PERTARUNGAN DI BUKIT ASMARA
Djvu by Abu Keisel
Edited by Fujidenkikagawa
Pdf by Dewi KZ
1
Mereka berjajar di kaki Bukit Cempaka. Orang-orang itu bagai tak sabar menunggu sesuatu yang amat mendebarkan. Tanpa tahu apa yang ditunggu, Suro Bodong berdiri di belakang orang-orang Kesultanan Praja. Seperti biasanya, Suro selalu sibuk dengan jagung bakar, dan sesekali garuk-garuk kumisnya yang tebal. Dalam hatinya sendiri merasa heran, apa sebenarnya yang akan terjadi di kaki Bukit Cempaka ini? Mengapa banyak orang yang memandang ke atas, ke lereng bukit yang sesungguhnya tidak begitu tinggi puncaknya itu.
Seorang lelaki bertudung pandan tak sengaja berdiri di dekat Suro Bodong. Ia membuka tudungnya, lalu mengipas-ngipaskan. Matahari cukup panas, tapi di tempat Suro berdiri itu sedikit teduh karena bayangan sebuah pohon. Suro Bodong melirik, lelaki berusia antara 35 tahunan. Lelaki itu merasa dilirik, kemudian memandang Suro dan tersenyum seraya mengangguk penuh kesopanan.
"Akan ada apa sebenarnya di sini, Kang?" tanya Suro Bodong. Lelaki itu sedikit berkerut
"Apa belum tahu?" ia ganti bertanya. Ia kelihatan heran. Setelah Suro menggeleng, lelaki itu berkata lagi:
"Kalau begitu kau bukan orang Kesultanan Praja, ya?"
"Bukan. Aku sekedar lewat daerah ini, lalu kulihat banyak orang berkumpul, dan aku ikut berhenti."
"Ooo...." Lelaki itu manggut-manggut. "Sebentar lagi akan ada pertarungan hebat, antara Ronggo Bule dengan Pendekar Tapak Setan."
Suro Bodong menggumam, sesekali mengunyah jagung bakarnya. Lelaki yang berkipas tudung pandan menjelaskan lagi:
"Kalau Ronggo Bule menang, berarti tinggal satu kali lagi ia harus bertanding dengan penantang lain. Kalau ia tetap menang, berarti dialah yang berhak mempersunting Nyi Mas Sendang Wangi."
"Lho, jadi pertarungan ini ada hubungannya dengan suatu perkawinan?" Suro Bodong bertanya dengan nada heran.
"Ya. Putri Sultan Jurujagad hanya boleh menikah dengan seorang lelaki yang benar-benar tangguh. Syaratnya, lelaki itu harus bisa mengalahkan pelamar lainnya. Jika empat kali lelaki itu bisa mengalahkan lawannya secara berturut-turut, maka dialah yang terpilih untuk menjadi menantu Sultan Jurujagad. Dan Ronggo Bule telah berhasil mengalahkan dua pelamar lainnya. Apabila kali ini ia menang melawan pelamar berikutnya, maka Ronggo Bule itulah yang berhak menjadi suami Nyi Mas Sendang Wangi."
Sekali lagi Suro Bodong manggut-manggut. Ia menggumam sambil mengunyah jagung bakar, "Menarik juga...."
"Kalau kau tertarik, kau bisa ikut menjadi penantang berikutnya...." kata lelaki itu yang berpakaian kain lurik berlengan panjang. Celananya sebatas lutut ke bawah, warna biru. Sama dengan celana Suro Bodong, hanya saja warnanya lebih tua. Baju merah lengan panjang yang tak pernah dikancingkan itu juga berwarna tua, tapi merah. Sama dengan ikat kepalanya. Merah tua. Seperti darah. Suro sangat menyukai kedua warna itu. Karenanya ia selalu berpenampilan celana biru tua dengan baju longgar merah tua. Rambutnya yang panjang hampir sepundak tidak begitu rapi. Tapi agak lumayan jika dalam ikatan kain merah itu. Hanya saja kumisnya yang tebal dengan bentuk wajah sedikit kasar itu membuat Suro Bodong bagai tidak memiliki ketampanan sama sekali. Kesan tua lebih kuat dari perpaduan potongan tubuh yang besar namun tidak gemuk, dan perut yang agak gendut namun bukan membuncit. Pusernya kelihatan nongol ke luar. Karena itulah ia sering dipanggil Suro Bodong, sekalipun ia sendiri tak tahu siapa nama aslinya, tapi ia menyukai nama itu. Suro Bodong. Itu nama yang dipakainya sampai sekarang.
"Nah, itu dia Ronggo Bule. Ia sudah mulai naik...!" kata lelaki berkipas tudung pandan.
Bukit Cempaka memang tidak tinggi. Ia mempunyai lereng yang sedikit datar, bahkan ada tanah datar di bagian bawah pucuknya. Bukit itu gersang. Tanpa tanaman satu pun kecuali batu-batu besar dan cadas yang keras. Puncak Bukit Cempaka kelihatan sangat menonjol, sebab di puncak itu ada segumpal batu besar berbentuk mirip taring raksasa, menjulang ke atas. Orang dapat mendaki bukit itu sampai di bawah batu besar yang dipuncak. Jika hal itu dilakukan,hanya memakan waktu tak lebih dari satu jam. Bukit itu cukup luas dengan berbagai tonjolan-tonjolan batu cadasnya. Dan apabila dilihat dari puncak gunung Palasan yang ada di seberang sana, maka bukit itu kelihatan seperti bunga Cempaka yang tengah mekar. Sebab itu dinamakan Bukit Cempaka. Bukit itu masih termasuk daerah kekuasaan Kesultanan Praja. Dan memang letaknya seperti di tengah pedesaan, tak jauh dari pusat keramaian Kesultanan Praja. Bahkan dari depan alun-alun Kesultanan dapat dilihat dengan jelas.
"Yang mana yang bernama Ronggo Bule?" tanya Suro Bodong. Ia tadi melamunkan bukit tersebut saat lelaki di sampingnya menunjukkan orang yang dimaksud.
"Itu.... Yang sudah berdiri di atas itu yang bernama Ronggo Bule. Dan, nah... yang baru naik ini adalah penantangnya. Ia dikenal dengan nama Pendekar Tapak Setan!"
Mata Suro Bodong menyipit ketika memperhatikan seorang lelaki tegap berpakaian serba coklat muda. Ia yang tadi disebutkan sebagai Pendekar Tapak Setan. Melihat bentuk tubuhnya yang kekar, berbadan besar seperti Suro Bodong, maka dapat disimpulkan bahwa Pendekar Tapak Setan pasti orang tangguh. Ia menyandang pedang pendek, berukuran satu lengan manusia dewasa. Rambutnya ikal, diikat oleh kain dari bahan kulit ular hijau. Penampilannya cukup mantap. Tenang dan punya wajah tampan yang berwibawa. Sedangkan Ronggo Bule, berkulit putih, bagai habis terguyur air panas. Ia mengenakan celana merah tanpa baju, namun menyandang beberapa pisau yang melingkar di pinggangnya. Bahkan di kedua lengannya pun terdapat dua pisau pada masing-masing lengan. Tubuhnya sedikit pendek ketimbang Pendekar Tapak Setan.
Suro Bodong melirik ke samping, oh... ada seorang lelaki tua berjenggot putih sepanjang dada. Alis dan kumisnya juga putih. Ia mengenakan baju model jubah warna merah kusam, celananya hitam, dan baju dalamnya pun warna hitam. Orang ini mencurigakan juga bagi Suro Bodong. Ketika orang-orang bertepuk tangan menyambut kehadiran Pendekar Tapak Setan, kakek tua itu pun ikut bertepuk tangan. Mata tuanya menyipit waktu memandang ke arah lereng bukit. Ia bahkan ikut bersuit dengan dua jari dimasukkan dalam mulutnya ketika pertarungan itu akan segera dimulai, di mana masing-masing peserta diperkenalkan oleh seorang petugas Kesultanan.
Lelaki bertudung tadi terkejut melihat kakek berjenggot putih. Ia segera menghampiri dan membungkuk penuh hormat. Lelaki itu berkata, "Selamat datang, Eyang Panembahan...."
Yang dipanggil Eyang Panembahan hanya manggut-manggut dan tersenyum ramah. Suro Bodong agak menyisih. Ia bahkan naik di sebuah batu besar dan duduk santai sambil makan jagung bakar. Posisinya berada di belakang Eyang Panembahan dengan lelaki bertudung. Ia berlagak tidak peduli dengan percakapan kedua orang itu, matanya memandang ke lereng bukit bertanah datar, namun sebenarnya telinga Suro menyimak pembicaraan kedua orang itu.
"Kenapa Eyang Panembahan tidak di depan saja, biar jelas?" kata lelaki yang memegangi tudung pandannya.
"Ah, enak nonton dari sini. Di sana pasti banyak orang yang mengajakku bicara. Aku ingin menikmati pertarungan ini dengan tenang, Kasmoro...."
Suro Bodong memastikan, Eyang Panembahan itu pasti seorang tokoh penting di Kesultanan ini. Setidaknya dia tokoh terkenal di kalangan rakyat atas sampai bawah. Tetapi apa kerjanya dan bagaimana posisinya di dalam Kesultanan, Suro belum dapat menebak, karena saat itu pembicaraan mereka berhenti. Pertarungan sudah dimulai. Suro sendiri mulai asyik menyaksikan jurus-jurus yang beradu di atas Bukit Cempaka itu. Sorak penonton sesekali terdengar apabila salah satu peserta ada yang terkena pukulan. "Agaknya akan menjadi suatu pertarungan yang seru juga ini," pikir Suro dengan tenang, menikmati jagung bakarnya.
Pada saat itu, kedua orang di atas Bukit Cempaka benar-benar saling mengeluarkan kehebatan ilmunya. Mula-mula mereka mempermainkan jurus-jurus ringan untuk menjajagi kemampuan lawan. Ronggo Bule mengutamakan pukulan dan tebasan tangannya, sedangkan Pendekar Tapak Setan hanya menyerang dengan tendangan-tendangan yang cukup memukau bagi penonton. Gerakannya gesit dan lincah. Pendekar Tapak Setan lebih tenang ketimbang Ronggo Bule.
Pendekar berpakaian serba coklat muda itu mempunyai jurus tendangan yang mengecohkan lawan. Dua kali wajah Ronggo Bule terkena tendangan Pendekar Tapak Setan. Namun agaknya Ronggo Bule cukup tangguh. Ia hanya terpelanting sebentar saat kaki kiri lawannya menendang pipi kiri. Ronggo Bule segera menjaga keseimbangan tubuh dan sigap kembali. Pada saat lawannya menendang dengan kaki berputar ke belakang, ternyata ia dapat menangkis menggunakan lengan kirinya. Seketika itu juga Ronggo Bule melompat dan menjejakkan kakinya di punggung Pendekar Tapak Setan. Tendangan itu terkena telak dan mengakibatkan lawannya jatuh tersungkur. Tetapi secepatnya Pendekar Tapak Setan berguling ke tanah, sehingga tendangan Ronggo berikutnya meleset. Ronggo mengejar dengan hentakanhentakan kaki, dan lawannya berguling-guling terus menghindarinya.
Sampai pada suatu kesempatan kaki Ronggo Bule berhasil ditangkap dengan kedua tangan Pendekar Tapak Setan. Kaki itu dipelintir dengan cepat, sehingga Ronggo Bule berteriak kesakitan sambil ikut memutarkan badan untuk menghindari kakinya agar jangan sampai patah. Tubuh Ronggo Bule jatuh ke tanah, lalu lawannya segera menendang ke arah dada sehingga Ronggo Bule tersentak dalam seringai kesakitan.
Pendekar Tapak Setan segera bangkit dengan salah satu lutut masih menempel di tanah. Kedua telapak tangannya saling melekat. Ilmu Tapak Setan akan digunakan. Namun dengan cepat Ronggo Bule melemparkan salah satu pisaunya ke arah lengan Pendekar Tapak Setan. Pisau itu menancap tepat di lengan kiri, "Aaaoow...!!" Pendekar Tapak Setan menjerit. Ia segera bersalto di udara dalam posisi mundur. Lemparan pisau kedua tidak mengenai sasaran. Saat itu, Ronggo Bule segera melompat ke arah yang berlawanan, sehingga di antara keduanya terdapat jarak beberapa langkah.
Penonton bertepuk tangan. Eyang Panembahan juga ikut bertepuk tangan. Sekali lagi ia bersuit dengan kedua jarinya. Ia tampak senang melihat pertarungan itu.
"Ini baru seimbang...!" katanya kepada lelaki bertudung yang tadi dipanggil: Kasmoro.
"Tapi saya rasa, kali ini Ronggo Bule akan mengalami kekalahan. Pendekar Tapak Setan lebih gesit"
"Belum tentu...."sanggah Eyang Panembahan. "Ronggo Bule belum mengerahkan semua ilmunya. Lihat saja nanti kalau dia sudah mulai mempermainkan jurus pisaunya, uuh... si Pendekar Tapak Setan bisa kewalahan, Kas...!"
Hanya satu orang yang dari tadi tidak ikut bersorak. Hanya satu orang yang kelihatan tenang. Dia, Suro Bodong. Duduk di atas batu se-tinggi satu meter, salah satu kakinya ditekuk sehingga lengan kanannya bisa ditumpangkan di atas lutut kaki itu, lalu sesekali ia memetik-metik biji jagung bakar dan memakannya dengan santai. Suro Bodong menyimak pertarungan itu dengan sikap tenang dan santai. Namun dalam hati ia pun berpendapat, Ronggo Bule bisa-bisa mati dalam keadaan hancur kepalanya kalau tidak segera menyerah dan mengaku kalah.
Apalagi saat ini Pendekar Tapak Setan mulai menggunakan jurus-jurus andalannya wah... bisa mati tak berbentuk Ronggo Bule itu. Tetapi orang-orang yang pernah menyaksikan pertarungan Ronggo Bule, sudah tentu tidak merasa cemas, karena mereka tahu di mana kekuatan Ronggo Bule dan seperti apa kehebatan ilmunya.
Yang jelas, dalam hati Suro Bodong menjagokan Pendekar Tapak Setan. Ia punya banyak tipuan. gerakannya sering mengecohkan lawan. Seperti halnya saat ini, hampir saja Ronggo Bule tertipu lagi. Pendekar Tapak Setan melayang dan bersalto ke arah Ronggo Bule. Sudah tentu Ronggo Bule bersiap menangkis tendangan atau sekaligus menyerang. Tetapi pada saat kaki Pendekar Tapak Setan hampir menyentuh kepala Ronggo Bule, tahu-tahu tubuhnya bisa berbalik dalam loncatan salto ke belalang. Pada saat begitu, telapak tangan kanannya dihentakkan dan keluarkan kilatan api yang menghantam tubuh Ronggo Bule. Untung Ronggo Bule segera berguling ke tanah, sehingga kilatan api itu meleset, menghantam gundukan tanah, dan gundukan tanah itu meledak berhamburan ke mana-mana.
"Woow...!" seru penonton bersama-sama. Sebagian dari mereka beralih tempat karena bongkahan-bongkahan batu cadas ada yang berjatuhan ke arah mereka akibat pukulan dari Tapak Setan.
Eyang Panembahan manggut-manggut sebentar. Ia menggumam dan bicara sendiri:
"Pantas kalau dia bergelar Pendekar Tapak Setan...."
Suro melirik lelaki tua berambut panjang tanpa ikat kepala itu, kemudian kembali memandang ke arena pertarungan. Ia menggumam dalam hati ketika Ronggo Bule melemparkan dua buah pisau ke arah lawan sambil tubuhnya melayang dan berguling di udara. Lemparan pisau itu begitu cepat. Namun lawannya segera menangkisnya dengan kedua telapak tangan. Setiap pisau menghantam satu telapak tangan, namun tidak satu pun ada yang berhasil melukai telapak tangan itu.
"Hebat...! Hebat sekali dia...!" seru Kasmoro di sela gumam kekaguman penonton.
Pisau yang menancap di lengan Pendekar Tapak Setan sudah dicabut dan dibuangnya. Agaknya ia tak merasakan sakit sedikit pun dari luka itu. Ia bergerak lebih lincah, melayangkan tendangan dalam jarak beberapa langkah sehingga tubuhnya bagai sedang terbang. Kali ini tendangannya mengenai dada Ronggo Bule. Tetapi dengan cepat tangan Ronggo Bule mencabut pisaunya lagi dan mengibaskannya ke leher lawan. Pendekar Tapak Setan mendongak, dan pisau hanya menyerempet pundaknya. Lalu dalam jarak sedekat itu, telapak tangan kirinya dihantamkan ke rusuk Ronggo Bule seraya ia berlutut menghindari tebasan pisau ke arah kepalanya. Ronggo Bule sempat terpekik tertahan. Tapi kakinya segera menyepak ke belakang seperti kuda, dan wajah lawannya menjadi sasaran telak, sampai-sampai tubuh lawan telentang seketika.
Ronggo Bule menjadi limbung. Pukulan Pendekar Tapak Setan bagai meremukkan tulang rusuknya. Ia bertahan mati-matian. Sebilah pisau dilemparkan dan tepat menancap pada tanah di samping telinga lawan. Seketika itu Tapak Setan bangkit. Ronggo Bule merasa ngeri, maka ia segera melompat dan bersalto beberapa kali, mengatur jarak.
Dengan persediaan pisau yang masih ada, Ronggo Bule mempermainkan jurus ‘Lempar Pisau’ yang menjadi andalannya. Sebuah pisau dilemparkan dalam posisi bagian ujungnya melesat menjurus ke dada Tapak Setan. Ketika itu, Tapak Setan bersalto ke samping untuk menghindari arah pisau itu. Namun dengan cepat Ronggo Bule melemparkan satu pisau lagi dengan kecepatan lebih dari yang pertama. Lemparannya tidak ditujukan kepada Tapak Setan, melainkan diarahkan pada pisau pertama tadi. Pisau kedua mampu menyentuh gagang pisau pertama sehingga arah pisau pertama jadi berbelok menuju Tapak Setan. Sebelum Tapak Setan bergerak menghindar, sebuah pisau dilemparkan lagi dengan keadaan berputar ke arah lain, yang diperkirakan akan menjadi tempat melompat bagi Tapak Setan.
Hal itu sempat membuat Tapak Setan kebingungan. Tak ada pilihan lain baginya kecuali merentangkan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka. Dan keluarlah bara api yang memancar ke arah pisau-pisau itu. Kemudian terjadilah letupan kecil yang membuat pisau-pisau itu berhancuran bagai dihantam kilatan petir yang maha dahsyat.
Penonton bertepuk tangan dalam sorak kekaguman. Kasmoro melonjak dan berteriak:
"Hebat...! Itu cara yang hebat...! Bukan main saktinya Pendekar itu. Wah, wah, wah...!"
"Tapi belum tentu...!" sanggah kakek berjenggot panjang yang kedua tangannya saling bertaut di belakang. Ia menambahkan kata, "Belum tentu itu suatu kemenangan. Lihat, Ronggo Bule masih mempunyai lebih dari tiga pisau di pinggangnya. Juga di kedua lengannya masih tersimpan masing-masing dua pisau kecil. Bisa saja ia akan mengalahkan Tapak Setan dengan pisau itu. Tunggu kelengahan lawan saja...!"
"Mana mungkin bisa, Eyang.... Tapak Setan kelihatan lincah dan tangkas.... Mana bisa dikalahkan?"
"Bisa saja...!" Eyang Panembahan menengok ke belakang dan berkata kepada Suro, "Bisa saja, ya?!"
Suro hanya mengangguk dengan senyum tipis. Ia kelihatan tetap tenang dan santai. Eyang Panembahan mulai mendekat, diikuti oleh Kasmoro.
"Kulihat kau dari tadi tenang-tenang saja," kata Eyang Panembahan. "Kau tidak menyukai pertarungan seperti itu?"
Suro Bodong menggeleng. Kurang begitu tertarik untuk bicara kepada kakek berjubah merah itu.
"Kau tidak ingin coba-coba ikut memperebutkan Nyi Mas Sendang Wangi?" tanya Eyang Panembahan dengan sorot mata yang menyipit
Suro Bodong menggeleng lagi. Ia tetap santai menikmati jagung bakar kesukaannya.
"Dia bukan orang Kesultanan sini, Eyang. Ia seorang pendatang," timpal Kasmoro.
"Nah, kebetulan. Biasanya kalau orang pendatang malah beruntung!" Kemudian Eyang Panembahan menepuk paha Suro. "Hei, ikut saja...! Badanmu tegap, besar dan kekar. Siapa tahu kau dapat mengalahkan lawanmu sampai empat kali berturut-turut. Kau bisa jadi menantu Sultan Jurujagad!"
Karena kelihatannya Eyang Panembahan memaksanya bicara, maka Suro Bodong pun menjawab dengan seenaknya saja.
"Ah, apa enaknya jadi menantu Sultan?!"
"Eh, kau bisa dihormati oleh semua kawula alit di seluruh jajaran Kesultanan!"
"Aku tidak gila hormat," Jawaban itu masih saja seenaknya sambil mata Suro memandang ke pertarungan.
"Tapi banyak keuntungannya menjadi menantu Sultan. Kau bisa menjadi kaya! Punya istri cantik dan punya wilayah kekuasaan...! Ikut saja ke arena sana!" bujuk Eyang Panembahan. Tapi Suro Bodong hanya tersenyum tipis, menyatakan diri tidak tertarik dengan bujukan itu.
"Aku lebih senang jadi penonton, Eyang," kata Suro. "Untuk apa memperbanyak harta dengan cara seperti itu. Hanya menambah permusuhan saja. Untuk apa aku punya daerah kekuasaan, kalau sebenarnya aku tidak bisa bertindak sebagai penguasa yang baik?"
"Wah, kata-katamu enak juga didengarnya. Eh, siapa kamu sebenarnya?"
Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, akhirnya Suro Bodong pun menjawab, "Namaku Suro Bodong."
"Dari mana asalmu?"
Suro menggeleng santai. "Entah...!" Dan ia membiarkan Eyang Panembahan berkerut dahi.
Sementara itu pertarungan tetap berlangsung, bahkan semakin seru. Penonton sesekali bersorak dari kaki bukit. Eyang Panembahan dan Kasmoro juga ikut bersorak apabila salah satu ada yang menggunakan jurus tak diduga. Suro Bodong belum mau mengikuti penonton lainnya. Ia tetap tenang tanpa suara apa pun, kecuali kecamuknya gigi mengunyah jagung bakar.
"Aku akan melihat lebih dekat...! Agaknya ini semakin seru," kata Eyang Panembahan. Ia hendak mengajak Kasmoro, tetapi orang bertudung itu tidak mau. Ia merasa enak nonton di tempat teduh, walau memang tidak sejelas yang ada di kaki bukit.
"Siapa dia, Kasmoro?" tanya Suro sambil mata memandang ke atas bukit.
"Kok kamu tahu namaku?"
"Kakek tua yang kau sebut Eyang Panembahan itu juga menyebutkan namamu, bukan?"
"Ooo...." Kasmoro manggut-manggut, matanya juga tetap memandang ke pertarungan. Ia berkata tanpa menoleh:
"Dia penasihat Sultan. Ia orang tertua di Kesultanan ini. Tetapi sikapnya yang ramah dan selalu baik kepada rakyat, sehingga rakyat lebih mencintai dia daripada Kanjeng Sultan sendiri. Ia sering menuturkan cerita masa mudanya kepada siapa saja, bahkan kepada anak muda di sini pun ia sering ditanggap untuk menceritakan masa kemesraannya dengan sang kekasih."
"Ooo...." Suro manggut-manggut. Kasmoro tiba-tiba terpekik tegang:
"Wah, Ronggo Bule kena lagi tuh...!"
Memang, Ronggo Bule nyaris tidak mampu berdiri karena punggung kanannya terkena pukulan Tapak Setan. Ada asap tipis yang mengepul dari bekas tempat yang terpukul tadi. Saat ini ia sedang menggeliat kesakitan. Pendekar Tapak Setan segera meluncurkan pukulan jarak jauh. Cahaya api bagai memercik ke luar dari kedua telapak tangannya. Ronggo Bule berusaha berguling menghindari serangan itu, namun ia terlambat. Kakinya terkena pukulan tenaga dalam Tapak Setan, dan ia menjerit sebentar lalu pingsan, karena kaki itu bagai meledakkan keduanya sebatas lutut. Hancur menjadi serpihan daging yang menjijikkan. Tapak Setan bermaksud menghantamnya lagi, tetapi segera dicegah oleh petugas Kesultanan yang menangani masalah itu.
Petugas yang bersangkutan menyerukan pengumuman
"Pendekar Tapak Setan, dinyatakan unggul dalam pertarungan ini...!"
Banyak penonton yang bertepuk tangan dan bersorak. Kasmoro pun ikut berteriak girang. Ia berkata kepada Suro Bodong dengan berapi-api:
"Apa kubilang tadi...?! Kubilang tadi apa?! Pasti Ronggo Bule kalah. Kelihatan sekali gelagatnya kok. Betul, kan?"
Suro Bodong mengangguk dengan senyum ala kadarnya. Kasmoro berceloteh terus tentang ketepatan dugaannya. Suro Bodong hanya manggut-manggut sambil sesekali memperhatikan beberapa orang yang saling kasak-kusuk mirip gaung lebah. Ada lagi yang saling membayar kepada temannya.
"Oh... rupanya ada yang memanfaatkan pertarungan itu untuk berjudi." Suro Bodong geleng-geleng kepala.
Tetapi, tiba-tiba petugas Kesultanan yang menjadi panitia pertarungan itu berseru dengan menggunakan corong dari bahan perak kasar.
"Saudara-saudara... dengarkan. Atas kemenangan ini, maka Pendekar Tapak Setan berhak melawan calon penyunting Nyi Mas Sendang Wangi berikutnya. Apabila dia bisa mengalahkan tiga kali pertarungan nanti, berarti dialah yang akan menjadi suami Nyi Mas Sendang Wangi."
Beberapa orang berseru, "Hidup Pendekar Tapak Setan!"
"Saudara-saudara, dengarkan lagi... hari ini juga...."
Penonton diam. Celoteh Kasmoro juga diam. Semua memperhatikan orang yang memegang corong di atas bukit.
"Hari ini juga... ternyata ada calon pelamar baru yang siap menantang Tapak Setan...!"
Suara riuh bersahut-sahutan. Kasmoro sendiri juga ikut heboh sendiri:
" "Bagus...! Ini acara benar-benar bagus...! Wah, tidak merasa rugi kalau seharian kita nongkrong di sini, ya?"
Suro Bodong manggut-manggut tanpa mempunyai gairah untuk menimpali pembicaraan. Tetapi ia juga merasa senang mendengar pengumuman itu. Ia akan mendapat tontonan gratis lagi sebagai tambahan ilmu dan pengalaman.
Orang yang membawa corong berseru kembali:
"Saudara-saudara, dengarkan lagi...! Setelah kami bicarakan dengan Pendekar Tapak Setan, ternyata beliau setuju dan tidak akan mundur kalaupun sekarang juga ada lima penantang sekaligus...!!"
Rakyat bersorak, dan suasana menjadi tambah ramai.
"Dengarkan lagi, Saudara-saudara...! Menurut catatan yang saya terima di bawah tadi, orang yang akan ikut menjadi pelamar Nyi Mas Sendang Wangi, adalah bukan orang dari wilayah Kesultanan Praja. Orang yang saat ini akan bertarung melawan Pendekar Tapak Setan bernama:... Suro Bodong...!!"
Mendelik mata Suro Bodong ketika itu. Pantatnya bagai disundut dengan rokok cerutu yang masih menyala.
"Gila...?!" teriaknya sendiri. "Siapa yang mengatakan aku ingin menjadi suami anak Sultan? Siapa yang mencantumkan namaku sebagai penantang berikutnya?! Edan! Sangat edan...!"
"Ah, mungkin bukan Suro Bodong kamu yang dimaksud," kata Kasmoro. Dan Suro Bodong terbengong, bersungut-sungut.
"O, ya...? Mungkin ada dua nama Suro Bodong?"
Selagi Suro Bodong bertanya-tanya dalam kebingungan, orang yang bicara dengan corong itu berseru lagi:
"Saudara Suro Bodong...! Harap segera naik! Anda sudah dicantumkan sebagai pelamar putri Kanjeng Sultan Jurujagad. Dan Pendekar Tapak Setan sudah tidak sabar lagi menunggu kedatangan Saudara Suro Bodong...!!"
Suasana jadi gaduh. Tak ada orang yang muncul sebagai penantang. Tak ada orang yang mengaku bernama Suro Bodong. Maka yakinlah Suro, bahwa ada seseorang yang sengaja mencantumkan namanya sebagai penantang berikutnya.
"Monyet...!!" gerutu Suro masih termangu-mangu.
"Mari, Suro Bodong...!" teriak suara di atas bukit. "Jangan bermaksud main-main. Jika engkau sudah berani mendaftarkan diri, harus berani naik ke mari. Jika tidak, akan dianggap penghinaan bagi keluarga sultan!"
"Kasmoro...? Aku dari tadi di sini, kan? Dan..."
"Tapi kalau kau tidak mau naik ke sana, kau akan kena perkara. Bukan hanya dimusuhi pegawai Kesultanan, tapi akan dimusuhi rakyat juga...!"
Suro Bodong menggeram. Ada beberapa orang berseragam datang ke arahnya membawa tombak dan tameng. Gawat!
2
Suro Bodong hendak membantah. Para prajurit Kesultanan hampir saja hilang kesabarannya, gara-gara Suro Bodong tidak mau disuruh naik ke arena pertarungan. Tetapi, melihat gelagat tak beres, di mana para penonton yang mewakili rakyat Kesultanan Praja mulai kecewa, Suro Bodong jadi berpikir dua kali. Rakyat sangat mencintai pemerintahannya, rakyat akan marah kalau orang dari wilayah lain mencoba mempermainkan pemerintahnya. Bisa-bisa Suro Bodong diserang oleh rakyat dengan tuduhan menghina Sultan mereka.
Tak ada jalan lain untuk meredakan gemuruh rakyat kecuali naik ke Bukit Cempaka. Itulah pilihan yang harus diambil Suro Bodong. Namun di dalam hatinya ia sangat marah kepada Eyang Panembahan. Pasti kakek berjenggot putih itu yang membuat ulah seperti ini. Pasti dia yang mencatatkan nama Suro Bodong dan memberi tahu kepada para prajurit yang bertugas, bahwa Suro Bodong ada di bawah pohon, duduk di atas batu dengan santai. Nyatanya para prajurit itu seolah-olah sudah mengenali wajah Suro Bodong, sehingga mereka datang memaksanya.
Geram Suro Bodong membuat matanya bergerak liar, mencari-cari sosok lelaki tua berambut dan berjenggot panjang warna putih. Tetapi sejak ia beranjak dari tempatnya semula, kakek yang mengenakan pakaian hitam dengan jubah merah itu tidak kelihatan batang hidungnya.
"Brengsek...!" gerutu Suro Bodong. Hatinya semakin panas ketika rakyat berseru menyambut kehadiran Suro di arena.
"Bunuh dia...! Hancurkan dia...! Suruh dia mencium pantatmu, Pendekar Tapak Setan...!" macammacam lagi seruan yang membuat Suro bagai tersudut.
"Bersiaplah, Kawan...!" kata Pendekar Tapak Setan kepada Suro Bodong.
Seketika itu Suro Bodong angkat tangan dan berseru:
"Aku menyerah...!! Aku terima kalah...!!"
"Huuuuuuh...!" teriak penonton. "Patahkan dulu batang lehernya, baru dia boleh menyerah...!!" tambah mereka.
Suro Bodong berdebar-debar menahan emosi. Matanya memandang liar ke kaki bukit. Dia menyadari, bahwa dia sudah dianggap menghina acara Sultan Jurujagad. Ia sadar, bahwa rakyat menuntut kesungguhannya. Rupanya meski acara ini bercorak kesombongan, namun rakyat menyambutnya sebagai suatu kebijaksanaan yang perlu dihormati. Tapi di hati kecil Suro, ia tidak menyukai acara ini. Ia tidak mau bertarung hanya soal ingin menjadi menantu Sultan. Apalagi pertarungan ini adalah pertarungan tanpa arti, aah... Suro sangat membencinya.
Ia mencoba bicara pelan dengan Pendekar Tapak Setan.
"Hei, anggap saja kau sudah menang melawanku. Aku akan mundur. Kawinlah dengan anak Sultan itu. Aku mengalah sajalah. Aku tidak bisa bertarung dalam urusan beginian...."
"Suro Bodong...." kata Pendekar Tapak Setan. "Aku bukan seorang pengecut, juga bukan seorang pengemis. Aku tidak ingin menerima pemberian jasa semacam itu. Nyi Mas Sendang Wangi harus kutebus dengan keringat, atau darah, atau kalau memungkinkan... nyawaku akan kupertaruhkan bagi dia! Aku harus menunjukkan kejantananku kepada rakyat Kesultanan ini, Suro Bodong. Sekarang bersiaplah melawan aku!"
'Tunggu! Nanti dulu...!" Suro Bodong kebingungan. Ia mencari cara lain untuk mengatasi hal ini. Akhirnya ia berteriak kepada mereka yang berada di bawah kaki bukit:
"Aku mau bertarung, tapi jangan melawan Pendekar Tapak Setan. Aku ingin bertarung melawan Eyang Panembahan...!!"
'Sinting...!" geram Pendekar Tapak Setan di sela gemuruh suara gaung dari penonton.
"Mana orang yang bernama Eyang Panembahan...?! Suruh dia naik ke mari! Karena dialah yang telah mencantumkan namaku dalam daftar urutan penantang ini! Aku sendiri sebenarnya tidak mau berkelahi! Aku tidak bisa! Tidak bisa!!"
Suasana kacau sejenak, saling berkasak-kusuk dan menggumam. Mata Suro Bodong bergerak liar mencari kakek sinting itu. Yang ditantang tak mau muncul, yang tidak ditantang semakin penasaran. Salah seorang dari penonton ada yang berteriak keras.
"Lawan dulu musuhmu itu, baru kau bisa melawan Eyang Panembahan...!"
Suro Bodong menggeletukkan gigi. Jengkel sekali hatinya. Panas sekali darahnya.
"Kurasa kata-kata itu benar, Kawan...!" kata Pendekar Tapak Setan yang kelihatannya tidak sabar lagi. "Mari... bersiaplah untuk mati, atau cacad seperti Ronggo Bule itu!"
"Nanti dulu...!" bentak Suro Bodong yang jadi geram sendiri kepada lawannya. "Nanti kau mati kalau nekad melawanku, tahu?!"
"Mana mungkin aku mati di tangan bulus pengecut seperti kamu?!" Tapak setan tersenyum sinis, lalu mengembangkan tangannya ke atas sebagai jurus pembuka. Suro Bodong masih tak mau melayani. Matanya masih sibuk mencari-cari sosok Eyang Panembahan. Tetapi tangannya sudah gemetar karena menahan kemarahan.
Pendekar Tapak Setan mempermainkan jurus pembuka beberapa kali, kemudian ia segera memekik dan melompat dalam satu tendangan samping, tubuhnya miring dan kedua telapak tangannya siap dilancarkan sewaktu-waktu. Karena Suro Bodong tidak mau terkena serangan itu, maka ia pun berkelit ke belakang. Tapak Setan tepat berdiri di sampingnya. Ia segera menggerakkan kaki ke depan dan menghadap ke samping, tepat di depan Tapak Setan.
Dalam keadaan marah seperti itu, Suro Bodong kehilangan kontrol diri. Ia bergerak sangat cepat. Mulanya ia segera mundur dua langkah, lalu merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Ia menekan kedua telapak tangan yang saling bertaut itu sampai gemetaran, lalu kedua tangan yang saling merapat dihentakkan ke depan. Lurus. Setelah itu keduanya saling terbuka ke samping, seperti ia sedang menyibakkan tirai, dan pada saat itu, keluarlah sinar biru berkelok-kelok bagai lompatan api petir. Sinar itu keluar dari dada Suro Bodong, melesat cepat menuju dada Pendekar Tapak Setan. Pada saat itu, mengepullah asap hitam tipis dari dada lawan. Dan dalam sekejap tubuh lawannya menjadi hitam, hangus.
"Houuw...?!" semua orang terperanjat kaget dan kagum.
Gerakan itu dilakukan sangat cepat, membuat Tapak Setan tak sempat bergerak sedikit pun. Dan semuanya terjadi di luar dugaan siapa saja.
Apalagi sekarang keadaan Pendekar Tapak Setan telah menjadi hangus. Hitam seluruh tubuh. Namun demikian, ia masih bisa bicara dengan tenang, tanpa merasa sakit. Saat itu, Suro Bodong telah mundur beberapa langkah.
"Kau hebat...! Ternyata kau hebat...!" ujar Pendekar Tapak Setan. Dan, setelah itu ketegangan semua orang jadi memuncak. Mereka hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, tubuh Pendekar Tapak Setan yang hangus dan sempat bicara tenang itu kini mulai berjatuhan. Mula-mula jemarinya rontok. Pendekar Tapak Setan memandang jari jemarinya dengan heran. Kemudian pergelangan tangannya rontok pula keduanya. Disusul dengan lengan, telinga, gigi, lalu... roboh semuanya. Hancur menjadi arang yang menumpuk di tempat.
Semua orang, tanpa kecuali, memekik ngeri menyaksikan peristiwa itu. Tengkorak kepala Pendekar Tapak Setan sudah tidak ada ujudnya. Hancur menjadi kepingan arang. Dan hal itu pula yang membuat semua penonton maupun petugas Kesultanan melangkah mundur beberapa langkah.. Wajah-wajah mereka, adalah wajah-wajah ketakutan yang menyiksa jiwa
Kemarahan Suro Bodong yang meledak di luar dugaan itu, telah membuat Suro kehilangan akal sehat. Ia tanpa sadar telah menggunakan ilmu ‘Giricandra’, yang mana ilmu tersebut sebenarnya hanya
digunakan untuk melawan tokoh-tokoh tua yang berilmu tinggi dan dalam persoalan besar. Bukan lawan seperti Tapak Setan yang mempunyai persoalan kecil seperti saat ini.
Suro Bodong duduk di sebuah batu, masih di atas Bukit Cempaka. Ia termenung dalam penyesalan yang sangat dalam. Ia sedih sekali melihat nasib lawannya yang menjadi sasaran ilmu andalan utamanya itu. Ia meremat-remat rambutnya sendiri dalam kejengkelan yang berujung pangkal. Kalau saja ia seorang perempuan, ia mau menangis menyesali hal itu. Sedangkan para penonton dan petugas Kesultanan masih belum ada yang berani mendekat di kaki bukit seperti semula. Mereka memandang Suro dengan mata melotot dan mulut melongo. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau pendekar yang dijagokan mereka itu hancur menjadi arang dalam satu jurus.
Sorot mata Suro Bodong menjadi sayu. Kepalanya sedikit menunduk sedih. Ia duduk di batu dalam posisi bagai orang bersalah yang diajukan ke pengadilan.
Seorang petugas memberanikan diri naik ke tempat pertarungan. Dengan sesekali memandang Suro Bodong penuh rasa takut, orang itu bicara melalui corong perak:
"Saudara-saudara... dengarkan...." Ia melirik Suro Bodong. Lalu bicara lagi, "Hari ini... hari ini... kemenangan ada di tangan Suro Bodong...!"
Beberapa penonton bertepuk tangan, tidak semeriah tadi, sebab yang lain masih dicekam rasa, ngeri yang terkagum-kagum. Orang pembawa corong berkata lagi dengan gugup:
"Jadi... jadi barang siapa yang ingin... ingin menjadi atau... yang ingin mencalonkan diri... untuk menjadi menantu Kanjeng Sultan, maka dia harus berhadapan dengan... dengan Suro Bodong. Sebab dialah yang akan bertarung dengan tiga penantang lagi. Jika dalam satu kali purnama, ternyata tidak ada penantang lagi, maka... maka dia akan diresmikan menjadi suami... Nyi Mas Sendang Wangi...!"
Kasak-kusuk, kasak-kusuk, kasak-kusuk.... Semuanya tak jelas. Semuanya bicara dalam kelompok sendiri-sendiri. Tetapi Suro Bodong hanya memejamkan mata kuat-kuat. Penyesalannya bagai sangat menyiksa jiwa dan membuat hatinya sangat perih. Ia sangat kasihan kepada nasib Pendekar Tapak Setan, yang hanya karena masalah perempuan jadi korban sekejam itu. Ia merasa berdosa kepada Tapak Setan.
Dua orang petugas berpakaian resmi menjemput Suro Bodong dengan rasa was-was. Mereka membungkuk-bungkuk dan berkata dengan sangat sopan:
"Mari, kami antar ke istana. Anda mempunyai hak tinggal di istana selama menjadi calon meantu. Mari, kami antarkan, Tuan...."
Nafas Suro Bodong menghempas lepas. Ia berkata pelan, tanpa nada keras sedikit pun:
"Aku butuh bertemu Eyang Panembahan...!"
"Eyang menunggu Anda di dalem Kesultanan. Eyang juga yang memerintahkan kami untuk segera mendampingi Anda menghadap Sultan Jurujagad...."
Mulut Suro Bodong terkatup. Ia masih duduk di tempatnya. Matanya memandang orang-orang yang pergi sambil membawa cerita masing-masing, namun otaknya menerawang ke mana-mana. Ia termenung di situ sampai beberapa lama. Satu dari kedua petugas itu berkata lagi dengan penuh hormat:
"Kami sudah menyediakan tandu kehormatan bagi Anda...."
Dengan suara seperti orang menggumam, Suro Bodong berkata lirih, "Aku bukan orang terhormat."
"Ini tugas dari atasan. Tuan harus kami bawa memakai tandu, supaya setiap orang tahu, bahwa Tuanlah calon suami Nyi Mas Sendang Wangi. Mari, Tuan...."
"Aku tidak kenal Nyi Mas Sendang Wangi," katanya datar dengan wajah termenung. "Yang kukenal, Ratwa Prawesti. Carikan dia, dan kawinkan aku dengannya."
"Kami tidak mengenal Ranta Prawesti. Kami hanya mengenal Nyi Mas Sendang Wangi, calon istri Anda, Tuan...."
"Jangan panggil aku tuan!" hardiknya. Suro Bodong bersungut-sungut. "Namaku Suro Bodong! Bukan Tuan...!"
Ada dua petugas lain yang baru saja naik ke lereng dan membawa alat semacam skop dan cangkul. Suro Bodong segera menegur dua orang itu:
"Untuk apa alat-alat itu, hah?!"
Salah seorang yang membawa cangkul menjawab dengan gugup, "Bukan... bukan untuk membunuh Tuan... ini untuk...."
"Untuk memakamkan mayat Pendekar Tapak Setan," sahut orang yang satunya lagi.
"Biar aku yang memakamkan dia di sini...!" kata Suro Bodong. Kedua orang itu saling pandang tak mengerti. Suro Bodong segera bertindak. Ia menggali lobang di samping gundukan arang mayat si Tapak Setan.
Keempat prajurit itu saling terheran-heran, bahkan mereka yang masih ada di bawah juga merasa heran, sebab mereka melihat Suro Bodong menggali lobang makam tanpa menggunakan alat. Ia mencakar-cakar dengan tangannya dan sangat bersusah payah. Saat itu, si pembawa cangkul berbisik pada temannya, "Mungkin dia tidak tahu bagaimana cara menggunakan alat ini, ya?"
"Iya. Mungkin saja. Kasih tahu sana...!"
"Ah, aku ngeri sama dia...!"
Akhirnya salah seorang memberanikan diri menyodorkan alat penggali lobang, dan berkata dengan hati-hati:
"Tuan... pakailah alat ini. Alat ini gunanya untuk menggali lobang."
Suro Bodong berhenti sebentar dan berkata dingin:
"Aku tahu. Aku tahu kalau alat itu untuk menggali lobang, bukan untuk makan siang! Tetapi aku ingin menebus penyesalanku dengan caraku sendiri. Menjauhlah sana...."
"Baik, Tuan...!" Kemudian orang itu mendekati temannya dan saling berbisik sambil menyenggol-nyenggolkan sikunya ke tubuh teman.
Suro Bodong sedikit lega. Ia telah menggali lobang untuk memakamkan mayat lawannya yang menjadi korban kemarahannya. Dengan cara bersusah payah menggali lobang begitu, Suro merasa sudah sedikit menebus dosanya. Mayat itu didorong ke lobang dan di urug sendiri sampai rata, lalu menjadikan suatu gundukan khusus. Semua dilakukan dengan tangan kosong, tanpa alat apa pun. Sementara itu, sudah pasti keringat Suro Bodong bercucuran sekujur tubuh. Tapi ia punya sedikit kepuasan untuk kerja semacam itu.
"Pendekar Tapak Setan... sebenarnya kau bukan setan," kata Suro Bodong ketika ingin meninggalkan tempat itu. "Tetapi kau menjadi korban kemarahan setanku.... Seharusnya bukan kau yang mati, entah siapa.... Hanya saja, karena aku kalap, aku terpaksa membunuhmu dengan cara yang... yang tak pernah kurencanakan sama sekali. Maafkan aku. Seharusnya aku dapat mengalahkan kamu dengan cara sederhana, tapi amukan kemarahan di dalam dadaku tidak bisa dikendalikan saat tadi. Dan... kau sendiri memancing-mancingnya. Padahal aku sudah bilang kan? Kau akan mati kalau kau bertarung dengan ku. Tapi kau nekad. Akhirnya, benar juga gertakanku itu. Dan... aku jadi susah payah menguburkan kamu. Yaah... mudah-mudahan arwahmu tidak keras kepala seperti tadi. Jadikanlah pengalaman tadi adalah pelajaran, supaya kau bisa mengurangi sesumbarmu dan hati-hati dalam bertindak di alam kubur nanti. Sekali lagi, maafkan aku, ya? Jangan mendendam kepadaku. Percayalah... tak ada niat sedikit pun padaku untuk membunuh kamu seperti ini. Nah, mudah-mudahan kau tenang di alam baka nanti. Percayalah, kau pasti akan betah di sana dan tak mau kembali lagi ke bumi. Selamat tinggal Pendekar malang...!"
Dengan pengawalan penghormatan, Suro Bodong turun dari bukit. Ada empat orang bertubuh kekar berdiri di samping sebuah tandu indah. Tandu dilapisi warna kain kuning emas dengan rumbai-rumbai benang sutra warna hijau. Seorang prajurit tanpa tombak, kecuali hanya menyandang pedang di pinggang mempersilakan Suro Bodong agar naik ke tandu. Tetapi Suro Bodong menolak.
"Aku bukan orang lumpuh...! Aku masih bisa berjalan dengan kakiku sendiri."
"Tapi ini perintah. Pesan Eyang Panembahan. Tuan harus digotong memakai tandu...."
"Aku tidak mau!" jawab Suro Bodong tegas.
"Kami akan kena hukuman jika...."
"Siapa yang akan menghukum kalian?!"
"Kepala keprajuritan," jawab salah seorang prajurit yang bertugas menggotong tandu.
Dengan tegas Suro berkata, "Tunjukkan nanti, yang mana kepala keprajuritan kalian. Sebelum dia menghukum kalian, aku akan menghukumnya lebih dulu!"
Tiba-tiba dari belakang Suro Bodong terdengar suara bernada ragu:
"Aku kepala keprajuritan...."
Kepala Suro Bodong menoleh, "O, kamu?! Apakah mereka akan kamu hukum jika tak mau menggotongku?"
Kepala keprajuritan itu menjawab dengan sedikit membungkuk, "Kurasa tidak. Sebab... Tuan Suro Bodong sendiri yang menghendaki berjalan kaki..."
Akhirnya, mereka menggotong tandu tanpa berisi orang. Suro Bodong jalan dengan santai didampingi beberapa prajurit yang bertugas mendampingi Suro Bodong ke istana. Di perjalanan, Suro melihat seorang lelaki bertubuh kurus yang sedang memikul dua keranjang jagung mentah. Suro segera menghentikan.
"Pak, berapa harga jagungmu sebuah?"
Rupanya orang itu tadi juga menyaksikan pertarungan Suro Bodong dengan Pendekar Tapak Setan. Orang itu masih merasa ketakutan dan berkata dengan menggeragap, "Kalau... kalau tuan mau, ambillah semua. Saya... saya rela memberinya."
Mulanya Suro Bodong tidak mau. Tetapi karena orang itu mendesak, akhirnya Suro Bodong mau menerima dua keranjang jagung mentah untuk dibakar. Orang itu diberi beberapa keping uang oleh kepala keprajuritan. Dan atas perintah Suro jagung-jagung itu dinaikkan dalam tandu, lalu dipikul beramai-ramai.
Tentu saja seluruh kerabat kerja Kesultanan merasa terheran-heran dan mengikik geli melihat tandu berisi jagung. Patih Danupaksi yang menyambut di regol istana terpaksa berkata kepada kepala prajuritan:
"Apa tidak ada cara lain yang lebih konyol?"
Mau tidak mau kepala keprajuritan menunduk sambil berkata, "Maaf, Ki Patih. Ini atas kehendak tuan Suro Bodong sendiri. Kami telah memaksanya untuk naik ke tandu, tetapi beliau justru merasa dihina, dianggap orang lumpuh."
Melihat agaknya ada sedikit keributan antara patih dan kepala keprajuritan, Suro Bodong segera menengahi:
"Benar. Aku sendiri yang menolak untuk naik ke atas tandu dan dipikul."
"Kenapa Anda harus menolak?" Patih Danupaksi minta ketegasan. Dan Suro pun menjawab:
"Orang mati, pantas dipikul. Orang lumpuh pantas dipapah, tetapi aku orang sehat"
"Anda menolak penghormatan kami."
"Dikatakan menolak, tidak. Tetapi aku tahu batasan dan saat kapan penghormatan harus dilakukan. Belum saatnya bagi orang seperti aku mendapat penghormatan seperti itu. Belum saatnya!"
Patih Danupaksi manggut-manggut. "Kuharap lain kali jangan menaikkan jagung ke dalam tandu, ya?"
"Nah, itu baru penghormatan!" jawab Suro Bodong cepat seraya menuding dada patih. Tentu saja Patih Danupaksi berkerut dahi dengan sedikit memiringkan kepala tanda heran. Suro Bodong melanjutkan kata-katanya:
"Jagung dan aku lebih berjasa jagung. Sebab meski dia sudah dimakan oleh anak cucu kita, namun dia masih mau tumbuh dan mengorbankan diri untuk dimakan, sebagai penyambung hidup kita. Eh, jarang sekali orang mau menghormati orang yang berkorban terus-terusan, bukan? Biasanya orang akan memberi penghormatan pada jasa pertama dan kedua, tetapi jasa selanjutnya sudah dianggap wajar-wajar saja. O, ya... siapa namamu?" tanya Suro seenaknya.
"Aku patih Danupaksi," jawab Ki Patih agak ketus.
"O, kamu patih? Ah... aku bukan patih kok. Aku rakyat biasa. Suro Bodong namaku. Kita ini sebenarnya sama, ya? Yang membedakan hanya soal jabatan dan pekerjaan...."
"Jadi apa maksudmu...?"
"Supaya kau tahu, kalau aku tidak membungkuk-bungkuk seperti anak buahmu ini, jangan salahkan aku. Caraku memberi penghormatan kepada orang berbeda. Kau boleh meniru caraku, tapi boleh juga tetap pada caramu."
Patih Danupaksi mengela nafas. Ia ingat kata-kata Eyang Panembahan ketika menjelaskan tentang seseorang yang bernama Suro Bodong, yang sebentar lagi akan datang. Ternyata benar apa kata Eyang Panembahan, bahwa orang yang bernama Suro Bodong punya banyak kelainan dengan manusia biasa. Jadi, Patih Danupaksi terpaksa harus bisa memaklumi.
"Suro Bodong," katanya. "Mari kita menghadap Sultan. Kau telah ditunggu Kanjeng Sultan dari tadi...."
Suro Bodong hanya menggumam dan manggut-manggut samar. Ia berjalan ke pendopo didampingi oleh patih dan kepala keprajuritan. Paseban tempat Sultan dan beberapa pegawainya berkumpul itu cukup luas, mewah dan bersih. Nyaman sekali tempat itu. Angin menghembus sepoi-sepoi, karena Paseban itu tanpa dinding di kanan kirinya.
Seorang lelaki berwibawa, tinggi dan bersih duduk di singgasana kencana. Ia mengenakan baju Kesultanan warna hijau pupus dan kain bercorak batik Sidakmukti dengan hiasan sabuk emas melingkar di pinggang. Seorang berpakaian serba hitam dengan jubah merah berdiri di samping kanan Sultan Jurujagad. Ia adalah Eyang Panembahan yang tadi ditantang Suro Bodong. Ketika melihat sosok Eyang Panembahan, geram di hati Suro Bodong kambuh kembali. Ia memandang tajam, tetapi yang dipandang seakan tidak merasa diperhatikan. Eyang Panembahan tetap tenang saja.
Semua abdi dalem duduk bersila setelah menyembah Sultannya, tetapi Suro Bodong tetap berdiri tegak, menampakkan kegagahannya.
"Ki Sanak... benarkah kau yang bernama Suro Bodong?"
"Benar!" jawab Suro Bodong kepada Sultan dengan tegas.
"Benarkah kau yang memenangkan pertarungan untuk meminang putriku, Nyi Mas Sendang Wangi?"
"Benar, dan tidak!"
Semua orang menggumam dan berkerut dahi. Hanya Eyang Panembahan yang tetap tenang. Berdiri dengan tangan terlipat di dada. Salah seorang abdi dalem yang punya jabatan penting menegur Suro Bodong:
"Saudara Suro Bodong, tidak bisakah Anda duduk dan memberi hormat kepada Kanjeng Sultan?!"
Suro Bodong menjawab dengan garuk-garuk kumis:
"Kalau kau bisa berbuat begitu, lakukanlah. Kalau aku tidak bisa. Kau punya cara menghormat, dan aku punya cara sendiri."
"Tapi di sini punya peraturan, kau harus tunduk pada peraturan di sini!"
"Aku tidak menyuruh pemerintah di sini mengatur peraturan itu! Aku tidak suka mengikuti peraturan di sini. Karena itu, aku tidak keberatan kalau aku harus segera pergi dari sini. Justru aku akan berterima kasih kepada pemerintah di sini kalau aku diizinkan pergi sekarang juga mengerti?"
Suasana sedikit tegang. Suro Bodong mendekati orang yang mengajaknya bicara. Lalu bertanya dengan tegas:
"Kamu siapa?! Apa urusanmu menegurku begitu?"
Orang itu menjawab: "Aku Demang Sabrangdalu...! Di sini pangkatku Demang!"
"O, aku rakyat biasa!" balas Suro Bodong. "Kedudukanku lebih tinggi daripada kamu. Buktinya aku bebas pergi ke mana saja tanpa ikatan. Aku bebas kencing di mana saja, tetapi bisakah kau kencing di pinggir alun-alun?!"
Patih Danupaksi menyahut dengan sabar, "Kukira perdebatan itu tidak perlu terjadi. Di sini kami ingin bicara tentang kamu, Suro Bodong. Bukan ingin membahas soal kencing di alun-alun. Sekali pun misalnya aku pernah kencing di alun-alun, itu pun tak akan kukatakan di sini."
"Aku belum pernah. Kapan-kapan akan kucoba...!" kata Suro Bodong yang kemudian berdiri tegak menghadap Sultan Jurujagad. Sultan ini hanya tersenyum-senyum seraya memandang Eyang Panembahan. Keadaan kembali reda.
"Suro Bodong kuizinkan menghormat dengan caranya sendiri. Aku tahu, dalam hatinya dia tidak mempunyai niat jahat dan penghinaan sedikit pun. Tidak ada. Dia memang kasar, tetapi ia mempunyai jiwa yang sehat...." kata Sultan.
"Jadi, mulanya aku dianggap tidak sehat?" celetuk Suro.
"Tidak," Sultan tersenyum ramah. "Kami menganggap kamu seperti pendekar pada umumnya, yang menyukai sanjungan dan penghormatan, ternyata dugaan kami berbeda. Salah. Namun demikian, mau tidak mau kami tetap mempunyai rasa bangga hati melihat ada pendekar gagah perkasa dan sakti mandraguna, yang menurut ramalan para abdi dalem, bahwa dialah yang akan berhasil memenangkan sayembara ini. Semua orang kudengarkan kasak-kusuknya, mereka berpendapat, bahwa kaulah yang akan bisa memenuhi persyaratan kami, yaitu mampu mengalahkan empat penantang. Bahkan Eyang Panembahan Purbadipa meyakinkan padaku, bahwa kaulah nantinya yang akan berhasil melamar putriku; Nyi Mas Sendang Wangi...."
"Aku tidak melamar putrimu, Sultan!" kata Suro dengan tegas. "Aku tidak tertarik untuk menjadi menantu seorang Sultan!"
"Tapi kau telah mengikuti pertarungan itu dan memenangkannya, bukan?!"
"Itu bukan pekerjaanku. Itu adalah keusilan dia...!" Suro berkata keras dengan menuding Eyang Panembahan. Ia kelihatan menahan kemarahan yang hampir meledak di situ.
"Dia menyuruh petugas untuk mencatat namaku sebagai penantang berikutnya, lalu aku dipaksa naik ke arena. Aku dituduh menghina Sultan jika tidak mau melawan Pendekar Tapak Setan. Rakyat mengancamku dan menghinaku, kemudian aku mengingatkan Tapak Setan agar jangan melawanku dan aku akan mengalah untuk tidak melawannya, tetapi dia ngotot dan aku semakin panas. Sampai tak kusadari aku telah melawannya dengan amukan darahku, yang sebenarnya kutujukan pada kakek tua itu. Akhirnya aku sangat menyesal atas kematian Pendekar Tapak Setan yang pantas menjadi menantumu itu. Suatu saat, aku ingin menantang dia...!" Suro menuding Eyang Panembahan Purbadipa. Ia mendekat dan berkata, "Hei,... kapan-kapan kita bertarung! Aku masih sakit hati kau jebak begini, tahu?! Dan kalau boleh aku sesumbar, kukatakan kepadamu, aku bisa membuat seluruh Kesultanan mati dalam sekejap. Itu kalau boleh aku sesumbar. Kalau tidak, aku pun tidak mau sesumbar begitu!"
Hening tercipta. Masing-masing merenungkan kata-kata Suro Bodong. Tetapi Eyang Panembahan tetap tenang.
3
Jarang sekali seorang calon menantu dapat sambutan seramah itu. Sultan Jurujagad benar-benar ingin menjamu Suro Bodong sebagai tamu kehormatan yang tak boleh dikecewakan. Ini memang mempunyai kejanggalan, dan Suro Bodong beranggapan: Pasti ada apa-apanