemparkan ke kerumunan orang-orang yang hendak mengejar Suro Bodong menjadi berkeping-keping karena ledakan tersebut.

Kobaran api menyala di sana-sini, pekik dan jeritan mereka menjadi seperti suara dari neraka. Suro Bodong segera melompat ke benteng pembatas halaman, lalu melompat ke luar halaman. Istrinya diturunkan, dan ia berseru:

"Lekas lari...! Ayo, lari sekencang-kencangnya. Di sini sudah tidak ada kalajengking lagi...!"

Suro Bodong dan istrinya melarikan diri masuk ke semak­semak hutan belukar. Namun tiba-tiba tangan Suro Bodong ada yang menyeretnya ke tempat lain, dan ternyata orang itu adalah Empu Segah.

"Cepat merunduk... istana itu akan meledak...!"

Tepat ketika istri Suro Bodong merunduk, ledakan tak terhingga kerasnya berbunyi menggelegar. Tanah semakin bergetar dan air telaga memercik ke mana-mana.

"Ada gas racun di sana yang bisa meledak apa bila terkena percikan api!" kata Empu Segah.

Suro dan istrinya menggumam terheran-heran. Suro berbisik kepada Empu Segah, "Ratu mati ketika ia bercinta denganku. Tapi mengapa bisa menjadi besar kekuatanku ini? Ka­sihan istriku nanti...."

"Biji-bijian itu penyebabnya. Dan... ketahuilah, bahwa darah dan cairan yang ada dalam tubuh mereka berbeda dengan kita, se­hingga bisa membuat kekuatanmu bertambah. Mereka itu bukan orang-orang kita."

"Maksudnya?"

"Orang-orang dunia lain. Dan istana itu menurutku hanya sebuah kendaraan dari luar dunia kita..." Suro Bodong menggumam sambil menggenggam tangan istrinya. Ia tertegun kaku.

TAMAT

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews