Surobodong-09 Dendam Perempuan Sepi


Suro Bodong  - Dendam Perempuan Sepi

By Barata

Ebook by Fujidenkikagawa

TANPA tahu ujung pangkalnya, Suro Bodong diserang oleh dua orang pemuda bersenjata cambuk. Suro Bodong menggeliat kesakitan. Tubuhnya melengkung ke depan ketika salah satu cambuk mengenai pinggang-nya. Baju merah lengan panjang robek bagian pinggang, ujung cambuk berduri menggores kulit pinggang dengan sadis. Bukan memar yang membuat Suro meringis kesakitan, melainkan goresan duri tajam itu yang merobek kulit hingga berdarah beberapa baris.

Suro Bodong sengaja diam, merasakan rasa sakit yang amat perih di pinggangnya. Ia jatuh dengan kedua tangan sempat bertumpu di tanah, menahan berat badannya yang besar namun tidak gemuk. Kakinya terkulai lemas akibat menahan sakit.

“Sudah saatnya kau menerima balasanku, Kunyuk! Hiaaat…!” pemuda yang satunya melecutkan cambuk bertali dua. Kedua ujung cambuk bagai diberi paku atau besi tajam yang sekali lecut dua-duanya menancap di pundak Suro. Cambuk itu segera ditarik dalam satu hentakan.

“Mampus kau…!”

“Aaakhh…!!”

Suro tidak berteriak, namun memekik dengan suara tertahan. Kepalanya mendongak ke atas lantaran rasa sakit akibat pundaknya ditembus dua besi runcing, yang kemudian saat ditarik mengakibatkan kulit pundak itu robek semuanya. Tak aneh lagi jika darah pun mengalir dari luka itu.

“Hajar terus dia…!” kata pemuda berompi biru dan bercambuk tunggal, namun tali cambuk bagian ujungnya berduri banyak.

“Aku ingin menghajarnya di depan umum,” ujar pemuda yang menganakan celana kuning dan baju putih. Ia memegang cambuk dengan dua tali, yang masing-masing ujung tali cambuknya diberi logam tajam sebesar paku. “Sebaiknya ikat saja dia, Rahuto… dan seret ke depan Kadipaten!”

“Ya, ya…aku lebih setuju usul itu, Wijaya.” Suro Bodong mencoba untuk berdiri dengan erangan kesakitan. Namun kaki kanan Wijaya segera menendang punggung Suro dengan keras. Dalam satu hentakan saja Suro  sudah jatuh tersungkur dengan wajah mencium tanah.

“Aaakh… Aauuhh…!” Suro Bodong mengerang dan tetap berusaha untuk bangun. Rupanya kali ini Rahuto dan Wijaya membiarkan Suro Bodong berdiri. Nafas Suro  yang terengah-engah dan tubuh yang sempoyongan itu membuat Wijaya tertawa puas, sedangkan Rahuto yang bermata belok hanya tersenyum sinis.

“Sekarang kau tidak punya kesempatan untuk lari, Iblis! Kau berhadapan dengan kami, Wijaya dan Rahuto, bukan berhadapan dengan orang-orang lemah yang dengan seenak perutmu sendiri kau bantai dengan keji….!!” Geram Rahuto sambil menggerak-gerakkan cembuknya.

Tangan Suro Bodong menuding dengan keseimbangan tubuh menggeloyor kian kemari.

“Siapa….siapa kalian….siapa, hah….?!”

Rahuto melecutkan cambuknya. “Taar…!” Tangan Suro Bodong menangkis dan menjadi sasaran cambuk itu.

“Aaoohh…!!” Suro Bodong meringis kesakitan. Kulit tangannya berdarah karena duri menggores tajam. Ia buru-buru mendekap tangan kanannya itu dengan nafas semakin terengah-engah, mencoba melawan rasa sakit.

“Kalian…..kalian siapa?! Mengapa memusuhi aku…?!” teriak Suro Bodong dengan posisi berdiri sebentar-sebentar mau jatuh, limbung ke sana sini.

“Kami orang-orang Kadipaten Kidang Kencana, yang kau kacau selama ini, tahu?!” bentak Wijaya. “Kami yang bertugas memburu kamu, Suro Bodong! Diburu untuk dibunuh di depan rakyat Kadipaten Kidang Kencana, supaya mereka puas melampiaskan dendamnya kepada-mu!” geram Wijaya.

“Siapa Kidang Kencana itu….? Oh, aku tidak kenal! Aku hanya kenal….hemmm….siapa ya…?!”

Suro Bodong bicara tanpa tujuan. Berdirinya masih limbung. Ini semua akibat dia dalam keadaan mabok. Sungguh celaka jika Suro dalam keadaan mabok. Makanan atau minuman apapun yang membuatnya mabok akan menjadi bencana bagi dia. Suro  tidak bisa meng-gunakan jurus-jurusnya, ilmu-ilmunya jika dalam keadaan mabok. Dia menjadi lemah, sekalipun dia punya keinginan untuk menggunakan jurus andalan untuk melawan musuh. Ia akan selalu gagal, seakan kehilangan semua ilmunya dan menjadi bodoh total.

“Hei…kalau kalian mau melawanku….lawanlah dulu diri kalian. Itu baru seorang jagoan, he, he, he…! Ratna Prawesti pernah bilang begitu padaku…!” Suro  bicara dengan kacau. Hal itu membuat Wijaya semakin gemas. Lalu, tangan kirinya yang tidak memegangi cambuk memukul wajah Suro  dengan keras.

“Heit…!” Suro menangkis, memaksakan diri meng-gunakan ilmu silatnya. Tetapi, tangkisannya mengibas di tempat kosong, sehingga pukulan Wijaya pun menghantam pipi Suro dengan keras.

“Aaauuw…!” Suro memekik, lalu sempoyongan dan rubuh. Kepalanya dikibas-kibaskan seperti kuda mendesis. Matanya yang sayu memandang Wijaya, lalu tersenyum. Ia menggerakkan tangannya, merentang ke samping semua dalam keadaan berdiri dengan kedua lutut.

“Jurus Capung Terbang Jauh, hiaaat…!”

“Buuk…!” kaki Wijaya menjejak dada Suro dengan bebas. Suro  terbatuk-batuk setelah terpental ke belakang. Ia menyeringai kesakitan dan nafasnya menjadi lebih sesak.

“Rupanya orang yang ditakuti penduduk tidak punya ke-bisaan apa-apa, Rahuto!” kata Wijaya dengan menyeringai sinis. “Seret dia ke alun-alun, biar rakyat yang memberi hukuman kepadanya!”

“Hiaat…!!” Rahuto mengibaskan cambuknya. Cambuk melesat tanpa suara, karena langsung membelit ketiak Suro Bodong. Jurus cambuk yang digunakan adalah jurus cambuk pengikat yang diberi nama: jurus Cambuk Kelabang Ganjen. Tali cambuk itu tidak merobek kulit, melainkan membelit dan membuat suatu ikatan yang kuat. Kepandaian itujarang dimiliki orang. Hanya Rahuto dan Wijaya yang bisa melakukannya. Karena itu, Wijaya pun segera melecutkan cambuknya ke ketiak kiri Suro. Cambuk itu pun membelit dan membuat suatu ikatan kuat.

“Hei, hei…mau diapakan aku ini, hah? Mau diperkosa?” suara Suro Bodong mengambang bagai orang yang sedang mengigau. Kepalanya masih terasa pusing, karena ia habis makan gadung dan membuatnya mabok.

Suro Bodong tidak tahu kalau gadung pemberian seorang petani dari desa Wulung itu adalah gadung yang memabukkan. Mungkin juga petani itu sendiri tidak tahu, karena ia juga ikut memakan gadung tersebut. Tetapi, dalam hal ini, Surolah yang memakan gadung sampai habis banyak. Ia sempat muntah-muntah di perjalanan. Kepalanya berputar dengan cepat bagai ingin meledak. Suro sudah beristirahat sebentar di bawah bukit Julung, ia sedikit merasa enteng. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya menuju Pesisir Selatan untuk menemui Eyang Pengging, adik dari Eyang Panembahan Purbadipa yang menjadi penasihat di Kesultanan Praja. Tujuannya menemui Eyang Pengging untuk menyampaikan pesan agar Eyang Pengging datang ke Kesultanan Praja, sebab saat ini Eyang Panembahan Purbadipa dalam keadaan sakit.

Tetapi di perjalanan tadi, Suro Bodong telah mendapat serangan tanpa permisi dari Wijaya dan Rahuto. Suro Bodong yang pusing dan mabok itu tidak menyadari kalau dia telah salah jalan. Ia tidak menuju ke Pesisir Selatan, melainkan berbelok arah, sampai akhirnya memasuki wilayah Kadipaten Kidang Kencana.

Ucapan Selamat Datang dari Kadipaten Kidang Kencana adalah lecutan cambuk Wijaya dan Rahuto. Kalau saja Suro Bodong tidak dalam keadaan mabok, mungkin kedua orang muda bersenjata cambuk itu akan ditungging-tunggingkan dalam waktu sekejap, bahkan mungkin cukup dengan kaki saja. Sayangnya, Suro  masih mabok, sehingga segala serangan dan tindakan Wijaya serta Rahuto itu tidak bisa diatasi. Suro hanya meracau dengan kata-kata tak karuan, sambil sesekali mengerang merasa-kan sakit.

Tubuh Suro diseret dengan kasar oleh kedua cambuk dari kedua pemuda kekar itu. Cambuk yang melilit kedua ketiak Suro itulah yang membuat tubuh Suro bagai ber-gelayutan dalam penyeretan tersebut. Lemas dan loyo. Ia mengaduh-aduh jika kakinya atau perutnya yang gendut namun buka membuncit itu tergores batu dalam penyeretan itu. Adakalanya ia bahkan tertawa sendiri melihat Wijaya dan Rahuto kecapekan menyeretnya ke alun-alun.

“Makanya….jangan suka menyeret-nyeret orang…! Nanti sakit encokmu kambuh, Mas…!” tutur Suro Bodong dengan suara mengalun tak karuan. “Aaaow…! Pahaku tergores ranting kering…! Aaauw…geli sekali…!”

“Diam!” bentak Rahuto.

“Hei, aku kan punya mulut….mengapa kau suruh diam? Kau sendiri punya mulut tidak mau diam! Dari tadi mem-bentak-bentak aku….waiyooow…!!” Suro menyeringai, mengajak bercanda. Rahuto gemas. Kakinya menendang dagu Suro dengan tanpa ampun lagi. Suro Bodong menyeringai dan memekik kesakitan. Tapi kemudian tubuhnya diseret lagi oleh mereka.

Beberapa langkah kemudian, Wijaya menghempaskan nafas dalam beristirahat.

“Badannya seperti kebo!”

Rahuto juga menghempaskan nafas kecapekan. Ia ter-engah-engah. Matanya memandang Suro Bodong dengan sengit, sementara otaknya kelihatan berpikir mencari cara lain untuk membawa Suro Bodong ke Kadipaten.

“Bangun!” bentak Rahuto sambil menendang pinggang Suro dengan kasar. “Bangun dan berjalan kau!! Cepat…!!”

Dengan keseimbangan tubuh benar-benar parah, Suro Bodong berdiri. Lututnya berdarah karena goresan batu tajam, celananya sebagian robek dan perutnya sendiri kelihatan ada bekas luka membesot dari samping atas ke bawah. Badan Suro benar-benar mengalami banyak kerusakan. Namun agaknya Suro Bodong tidak begitu menghiraukan karena keadaan otaknya sedang tidak waras.

“Sebetulnya…” katanya dengan suara seperti orang mengigau, “….aku ini salah apa? Kenapa aku diseret-seret seperti ini? kenapa? Apa salahku? Apa salahmu? Jawab dengan jujur, Sayang…!!” Suro  menyeringai. Wijaya menampar dengan geram. Galak!

“Kau berlagak lupa dengan kekejamanmu yang tidak mempunyai belas kasihan sama sekali, ya?! Kau berlagak lupa, hah?!”

Suro Bodong mengibaskan kepalanya lagi sambil menyemburkan bibirnya yang berkumis tebal. Kedua ketiaknya masih dililit camuk dan siap untuk digeret.

“Coba katakan…apa salahku, mungkin aku akan ingat dan kita bisa menembus kesalahan bersama-sama!”

“Ngaco saja omongannya!” gerutu Rahuto.

Wijaya mencengkeram baju Suro dengan ganas. Wajah-nya memandang dekat, sedangkan mata Suro dalam keadaan sayu, memerah.

“Dengar…! Kau telah menjadi jagal di Kadipaten kami!”

“Jagal? Oo, jadi aku telah memotong berapa ekor sapi dan berapa ekor kerbau?!”

“Bukan binatang yang kau jagal, tapi… manusia!” Wijaya menegaskan. “Menantu Kanjeng Adipati yang bernama Raden Atmaja itu kau gorok lehernya dengan keji!”

“Plaaak…!!” Wijaya menampar keras wajah Suro. Yang ditampar mengaduh dan gelagepan. Wijaya berkata lagi

“Keluarga Raden Mas Purwakusuma kau bantai semuanya! Anak-anaknya, istrinya, keponakannya….semua kau habisi dengan memotong lehernya!”

“Plaak…!” Wijaya menampar dengan kesal. Suro Bodong mengaduh lagi dengan kepala tersentak ke samping. Rambutnya yang panjag sebahu diikat kain merah itu semakin acak-acakan, menambah wajah Suro seram, bagai wajah seorang pembunuh berdarah dingin.

“Juga beberapa penduduk yang tak tahu dosa kau bunuh dengan caramu! Kau gantung dan kau beset-beset kulit mereka di depan anggota keluarganya! Sungguh keji kau, Suro Bodong! Sungguh kejiii…!!”

“Plook…!” Kali ini, tonjokan yang nyasar ke wajah Suro dan membuat mata kiri Suro Bodong menjadi memar, membiru legam. Suro berteriak kuat-kuat dalam keadaan tubuh hendak terpelanting jatuh. Tetapi Rahuto memegangi cambuknya yang melilit di ketiak Suro Bodong sehingga tubuh Suro masih dalam keadaan berdiri dengan lutut merendah.

“Bangun…!!” Wijaya membentak sambil menarik cambuknya yang juga melilit di ketiak Suro. “Kau harus ber-tanggung jawab atas pembunuhan dan keonaran yang kau lakukan di Kadipaten kami! Ayo, lekas…bangun!”

Rintih dan erangan Suro Bodong mengiringi per-jalanannya ke Kadipaten Kidang Kencana. Dengan jalan setengah diseret, Suro Bodong melangkah gontai, bahkan sesekali terjatuh lemas dalam keluhan kesakitan. Namun pengaruh maboknya masih saja membuat Suro Bodong dalam keadaan antara sadar dan tidak. Suro tahu kalau ia mempunyai beberapa jurus andalan yang mampu melumpuhkan kedua pemuda perkasa dan ganteng-ganteng itu. Tetapi ia tidak tahu bagaimana cara meng-gunakannya.

Suro Bodong juga sadar, bahwa ia mempunyai jurus Luing Ayan-1 sampai Luing Ayan-7, yang dapat merubah ujudnya menjadi tujuh kali ganti rupa yang berlainan. Tetapi bagaimana cara menggunakan jurus Luing Ayan itu, ooh….sungguh tidak bisa diingat sedikitpun. Bahkan pedang pusaka yang bernama Pedang Urat Petir, tak tahu di mana ia meyimpannya. Ia melihat tubuhnya yang polos tanpa senjata, padahal ia ingat-ingat lupa, bahwa ia punya senjata pusaka yang cukup hebat. Cahaya ungu yang terpancar dari pedangnya terbayang selintas dalam ingatan, ingin sekali ia meraih pedang itu untuk melawan Rahuto dan Wijaya. Sayang, ia kebingungan mencari di mana ia menyimpan pedangnya. Ia merasa bingung tujuh keliling. Tapi ia ingat, ia bergelar Pendekar 7 Keliling. Kenapa bisa bergelar begitu? Ah, lupa! Ia benar-benar lupa bahwa gelar itu diperoleh karena ia mampu berubah ujudnya tujuh kali dalam setiap gerakan berputar. Tapi…..berputar yang bagaimana? Sial! Lupa lagi!

“Rahuto….! Apakah dia yang bernama Suro Bodong?!” seru salah seorang penduduk dari beberapa orang yang memperhatikan Suro Bodong ditarik-tarik Rahuto dan Wijaya. Rahuto menyahut dengan berseru.

“Ya. Ini dia yang bernama Suro Bodong, yang tempo hari lolos dari kejaranku setelah membantai Pak Sugali!”

“Hajar saja dia…!” seru mereka. “Bunuh…! Gantung! Matikan dia…! Matikan Suro Bodong! Penggal kepalanya! Cabut kuku-kukunya…! Sikaaaat….giginya!”

“Plak, pokk…pletak…! Buk, buk, buk…!”

“Aaaaaahhh…!!”

Suro Bodong berteriak keras karena banyak penduduk yang menghujani batu, yang memukulnya dengan kayu, bahkan ada yang menggigit paha Suro Bodong dengan gemas. Untung saja orang itu tersengkat kaki Rahuto tak sengaja sehingga gigitannya tidak membuat daging paha Suro gompal.

“Sabar….sabar….!” teriak Wijaya menenangkan amukan penduduk Kadipaten Kidang Kencana.

“Dia yang membunuh Pamanku!” teriak seseorang.

“Dia yang memperkosa anak gadisku! Bunuh dia!” seru seorang ibu sambil membawa parutan kelapa.

“Bakar saja dia! Bakar….! Dia yang membakar rumah kami dan memperkosa adik kami…!” teriak seorang pemuda dengan mata garang.

Soerang kakek mendekar, menerobos tangan Wijaya yang menghalanginya. Kakek itu membawa tongkat dan berdiri di depan Suro Bodong. “Ini yang memperkosa istriku tidak jagi…! Hihh…!”

“Pletak…!” Tongkat kayu dihantamkan di ubun-ubun Suro Bodong. Satu kali pukul, kepala Suro Bodong sudah sanggup mengucurkan darah. Dua kali pukul, tangan kakek itu ditahan oleh Rahuto.

“Sabar, Kek….! Jangan mendahului pengadilan Kanjeng Adipati, nanti kita kesalahan…!” bujuk Rahuto. Kemudian Suro Bodong ditarik-tarik oleh Wijaya dan terseret-seret menuju gerbang dalem Kadipaten. Penduduk berbondong-bondong mengikuti Suro Bodong sambil melemparkan apa saja yang terpegang. Sekena-kenanya. Bahkan ada yang melemparkan blengkon kepalanya dan mondolan blangkon mengenai kening Suro Bodong. Suro  mengaduh lirih, sudah tak mampu berteriak lagi.

Darah membasah, melumuri tubuh Suro Bodong yang sedang dalam keadaan mabok itu. Ia menghadap Adipati Lohgawe dengan badan tak sanggup berdiri lagi. Banyak punggawa negeri berkumpul dengan menggeram, meng-geletukkan giginya. Malah ada yang sempat menyundutnya pakai rokok, dan segera dilarang oleh Adipati Lohgawe. Sebab waktu itu sundutan api rokok bukan mengenai kaki Suro tapi mengenai kaki Wijaya.

“Mandikan dia, baru kita sidang!” kata Adipati Lohgawe dengan suara penuh dendam. Kalau saja ia bukan seorang Adipati, mungkin ia juga akan ikut-ikutan memukul Suro atau menyundutnya dengan puntung rokok. Hanya saja, karena ia menyadari kedudukannya sebagai Adipati penguasa Kadipaten Kidang Kencana yang dihormati semua orang, maka ia berusaha menahan emasi, bahkan mencoba bersikap bijak dan berwibawa.

Suro Bodong menjerit-jerit kesakitan ketika disiram oleh air, dan didorong agar tercebur ke dalam kolam ikan. Luka disekujur tubuhnya membuatnya perih dan kesakitan. Tapi mereka tidak satu pun ada yang kasihan kepada Suro. Bahkan sebaliknya, mereka bersikap kasar dan penuh pelampiasan dendam.

Suro Bodong hanya mengerang-erang kesakitan, ia belum menyadari siapa dirinya dan bagaimana meng-gunakan jurus-jurusnya. Yang ia tahu, ia disiksa tanpa jelas kesalahannya. Ketika ia dihanduki dengan kain karung bekas rumput kuda, ia menjerit-jerit lagi, karena mereka menghanduki dengan kasar.

“Awas, hati-hati…! Jangan sampai lolos dia!” kata se-orang abdi dalem perempuan yang berdiri di depan dapur.

Waktu itu, Suro Bodong sempat melirik adanya seorang perempuan lain yang tampak berpakaian rapi dengan busana kebangsawanan. Perempuan itu mengenakan pakaian pinjung biru muda dengan kain batik warna cerah. Gelang dan kalungnya bergemerlapan. Ia mempunyai rambut yang disanggul ke atas dan memakai tusuk konde dari logam perak berhias batuan merah. Mungkin itu istri Adipati, pikir Suro Bodong. Atau mungkin dia Mbok Emban, yang bertugas mengasuh bayi. Ah, terlalu cantik dia kalau mejadi emban. Terlalu bersih dan terlalu menawan. Ck, ck, ck…matanya begitu bening dan enak dipandang.

“Hei, kenapa malah bengong!!” seorang prajurit ber-kumis tebal, sama seperti kumis Suro, menendang pantat Suro dengan kasar. Suro Bodong terjengkang jatuh dan sama sekali tidak bisa menangkis tendangan sepele itu.

Suro Bodong segera dihadapkan di sidang kadipaten. Adipati Lohgawe sepertinya tidak sabar menunggu saat memberi keputusan hukuman kepada Suro. Maka, ketika Suro Bodong dihadapkan kepadanya, langsung saja Adipati Lohgawe berseru:

“Apa benar kau yang bernama Suro Bodong?”

Jawab Suro Bodong, “Kalau tidak salah, benar! Aku Suro Bodong. Aku seorang Senopati. Istriku cantik dan…!”

“Cukup!” bentak Wijaya yang rupanya sebagai orang andalan adipati. Wijaya mengancam dengan menjambak rambut Suro Bodong, sebab Suro  sudah tidak mengenakan baju lagi.

“Kau hanya boleh bicara sesuai dengan pertanyaan Kanjeng Adipati, mengerti! Jangan lebih!”

Wijaya melepaskan genggaman rambut Suro Bodong. Suro meringis-ringis, mulutnya mendesis-desis menahan sakit.

“Mengapa kau membunuh Raden Atmaja, menantuku? Apa salahnya? Apa urusan kalian?!” tanya Adipati Lohgawe.

“Aku tidak tahu,” jawab Suro Bodong dengan suara lemah. Saat itu ia sempat melirik ke sudut, menatap seorang perempuan yang mengenakan pinjung biru muda dan bertusuk konde perak. Cantik dan lembut kulit tubuhnya yang terlihat itu. agaknya perempuan itu sejak tadi memperhatikan Suro Bodong dengan sorot mata yang mengandung dendam membara.

“Kuminta kau bicara dengan jujur! Jangan berbelit-belit, mengeti?!” bentak Lohgawe.

“Mengerti…” jawab Suro  datar.

“Ada persoalan apa kau dengan Raden Atmaja dan keluarga Raden Mas Purwakusuma?!”

“Tidak ada,” jawab Suro bo menyempatkan melirik ke sudut.

“Jika tidak ada, mengapa kau bantai mereka? Bahkan penduduk tak tahu dosa kau bunuh, kau perkosa dan kau siksa mereka. Apa alasanmu berbuat begitu?!”

Suro Bodong masih menampakkan kesayuan matanya, ia memandang Adipati dan bertanya.

“Apa mereka mati?!”

Wijaya menggeram jengkel, “Dia berlagak lupa!”

“Pura-pura gila…!” sahut Rahuto.

“Mungkin dia mabok,” kata salah seorang perwira kadipaten yang mempunyai banyak anak buah itu.

Wijaya menyahut, “Tidak mungkin! Aku tidak mencium bau tuak atau arak dari nafasnya! Dia pasti pura-pura gila, atau berlagak lupa dengan segalanya!”

Adipati Lohgawe mengangkat tangan, pertanda meminta hadirin supaya tenang. Sementara itu, samar-samar terdengar seruan dari luar dalem kadipaten yang saling ber-sahutan, “Gantung Suro Bodong…! Gantung dia…! Bakar saja hidup-hidup…! Rajang-rajang wajah Suro Bodong!!”

Adipati berkata kepada Suro Bodong yang loyo,

“Hei, kau dengar mereka menuntutmu, bukan?! Mereka berseru memanggil namamu untuk dibunuh ramai-ramai. Kalau sudah begini kau mau bilang apa?!”

“Hebat,” jawab Suro Bodong seperti orang mengigau. Ia bahkan menyeringai tawar.

“Apanya yang hebat?” hardik Adipati Lohgawe.

“Aku heran, mengapa namaku jadi kondang di kadipaten ini. Namaku jadi dikenal oleh setiap orang, padahal aku baru satu kali datang ke kadipaten ini.”

“Baru satu kali…?!” Adipati berkerut dahi.

“Kanjeng,” sela Wijaya. “Sebaiknya, segera saja Kanjeng putuskan untuk menjatuhkan jenis hukuman, biar masalah ini tidak bertele-tele. Kalau terlalu banyak mengulur waktu, saya kawatir dia akan mencari kesempatan untuk melarikan diri…”

Suro sendiri yang menyahut dengan sisa akal warasnya, “Tak perlu khawatir….aku tak mungkin akan lari dari Kadipaten ini. Selain…..aku lemah, juga ada hal yang harus kuselesaikan. Aku tak mungkin lari sebelum selesai masalahku di sini…”

“Masalah apa, Suro ?” tanya kanjeng Adipati Lohgawe.

“Masalah tuduhan!” jawab Suro  dengan sedikit tegas, namun masih saja dengan mata sayup-sayup dan suara ngambang. “Aku dituduh, difitnah, lalu disiksa…. Aku didakwa membunuh raden Atmaja dan Keluaraga Raden Mas….siapa tadi, aku lupa namanya! Dan….aku akan menuntut kalau terbukti aku tidak bersalah.”

Secara tidak sengaja, semua mulut jadi terbungkam dan semua mata memandang kepada Suro Bodong dengan rasa heran dan curiga. Sementara itu, Suro Bodong sendiri hanya menunduk lemah, sesekali mendesah menahan rasa perih di tempat yang terluka. Perempuan berpinjung biru muda masih mengikuti semua pembicaraan dengan diam, tanpa kata apapun.

“Kau sudah jelas bersalah, Suro Bodong. Tak mungkin kau bisa membuktikan dirimu tidak bersalah. Di sini banyak saksi mata yang melihat kau melakukan pem-bunuhan keji terhadap rakyatku, bahkan terhadap menantuku sendiri,” kata Adipati. Lalu, ia bicara kepada seorang perajurit, “Panggil Dadapsuri dan Jayeng….!”

Prajurit yang diperintahkan memanggil kedua orang itu segera pergi. Saat itu Rahuto berkata,

“Apa lagi yang harus Kanjeng tunggu-tunggu? Apakah masih ada hal yang menyangsikan, Kanjeng? Bukankah dia sudah mengaku sebagai Suro Bodong, dan ciri-cirinya sama persis dengan ciri-ciri yang diserbutkan para saksi. Bahkan Wijaya sendiri yang sempat memergoki Suro Bodong hendak memperkosa anak saudagar Branta juga hapal sekali, bahkan inilah orang yang ia kejar-kejar itu.”

“Benar, kanjeng,” sahut Wijaya. “Saya tidak salah lihat, memang inilah Suro Bodong.”

Adipati diam tanpa suara. Agaknya mempertimbangkan sesuatu. Namun sebelum ia bicara, prajurit utusan tadi sudah datang bersama orang yang bernama Jayeng dan Dadapsuri.

“Jayeng dan Dadapsuri….” Sapa Adipati. Keduanya memberi sembah penghormatan. Lalu kata Adipati, “Apa benar kalian melihat sendiri saat Suro  mengamuk di rumah Raden Mas Purwakusuma?”

“Benar, Kanjeng Adipati,” jawab mereka bersama.

“Kalian melihat sendiri wajah orangnya?”

“Kami melihat persis, Kanjeng.”

“Seperti dia?” tuding Adipati ke Suro Bodong.

Setelah memandang sebentar Dadapsuri menjawab, “Bukan persis lagi, kanjeng. Tetapi memang dialah pembunuhnya!”

Tiba-tiba Suro Bodong berkata,”Aku akan menuntut kalian!” ia menuding Dadapsuri dan Jayeng dengan mata dan gerak seorang yang sedang mabok.

“Apa yang akan kau tuntut, Pembunuh Keji!” ketus Jayeng.

“Kalian telah menuduhku berbuat jahat. Aku tidak bisa menerima hal itu! Karena aku ini bukan orang jahat, melainkan orang baik-baik. Aku belum pernah datang ke kadipaten ini sebelumnya. Kalian jangan asal menuduh, ya?”

“Kanjeng…” kata Jayeng. “Kami tidak bohong. Kami melihat sendiri, memang dialah yang menggorok leher Raden Mas Purwakusuma. Betul, kanjeng! Bahkan ia menyebutkan namanya kepada orang-orang yang memper-hatikan dari kejauhan, bahwa dia bernama Suro Bodong.”

Suasana hening. Suro Bodong termenung dalam ber-pikir. Kepalanya tersa pening sekali. Dan pikirannya sangat kacau. Sebentar-sebentar yang dilirik hanyalah perempuan di sudut sana yang sempat membuat hati Suro berdecak kagum atas kecantikannya.

“Bukti dan saksi sudah ada, Suro!”

“Tidak bisa! Beri aku kesempatan untuk berkhayal…!” Suro tersenyum, bicaranya ngacau lagi. “Biasanya kalau berkhayal itu menemukan suatu keindahan. Dan aku ingin menemukan suatu keindahan. Kalau memang aku bersalah, hukum sajalah. Apa susahnya sih? Tak perlu pakai pengadilan seperti ini.”

“Kami tidak ingin menghukum orang yang tidak bersalah,” kata Adipati.

“Nah, kalau begitu, aku tidak akan dihukum, sebab aku tidak bersalah! Aku bukan pembunuh. Aku Senopati. Itu juga terpaksa, habis….aku didesak untuk menjadi Senopati, sebab aku…”

“Sudah, sudah….bicaralah yang benar. Kau kuberi kesempatan untuk membela diri,” sahut Adipati.

“Kepalaku pusing,” Suro meringis. “Aku akan bicara kalau kepalaku sudah tidak pusing lagi. Aku tidak bisa menjelaskan maksudku kalau kepalaku masih pusing. Oh….aku haus sekali! Dari tadi aku disiksa, tapi tidak diberi suguhan apa-apa. Aku minta minum, Adipati!”

Adipati memberi isyarat kepada seorang perajurit, lalu perajurit itu pergi dan datang lagi membawa sebutir kelapa yang sudah dibuka bagian atasnya. Suro Bodong diberi minum air kelapa. Kata perajurit itu, “Cuma minuman ini yang pantas diminum oleh seorang pembunuh berhati iblis…”

“Terima kasih, Pimpinan Setan….” Kata Suro Bodong sambil menerima buah kelapa itu. ia tak perduli prajurit tadi bersungut-sungut dengan geram. Yang penting ia perlu membasahi tenggorokannya, sekalipun dengan air kelapa. Ia meneguk habis air kelapa itu, dan membuat beberapa orang terheran-heran di dalam hati mereka.

“Wijaya dan Rahuto…” kata Adipati Lohgawe. “Atasilah rakyat yang berjemur di alun-alun itu. Beri keputusan kepada mereka, bahwa Suro Bodong akan dihukum setelah pengadilanku memutuskan bahwa ia bersalah. Tetapi, bukan untuk saat ini dia harus menjalankan hukumannya.”

“Mereka tidak sabar, kanjeng!” sahut Wijaya.

“Kau yang bertugas membuat mereka sabar, Wijaya,” sahut Adipati dengan tegas. “Aku tida mau menjatuhkan hukuman yang salah. Semua hukum di sini, seperti yang sudah-sudah, harus melalui pengadilan lebih dulu. Keputusanku akan terjadi dengan jelas kalau sudah mengadili tertuduh. Sekarang, Suro dalam keadaan luka, dan mungkin otaknya sedikit terganggu akibat kepalanya bocor dipukul oleh siapa saja. Beri dia waktu sampai ia bisa bicara dengan waras.”

“Tapi, saya rasa dia tidak akan menjadi waras. Dia akan berpura-pura sakit kepala atau gila, kanjeng. Sebab bagaimanapun juga, dia akan mencari dalih agar dia bisa lolos dari tuduhan kita, Kanjeng!”

“Beri dia waktu satu hari. Kalau lebih dari satu hari dia belum mau waras jgua….aku memutuskan untuk digantung di tengah alun-alun! Tapi sekarang, penjarakan dia!”

Ada tiga utusan rakyat yang menghadap Adipati Lohgawe. Mereka diizinkan bicara, dan salah satu berkata

“Kanjeng, kami….rakyat Kadipaten Kidang Kencana, tidak akan setia lagi kepada Paduka kanjeng Adipati jika Suro Bodong tidak segera dihukum. Kami mohon, laksana-kan hukuman di alun-alun sekarang juga, dan kami tetap akan setia kepada Paduka kanjeng Adipati junjungan kami.”

Adipati Lohgawe mulai resah. Wijaya menambahkan kata,

“Demi kehormatan dan martabat kanjeng di depan rakyat, biarkan rakyat menghukum Suro Bodong sekarang juga…!”

Setelah diam berpikir lama, Adipati Lohgawe memutuskan “Baiklah, bawa dia di alun-alun dan ikat dia di sana! Tapi jangan lakukan hukuman dulu. Aku akan berembuk dengan puteriku, istri almarhum Raden Atmaja, untuk menentukan hukuman!”

***

2

PEREMPUAN berpakaian biru muda dengan tusuk konde perak berbentuk ular naga itu ternyata putri Sang Adipati. Dialah yang bernama Puji Wardani. Bekas istri Raden Atmaja, yang menjadi janda kembang akibat suaminya digorok oleh pembunuh keji. Konon pem-bunuh itu bernama Suro Bodong. Puji Wardani sendiri melihat saat suaminya dibunuh di kamar pada dini hari. Ia tidak dapat berteriak, dan pingsan setelah melihat Suro Bodong menghunus sebilah pedang dan menebaskan ke leher Raden Atmaja.

“Tak mungkin salah, Romo,” ujar Puji Wardani yang masih menyembunyikan kepedihan di sela kobaran dendamnya. “Saya melihat jelas, dialah pembunuh Kang Mas Atmaja. Ia memakai baju merah tanpa dikancingkan, dan celana biru dengan ikat pinggang kuning. Rambutnya panjang sebahu dan diikat dengan kain merah. Kumisnya tebal dan badannya gemuk sekalipun tidk terbilang gendut, Romo. Dan….orang itulah yang sekarang diikat di tengah alun-alun itu, tak mungkin salah!”

“Puji Wardani….” Kata Adipati Lohgawe dengan suara lembut. “Romo bukan bermaksud tidak menghukumnya. Kalau sudah melalui pengadilan yang resmi seperti kebiasaan di pemerintahan kita, maka Suro Bodong akan dijatuhi hukuman. Tapi sekarang ini dia belum bisa diajak bicara. Banyak luka di tubuhnya, termasuk di kepala, dan itu membuat Suro Bodong dalam keadaan tidak sehat, baik otak maupun bicaranya. Jadi….”

“Jadi menunggu dia melarikan diri lagi?!” sahut istri Adipati Lohgawe yang juga memendam dendam kepada Suro Bodong. “Sudah jelas dia bersalah, masih saja diulurulur persoalannya,” istri Adipati bersungut-sungut.

“Peraturanku adalah kejayaanku, Diajeng!” kata Adipati dengan sabar. “Kalau aku melanggar peraturanku sendiri, yaitu menjatuhkan hukuman kepada orang yang belum diadili, itu sama saja aku menggulingkan kejayaanku sendiri.”

Istri Adipati hanya cemberut, duduk di samping puteri-nya yang tunggal, Puji Wardani. Adipati sendiri merasa seperti dalam keadaan yang terjepit. Istri, anak dan rakyat-nya mendesak agar ia menjatuhkan hukuman selekas-lekasnya kepada Suro Bodong. Padahal dia sudah menentukan suatu undang-undang yang selama ini men-jamin keadilan pemerintahannya, yaitu mengadili setiap tertuduh untuk menentukan apakah tertuduh pantas di-hukum atau dibebaskan. Dan selama ini rakyat menyanjung keputusannya yang senantiasa adil serta bijaksana. Kalau dia gegabah menjatuhkan hukuman kepada Suro Bodong berdasarkan dendam rakyatnya, sudah tentu akan menggoncang kewibawaan pemerintahannya. Sedangkan seorang dalam keadaan tidak sehat baik otak maupun jasmaninya, selalu ditolak dalam pengadilan, menunggu sampai orang tersebut sembuh dan sehat, baru dilaksanakan sidang pengadilan tersebut. Ini sudah merupakan ketentuan yang dibuat sejak ia ‘jumeneng’ sebagai Adipati di Kadipaten Kidang Kencana.

“Kalau benar orang itu yang melakukan keji terhadap rakyat kita, dan terhadap Raden Atmaja, suamimu,” kata Sang Adipati kepada anaknya, “Lantas, menurutmu… hukuman apa yang pantas untuk dijatuhkan kepadanya, Puji?”

“Tak ada yang pantas kecuali hukum picis…!” jawab Puji Wardani dengan cemberut menahan gejolak dendam.

“Hukum picis?! Setiap orang berhak mengiris atau melukai tubuhnya dengan apa saja?!” Adipati menegaskan. Dan anaknya hanya berkata dengan suara datar.

“Aku orang pertama yang harus melakukan hukuman itu!”

Istri sang Adipati menyahut, “Dan aku orang kedua….” Geram di giginya yang menggeletuk terlihat jelas. Adipati terbungkam mencoba memahami perasaan istri dan anaknya.

Sementara itu, di tengah alun-alun rakyat tampak berkumpul, walau tidak semuanya. Tidak cukup banyak juga yang berdiri di luar pagar.

Suro Bodong terikat pada sebuah tiang yang terpancang di tengah alun-alun. Terik panas matahari menyorot ke tubuhnya yang rapat diikat tali, menjadi satu dengan tiang tersebut. Beberapa prajurit memagari alun-alun, supaya rakyat tidak mengamuk dan menghajar Suro Bodong sebelum ada keputusan dari Adipati Lohgawe. Jarak antara Suro Bodong dengan kumpulan manusia yang melingkari--nya cukup jauh, sehingga tak ada yang dapat memukul Suro dari jarak dekat. Setiap orang yang hendak masuk ke dalam lingkaran para perajurit pasti ditahan, dan disruuh keluar. Namun demikian mereka masih sesekali berteriak menampakkan amarahnya.

“Gantung Suro Bodong….! Gantung dia…! Bakar saja hidup-hidup…!”

Sesekali ada yang nekad melempar dengan batu. Suro Bodong hanya diam dalam kebingungannya sebagai orang yang sedang mabok. Lemparan batu itu ada yang mengenai tubuh Suro Bodong, ada yang tidak sampai. Namun, seorang anak kecil berhasil menyakiti Suro Bodong dari jarak jauh. Ia menyelepet Suro Bodong memakai ketapelnya. Batu-batu sebesar ibu jari mengenai Suro Bodong beberapa kali, bahkan ada yang mengenai kepalanya dan menimbulkan benjolan yang membiru. Suro Bodong berteriak kesakitan bila batu itu memang terasa sakit mengenai tubuhnya. Dan biasanya anak itu melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, takut diketahui salah seorang perajurit. Ia tak ingin ketapelnya dirampas. Tapi, nyatanya harapan anak itu meleset. Seorang perajurit tanpa seragam mengetahui perbuatannya, lalu ketapel itu dirampas dan ia menangis karena kehilangan ketapelnya. Bahkan ayah anak itu sempat cek-cok dengan seorang perajurit gara-gara ketapel itu. Namun segera dapat diselesaikan dengan damai.

Sehari semalam Suro Bodong diikat pada tiang itu di tengah alun-alun. Ia tidak diberi makan, karena pada waktu seharunya ia diberi makan, ia sudah buru-buru pingsan karena lemparan batu cukup besar yang mengenai ulu hatinya. Obor-obor malam berkelap-kelip di pinggiran alun-alun. Rakyat seakan menunggu keputusan Adipati Lohgawe untuk segera melaksanakan hukuman bagi Suro Bodong. tak satupun rakyat yang menampakkan belas kasihan kepada Suro Bodong. Bahkan semuanya berwajah tak sabar, ingin segera melampiaskan kemarahannya.

Suro Bodong jelas tidak mengetahui kalau malam itu ia dikerumuni massa yang membawa obor. Ia pingsan. Lama sekali. Lemparan yang sesekali mengani tubuhnya tidak dirasa lagi. Kepala Suro sudah terkulai menunduk dan ada darah yang masih meleleh dari luka di kepalanya itu.

Pagi, menjelang fajar meningsing, udara dingin yang membawa embun telah menyadarkan Suro Bodong dari pingsannya. Ia melihat ke sekeliling dengan rasa heran. Ia bertanya-tanya dalam hati, mengapa ia ada di tengah suatu alun-alun? Di alun-alun mana dia berada? Dan mengapa ia diikat?

Rupanya Suro Bodong telah mulai menyadari keadaan dirinya. Ia mencoba mengingat-ingat dari sejak perjalanan meninggalkan Kesultanan Praja, sampai makan gadung dan muntah-muntah. Sedikit demi sedikit ingatannya pulih kembali, bahwa ia telah ditawan oleh pemerintah kadipaten karena tuduhan membunuh dan membantai rakyat. Ya, dia ingat semua tuduhannya. Dia ingat pula siapa-siapa orang yang menyeretnya dan mengadilinya. Ia bahkan ingat sekali tentang wajah perempuan cantik berpakaian biru muda yang saat itu memperhatikan dirinya disiksa di depan kolam ikan. Dia juga ingat saat diberi minum air kelapa oleh seoerang perajurit. Dan ia baru sadar bahwa air kepala muda itulah yang menawarkan racun gadung dalam perutnya. Jika tanpa meminum air kelapa muda itu, mungkin ia akan memerlukan waktu lama untuk sembuh dari mabok gadung. Dan sekarang…..sekarang ia telah memperoleh kesadarannya. Pusing di kepala telah hilang, yang ada hanya rasa nyeri akibat luka di tubuh.

Suro Bodong sengaja bernafas panjang-panjang. Ia menghirup udara pagi yang segar sebanyak-banyaknya untuk memperoleh kesegeran di dalam tubuh. Sambil melakukan hal itu, ia mencoba mengingat-ingat tengang tuduhannya. Ia berkata dalam hati,

“Raden Atmaja…?! Siapa dia? Aku baru kali ini mendengar nama Raden Atmaja…. Juga nama Raden Mas Purwakusuma….” Suro agak mengeja. “Siapa pula mereka? Apa benar aku telah membantai mereka, dan….dan beberapa penduduk yang tak berdosa. Malah, sepertinya ada yang menuduhku telah memperkosa anak, kakak atau istri mereka. Ah, gila! Mana mungkin aku melakukan hal itu? Tetapi…banyak saksi mata yang melihat aku melakukan begitu. Kalau tidak salah, kemarin siang ada dua orang yang melihatku melakukan pembantaian di rumah keluarga gmp. Kalau tidak salah….” Suro mengingat-ingat dengan dahi berkerut, “….kata kedua saksi mata itu, setelah membantai keluarga itu, aku menyebutkan namaku…? Apa iya begitu?!”

Mungkin tak ada yang tahu kalau Suro Bodong telah siuman dari pingsannya. Maklum, langit masih gelap dan caaya fajar masih mengintip di cakrawala. Tapi kokok ayam sudah sejak tadi terdengar bersahut-sahutan. Suro Bodong menggunakan suasana tenang itu untuk berpikir dan menimang-nimang apa yang harus dilakukan. Di dalam hatinya dia berkata sendiri,

“Kalau saja aku jadi pembunuh….misalnya aku benar-benar membantai keluarga Raden Mas Purwakusuma, apa yang haus kulakukan?” Suro Bodong berkerut dahi lama sekali.

“Aku akan membantai mereka secara diam-diam…. lalu…. lalu aku akan pergi tanpa berusaha diketahui orang lain. Lalu…? Lalu kenapa ada saksi yang mengatakan aku menyebutkan namaku? Ah, siapa saja yang membantai orang pasti tidak akan menyebut namanya. Kalau begitu, pasti ada alasan tersendiri bagi pembunuh yang berani menyebutkan namanya di depan para saksi. Ya. Pasti ada alasan lain. Apa ya…?!” Suro  masih bersungut-sungut dengan tangan terikat jadi satu pada tiang dan tubuhnya.

“Ada beberapa kemungkinan,” katanya dalam hati. “Yang pertama, adalah kemungkinan adanya sekelompok orang yang bersepakat memfitnahku. Mereka berembuk untuk mengatakan bahwa pembunuh itu bernama Suro Bodong. Entah dengan maksud apa, tapi jelas sekelompok orang bisa saja sepakat untuk mengaku demikian, kemungkinan lainnya…?”

Sambil menghirup udara pagi yang banyak, Suro Bodong masih memutar otaknya untuk menyelidiki tuduhannya. Ia selalu berkata sendiri di dalam hati,

“Banyak kemungkinan lain. Misalnya, mereka salah dengar waktu si pembunuh menyebutkan nama. Atau….mereka sengaja menuduhku demikian walau sebenarnya tidak ada yang mati satupun. Alasannya apa? Nah, ini…..alasan ini yang sukar dicari…”

Seorang perajurit melihat Suro Bodong sudah siuman. Prajurit bersenjata tombak dan perisai perunggu itu mendekati Suro Bodong. Waktu itu, langit mulai cerah.

“Syukurlah kalau kau sudah siuman….” Katanya. Suro Bodong tersenyum sinis.

“Syukurlah kalau kau masih selamat,” balas Suro Bodong.

“Apa maksudmu, hah?” prajurit itu menghardik.

“Maksudku, kalau aku bisa lolos dari ikatan ini, kau tidak kuizinkan bernafas sedikitpun.”

Serta merta prajurit itu mengulurkan ujung tombaknya yang tajam ke leher Suro, leher itu ditekan sedikit dengan ujung tombak, dan ia berkata dengan geram,

“Hati-hatilah dalam bicaramu! Jangan mempercepat kematian sebelum Kanjeng Adipati memutuskan hukuman apa yang layak untuk dijatuhkan kepadamu. Tahu…?”

“Tahu, Paman…” jawab Suro Bodong tanpa rasa takut yang tergambar di wajahnya. Yang ada di wajah itu adalah ketenangan. Ya. Suro Bodong sudah bisa menenangkan diri, dan bisa mengatasi rasa sakit akibat luka-lukanya. Prajurit itu menyeringai dengan sombong, menarik tombak-nya dan mundur menjauh.

“Tahukah kau bahwa nyawamu sendiri hanya sampai hari ini. Kanjeng Adipati sedang memilih hukuman untuk mengakhiri hidupmu. Hukuman itu harus setimpal dengan kekejamanmu, sehingga rakyatpun puas!”

Suro Bodong tersenyum santai. “Hei, bisakah kau melepaskan tali ini sebentar? Nanti ikatkan lagi seperti semula.”

“Untuk apa?!”

“Aku mau garuk-garuk kumisku. Sebentar saja…! Nanti ikatlah lagi…”

Prajurit itu bersungut-sungut. Cemberut.

“Kau ingin mengecohkan aku, ya? Ingin menipuku? Uh….pikir-pikir dululah, kau bicara dengan seorang prajurit! Bukan dengan kusir delman, tahu?”

Nafas Suro Bodong terhempas. Ia ingin sekali garuk-garuk kumis seperti biasanya.

“Atau….kalau tidak, tolong garukkan kumisku sebentar,” katanya. “Cuma sebentar saja. Yahh….kira-kira empat atau lima garukan saja….”

Prajurit itu melototkan mata, merasa dihina. Lalu Suro ditampar dengan tangan kiri. “Plak…!”

“Terima kasih…!” kata Suro sambil menyeringai. “Ternyata cukup satu tamparan saja kumisku telah merasa tergaruk dengan puas. Terima kasih, sobat….”

Untuk mengurangi kedongkolan, prajurit itu pergi. Ia dipanggil Suro berkali-kali, tapi tidak mau berpaling sedikit-pun. Suro Bodong tertawa sendiri dengan suara pelan.

Matahari pagi sudah mulai menampakkan batang hidungnya. Sinarnya cukup cerah, seperti mengucapkan selamat dihukum kepada  Suro Bodong. Suro hanya menyeringai pahit memandang kemunculan matahari.

Karena dilihatnya, orang-orang mulai berdatangan mengerumuni alun-alun. Para prajurit sibuk mengendalikan beberapa orang yang ingin menyerbu ke tengah alun-alun. Mereka berteriak sahut-sahutan.

“Matikan Suro Bodong…! Bantai saja dia….!”

Di sebelah belakang Suro ada yang berseru.

“Cambuk saja sampai mati. Cambuk dia dengan cambuk berduri…! Gantung saja pelan-pelan…! Lemparkan di sungai saja, biar dimakan buaya…!”

Sahutan teriakan mereka tak mempengaruhi ketenangan Suro Bodong. Ia justru menatap ke sana sini dengan senyum seperti orang wisatawan melihat keindahan alam. Ini sempat membuat rakyat semakin dongkol. Sebuah batu melayang ke arahnya. Sebelum menyentuh, Suro meniupkan udara ke batu itu, dan batu tersebut berhenti, lalu jatuh di depan Suro. Karena jarak yang jauh, tak banya orang yang mengetahui kekuatan itu. Suro Bodong sendiri merasa lega, karena kini ototnya bisa mengejang dan gerakan bathinnya mulai bekerja dengan sempurna. Pengaruh mabok hilang, yang timbul hanya kekuatan dari jurus-jurus kesaktiannya.

Rombongan keluarga Adipati Lohgawe mundul dengan diiringi pengawal di depan dan di belakangnya. Wijaya ada di barisan paling depan dan Rahuto ada di barisan belakang. Mata Suro Bodong tidak memandang ke mana-mana, kecuali ke wajah perempuan cantik yang kali ini mengenakan pakaian keprajuritan, celana sebatas betis berwarna merah dan penutup dada sampai ke perut berwarna merah juga. Ada hiasan manik-manik dan benang emas di tepian celana. Penutup dada itu masih dilapisi semacam kain yang berfungsi menutup pundak dan bagian punggung. Kain itu berwarna kuning muda.

Dialah Puji Wardani, yang kali ini menampakkan sosok seorang pendekar perempuan  dengan ikat pinggang hitam menyelipkan sebilah pedang bersarung gading dihias emas. Rambutnya yang panjang ditekuk dijadikan satu di atas kepala, sehingga kali ini Puji Wardani memperlihatkan lehernya yang mulus berwarna langsat.

Rupanya Adipati Lohgawe tidak jadi mengadakan sidang. Ia langsung saja memberi keputusan dan mem-bacakan alasan-alasannya. Wijaya yang disuruh membacakan keputusannya. Semua penduduk diam, mendengarkan dan mendadak bersorak ketika Wijaya berseru membacakan kalimat,

“….maka, dengan ini Suro Bodong dianggap bersalah dan patut dijatuhi hukuman yang setimpal…!”

“Hidup Kanjeng Adipati…!! Hidup Adipati Lohgawe…!” teriak mereka bersahut-sahutan. Lalu, suara mereka diam kembali. Suro Bodong sejak tadi hanya tenang-tenang saja. Bahkan ia seakan tidak mendengarkan keputusan tersebut. Matanya memandang lurus pada Puji Wardani yang sesekali meliriknya bagai tak sabar ingin melakukan sesuatu.

Wijaya kembali membacakan kalimat yang membuat rakyat berseru sambil mengacungkan kepalan tangan kanannya.

“Demi tegaknya keadilan di Kadipaten Kidang Kencana ini, maka Suro Bodong pantas dijatuhi hukuman, yang disebut hukuman picis…!!”

“Setujuuu…!! Setujuuu…! Akuuur…!”

Suro Bodong ikut berteriak keras, “Hidup Adipati….!”

Rakyat menyahut tak sadar, “Hiduuupp…!!”

Suro berteriak lagi dengan girang, “Jaya Adipati….!”

Rakyat menyahut karena tak tahu kalau yang berteriak itu Suro Bodong, “Jayaaa…!!”

Adipati, istri dan Puji Wardani memandang Suro Bodong dengan keheranan. Adipati berbisik kepada istrinya,

“Dia masih gila…! Dijatuhi hukuman malah mendukung keputusanku itu. Gila itu namanya…!”

“Jangan hiraukan dia!” bisik istri Adipati.

Wijaya berseru lagi membacakan keputusan,

“Siapa saja, baik tua maupun muda, boleh mengiris, memotong dan melukai tubuh Suro Bodong! Tapi jangan pada bagian yang mempercepat kematiannya. Jelas…?”

“Jelaaas…!!” teriak mereka serempak.

Suro Bodong ikut-ikutan berteriak, “Jelaaas…!!”

“Hei…!” hardik perajurit yang menjaganya dalam jarak lima langkah. “Mengapa kau ikut berkata ‘jelas’? Apa maksudmu, hah?!”

“Aku jelas-jelas melihat kebodohan di depanku. Masa aku harus bilang tidak jelas?”

Prajurit itu mendengus kesal, lalu kembali ke tempat. Rakyat mulai sibuk menyiapkan alat, senjata dan apa saja yang bisa untuk melukai tubuh Suro Bodong. Bahkan ada yang berteriak kepada istrinya,

“Mak, Mak…ambil pisau dapur dua! Aku satu, kau satu!”

“Pisau dapurkan sedang untuk memotong-motong singkong, Pak…!”

“Aaah…motong singkongnya nanti dulu, yang penting ikut memotong Bodong dulu. Ayolah….!”

Adalagi yang sibuk berdebat dengan temannya, “Aku memotong telinga kirinya, ya? Kau yang kanan!”

“Ah, aku lain bagian. Aku mau memotong jempol kakinya saja. Tubuhku kan pendek, mana bisa sampai kalau harus memotong telinga…!!”

Wijaya berseru kepada mereka, “Saudara-saudara…. harap tenang sebentar…! Dengarkan, hukum picis ini memang berlaku bagi siapa saja. Tetapi pemotongan atau orang pertama yang akan melakukan hukuman ini adalah Gusti Ayu Puji Wardani, sebagai istri dari Raden Atmaja yang dibunuh Suro Bodong…!”

“Setujuuu…!!” teriak mereka. Kali ini Suro Bodong tidak ikut berteriak, melainkan bengong melompong dan memandang Puji Wardani.

Bukan lantaran takut Suro Bodong terbengong, tapi karena heran terhadap keberanian Puji Wardani. Perempuan itu begitu lembut, tapi ia berani melakukan hukuman picis untuk yang pertama kalinya sebagai pemotong tubuh orang. Gila! Tega sekali dia bertindak begitu, ya? Pikir Suro. Mungkin karena ingin mencurahkan dendam atas kematian suaminya, sehingga ia tega melakukan pemotongan tubuh manusia hidup yang pertama kali. Suro Bodong pun akhirnya manggut-manggut. Sementara itu, rakyat diperintahkan oleh bebreapa prajurit untuk membikin antrian. Mereka berjejer-jejer baris ke belakang, antri menunggu giliran untuk mengiris bagian tubuh Suro Bodong sekehendak hatinya.

Puji Wardani menghunus pedangnya dan berjalan meng-hampiri Suro Bodong. matanya yang indah itu memancar-kan nafsu membunuh yang luar biasa. Langkahnya pun tegas, menampakkan sosok kependekarannya, walaupun sebenarnya ilmu silat yang dimiliki Puji Wardani hanya pas-pasan. Suro Bodong saat itu menyunggingkan senyum tipis, matanya tak lepas memandang Puji Wardani yang masih berjarak sekitar sepuluh langkah darinya. Suro menyempat-kan berseru,

“Aku bukan pembunuh yang kau cari! Kalau aku mati di tanganmu, atau mati karena hukuman ini, rohku akan menuntut balas tujuh turunanmu. Bukan untuk kubunuh, tapi untuk kusiksa sepanjang mereka hidup! Dan aku akan menitipkan benihku ke dalam kandunganmu melalui pergumulan rohku…!”

Puji Wardani berhenti melangkah dan menjadi cemas. Ia didampingi Adipati dan Ibundanya. Ia memandang ke kanan dan ke kiri, merasa takut kalau-kalau kutukan Suro Bodong akan menjadi kanyataan.

Suro Bodong memanfaatkan kebimbangan Puji Wardani untuk mempengaruhi jiwanya. Ia berseru dengan jelas,

“Kalian salah tangkap! Kalian salah menaruh dendam. Hyang Widi tahu siapa yang salah, siapa yang berdosa. Dan aku akan membuktikan bahwa aku tidak bersalah! Silahkan…! Silahkan bunuh aku! Dalam tempo sembilan bulan kalau kau tidak melahirkan bayi serupa dengan aku, maka aku benar-benar manusia terkutuk. Tapi kalau ternyata sembilan bulan setelah peristiwa ini kau melahirkan bayi seperti aku, maka itulah bukti bahwa aku tidak bersalah…!”

“Diaaam…!!” bentak Wijaya dan hendak memukulnya, tetapi Adipati Lohgawe melarang gerakan Wijaya.

Puji Wardani menatap nanar Suro Bodong dalam kebimbangan. Mulutnya terkatup rapat. Bibirnya yang mungil bagai serumpun delima mereka di atas es, sungguh membuat mata Suro Bodong tak berkedip dan senyum Suro Bodong pun jadi bermekaran dengan ceria.

“Puji Wardani… laksanakan hukuman itu…” kata Adipati.

Kebimbangan semakin kuat meliputi jiwa Puji Wardani. Apalagi saat itu Suro Bodong juga berkata,

“Puji Wardani… jangan tanamkan dosa pada jiwamu. Kau harus bebas dari kutukanku. Kau perlu dilindungi, dan aku sanggup melindungimu, sebagai abdi! Abdi yang akan menyeret pembunuh suamimu sebenarnya!”

Puji Wardani berkata dengan gemetar, “Kau yang membunuhnya. Kau yang bernama Suro Bodong! Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, orang seperti kamulah yang merobek leher suamiku dengan pedangnya!”

Dahi Suro berkerut, “ Jelas orangnya seperti aku?!”

“Ya…!” jawab Puji Wardani dengan melebarkan mata yang tertahan karena dendam.

“Kalau begitu… ada orang yang bertujuan ingin membunuhku, namun juga ingin membunuh suamimu! Orang itu pasti tidak sanggup membunuhku, sebab dia tahu, aku cukup kuat baginya. Tetapi, satu-satunya cara adalah dengan menyebarkan fitnah beserta bukti-buktinya. Dengan begitu, dia berhasil membunuh suamimu, juga akan berhasil membunuhku juga!”

“Apa maksudmu?!” hardik Adipati Lohgawe.

“Kadipaten ini berhasil dipecundangi oleh seseorang. Orang itu secara tak langsung telah berhasil memerintah orang-orang kadipaten ini untuk membunuhku. Dan…. kebetulan saja kemarin aku berhasil ditangkap dalam keadaan mabok. Aku makan gadung. Habis banyak sekali. Setelah kekenyangan akhirnya mabok. Lalu… orang yang bernama Wijaya dan Rahuto menyerangku dengan cambuk. Aku tak bisa melawan sedikitpun…! Sayang, waktu itu aku dalam keadaan mabok. Tetapi sekarang aku sudah sehat, berkat diberi minuman air kelapa….” Suro Bodong melirik Wijaya dan Rahuto di samping kanan dan kiri, agak jauh.

“Hai, Wijaya…” Suro tersenyum santai. “Kalau sekarang kau melawanku, kau tak akan sanggup. Apalagi hanya satu Wijaya, seribu Wijaya juta tak akan sanggup.”

“Kau benar-benar biadaaab…!!” Wijaya terpancing amarahnya, dengan serta merta ia melecutkan cambuknya yang berduri itu. Suro sudah siap mengangkat lengannya sedikit. Begitu lengan digerakkan naik, walau hanya sedikit, tapi tali pengikatnya tepat mengenai ujung cambuk Wijaya.

Memang ada bagian kulit lengan yang tergores duri cambuk itu, tetapi tali pada lengan itu putus seketika. Sebab, sudah diperkirakan oleh Suro Bodong, bahwa Wijaya akan sangat terpancing kemarahannya jika di-tantang demikian. Dan luapan amarah Wijaya akan tersalur lewat cambukannya. Itu sebabnya, Suro Bodong sudah menyiapkan gerakan yang dapat memutuskan tali pengikat tubuhnya pada bagian lengan.

Dengan putusnya tali itu, maka kendurlah seluruh ikatan tubuh. Suro menghentakkan dengan suatu kekuatan. Tangannya menghentak ke samping dua-duanya sambil ia berteriak satu hentakan juga. “Heaaah…!!”

Gawat! Tali itu putus dan tubuh Suro Bodong mulai bebas. Semua orang tercengang tegang, melangkah mundur dengan mata mendelik. Semua orang, semua perajurit, termasuk Wijaya dan Rahuto, mereka dicekam ketegangan yang menakutkan.

***

3

SURO Bodong berdiri tegak dengan kaki merenggang. Tubuh dan kepalanya yang penuh luka membuat keadaannya menjadi menyeramkan. Ia memperhati-kan mereka satu persatu dengan sorot mata yang menampakkan keperkasaannya. Puji Wardani memasuk-kan pedangnya ke sarung pedang gading, merasa tak mampu mengumpulkan keberaniannya dalam menghadapi Suro Bodong. Ia masih terbayang kekejaman Suro Bodong yang membabat leher suaminya tanpa ada belas kasihan sedikitpun. Sementara itu rakyat mundur perlahan-lahan dengan gumam dan kasak-kusuk yang menimbulkan gemuruh samar-samar.

“Aku tidak ingin melukai kalian, kalau kalian mau mengakui kesalahan kalian dalam menangkap seorang penjagal!” kata Suro Bodong. Ia kelihatan tegas dan mulai bisa garuk-garuk kumisnya yang tebal. Ia berkata lagi dengan keras,

“Aku sudah banyak menderita luka akibat ketololan kalian. Kalau aku mau, aku bisa menuntut balas sekarang juga. Tapi agaknya ada beberapa masalah yang perlu kita selesaikan secara damai. Kalau kita tidak bisa berdamai, kita perang!”

Suara gemuruh semakin gaduh. Adipati Lohgawe dia, berdiri memandang Suro Bodong bagai orang sedang merenung. Puji Wardani bersama ibunya semakin cemas, sementara Wijaya dan Rahuto sebagai orang andalan adipati masih bimbang dalam mengambil tindakan. Wijaya bahkan saling bertatapan pandang dengan Rahuto, sikapnya kelihatan sangat gelisah, seakan keduanya menunggu perintah Adipati.

Suro berkata lagi dengan lantang, “Aku bersedia menciptakan suasana damai di kadipaten ini. Bahkan aku tidak ingin ada korban lagi dalam kesalahpahaman ini, tetapi kalau aku ditantang untuk membikin korban, aku bisa membuat kadipaten ini tenggelam ke dasar bumi! Kalau aku ditantang perang oleh sikap kalian, aku sanggup perang seorang diri! Majulah kalian semua, dan jangan hiraukan aku yang sendirian…! Juga jangan menyesal kalau kadipaten ini akan runtuh dengan puing-puingnya ke dasar bumi!”

Segera Suro Bodong meludahi kedua telapak tangannya tujuh kali, lalu digosok-gosokkan beberapa saat sambil matanya memandang orang-orang di sekelilingnya. Gosokan tapak tangan itu berhenti di dada, mengejang kuat, lalu menghentak ke atas kepala dalam posisi telapak tangan tengadah ke langit. Suro Bodong menggunakan jurus Tapak Naga-nya yang merupakan jurus simpanan. Jurus itu cukup mengguncang jiwa orang-orang Kadipaten Kidang Kencana. Karena pada saat tangan menghentak ke langit, maka dari telapak tangan itu keluarlah sinar biru berkelok-kelok dan melompat-lompat ke langit.

“Blegaaarr…!!”

Langit menjadi semakin terang, tapi kemudian segera meredup seperti lampu kehabisan minyak. Mendung menjelma. Langit menjadi gelap. Orang-orang dicekam ketakutan. Suro Bodong menghentakkan kedua telapak tangannya ke atas lagi dan bunyi ledakan yang kedua lebih mengerikan.

Langit yang mendung menjadi merah membara seperti terbakar. Kilatan cahaya biru yang melesat dari kedua telapak tangan saling berada di angkasa dan membuat beberapa kali ledakan yang menggelegar. Tanah tempat mereka berdiri menjadi bergetar. Makin lama makin oleng seperti ombak. Beberapa pohon tiba-tiba roboh dengan akarnya mencuat ke luar dari kedalaman tanah.

Suasana sangat mengerikan, orang-orang gegera, dicekam ketakutan dan mereka berteriak, “Kiamat…! Kiamat…!” satu dengan yang lainnya saling tunggang-langgang. Para prajurit dan dua orang andalan kadipaten itu tegang memandang sekeliling. Alam menjadi gelap, bagai diliputi mendung tebal, tapi langit membara merah bagai terbakar. Puji Wardani berpegang erat lengan ayahandanya yang juga sama-sama dalam cekaman ketakutan.

Karena bumi bergoyang seperti ombak lautan yang mengalun, maka banyak orang yang jatuh tanpa tersentuh apapun. Adipati Lohgawe sendiri hampir saja terpelanting jatuh kalau saja Wijaya tidak segera menahannya dari belakang. Suara gemuruh berkepanjangan, suara itu adalah rubuhnya pohon dan melorotnya genteng-genteng rumah penduduk akibat getaran gempa dan angin yang menderu.

Suro Bodong merapatkan kembali kedua telapak tangannya ke dada. Kemudian dilepas dengan satu hempasan nafas lega. Langit tidak lagi berwarna merah. Semburat merah jadi menipis, lalu bersih. Kabut hitam yang bagai mendung menghilang entah ke mana. Angin tidak lagi menderu. Tanah berhenti bergetar. Suasana menjadi terang kembali. Nafas-nafas yang tertahan terhempas lega. Tinggal pemandangan yang menyeramkan terlihat di sana-sini, pohon-pohon tumbang, akar-akar pohon mencuat dari kedalaman tanah, genting-genting rumah penduduk melorot, bahkan ada tembok dalam kadipaten yang mengalami keretakan bagaian sudut. Orang-orang menjauh, tak satupun berani mendekati Suro Bodong. hanya Adipati dan para pengawal yang berdiri tak begitu jauh dari Suro Bodong, termasuk istri Adipati dan Puji Wardani. Mereka masih dicekam kengerian. Suara bayi menangis di kejauhan saling sahut menyahut mengiris hati. Suro Bodong menghempaskan nafas lagi, kali ini kelihatan sendur. Ia menggaruk-garuk kumisnya. Lalu berkata kepada Adipati dan para pengawalnya dengan suara tidak selantang tadi,

“Maaf….aku tidak bermaksud membuat keonaran di sini. Aku hanya ingin membuktikan supaya kalian mengerti, bahwa aku mampu menenggelamkan kadipaten ini bersama penghuninya. Semuanya akan tenggelam ke dasar bumi tanpa kecuali, kalau kalian menghendaki perang! Tak perlu aku membawa senjata, tapi cukup sendirian saja aku mampu melakukan itu. Walau sebenarnya aku tak ingin, tapi kalau kalian meghendaki, aku sanggup.”

Semua terbungkam. Wajah-wajah penuh dendam menjadi lentur dan disembunyikan. Kegalakan Wijaya dan Rahuto pudar seketika. Mereka tidak lagi berani menatap Suro dengan garang.

Dengan langkah tegap, tapi bernada sabar, Suro Bodong mendekati Adipati Lohgawe, persis berdiri di depan Puji Wardani. Ia berkata dengan suara tak keras,

“Aku tak mau membunuh orang tolol, tapi biarlah orang tolol akan mati dengan ketololannya sendiri. Kuharap hal ini tidak terjadi kepada keluargamu, Adipati. Jangan mau menjadi orang tolol, karena mati secara tolol adalah mati yang mubazir! Sia-sia!”

Sejenak, Suro sengaja memandang Puji Wardani, seketika pun yang dipandang mengalihkan sorot matanya ke bawah, tapi Suro menyempatkan berkata dengan lembut,

“Aku bisa merasakan betapa sakitnya hati perempuan yang ditinggal mati suaminya, apalagi mati dalam keadaan yang menyedihkan. Tetapi, percayalah… ada sesuatu yang harus kita bicarakan bersama-sama dengan punggawa negeri lainnya. Aku sendiri ingin memperoleh banyak keterangan mengenai orang yang kau lihat itu.”

Suro memandang Adipati Lohgawe, lalu berkata,

“Aku ingin bicara, Adipati. Aku ingin tidak ada korban di antara kita berdua. Kasihan rakyat yang sudah terbungkus dendam. Kalau mereka berbuat nekad dan akhirnya mati sendiri, mereka tidak bisa disalahkan. Kadipaten yang salah! Karena itu, sebelum mereka diracuni dendam yang membuta, mari kita bicara dengan tuntas…”

Adipati Lohgawe mengangguk. “Baik….” Suaranya amat parau menyebut sepotong kata itu. Suro Bodong sempat menemui Wijaya dan Rahuto. Ia bahkan sempat menepuknepuk pipi Wijaya dengan berkata,

“Jadilah panglima yang tangkas dan cerdas. Sekali waktu akan kuajarkan padamu bagaimana cara meng-gunakan jurus Cambuk Membelah Matahari…” Wijaya terbengong, tak berani berbuat apa-apa. Dia membiarkan pipinya ditepuk-tepuk Suro sambil tersenyum, kemudian Suro melangkah mengikuti Adipati Lohgawe, dan Wijaya hanya bengong sambil mengusap-usap pipinya yang tadi ditepuk-tepuk.

Kala itu, bumi bagai sepi. Mulut-mulut terkatup rapat, membiarkan Adipati membawa Suro Bodong masuk ke dalam Kadipaten. Tak satu pun prajurit yang berani berkasak-kusuk, kecuali sama diamnya dalam liputan suasana tegang.

“Semua orang melihat dengan mata kepala sendiri, kau melakukan beberapa kejahatan yang keji,” kata Adipati ketika mereka berembuk di pendopo kadipaten.

“Ciri-ciri orang itu?”

Wijaya yang menyahut atas seizin Adipati,

“Persis dengan kamu, baju merah lengan panjang, tidak dikancingkan, celana biru, rambut diikat kain merah seperti yang kau kenakan itu, badannya sama gemuk dan…. pokoknya itulah kamu! Dan aku pernah mengejarnya, tapi ia berhasil lolos.”

“Ia bahkan mengaku bernama Suro Bodong di depan Jayeng Dadap serta beberapa orang lainnya,” sahut Rahuto.

“Aku sendiri melihat jelas, kau yang merobek leher suamiku dengan dandanan dan penampilan seperti pertama kau diseret ke mari itu!” sahut Puji Wardani yang ikut menjadi saksi dalam pembicaraan tersebut.

Kepala Suro Bodong manggut-manggut. Setelah sama-sama bungkam beberapa saat, Suro Bodong berkata,

“Kalau misalnya aku jadi pembunuh itu, aku tidak akan menyebutkan namaku. Bahkan aku akan membunuh dengan sembunyi-sembunyi. Kalau kesimpulanku setelah mendengar cerita pembantaian di rumah Raden Mas Purwakusuma, jelas hal itu dilakukan dengan sengaja di depan umum, supaya umum bisa mengetahui siapa pembunuhnya. Jika tanpa ada maksud menonjolkan diri, tidak mungkin pembunuh itu sengaja melakukannya di depan umum.”

“Jadi apa kesimpulanmu yang pasti?” tanya Adipati Lohgawe seakan tak sabar.

“Kurasa ada orang yang sengaja berpenampilan serupa denganku. Mengenakan pakaian yang sama dan ikat kepala yang sama. Ia mengaku nama yang sama dengan namaku. Dan karena kebetulan ia mempunyai wajah yang mirip denganku serta mungkin potongan rambutnya juga mirip denganku, maka kalian langsung memastikan, orang itulah aku!”

Puji Wardani mendesis kesal. Lalu katanya, “Itu tak mungkin! Ini hanya kepandaianmu bicara, supaya bebas tuduhan…!” kemudian Puji Wardani pergi begitu saja dengan wajah cemberut kesal.

Semua memperhatikan kepergian Puji Wardani, dan hal itu membuat Adipati Lohgawe menghempaskan nafas panjang. Kemudian mereka saling berpikir dalam kebungkaman. Suro Bodong yang tidak mau duduk di depan Adipati itu hanya berjalan mondar-mandir sambil sebentar-sebentar garuk-garuk kumisnya yang tebal itu.

“Kalau boleh aku mengajukan usul….!” Kata Suro  tiba-tiba kepada Adipati Lohgawe.

“Usul apa?”

“Penjarakan aku di tempat yang rapat. Kunci baik-baik yang sekiranya tak akan bisa dipakai untuk meloloskan diri. Kalau memang ada, penjarakan aku di bawah tanah!”

Semua mata memandang Suro Bodong, terlebih Adiapti sendiri yang menatap dengan dahi berkerut tajam. Suro Bodong menyambut ucapannya,

“Kemudian kabarkan kepada semua orang bahwa Suro Bodong berhasil melarikan diri…! Dan bukalah sayembara, barang siapa bisa menangkap Suro Bodong hidup atau mati, akan diberi hadiah!”

“Usulmu itu cukup membingungkan kami, Suro.” kata Adipati. Tetapi Suro Bodong tersenyum tipis.

“Ini untuk memancing pembunuh yang sebenarnya. Kalau ada yang melihat Suro Bodong muncul, dan melakukan kekejian lagi, keluarkanlah aku dari penjara secepatnya! Aku akan menghadapi orang itu, dan buat satu arena di depan umum untuk pertarunganku dengannya!”

Adipati Lohgawe manggut-manggut sambil menggumam. Semua kening juga berkerut, sama seperti kerutan dahi Lohgawe. Suro Bodong masih berjalan mondar mandir dengan garuk-garuk kepala dan kumis. Tapi ia lebih sering garuk-garuk kumis.

Tiba-tiba Adipati berkata, “Apakah ini bukan sekedar tipu dayamu?! Mungkin saja kau bisa lolos dari penjara serapat apapun, lalu membuat keonaran, membantai keluarga demi keluarga dan…”

“Cukup. Aku mengerti kecurigaanmu. Itu pantas. Kecurigaan yang kuakui kejeliannya. Memang bisa saja aku begitu, tapi bagaimana jika ada dua atau tiga orang yang menemaniku dalam penjara?  Tempatkan pengawal yang bisa melihatku setiap saat, sehingga kalau sewaktu-waktu aku pergi bisa ketahuan, kan?!”

“Yaah… tapi mana ada orang yang mau di penjara tanpa melakukan kesalahan apa-apa, sekalipun sifatnya hanya sebagai teman atau pengawalmu dalam penjara!” ujar Rahuto.

“Kita tidak bicara soal siapa salah masuk penjara. Tidak begitu! Ini hanya untuk menjebak biang keladi yang selama ini, katanya, sangat menjadikan rakyat kadipaten ketakutan dan tidak bisa tenang,” Suro menjelaskan. “Paling tidak untuk membuktikan kepada kalian, bahwa aku sebenarnya tidak bersalah. Aku lebih baik menuntut kepada orang itu, daripada menuntut kalian semua atas dasar bersepakat memfitnah aku dengan tuduhan semacam itu!”

Akhirnya setelah melalui berbagai perdebatan, Adipati mengatakan, “Baik, usulmu kami setujui…! Tapi bagaimana kalau sampai berhari-hari ternyata tidak ada kejahatan yang ditimbulkan oleh orang yang mengaku bernama Suro Bodong?”

“Aku akan mencari jalan lain untuk menjebaknya! Percayalah, aku akan mencari jalan supaya di antara kita jangan ada yang menjadi korban tipu muslihat seperti ini…!”

Sepertinya tak ada pilihan lain bagi Adipati Lohgawe selain mengikuti saran Suro Bodong. Kecintaannya ter-hadap perdamaian membuat Adipati Lohgawe menyimpul-kan, bahwa Suro Bodong sendiri merasa dalam posisi yang terjepit dua arah, antara pelaku pembunuhan sebenarnya dengan orang-orang Kadipaten Kidang Kencana. Sekalipun Adipati Lohgawe belum yakin betul, apakah usul Suro Bodong itu membawa hasil yang baik atau semakin buruk, namun hal itu dipandang lebih bijaksana dari pada meneruskan hukuman bagi Suro Bodong. Belum lagi kalau ia memikirkan ilmu Suro Bodong yang mampu membuat bumi bagai dilanda gempa, dan kesanggupan Suro untuk menenggelamkan Kadipaten itu benar-benar bisa terbukti, rasa-rasanya memang usul Suro itulah yang layak dilaku-kan. Ini pun berdasarkan pertimbangan segi keselamatan rakyatnya. Kalau Suro Bodong mengamuk, bisa jadi ia kehilangan segalanya, istana, kekuasaan, rakyat, keluarga dan besar kemungkinan ia juga akan kehilangan nyawa-nya. Begitulah pertimbangan Adipati saat itu.

Suro Bodong tidak dipenjarakan di bawah tanah. Hal itu juga atas permintaan Puji Wardani, dengan alasan,

“Saya ingin ikut menjaganya, saya ingin melihat apa-apa yang dilakukan sepanjang hari, supaya saya tahu persis bahwa dia bukan iblis berhati binatang!” ujar Puji Wardani dengan kebencian masih tersirat lewat nada suaranya.

Ada sebuah kamar yang letaknya bertolak belakang dengan kamar Puji Wardani. Kamar itu, dulu bekas kamar pusaka yang sekarang sudah dipindahkan ke ruang utama Kadipaten. Menjadi satu dengan kamar tidur Adipati Lohgawe.

Kamar bekas tempat penyimpanan pusaka itu terbuat dari dinding tebal, belapis pintu baja yang kokoh. Konon, kamar itu dulu bekas kamar tidur kakek Puji Wardani yang dikenal di rimba persilatan sebagai Malaikat Tanpa Bintang. Di depan kamar itu, ada sederetan rumah keprajuritan di mana Wijaya dan Rahuto juga tinggal di sana. Lalu di samping kiri kamar itu, adalah ruang perpustakaan, dan di sebelah kanan kamar itu, adalah gudang penyimpanan pakaian perang. Menurut beberapa punggawa negeri, memang kamar bekas tempat penyimpanan pusaka itulah satu-satunya tempat yang layak untuk mengurung rapat Suro Bodong. Hanya ada satu pintu baja, tak ada jendela kecuali lubang angin yang sebesar bata merah di atas pintu. Letaknya cukup tinggi dan hanya terdiri dari dua lobang angin.

Di kamar itu, ada dipan kecil bisa untuk berbaring, ada meja dan kursi sederhana untukmanak, dan ada meja hias lengkap dengan cerminnya yang berbentuk daun waru. Sebab, konon kakek Puji Wardani itu termasuk laki-laki pesolek yang memiliki meja rias sendiri. Suro Bodong sempat tertawa sendiri melihat tempat rias yang katanya bekas milik Malaikat Tanpa Bintang itu. Alangkah genitnya lelaki tua itu pada masa ia masih hidup. Apa saja yang dikenakannya? Apakah ia juga mengenakan gincu? Ih, lucu!

Suro Bodong tidak perduli tempat itu, apakah terkurung rapat atau tidak, yang jelas di situ ia menunggu saat yang baik untuk keluat dan berhadapan langsung dengan orang yang mengaku dirinya.

Ada sedikit rasa aneh di hati Suro Bodong. Ia memang dijaga oleh dua orang prajurit bersenjata lengkap. Tapi mereka ada di luar kamar. Di depan pintu. Mereka tidak melihat apa yang dilakukan Suro di dalam kamar tersebut. Padahal, seharusnya mereka selalu memantau kegiatan Suro Bodong setiap harinya. Hal ini  untuk menyelidiki apakah Suro benar-benar selalu ada di dalam kamar atau sempat menghilang. Seharusnya mereka menaruh satu orang pengintai untuk mengawasi Suro Bodong. tapi nyatanya tidak. Suro sudah memikirkan ke sana ke mari, tidak ada lobang pengintaian itu. uuh…! Alangkah tololnya mereka! Pikir Suro.

Tetapi, sebenarnya Suro sendiri yang tolol, sebab ia tidak tahu kalau ada sepasang mata yang selalu meng-awasi gerak-geriknya. Sepasang mata itu adalah sepasang mata yang sempat dikagumi Suro sendiri. Puji Wardani.

Dia yang dengan tekun memperhatikan segala gerak-gerik Suro Bodong dari kamarnya sendiri yang bertolak belakang dengan kamar Suro. Puji Wardani dengan tekun dan cermat selalu mengikuti kegiatan Suro  di dalam kamarnya. Ia cukup berdiri, atau duduk di depan sebuah cermin, di mana cermin itu adalah cermin tembus pandang ke kamar Suro Bodong. Cermin yang ada di kamar Puji bisa untuk melihat keadaan di kamar Suro, sebab cermin itu tepat berada di balik cermin hias yang ada di kamar Suro Bodong. Apalagi Suro Bodong memandang cermin hias, ia tidak bisa melihat keadaan kamar Puji Wardani. Ia hanya akan melihat wajahnya sendiri di dalam cermin hias itu.

Kalau saja Suro Bodong tahu bahwa cermin itu bisa untuk memperhatikan keadaannya dari kamar Puji Wardani, mungkin ia tidak mau sering-sering berada di depan cermin. Tapi, karena dia tidak tahu hal itu, maka sesekali ia duduk dan berdiri di depan cermin memperhatikan luka di wajahnya, terkadang menghilang-kan darah yang mengering di keningnya, atau menobati luka dengan tangan kiri yang diludahi. Ia sengaja tidak ingin menghilangkan lukanya, walau hal itu bisa di lakukan. Sebab ia ingin agar kelak orang-orang Kadipaten Kidang Kencana tahu, betapa kejinya mereka melukai orang tak berdosa. Tapi, tentunya itu kalau dia sudah bisa membuktikan bahwa dia bukan pembunuh yang dicari rakyat Kadipaten Kidang Kencana.

“Kau tak bosan-bosannya memperhatikan dia, Puji….?” Tegur istri Adipati kepada anaknya ketika ia masuk ke kamar Puji Wardani.

“Untuk meyakinkan siapa pembunuh Kang Mas Atmaja, aku harus sabar dan tekun melakukan penyelidikan ini, Ibu.”

Ibu Puji Wardani menghela nafas. Kemauan anaknya dari kecil memang keras dan tak boleh dicegah oleh siapa pun. Apalagi Puji Wardani anak tunggal yang menjadi buah hati sang ibu, tentu saja ia sangat dimanja dan diberi kesempatan untuk menentukan sikap.

Sambil ikut memperhatikan Suro Bodong yang tengah melatih otot-otot tubuhnya dengan gerakan lamban, istri Adipati itu berkata kepada anaknya,

“Jaga kesehatanmu agar jangan sampai sakit karena memperhatikan gerak geriknya.”

“Ya, Bu. Aku sadar akan hal itu,” jawab Puji. “Bagaimana keadaan di luar, Bu?”

“Sudah dua hari ini rakyat ikut sibuk mencari Suro Bodong. Kabar Suro Bodong melarikan diri sampai ke mana-mana. Bahkan kemarin Pragulo menghadap ayahmu untuk meminta tambahan uang hadiah. Katanya, ia sanggup mencari dan menangkap Suro Bodong.”

“Pragulo…!?” Puji Wardani berkerut dahi. “Pragulo putra paman Renggono itu?”

“Ya. Dia baru saja pulang dari puncak Mahageni. Katanya ia telah selesai berguru dengan Resi Pangguno, bahkan ia pun sempat menawarkan diri untuk menjadi Jagabaya di kadipaten ini asal upahnya memadai.”

Puji Wardani menggumam dan berpikir sesaat, tapi matanya masih mengawasi Suro Bodong lewat cerminnya.

“Kemudian Romo menerimanya sebagai Jagabaya di sini?”

“Romomu sedang mempertimbangkan,” jawab ibu Puji Wardani dengan mata juga memandang Suro  melalui cermin itu. Kemudian perempuan yang rambutnya mulai beruban tipis itu bertanya tentang Suro Bodong, “Apa saja yang ia lakukan selama ini? Tidak ada yang mencurigakan?”

“Kurasa tidak, Bu. Dia hanya melatih gerakan-gerakan tubuhnya, seakan melemaskan otot-ototnya yang selama ini mungkin kaku akibat siksaan penduduk dan dari kita sendiri.”

Suro Bodong menerima makanan dari penjaganya. Ia bertanya, “Jagung bakarnya mana?”

“Sedang dibakar oleh Ki Sangu…!”

“Ooo…nanti lekas kirim ke mari ya?” kata Suro yang tak mau ketinggalan jagung bakar sebagai makanan saban harinya. Adipati yang menyuruh agar segala permintaan Suro Bodong yang bersifat tidak membahayakan dapat dikabulkan tanpa pertimbangan macam-macam. Dan satu-satunya permintaan yang sering didengar adalah jagung bakar.

Puji Wardani sendiri sampai heran memperhatikan Suro Bodong yang gemar memakan jagung bakar. Kelihatannya, jika Suro mulai memakan jagung bakar, dunia ini menjadi miliknya sepenuhnya. Ia kelihatan tenang dan berwibawa. Puji sering menelan ludahnya sendiri jika melihat Suro Bodong sedang mengunyah jagung bakar. Sampai-sampai, iapun berbisik kepada emban yang melayaninya agar dibuatkan jagung bakar juga. Puji sempat tertawa sendiri dalam hati, menertawakan sikapnya yang lama-lama ketularan Suro Bodong.

Bahkan, ketika Suro Bodong melatih diri dengan menggerakkan tangan, kaki dan badannya secara perlahan, Puji Wardani ikut-ikutan meniru gerakan itu. Ia tak tahu kalau Suro Bodong sedang melatih satu jurus berangkai yang mempunyai saluran tenaga dalam cukup hebat. Puji Wardani hanya tahu, bahwa gerakan jurus itu cukup indah dan ia menyukai gerakan itu sehingga ditirukan.

Jurus itu sebenarnya pemberian dari Eyang Panembahan yang dinamakan jurus Gerakan Bidadari Pagi. Gerakannya cukup lamban, seperti orang menari, tapi hentakan-hentakan tersendiri yang mampu menyalurkan tenaga dalam jika dilatih berulang-ulang.

Empat hari sudah Puji Wardani ikut melatih diri menggunakan jurus Gerakan Bidadari Pagi itu. Rasa-rasanya ia mulai hapal, dan mulai terasa ada perubahan pada aliran darahnya. Sering berdesir-desir dan desiran itu menjalar ke tangan, kaki dan seluruh jari-jarinya. Kadang-kadang, ketika Suro beristirahat, Puji Wardani melatih gerakan itu sendiri tanpa memperhatikan gerakan dari Suro Bodong. Lama-lama, ia terkejut ketika menggerakkan tangannya dengan gemulai seperti orang menebar bunga, tahu-tahu sebuah jambangan keramik pecah. Bersamaan dengan itu ia merasa ada semacam desiran yang terlempar dari jarinya.

***

4

MALAM keempat, Suro Bodong dikeluarkan dari kamarnya. Bukan untuk keperluan ke kamar mandi,melainkan Adiati ingin bicara dengannya. Rupanya, bukan hanya Adipati yang menunggu kehadiran-nya, melainkan Wijaya, Rahuto dan para perajurit lainnya pun sudah menunggu di ruang paseban.

“Ada masalah apa ini?” Suro Bodong menyapa mereka dengan santai, sambil memetik-metik jagung bakar kesukaannya untuk kemudian dilemparkan ke mulut seenaknya.

“Dugaanmu benar,” kata Adipati Lohgawe yang didampingi istrinya.

“Dugaan apa?”

“Ada orang yang mengaku Suro Bodong telah mem-bunuh dua keluarga dalam semalam ini. Dia sempat mem-perkosa seorang perawan, lalu membunuhnya. Rakyat mulai terbakar dan menuntut agar semua perajurit dikerah-kan untuk mencari dan membunuh Suro Bodong.

Senyum sinis Suro  membuat mereka tertegun. Suro berjalan ke pintu, menghadap ke luar sambil makan jagung bakar. Beberapa mata mengikuti gerakannya. Kemudian, Suro  berbalik dan berkata dengan tenang.

“Di mana keluarga yang menjadi korban itu?”

“Di kampung Ligu,” jawab Rahuto.

“Kau menyaksikan sendiri keadaan korban?” tanya Suro.

“Bukan aku, tapi Wijaya….”

“Benar, Wijaya?”

“Benar!” Wijaya menjawab mantap seperti memberi laporan kepada pimpinannya.

“Mari kita ke sana!” ajak Suro. “Aku ingin melihat sendiri bekas luka dan keadaan sekeliling. Siapa tahu ada tanda-tanda yang kukenal, atau yang bisa kusimpulkan!”

“Jangan ke sana!” cegah Adipati Lohgawe. Suro memandang dengan tenang, namun Adipati tanggap bahwa Suro membutuhkan penjelasan. Karena itu Adipati Lohgawe menjelaskan,

“Kalau kau ke sana, rakyat akan mengamuk! Mereka tahu kalau kau bersama kami. Sebab, bagaimanapun juga rakyat hanya mengenal Suro Bodong dalam ujud seperti kamu. Mereka pasti akan mengira, kaulah yang telah berbuat.”

“Kalau menurutmu, bagaimana?” Suro bicara seenaknya. Cuek sekali.

“Memang bukan kau pelakunya,” jawab Adipati kemudian.

“Bagaimana kau yakin itu bukan aku?”

“Kami punya cara sendiri untuk meyakinkan hal itu,” Adipati tidak menjelaskan caranya.

Suro Bodong manggut-manggut, lalu bertanya,

“Jadi, apa gunanya aku dipanggil ke mari?”

“Kau pasti punya gagasan lain, Suro. Kami meng-harapkan usulmu. Karena usul pertama, yaitu mengurung-mu dan menyebarkan berita bohong tentang pelarianmu sudah berhasil memancing kemunculan Suro Bodong yang palsu.”

Senyum Suro melebar. Adipati angkat bahu dengan membalas senyuman ramah.

“Kok aku kau jadikan penasihat? Aku sendiri belum sehat. Lihat, luka-lukaku masih membekas dan perih setiap hati.”

Adipati berdiri, lalu mendekati Suro Bodong dan berkata dengan penuh penyesalan,

“Kalau ada cara untuk menebus kesalahan kami, katakanlah cara apa yang harus kami lakukan. Kami sangat menyesal mengapa kau menjadi korban dendam kesumat kami.”

“Caranya mudah saja….!” Kata Suro Bodong.

“Sebutkanlah…!”

“Beri aku kebebasan bergerak di sini, supaya aku bisa berhadapan dengan Suro Bodong yang palsu! Kalau kau dan perajuritmu percaya bahwa aku bukan pembunuhnya, maka akupun akan membantumu sekuat tenaga untuk menangkap pembunuh menantumu itu. Beri aku kepercayaan, maka akan kuberikan nyawaku untuk Kadipaten ini!” kata Sur  dengan tegas.

Adipati Lohgawe tersenyum bangga mendengar kata-kata itu. Yang lain pun tampak manggut-manggut dengan serius. Kemudian, Adipati berkata dengan tegas,

“Bertindaklah seperti di rumahmu sendiri, Suro. aku percaya, hanya kau yang bisa menyelesaikan masalah ini!”

“Nah… begitu!”

“Sekarang apa gagasanmu?” tanya Wijaya.

“Mengembalikan kepercayaan rakyat, bahwa pemerin-tahan di Kadipaten ini masih mampu menegakkan keadilan dan menjamin ketentraman rakyanya!” jawab Suro .

Yang lain manggut-manggut lagi seperti wayang golek.

“Bagaimana caranya?” istri Adipati diizinkan bicara.

“Kerahkan semua prajurit untuk menyebar ke seluruh Kadipaten siang dan malam. Jika melihat orang seperti aku, atau yang mengaku Suro Bodong, jangan ditangkap, melainkan diikuti dengansembunyi-sembunyi. Lalu salah seorang memanggilku dan aku akan datang menghadapi dia!”

“Kalau semua prajurit menyebar di luar dalem kadipaten, lantas bagaimana keamanan di sini sendiri?” kata Adipati.

“Aku yang bertanggung jawab keamanan di sini! Syukur-syukur orang itu mau datang ke mari dengan maksud membunuh siapa saja, terserah pilihannya.”

“Kedengarannya kau malah mengharapkan kematian!” sela Rahuto.

“Kelihatannya memang begitu. Tetapi sebenarnya kematian yang kuharapkan adalah kematian pembunuh keji itu. kalau dia mau datang ke mari, berarti dia sudah siap berhadapan dengan aku. Jangan coba-boa melarikan diri, karena itu perbuatan sia-sia, tahu?!”

“Yaah, tapi jangan melototnya sama aku, ah!” gerutu Rahuto dengan bersungut-sungut. Suro tersenyum sendiri.

“Supaya kau menyampaikan kepada orang itu kalau sewaktu-waktu bertemu dengannya,” kata Suro Bodong menutupi kegeramannya.

Adipati sendiri segera berkata kepada prajurit-prajurit pilihan, termasuk orang andalannya, Wijaya dan Rahuto.

“Kerjakan cara itu! Bawa semua prajurit, sisakan sepuluh orang di sini. Dan jangan bertindak gegabah! Mengerti?”

“Sendiko, Kanjeng Adipati…!” jawab mereka.

Sebelum Suro Bodong pergi ke kamarnya, ia sempat berkata kepada Adipati dan istrinya,

“Tolong diingat-ingat, siapa-siapa saja orang yang pernah dikecewakan oleh pemerintahanmu, Adipati.”

“Maksudmu?”

“Aku melihat tujuan pembantaian itu. Tak lain hanya untuk merongrong kewibawaan pemerintahanmu! Kalau rakyat mengaku bernama Suro Bodong itu yang menjadi dalang mereka, sekarang ini, menurut dugaanku, orang tersebut sedang menciptakan rasa tidak percaya rakyat kepadamu! Kalau rakyat sudah tidak percaya, sudah kecewa dengan pemerintahanmu, maka ia mudah dikendalikan untuk memberontak!”

Adipati manggut-manggut sambil memperhatikan Suro Bodong yang seenaknya berdiri di depan seorang Adipati sambil memakan jagung bakar.

“Ingat….” Kata Suro  lagi, “Hanya orang yang merasa pernah dikecewakan oleh pemerintahanmu, itulah yang akan menyulut api pemberontakan. Karena itu, ingat-ingat….siapa saja yang pernah kau kecewakan. Catat, dan nanti kita bicarakan…!”

Suro sudah bersikap seperti raja saja. Hal ini ia lakukan untuk menghajar Adipati atas tindakannya tempo hari yang membiarkan diri Suro disiksa oleh anak buahnya. Suro sendiri sebenarnya tak tega bersikap begitu, tapi demi kelanjutan sikap Sang Adipati, ia merasa perlu mem-perlakukan Adipati Lohgawe seperti bawahannya. Dan Adipati Lohgawe sendiri tidak tersinggung dengan sikap tersebut. Ia tidak mempersoalkan sikap Suro, tetapi yang diperhitungkan adalah bagaimana membuat rakyatnya bersimpati lagi kepada pemerintahannya.

Waktu Suro Bodong mau masuk ke kamarnya, kamar itu sudah tidak dijaga oleh pengawal lagi. Tetapi di depan kamar itu, telah berdiri seorang perempuan bertubuh sekal dengan bentuk bibir yang sensual. Puji Wardani. Dia yang berdiri di depan pintu kamar Suro Bodong. Hal itu sungguh mengejutkan Suro Bodong. Ia terpaksa berhenti melangkah, namun masih menampakkan sikap acuh-acuh butuh.

“Ada apa kau di sini?” tanya Suro  sengaja dibuat ketus.

“Aku ingin bicara denganmu,” kata Puji Wardani dengan suara pelan.

“Apa…?” Suro  berlagak budeg.

“Aku ingin bicara padamu.”

“O, ya…? Aku tidak ingin…!” Suro menampakkan sikapnya yang angkuh. Sengaja, untuk memancing kemarahan Puji sekaligus menggoda hati Puji yang tampak menyesali sikapnya selama ini.

Suro Bodong langsung masuk ke kamar, bagai tidak perduli dengan Puji Wardani. Tanpa setahu Suro, perempuan cantik itu juga buru-buru lari ke kamarnya dan berdiri di depan cermin, memperhatikan Suro  dari balik cermin hiasnya. Suro memang tidak tahu. Ia langsung saja duduk di depan cermin sambil tertawa sendiri.

“Rasakan pembalasanku, Puji…! Rasakan! Sakitkan rasanya hati kalau disuguhi sikap sinis dan ketus seperti tadi…? Sakit kan?”

Suro Bodong sebenarnya berkata pada dirinya sendiri di depan cermin. Tetapi karena Puji Wardani bisa melihat tembus ke kamar Suro melalui cermin di kamarnya, maka rasa-rasanya ia sedang berbicara kepada Suro berhadap-hadapan. Rasa-rasanya Suro sengaja mengajak Puji Wardani bicara, sekalipun tidak mendengar suaranya, tapi dari gerakan bibir Puji bisa mengerti apa yang dibicarakan Suro.

Tak tahan hati Puji menerima kata-kata itu. Ia sempat memerah matanya, dan menunduk sedih. Ia bertahan untuk tidak menangis. Ia malu pada diri sendiri, hanya karena orang seperti Suro ia harus menangis. Ia tidak mau! Tidak mau!

“Sekarang mereka semua sudah menyesali perbuatan-nya,” kata Suro sendirian di depan cermin yang memantulkan bayangan dirinya. “Mereka sudah tahu bahwa perbuatannya menyiksaku adalah kesalahan besar yang seharusnya ditebus dengan nyawa. Maka, tak ada gunanya aku bertahan dalam keadaan luka seperti ini. Aku harus segera mnyembuhkan diriku sendiri.”

Puji Wardani sempat pula menangkap pmbicaraan itu melalui bibir Suro. Ia menengadah dan memperjelas penglihatannya, ia bertanya dalam hati, apa yang akan dilakukan Suro dengan luka-lukanya itu.

Suro melakukan penyembuhan yang aneh dan menjijikan. Ia meludah ke telapak tangannya tujuh kali, lalu kedua telapak tangan itu saling menggosok, kemudian masing-masing ditempelkan pada bagian yang luka. Setiap saat ia memejamkan mata dan menahan nafas dalam-dalam. Sesaat kemudian ia melepas telapak tangan yang menempel pada luka, dan hasilnya membuat Puji Wardani terbelalak bengong.

Setiap luka yang ditempeli telapak tangan, selalu hilang tanpa bekas sedikitpun, kecuali sisa darah yang kering. Demikian pula luka di pundak, luka di kepala akibat getokan tongkat seorang kakek tempo hari, luka memar di sudut matanya, semua hilang bagai tak pernah terjadi luka di situ. Tak habis-habisnya Puji Wardani terheran-heran dan berdecak dengan gumam yang lirih.

“Hebat sekali dia itu…” kata Puji Wardani sendirian dengan suara lirih. Semalam itu ia duduk di tepi ranjang sambil memperhatikan Suro Bodong menyembuhkan luka, dan mempelajari beberapa gerakan jurus Bidadari Pagi.

Tanpa disadari, Puji Wardani tertidur di ranjang dalam keadaan berpaling ke arah cermin. Ketika ia terbangun di ujung fajar, ia merasakan ada tangan yang merayap di dada. Ia sangat terkejut, karena ketika membuka mata, ia langsung berhadapan dengan seorang lelaki berikat kepala merah.

“Hah…?!” Puji Wardani terpekik. Ia melihat tubuhnya nyaris tanpa busana lagi. Dan seorang lelaki gemuk, dengan ikat kepala merah, baju merah lengan panjang yang tak dikancingkan, juga celana biru yang terikat pinggang kuning, sedang berdiri dengan senyum yang menggoda.

“Suro…?!” Puji Wardani membisik tegang seraya menutup dadanya dengan selimut tebal. “Apa-apaan kau, hah? Berani-beraninya kau masuk ke mari, Suro? Nanti kupanggilkan romo bisa dihukum lagi kau!”

“Aku hanya ingin menemanimu mengusir kedinginan pagi,” kata Suro Bodong.

“Oh, jangan! Aku…aku….nanti kalau ada yang tahu, kita berdua bisa dijatuhi hukuman. Jangan Suro….”

“Semua orang tertidur nyenyak, juga para pengawal! Kita bisa berlayar sebentar untuk mengusir dinginnya pagi…”

Suro Bodong meraih selimut yang dipegangi Puji Wardani. Tetapi selimut itu masih dipegang erat-erat oleh Puji.

“Tidak….! Aku tidak mau, Suro …. Oh, jangan…!”

Tetapi ketika selimut dihentakkan, terbukalah dada itu, membusung dan mulus. Membengkak tapi berisi padat. Suro Bodong segera memeluk tubuh Puji Wardani. Wajahnya mendesak-desak di dada. Kumisnya yang tebal menggelitik Puji sehingga perempuan itu mendesah berkepanjangan. Kendati demikian, ia tetap saja berkata, “Tidak…! Jangan….! Oh, jangan lakukan itu, Suro ….jangan…!”

Suro Bodong melepaskan baju merahnya. Dan pada saat itu teringatlah Puji, bahwa Suro sudah tidak mempunyai baju merah lagi. Baju itu telah robek dicabik-cabik dan dibuang. Belakangan ini, Suro Bodong tidak pernah mengenakan baju lagi. Tetapi….lelaki yang menyerangnya dengan nafas memburu itu memakai baju dalam keadaan masih bagus. Belum ada luka atau bekas sobekan sedikitpun.

Seketika itu juga, Puji Wardani sadar bahwa lelaki yang mendusal-dusal di dadanya dengan rakus itu bukan Suro Bodong sebenarnya. Puji segera berteriak keras dan nyaring.

“Aaaaahhh…!!” sambil kaki kanannya mendepak alat vital lelaki itu. Ketegangan dan ketakutan memuncak. Lelaki itu ditendang sekali lagi hingga terpental membentur dinding. Puji Wardani menjerit sekuat-kuatnya.

Suara jeritan Puji Wardani sempat membangunkan Suro Bodong. Segera Suro Bodong melompat dari dipan dan berlari ke luat. Ia memutar ke arah kamar Puji Wardani, lalu menendang pintu kamar itu dengan kasar.

“Braaak…!”

Sekali tendang, pintu terbuka. Suro Bodong berdiri dengan kedua kaki merenggang. Badannya yang tanpa baju itu kelihatan besar, berotot kuat. Matanya mendelik seketika sewaktu ia melihat seorang lelaki yang sedang berusaha untuk memperkosa Puji Wardani. Yang membuat Suro terkejut adalah, kemiripan lelaki itu dengan dirinya. Suro Bodong bagai melihat dirinya sendiri sedang melakukan usaha pemerkosaan terhadap diri Puji Wardani. Merah muka Suro Bodong yang asli. Ia segera menyerang lelaki yang serupa dengannya itu dengan sebuah tendangan kilat. Tendangan itu tepat mengenai wajah lawan hingga terpental jatuh dari ranjang.

“Kau keparat busuk…!” gerak Suro Bodong yang segera menyerang kembali lawannya. Pada saat itu lawannya siap berdiri. Tendangan kaki Suro ditangkisnya dengan lengan kanan, sedangkan lengan kirinya segera menghentak ke depan dalam posisi telapak tangannya terbuka sedangkan keempat jarinya terlipat bagian ruas atas.

Suro Bodong yang asli nyaris menjatuhi Puji Wardani, karena ia terpental ketika ada semacam hawa kuat yan gmendorong tubuhnya sejak tangan lawan menghentak ke depan. Ia segera bergegas bangkit, tetapi tendangan lawannya menyusul mengenai dagu hingga wajah Suro terdongak ke belakang.

“Aaaoow…!” pekik Suro seraya menjaga keseimbangan tubuh. Ia belum sempat mengembalika posisi kepala menjadi tegak, tahu-tahu pukulan ganda menghantam dada dan ulu hatinya dengan keras.

“Huuugh…!!”

Suro Bodong terbungkuk menahan sakit. Kepalanya dipegang kuat-kuat dengan Suro Bodong palsu, lalu kepala itu dihantamkan dengan lutut yang menyodok ke atas. Kalau saja Suro Bodong tidak cekatan, paling tidak hidungnya akan berdarah dan tulang hidung itu akan pecah karena sodokan lutut lawan. Namun, sebelum lutut itu menyodok hidungnya, tangan Suro  buru-buru menahan lutut itu dengan kekuatan kedua tangan. Lalu, kepala yang menunduk itu segera disodokkan maju sehingga lawannya mengaduh kesakitan, nafasnya tersendat seketika. Suro Bodong mengibaskan kakinya dalam tendangan berputar. Kibasan kaki itu ditangkis oleh lawan, namun Suro Bodong buru-buru menjatuhkan diri ke lantai karena ia tahu akan ada serangan datang dari lawan ke bagian atas. Maka, ketika lawan menendang juga dengan jurus tendangan berputar, ia menemui sasaran kosong. Saat itu, Suro Bodong yang terlentang di lantai segera menyepak kemaluan lawan dengan keras, sampai-sampai lawan terbawa ke atas, lalu begitu turun, kaki kiri Suro menyambutnya dengan sebuah tendangan ke arah yang sama. Tubuh lawan yang sama gemuknya dengan Suro itu melayang melewati atas Suro dan kepalanya menghantam pintu kamar itu.

“Braaak…!”

Pintu kamar jebol sama sekali. Tadi waktu ditendang Suro memang sudah jebol, tapi masih ada sisanya yang menempel bersama engsel pintu. Namun kini, pintu itu telah lepas bersama engselnya akibat ditabrak kepala Suro Bodong palsu. Orang itu jatuh di luar kamar. Suro Bodong yang asli segera memburunya. Ia menendang wajah orang itu ketika orang itu hendak bangun.

Wajah yang ditendang terdongak ke belakang, namun bersamaan dengan itu, lawan mengulingkan tubuhnya ke belakang beberapa kali. Dengan satu hentakan lutut, lawan, berhasil berdiri dengan kaki merenggang kekar.

“Sudah saatnya kau berhadapan denganku, Bangsat!” teriak Suro Bodong.

Orang-orang yang mulanya tertidur, segera bangun dan hendak berlari ke kamar Puji Wardani. Namun mereka erhenti di taman, di depan kamar itu, karena mereka menyaksikan dua Suro Bodong saling bertarung dengan sengit. Adipati Lohgawe buru-buru masuk ke kamar anaknya. Setelah mendapat keterangan bahwa Puji Wardani tidak apa-apa, maka ia segera keluar untuk menyaksikan pertarungan dua Suro Bodong. Yang satu mengenakan baju merah, yang satu tanpa baju. Tetapi Adipati dan yang lainnya tahu, orang yang tidak memakai baju itulah Suro Bodong yang asli.

Kali ini lelaki berbaju merah mengeluarkan pedangnya yang dicabut dari pinggan kanan. Ia bermain pedang dengan tangan kiri. Oh, dia kidal, kurang mahir menggunakan tangan kanannya. Suro Bodong sempat mempelajari beberapa kelemahannya.

Ketika pedang itu menebas bagaikan kilat ke arah dada Suro Bodong, segera Suro  melengkungkan badan ke belakang. Namun selang beberapa detik, kaki kanan Suro Bodong segera menghentak ke atas, mengani siku lawannya dengan keras. Tapi, agaknya tendanganya itu tidak berguna. Lawan tetap menyerang dengan ganas. Melompat seraya menggerakkan pedang ke depan. Kepala Suro Bodong nyaris menjadi sasaran kalau Suro tidak segera memiringkan kepala ke kiri. Sambil merendahkan badan ke kiri, Suro berhasil menendang pinggang lelaki itu dengan kaki kiri. Tendangan samping itu membuat lawan terpental beberapa langkah dan jatuh terguling-guling.

Dengan hentakan tangan ke tanah, lawan mampu melompat ke atas, melebihi ketinggian Suro Bodong. Pada saat itu ia melemparkan pedangnya dari tangan kiri ke tangan kanan. Suro Bodong bersiap menyerang dengan satu lompatan. Tetapi lawan sudah telanjur turun, dan pedangnya dipegang dengan kedua tangan, diangkat ke samping telinga kanan dengan posisi tubuh merendah sedikit. Ia berteriak sambil menghentakkan kaki kirinya tiga kali ke tanah.

“Heeaaat….! Heeat…! Heaaat…!”

Meluncur sebuah sinar berbentuk pedang itu, seolah-olah dari ujung pedang. Sinar berbentuk pedang menerobos ke depan dengan cepat, dan menghantam dada Suro Bodong. Suro buru-buru melompat bagai singa menerkam kadal. Sinar berbentuk pedang warna merah membara itu lolos dari sasaran, mengenai sebuah pohon dan meledak seketika. Pohon itu hancur, menjadi serpihan-serpihan kecil bagai percikan tanah liat. Prajurit yang berdiri di bawah pohon itu pingsan seketika, telinganya berdarah. Mungkin karena suara ledakan yang didengarnya dari jarak dekat sehingga mampu memecahkan gendang telinga.

Pedang masih diarahkan ke Suro Bodong dalam posisi dipegang dua tangan di samping kepala kanan. Lawan menghentakkan kakinya lagi tiga kali sambil berteriak seperti tadi. Maksudnya ingin menhajar tubuh Suro Bodong yan gmelayang hendak menerkamnya itu. tetapi Suro Bodong dengan gesi meliukkan tubuhnya ke kiri, dan berguling ke samping di udara. Sinar merah membara serupa dengan bentuk pedang lawan itu melesat, tidak mengenai sasaran. Sinar itu melesat ke atas, terus ke aras dan menghilang entah sejauh mana.

Yang jelas, pada saat itu Suro Bodong berhasil menjaga keseimbangan tubuhnya, sehingga ia dapat mendarat dengan kedua kaki tegak berdiri. Tepat di depan kaki Suro terdapat sebutir batu dalam ukuran hampir datu genggaman. Suro menendang batu itu ke arah lawan. Batu melayang bagai dilemparkan dengan tangan yang kekar.

“Aaauuhh…!!” Lawan mengaduh kesakitan, karena batu itu tepat mengenai ujung hidungnya hingga berdarah. Suro buru-buru melompat dan menendang wajah lawan. Yang ditendang sempoyongan sambil mengibaskan pedang secara ngawur.

“Ciaaat…!!”

Puji Wardani yang sudah mengenakan pakaian itu mengibaskan pedangnya dari arah belakang lawan.

“Haaagh…!!”

Orang itu tersentak dan kesakitan karena tebasan pedang Puji Wardani tepat mengenai punggungnya. Punggung itu menampakkan luka menganga panjang dan darah pun mulai berhamburan.

Lawan berbalik arah. Pedangnya dipegang dengan dua tangan, diangkat ke samping kepala, diarahkan ke Puji Wardani. Kakinya menghentak ke tanah sambil berseru

“Heaaat…! Heeeaaat…!

“Ciaaat…!!” Tepat pada saat itu Suro Bodong yang asli menendang lawannya dari samping. Kaki Suro yang keras dan kaku itu menghantam pelipis lawan dengan keras. Lawan tak jadi mengeluarkan jurus pedang yang membahayakan itu. Ia terjatuh berjumpalitan dan membentur pohon. Segera Suro Bodong berguling di rerumputan dan menghentakkan kakinya lagi dengan tendangan berganda. Kedua tendangan tepat mengenai kepala dan perut lawan, sehingga orang itu pun semakin terpental jauh dari tempatnya. Bahkan sempat melayang ke atas bagai boneka dilemparkan.

“Aaah…! Aaauh…!” Suro Bodong palsu mengaduh-aduh. Ia berusaha untuk berdiri, Suro Bodong tak memberi kesempatan. Tetapi pada waktu ia melayang, tubuh Suro Bodong jatuh terpental ke belakang. Pukulan tenaga dalam yang keluar dari telapak lawan berhasil mengenai dada Suro Bodong. Dada Suro menjadi membiru. Sakit! Nafasnya sesak. Pukulan tanpa ujud itu agaknya lebih besar dari pada pukulan yang tadi diterima di dalam kamar.

“Jahanam kau, ciaaat…!!” Puji Wardani melompat dan mengarahkan pedangnya ke arah lawan.

“Puji….jangan! bahaya itu…!!” teriak Suro Bodong. Cemas sekali Suro melihat keberanian Puji yang tanpa perhitungan. Lawan sudah berdiri dan siap menggunakan jurus pedang yang dapat menghancurkan pohon seperti tadi. Nyawa Puji terancam. Seketika itu, tangan Suro Bodong melemparkan sebuah batu dan tepat mengenai kaki lawan yang akan dipakai menghentak ke tanah itu. Lawan menjerit kesakitan, pusat pikirannya terganggu. Ia tak jadi menggunakan jurus pedang berbahaya.

Tetapi ia masih berhasil menghindari tusukan pedang Puji Wardani dengan cara menghantamkan tangan kanannya ke arah pinggan Puji dengan tubuh merunduk ke bawah.

“Haaagh…!!”

Puji mengaduh kesakitan sambil tubuhnya limbung ke kiri dan jatuh bagai batang pisang dilemparkan.

“Pujiii…!!” jerit ibunya yang hendak mendekat, tapi buruburu dipegang ayahnya.

Suro Bodong sudah berhasil berdiri. Nafasnya memang masih sesak, tetapi ia mencoba untuk menyerangnya. Hanya saja, lawan sudah buru-buru melompat, bersalto ke belakang dan melayang melewati tembok batas Dalem Kadipaten. Ia menghilang di balik tembok. Suro Bodong bergegas mengejarnya dengan berseru,

“Bangsat….!! Jangan lari…! Kita selesaikan sekarang juga, kucing kurap…!! Hiaaat…!” Suro Bodong berhasil melompat sampai di atas tembok yang mengelilingi Dalem Kadipaten itu. ketika ia hendak melompat ke bawah mengejar lawannya, Adipati Lohgawe berseru,

“Jangan dikejar dia….!”

Teriakan itu membuat Suro tak jadi melompat turun. Ia diam, dalam keraguan dan sedang mempertimbangkan permintaan Adipati itu. Adipati tahu Suro dalam kebimbangan. Ia segera berseru lagi,

“Jangan tampakkan wajahmu di depan rakyat! Kumohon, jangan! Berbahaya Suro…! Lihat… matahari mulai keluar dari cakrawala, sebentar lagi akan terang benderang!”

Suara Adipati, bagai suara yang mohon perhatian sekali. Suro Bodong segera menahan diri, lalu ia kembali ke tempat. Ia buru-buru menemui Puji Wardani yang ternyata tidak mengalami luka apapun, kecuali pinggangnya sedikit nyeri.

“Kau tak apa-apa?” tanya Suro.

Puji Wardani menggeleng. Ia masih menyeringai sedikit, dan segear dituntun Suro Bodong untuk masuk ke kamarnya.

“Lain kali kalau mau bertarung jangan lupa….pakai otak! Kalau otak kau tinggal di kamar, kau tidak akan bisa menang, tahu? Bisa jadi malah mampus…!” kata Suro kasar, dan ia memang tidak peduli dengan kekasarannya itu.

“Sekarang kalian tahu aku bukan dia, dan dia buka aku toh?!” kata Suro kepada Puji Wardani yang sedang diusap-usap pinggangnya oleh ibunya, sedangkan Adipati sendiri berdiri dengan gelisah di samping Puji Wardani.

“Sayang sekali hanya sepuluh perajurit yang melihat pertarungan tadi. Wijaya dan Rahuto tidak ada. Coba kalau mereka ada, kurasa mereka tahu kalau…”

“Kami sudah tahu…!” sahut Adipati. “Sejak pertemuan tadi malam, sudah kukatakan, kami sudah tahu siapa kamu. Kau memang bukan dia!”

Puji Wardani berkata dengan jengkel, “Lantas maumu apa sebenarnya, Suro ? Mau menuntut kami? Tuntutlah aku saja! Aku orang yang paling dendam denganmu! Aku…!” teriak Puji dengan kemarahan yang timbul dari rasa sesal dirinya. “Aku yang membujuk Romo untuk meng-hukummu tempo hari! Kalau kau merasa menjadi orang benar dan ingin membalas dendam, balaslah aku. Apa maumu? Ini pedangku dan bunuh aku dengan pedang ini! Bunuh…!”

Suro Bodong bersungut-sungut, lalu meninggalkan Puji Wardani. Puji yang tak bisa dibujuk ibunya itu masih penasaran. Ia mengejar Suro Bodong sampai di pintu, meraih lengan Suro  dan menyodorkan pedangnya.

“Lekas bunuh aku…!”

“Kamu ini waras apa gila?!” kata Suro Bodong.

“Persetan dengan waras apa gila, kalau kau sakit hati dengan tuduhan kami, bunuh saja aku! Aku yang paling menympan dendam kepadamu. Ayo, bunuh aku…!”

“Suruh saja Suro Bodong yang tadi…! Kenapa kau tadi pakai menjerit-jerit segala…? Kenapa tadi tidak minta dibunuh sama Suro Bodong yang kabur itu…”

Dengan ketus dan cemberut penuh gerutu, Suro Bodong pergi, keluar dari kamar. Ia tak sempat memperhatikan cermin yang dipakai melihat kamarnya. Ia nyelonong begitu saja setelah berkata demikian. Puji Wardani berseru,

“Mau ke mana kau?!”

“Berobat…!” jawab Suro seenaknya. Puji segera berhenti menggerutu setelah menyadari, dada Suro membiru akibat pukulan lawan tadi. Wah, gawat. Berbahayakah itu? Kenapa Suro Bodong tadi kelihatan pucat sekali waktu dibentak-bentak Puji Wardani? Adakah racun dari pukulan itu yang akan menghancurkan Suro dan mengakhiri hidup Suro Bodong?

***

5

DENGAN melalui semadi setengah hari, Suro Bodong berhasil menyembuhkan luka di dadanya yang membiru itu. Selama ia melakukan semadi, ia tak tahu kalau Puji Wardani memperhatikan terus melalui cermin tembus padang di kamar Puji itu.

Sesungguhnya, belakangan ini Puji Wardani suka berperasaan aneh terhadap Suro Bodong, lebih-lebih kini ia tahu persis bahwa Suro Bodong bukan pembunuh rakyat, bukan pembunuh suaminya. Puji Wardani bagai menyimpan suatu getaran sendiri jika memperhatikan Suro di cerminnya. Ia merasa jengkel jika Suro bersikap acuh tak acuh padanya. Ia ingin berhubungan baik dengan Suro, sebab selama ia mengamati gerak-gerik Suro, ternyata ia menemukan suatu kelembutan di balik kekasaran Suro Bodong. ia juga menemukan beberapa hal yang sempat mengagumkan dan mendebarkan. Menurutnya, Suro adalah laki-laki yang penuh dengan kebanggaan. Hanya saja, kebanggaan itu disembunyikan di balik sikapnya yang seenaknya sendiri dan sedikit kasar itu.

Maka, ketika Suro  selesai mandi sore, Puji Wardani memperhatikan Suro lagi dari cerminnya. Ia kasihan melihat Suro Bodong termenung sedih di tepian dipannya. Raut wajahnya nyata-nyata digeluti penyesalan. Bahkan sesekali ia bicara pada bayangannya sendiri di cermin,

“Kenapa menangkap tikus seperti itu saja kau tidak becus, hah? Manusia macam apa kau jika dengan cecurut saja sampai dibuat kelabakan!? Tidak. Kau tidak boleh seperti itu lagi, Suro. Kau harus bisa meringkusnya! Bunuh dia dan jangan beri ampun lagi! Dia sudah banyak makan korban, bahkan Puji….ah, Puji sendiri nyais jadi korban! Kau harus membunuhnya demi Puji yang kau kagumi, Suro…..!”

Puji Wardani tertegun-tegun ketika Suro Bodong berkat demikian di depan cermin. Padahal Puji sendiri berada di depan Suro Bodong, hanya saja Suro Bodong tidak tahu, sehingga kata-katanya itu seakan suatu pengakuan yang ditujukan kepada Puji Wardani. Di dalam hati, Puji sempat berkata, “Ooh…ternyata dia mengagumiku…. Tapi, kenapa sikapnya tak mau terus terang? Kenapa sikapnya berlawanan?” setelah Suro mempertimbangkan segala sesuatunya, akhirnya ia memperoleh suatu keputusan yang ingin disampaikan kepada Adipati Lohgawe. Namun, ketika ia keluar dari kamar dengan dadanya yang bidangtanpa baju itu, ia sempat terkejut, karena Puji Wardani ternyata berdiri di depan kamarnya dengan melipat kedua tangannya di dada.

“Hei, perlu apa kau berdiri mematung di situ?” tegur Suro Bodong dengan tak ramah. Namun Puji tahu apa yang ada di balik ketidakramahan itu. Rasa kagum yang disembunyikan! Dan…. Karena itu, Puji sendiri harus berlagak tidak tahu menahu tentang rasa kagumnya Suro Bodong. Ia melangkah masuk ke kamar dan berkata,

“Aku harus nekad begini untuk bisa bicara denganmu!” kata-kata itu sempat membuat Suro Bodong terbengong.

“Jangan masuk ke kamarku! Nanti dugaan orang tuamu buruk terhadapku.”

“Aku yang ingin menjernihkan kalau mereka mempunyai dugaan buruk,” kata Puji dengan ketus.

Sebenarnya Suro Bodong menggeragap melihat kenekatan Puji Wardani itu, tetapi ia berhasil menguasai diri dengan ketenangannya. Ia berdiri di depan pintu dan memandang Puji Wardani yang manis, cantik dan lembut sekali dalam suasana sore mengenakan gaun sutra warna hijau muda.

“Apa maksudmu datang ke kamar ini?” tanya Suro dari depan pintu. Puji duduk di kursi sederhana dari kayu.

“Aku ingin meminta maaf padamu!”

“Sudah habis! Aku tidak punya persediaan maaf lagi. Kalau kau mau, maafkanlah dirimu sendiri!” jawab Suro. Puji melirik dengan cemberut. Kesal juga hatinya mendengar kata-kata yang asal nyeplos itu. Apalagi Suro kali ini berkata seenaknya, “Hei, kamu cantik kalau cemberut begitu! Kenapa tidak rajin-rajin cemberut, biar tetap cantik?”

Puji Wardani segera mengendurkan wajahnya, tidak lagi cemberut, namun memasang keangkuhan dan keketusan.

“Aku ke sini bukan untuk bicara soal kecantikan!” katanya walaupun sebenarnya kata-kata Suro itu enak didengar bagi telinga Puji. “Aku ke sini hanya meminta maaf atas tuduhan dan kebencianku waktu itu…”

“Lalu…?”

“Lalu….aku juga berterima kasih kepadamu, karena kau telah menyelamatkan aku dari usaha pemerkosaan Suro Bodong yang palsu itu…!”

“Terima kasihmu kutolak,” kata Suro  tergas. Puji Wardani berpaling cepat dengan memandang tajam. Suro Bodong bejalan mendekati meja yang ada di depan Puji. Ia meneguk minumannya sebentar.

“Aku tidak menolongmu. Aku hanya ingin membunuh orang yang menjelekkan nama baikku!”

Wajah yang berkulit kuning langsat itu menjadi merah dadu. Ada rasa malu dan dongkol yang disembunyikan di balik kebisuan Puji Wardani.

“Kalau begitu aku salah duga.”

“Memang,” jawab Suro Bodong. “Sebab itu, berterima kasihlah pada Suro Bodong yang kau bacok punggungnya itu, sebab karena dia maka kau bisa membangunkan kau dengan jeritanmu.”

Puji diam. Lama sekali terbungkam. Suro Bodong mem-erhatikan wajah itu dengan leluasa. Lalu ia menggoda,

“Kau kecewa karena kemunculanku saat itu, bukan?”

Segera Puji mengangkat wajah dan mendelik memandang Suro Bodong. “Kau kejam mengatakan aku begitu! Kau pikir aku senang diperkosa lelaki itu?”

Suro seenaknya saja berbaring di dipan dengan menumpuk dua bantal. Ia berkata, “Kupikir kau senang, sebab waktu itu kulihat pakaianmu tidak ada yang robek.

Itu pertanda kau dengansuka rela membukanya.”

“Karena kupikir dia adalah kamu!” bentak Puji dengan kejengkelan yang memuncak. “Kupikir dia kamu, maka aku sedikit memberi peluang padanya! Tapi setelah aku tahu dia bukan kamu, bukan Suro Bodong yang asli, aku menjerit dan ketakutan! Jelas?!” Puji bicara sambil mendekati Suro.

Kini ganti Suro Bodong yang terbengong melompong mendengar pengakuan itu. ia bisa menangkap makna kata-kata itu. Tapi, sebenarnya sangat di luar dugaan kalau Puji mempunyai perkiraan semacam itu.

Suro buru-buru bersikap biasa-biasa saja. Ia malah tersenyum sinis seraya berkata, “Ah, itukan alasanmu saja. Kurasa kau sudah tahu kalau dia bukan aku, maka kau biarkan sejenak dia menguasai tubuhmu, lalu… au puas, dan baru berteriak mengagetkan aku. Jadi akulah yang mendapat jatah kekagetannya!”

“Kurang ajar….!”

“Plak…!” Suro Bodong ditampar dengan sengit oleh Puji. “Plak…!” sekali lagi wajah Suro  menjadi sasaran tangan Puji. Namun ketika tangan itu hendak menamparnya untuk yang ketiga kalinya, Suro Bodong buru-buru menangkap pergelangan tangan Puji Wardani.

“Cukup…! Ini wajah, bukan kendang main tampar seenaknya saja!” hardik Suro Bodong sambil terduduk di dipan.

Puji Wardani menampakkan kedua matanya yang merah dibakar kemarahan dan kesedihan. “Kau menghinaku…! Kau kejam menuduhku begitu…! Kau pikir aku perempuan urahan yang…!”

Suro Bodong buru-buru menutup mulut Puji Wardani dengan tangannya. Ia berkata pelan tapi jelas,

“Diam kau! Aku sebenarnya hanya ingin mengatakan bahwa kau cantik, menggiuran bagi semua lelaki, termasuk aku! Tapi jika kamu menangis dan marah-marah, kau sama saja menantangku untuk bercumbu. Berhentilah marah. Berhentilah menangis. Jangan pancing kejantananku dengan dikap seperti itu. Aku tidak tahan, tahu…?”

Suro Bodong melepaskan tangannya yang mem-bungkam mulut Puji Wardani. Kini mulut itu terbengong, mata masih menatap Suro Bodong. airnya semakin bening dan meleleh. Lalu, dengan serta merta Puji Wardani memeluk Suro Bodong kuat-kuat. Tangisnya menghambur di pundak Suro. Sekarang Suro Bodong kebingungan sendiri. Ternyata perempuan itu lebih berani memulai dari pada dirinya. Wah….kacau!

“Jangan menangis….nanti aku….aku terpancing….”

Puji berkata dalam isakannya, “Biar…biar kau terpancing dan tahu, bahwa kau ingin berdamai denganmu! Ingin menjadi akrab dan dekat….!”

Isak tangis terdengar, Suro Bodong makin bingung tujuh keliling. “Ssstt…diam. Jangan menangis. Kau sudah dekat denganku kan?”

“Tapi kau belum memelukku…!” katanya disela isakan tangis ang membingungkan Suro Bodong. Lalu, dengan pelan-pelan Suro Bodong memeluk Puji Wardani.

“Diamlah….aku sudah memelukmu, kan?”

“Tapi tidak erat….”

Suro Bodong mempererat pelukannya. Puji Wardani masih mengisak beberapa saat. Suro Bodong tertahan.

“Ssst…ko malah betah menangis? Aku kan sudah memeluk dengan erat…”

“Aku…aku…oh…aku bahagia….”

“Apa….?” Bisik Suro.

“Aku bahagia…” jawab Puji dalam tangis.

“Aku…aku juga bahagia. Tapi…aku tidak bisa menangis. Aku lupa caranya menangis….sudah diam, nanti hatiku sedih dan aku ikut-ikutan menangis lho…”

“Menangislah demi kebahagiaan ini, Suro .”

“Jangan paksa aku menangis, sulit menghentikannya.”

“Aku akan menghentikannya.”

“Dengan cara apa?”

“Membawamu terbang…” bisik Puji sesekali.

“Ah, jangan….!” Kata Suro. “Biar aku saja yang membawamu terbang.”

“Bawalah….! Lekas bawalah aku terbang…”

“Ssst…pintu belum dikunci….”

“Kuncilah….lekas kuncilah….!”

“Krek!” pintu dikunci. Tangis berhenti. Keluh menjelma. Erang membakar darah. Mereka terbang. Terbangnya jauuuuh….sekali. Puji Wardani kegirangan memperoleh penerbangan perkasa dan kekar. Mereka merajut benang-benang mimpi. Mereka menyelinap di sela keluh dan dengus membara. Puji Wardani berpesta pora di atas bentangan kulit Suro Bodong. Dia lebih terampil. Karena ia termasuk perempuan berselera tinggi. Ia perempuan yang punya segudang selera dan cara. Suro Bodong mem-biarkan dirinya dipakai landasan kebahagiaan yang sesekali membuat tubuhnya kejang sejenak. Sampai keduanya pun tuntas merenggut nafas, memburu lemas.

“Aku akan pergi malam ini juga,” kata Suro  setelah mereka saling menyeka keringat.

“Aku ikut,” kata Puji, seraya tangannya mengusap keringat yang membasahi tubuh Suro Bodong.

“Jangan ikut. Aku akan memburu orang itu! aku akan menyeretnya ke mari, agar dendammu puas.”

“Tapi dia berbahaya, Suro. Aku tak ingin kau terkena pukulannya lagi,” Puji Wardani menampakkan kekawatirannya.

“Ah, aku tidak akan melakukan kebodohan untuk kedua kalinya. Aku akan memakai otakku. Kemarin, eh…tadi pagi….aku juga meninggalkan otakku di kamar. Jadi aku kena pukulan tenaga dalamnya.”

“Pokoknya jangan. Jangan memburu dia. Biar ayah nanti akan kubujuk agar dia mau menerima tawaran Pragulo.”

Suro Bodong berkerut dahi. “Siapa? Pragulo?” Puji Wardani mengangguk. Tangisnya sudah berhenti sejak tadi. Bukan air mata lagi yang keluar, tapi keringat!

“Pragulo anak paman Renggono. Dia kemarin datang menawarkan diri untuk menangkap orang yang mengaku bernama Suro Bodong. tapi dia belum tahu kalau kaulah Suro Bodong yang sebenarnya. Dan…. waktu itu dia minta hadiah lebih banyak jika ia berhasil menangkap Suro Bodong. Bahkan ia menawarkan diri untuk menjadi Jagabaya yang akan menjamin keamanan di Kadipaten ini, tetapi minta upah tinggi. Ayahku sedang mempertimbang-kan penawarannya.”

“Pragulo itu orang sakti, ya?”

“Katanya ia baru saja selesai berguru di Gunung Mahageni. Dan…. kurasa ia punya ilmu yang cukup hebat, nyatanya ia menawarkan diri sebagai Jagabaya, kepala keamanan di Kadipaten.”

Setelah terbungkam sesaat sambil merenung, Suro Bodong bertanya bagai menyelidik,

“Kau sudah lama mengenal dia?”

“Sudah. Waktu kecil aku bermain dengannya. Dulu, ayahnya bekerja sebagai Jurubayar Kadiapaten….”

“Lalu…?!”

“Lalu…. ayahnya melakukan penyelewengan uang. Ia mencari keuntungan untuk memperkaya diri sendiri. Kecurangan-kecurangan dilakukan, sayangnya ketahuan oleh Romo Purwakusuma, kemudian dilaporkan. Waktu itu yang menjadi Adipati masih kakekku: Sang Adipati Sindang Mukti…”

“O, bukan kakekmu yang menempati kamar itu?”

“Ini kan kakek dari ibuku.”

“Oo….terus?” Suro memancing keterangan. “Eh, tadi kau bilang, yang melaporkan perbuatan curang ayah Pragulo itu siapa? Romo Purwakusuma?”

“Benar.”

“Maksudmu….Raden Mas Purwakusuma?”

“Ya. Tapi aku memanggilnya Romo.”

“Kenapa begitu? Memangnya ada hubungan apa denganmu?”

“Dia kan mertuaku. Orang tua dari bekas suamiku itu: Kang Mas Atmaja.”

“Oooo…..jadi Raden Atmaja itu anak dari Raden Mas Purwakusuma? Yang dibantai satu keluarga itu?!”

“Iya. Benar, dan….”

“Tunggu, tunggu….! Jangan bicara dulu. Diam…!” Suro Bodong bersemangat. Ia berdiri, mengerutkan dahi. Garuk-garuk kumis. Berjalan mondar mandir beberapa saat. Puji Wardani terheran-heran memandangnya. Ia menunggu izin bicara. Suro bicara sambil mondar-mandir.

“Jadi…. Raden Mas Purwakusuma itu mertuamu, ya? Dan…. Pragulo adalah anak dari….Paman Renggono. Melakukan kecurangan soal uang. Yang melaporkan RM Purwakusuma. Dan….O, ya….terus bagaimana nasih ayah Pragulo setelah dilaporkan tentang kecurangannya itu?”

“Dipenjara oleh kakekku, dan….ia meninggal dalam penjara. Meninggal dengan sedih dan tekanan batin.”

“Hemmm…ya, ya, ya…!” Suro Bodong manggut-manggut. “Kalau begitu, suruh ayahmu memanggil Pragulo…!”

“Lalu…?”

“Suruh panggil saja dia, dan terima sebagai Jagabaya atau beri hadiah tinggi asal dia bisa menangkap Suro Bodong…!”

Ketika hal itu disampaikan kepada Adipati Lohgawe, Sang Adipati merasa heran mendengar usulan puterinya.

“Mengapa Suro Bodong mempunyai maksud begitu?”

Suro menampakkan diri dari ruang tengah, lalu ia sendiri yang menjelaskan.

“Pragulo itulah Suro Bodong yang palsu.”

“Pragulo…?!” Adipati dan istrinya terheran-heran.

“Ya. Dia yang menjadi Suro Bodong. Dia ingin menuntut balas atas kematian ayahnya dalam penjara. Perihal kecurangan ayahnya dalam menjalankan tugasnya sabagai Jurubayar Kadipaten, dilaporkan oleh Raden Mas Purwakusuma. Karena laporan itu ayah Pragulo dipenjara dan mati dalam tahanan. Sekarang ia selesai menuntut ilmu. Dia membalas kematian ayahnya kepada Raden Mas Purwakusuma. Karena Raden Atmaja, bekas suami Puji Wardani itu adalah anak keturunan Raden Mas Purwakusuma, maka ia ikut dibinasakan.”

“Tapi kenapa ia juga membunuh rakyat tak berdosa?”

Suro Bodong menjawab, “Seperti yang pernah ku-katakan, dia ingin menghilangkah rasa percaya lagi kepada Adipati. Ia nantinya yang akan membakar rakyat untuk memberontak. Dan kalau sudah terjadi pemberontakan, kedudukanmu bisa digulingkan, maka dia yang akan merebut kekuasaan kadipaten ini.”

“Oo….begitu….” Adipati manggut-manggut. “Dan tentang penyamaranmu? Kenapa dia menyemar menjadi Suro Bodong dengan persis sekali begitu?”

“Dia tahu namaku. Dia mengenal siapa diriku. Dan kalau aku terbunuh oleh orang-orangmu, maka Kesultanan Praja yang akan menyerang dan menghabiskan Kadipaten ini. Dalam perang antara Kadipaten ini dengan kesultananku, Pragulo pasti akan ambil bagian, supaya dicalonkan menjadi Sang Adipati di sini, sekalipun Kadipaten ini akan berada di bawah kekuasaan Kesultanan Praja. Paling tidak, kalau kau berhubungan denganku dan akan marah, aku bisa membunuh semua orang penting dalam Kadipaten ini. Kalau kau sudah tiada, dia akan mendirikan Kadipaten dengan sisa peninggalanmu. Kira-kira begitulah jalan pikiran Pragulo…”

Adipati semakin jelas permasalahannya. Lalu ia segera mengerahkan prajuritnya untuk mencari di mana Pragulo berada. Dengan hati-hati mereka harus bisa membujuk Pragulo dengan mengatakan, bahwa Adipati sangat mem-butuhkan tenaganya untuk menjadi Jagabaya. Ternyata tidak sulit mencari Pragulo di bekas rumahnya dulu. Pragulo berhasil dikelabuhi dan ia mau menghadap Adipati Lohgawe. Sebelumnya, suatu rencana telah dipersiapkan lebih dulu.

Ketika Pragulo datang, ia disambut dengan baik oleh Adipati Lohgawe. Bahkan Puji Wardani ikut menyambutya dengan ramah dan manja, seperti waktu mereka masih kanak-kanak.

Namun ketika Suro Bodong muncul dalam pertemuan itu, Pragulo kelihatan terkejut dan wajahnya menjadi pias. Sekalipun ia menutupi perasaan resahnya dengan ketenangan, namun Adipati sendiri dapat mengentahui bahwa Pragulo kelihatan gelisah sjak kemunculan Suro Bodong yang asli.

“Pragulo…” kata Adipati. “Kami semua sudah bosan dibuat kacau oleh Suro Bodong palsu. Nah, yang berdiri di sampingmu itu Suro Bodong asli. Ia sendiri mengakui bahwa ilmu yang dimiliki Suro Bodong palsu sungguh hebat. Tak ada orang yang menandinginya. Itu menurut dia….” Adipati menuding Suro Bodong. Aku sudah bersepakat dengan keluargaku, dengan pegawai-pegawaiku untuk mencari seorang panglima perang! Bukan seorang Jagabaya saja, tetapi seorang panglima perang Kadipaten Kidang Kencana. Kedudukannya merupakan orang nomer dua di Kadipaten ini setelah aku. Apakah kau sanggup menjadi Panglima Perang Kadipaten kita ini, Pragulo.”

Dengan keangkuhan yang sudah terlihat dari caranya memandang, Pragulo menjawab, “Itu pekerjaan yang mudah bagi saya, Kanjeng. Saya sanggup menjadi panglima di sini asal saya  mendapat jaminan hidup dan gaji yang tinggi.”

“Gaji akan kuberikan sesuai dengan permintaanmu. Tapi aku punya syarat….kau tidak perlu menangkap atau membunuh Suro Bodong. melainkan buatlah Suro Bodong datang dan meminta maaf, lalu dia harus pergi secepatnya setelah kami menuruti permintaannya. Jangan bunuh dia, sebab kalau kita membunuh dia, maka kita akan kewalahan menghadapi rohnya. Jadi, cukup dia datang, mengutarakan keinginannya, lalu meminta maaf, kalau mau. Kalau tidak mau lekas pergi setelah kami mengabulkan permintaanya. Apa kira-kira…tugas itu berat, Pragulo?”

“Saya rasa tidak, Kanjeng Adipati. Buat saya, tidak ada pekerjaan yang tidak bisa saya lakukan. Saya sanggup memenuhi syarat itu.”

Wijaya menyahut dengan girang, “Wah, kalau begitu…. jabatan panglima sangat sosok buat Kakang Pragulo, ya?”

Rahuto menyahut, “Benar! Dan kalau Kakang Pragulo ini sudah menjadi panglima kita, wah….beres pokoknya! Tak ada yang mau mengganggu-ganggu kita lagi. Bukankah begitu Kakang Pragulo…?!”

Pragulo tertawa girang, merasa bangga. “Pokoknya, kalau aku berhasil menundukkan Suro Bodong dan menjadi orang kedua di sini….” Ia berbisik kepada Rahuto, “Kuusulkan agar gaji prajurit dinaikkan semua….”

“Cocok…! Cocok sekali itu, ha, ha…!” Rahuto sengaja disuruh memancing sedemikian rupa agar tidak timbul kecurigaan.

Pragulo masih bau kencur, menurut Suro Bodong. Ia mempunyai otak sebesar lada. Ia tidak merasa kalau dirinya masuk dalam perangkap yang membahayakan. Kalau menurut Puji Wardani, Pragulo itu pintar-pintar bodoh. Ia pintar, karena bisa mempunyai rencana yang begitu rumit, susah dipecahkan dengan penyamarannya sebagai Suro Bodong. Tetapi keangkuhan dan keserakahan membuat ia jadi bodoh, terbuai karena sanjungan dan jajni suatu kedudukan sebagai panglima perang, orang kedua setelah Adipati Lohgawe. Mungkin ia berpikir, dengan cara itu ia akan lebih mudah menguasai Kadipaten Kidang Kencana.

Benar-benar bodoh. Esoknya, seorang prajurit meng-hadap Adipati dan berkata bahwa seseorang yang meng-aku bernama Suro Bodong hendak menghadap. Kontan saja Adipati memberi izin, karena memang  itulah saat yang ditunggu-tunggu. Orang yang mengaku bernama Suro Bodong. Hanya saja, ia tetap mengenakan kain merah yang bagian belakangnya sudah dijahit karena bekas robek terkena pedang Puji Wardani. Orang itu dtang dengan menampakkan rasa sesal dan kesedihannya. Tetapi sebelum ia bicara dengan Adipati Suro Bodong yang asli muncul dari samping dan langsung menyerangnya dengan sebuah tendangan telak di pelipisnya.

“Hiaaat…!!” Suro Bodong tidak memberi kesempatan lagi kepada tiruannya. Ketika lawannya hendak bangun, tendangan beruntun mengenai punggungnya, sehingga orang itu sempat terpental menabrak tiang besar. Suro Bodong memainkan jurus-jurus andalan. Tendangan Ayam Kawin dilancarkan, yaitu gerakan kaki yang menendang tujuh kali beruntun tanpa sempat ditangkis, dan bergantian dari kaki kanan ke kaki kiri.

Ketika musuhnya jatuh, Suro Bodong segera men-cengkeram baju lawan lalu melemparkannya keluar. Ia sengaja mendesak agar Suro Bodong palsu keluar dari Dalem Kadipaten dan berlarian di alun-alun. Ternyata harapannya itu terkabul juga. Lawannya lari ke luar, dan Suro Bodong segera mengejarnya sampai alun-alun. Ketika mereka berdua sudah berada di alun-alun, para prajurit segera menjalankan rencana yang sudah ditentukan sebelumnya. Mereka mengepung alun-alun dengan berisan rapat. Sebagian prajurit lainnya memanggil para penduduk dengan berteriak di atas punggung kuda yang melaju ke mana-mana,

“Suro Bodong telah tertangkap…! Suro Bodong tertangkap….! Hukuman akan dijatuhkan kepadanya hari ini…!”

Kontan penduduk yang sudah merindukan kebencian terhadap Suro Bodong segera berkumpul berlari-larian ke alun-alun. Segala kegiatan ditinggal hanya untuk menonton Suro Bodong disiksa.

Tetapi ternyata mereka terbengong. Setiap orang pasti berkata, “Hahh…?! Kok ada dua Suro Bodong?!”

Sementara Suro Bodong asli sedang bertarung dengan yang palsu. Wijaya dan Rahuto diminta memberi penjelasan kepada masyarakat, “Yang memakai baju merah itu adalah Suro Bodong yang membunuh keluarga kalian, sedangkan yang tidak mengenakan baju itu  adlaah Suro Bodong yang kita siksa dulu. Sekarang dia ingin membuktikan bahwa dirinya bukan Suro Bodong yang kita cari…! Perhatikan saja mereka!” Kalimat itu diucapkan berkali-kali oleh Rahuto dan Wijaya.

Melihat lawannya mencabut pedang, Suro Bodong mulai berpikir bahwa lawan akan memainkan jurus pedang maut yang mampu menghancurkan sebuah pohon. Kalau pun Suro bisa menghindari, maka kilatan cahaya yang menyerupai bentuk pedang itu akan melesat terus dan mengenai penduduk atau siapa saja yang ada di belakang Suro Bodong. karena tidak ingin terjadi korban lain, maka Suro Bodong pun segera meraba tangan kirinya. Sampai di pergelangan tangan kiri, ia menghentakkan tangan kanan, seperti mencabut sesuatu, dan tahu-tahu tangan kanannya memegang sebuah pedang.

Orang-orang, bahkan Adipati dan Puji Wardani sendiri sampai terbengong keheranan. Pedang itu seperti dicabut dari pergelangan tangan, padahal sejak tadi mereka melihat Suro Bodong tidak membawa senjata. Kini, tahu-tahu Suro Bodong yang asli sudah menggenggam sebuah pedang yang memancarkan sinar ungu berpijar-pijar. Sangat indah dan mengagumkan siapa saja. Mereka tidak tahu, itulah pusaka Suro Bodong yang bernama Pedang Urat Petir.

“Hiaaaat…!” lawan Suro Bodong menebaskan pedangnya ke arah perut Suro. Tapi dengan ringan ditangkis memakai pedang Urat Petir. Lalu, dalam saat itu, kaki Suro Bodong menendang lurus ke depan, dan mengenai dagu lawannya. Lalu kaki yang habis untuk menendang itu menapak, kini ganti kaki yang satunya menendang dengan tendangan memutar belakang. Tepat mengenai dada lawan hingga orang itu terpental beberapa langkah ke belakang.

Lawan segera bergegas, ia mulai menggunakan gerak-gerak pedang yang tadinya di tangan kiri, kini dilemparkan ke tangan kanan. Lalu, kedua tangan menjadi satu memegangi gagang pedang. Ini tanda-tanda jurus pedang maut akan digunakan oleh Suro Bodong palsu.

Pada saat itu, Puji Wardani nekad lagi. Ia menyusul dari belakang Suro Bodong palsu. Ia memainkan jurus Bidadari Pagi, meliuk-liuk bagai orang menari, lalu tangannya seperti membuat sesuatu yang lembut. Pada waktu itu, lawan sedang menghentakkan kaki untuk yang kedua kalinya. Puji Wardani merasakan ada suatu getaran yang memercik lewat jari jemarinya sewaktu ia menggerakkan tangannya itu, dan tiba-tiba….tubuh lawan terpental bagai diterjang bagai yang ganas. Ia terguling-guling, dan rakyat pun bersorak keras, “Hidup Raden Ayu…! Hidup Raden Ayu…!!”

Tentu saja gerakan dari jurus Bidadari Pagi itu sangat mengejutkan Suro Bodong. Ia sempat berseru, “Puji…! Jangan ikut campur…!”

Lawan mengerang, mau bangkit susah, daging tubuhnya mulai melepuh dan menjadi seperti borok yan gmeretak. Sekujur tubuh itu menjadi retak-retak bak tanah kering kekurangan air. Namun, agaknya ia masih bertahan untuk berdiri dan menyerang. Ia mengangkat pedangnya dengan lemas. Ia berhasil menempatkan pedangnya dengan kedua tangan di samping telinga kanan. Lalu kakinya menghentak ke tanah tiga kali dengan berseru suara serak. Lalu, melesatlah sinar merah membara berbentuk seperti pedang itu, keluar dari ujung pedang dan sasarannya menuju Puji Wardani yang tengah menari-nari membawakan jurus Gerakan Bidadari Pagi. Suro Bodong terpaksa melompat ke arah melajunya sinar membara merah itu, kemudian ia merentangkan pedangnnya ke depan, dan…. “Duaar…!!” Terjadilah ledakan yang dahsyat akibat benturan sinar merah membara serupa pedang dengan sinar Pedang Urat Petir yang  berpijar sinar ungu sejak tadi itu.

Suro Bodong terpental, lawannya juga terpental. Tapi Puji Wardani selamat. Suro Bodong segera menggunakan jurus Pedang Jitu. Ia melemparkan pedangnya ke atas hingga berputar tujuh kali, kemudian menendang pedang itu ke atah lawan. Maka, Pedang Urat Petir terpecah menjadi tujuh bagian yang semua bagian melesat ke tubuh lawan. Tubuh yan gmulai berlumur darah karena retak-retak oleh jurus Bidadari Pagi itu kini memekik tertahan, “Aaakhh…!!”

Tiga bagian dari pecahan Pedang Urat Petir menembus tubuhnya dari depan sampai ke belakang. Lalu, pedang itu berkumpul lagi menjadi satu dan melesat ke tangan Suro Bodong. orang-orang menggumam kagum melihat kesaktian pedang Suro Bodong. Sementara lawannya jatuh tak berkutik lagi. Jurus Pedang Jitu telah mengakhiri riwayatnya. Dan tubuh retak-retak yan gmenyerupai Suro Bodong itu pun mengepulkan asap biru samar-samar. Lambat laun, tubuh itu berubah bentuk menjadi tubuh Pragulo yang sebenarnya. Takyat makin menggumam kagum dan terheran-heran melihat perubahan tersebut.

Suro Bodong memasukkan pedangnya kembali ke dalam lengan kirinya. Pedang itu disusupkan begitu saja, seakan disimpan di bawah kulit dan daging tangan kirinya. Dan bekas masuknya pedang itu sama sekali tidak ada, sekalipun bekas sebesar jarum.

Rakyat berseru, bersorak kegirangan melihat kematian orang yang selama ini mereka benci dan mereka takuti. Mereka menampakkan wajah cerah yang penuh kegembiraan, terlebih Adipati dan keluarganya.

Puji Wardani berlari menghampiri Suro Bodong dan segera memeluknya dengan hati girang dan tawa kebahagiaan. Adipati mendekat dengan istrinya, lalu mereka bersalaman erat-erat.

“Terima kasih, Suro …! Terima kasih, kau telah menyelamatkan Kadipaten ini dari ancaman kehancuran…!”

“Terima kasih itu mudah. Yang sulit adalah menerima kasih seseorang…!” kata Suro Bodong kepada Adipati, tapi matanya melirik Puji Wardani. Yang dilirik hanya senyum-senyum saja seraya bergelayutan di pundak Suro Bodong.

“Apakah ada yang ingin memberikan  kasihnya kepadamu, Suro ?” kata istri Adipati.

“Saya tidak tahu.” Suro menjawab dengan senyum. Tapi Puji Wardani menyahut dengan tegas dan bernada manja.

“Ada…! Siapa bilang tidak ada?”

“Siapa?” desak Suro Bodong.

“Entah…” jawab Puji Wardani seraya mereka melangkah.

“Hei, aku tadi melihatmu menggunakan jurus Bidadari Pagi. Dari mana kau peroleh jurus itu, hah?!”

“Dari mencuri jurus yang kau latih di kamar,” Puji tersenyum-senyum nakal.

“Di kamar? Kau melihatku? Melihat aku melatih jurus itu?”

Puji Wardani mengangguk sambil tertawa lirih. Ia berkata, “Cermin hias di kamarmu itu tembus pandang dari kamarku. Jadi aku tahu apa saja yang kau lakukan di kamar itu.”

“Sial…!” Suro bersungut-sungut. “Kalau tahu begitu aku akan melepas pakaian setiap hari jika di kamar!”

“Kan sudah…” Lalu Puji Wardani tertawa mengikik geli seraya masih bergelayut di pundak Suro Bodong, Senopati Praja!

TAMAT

Created ebook by fujidenkikagawa

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews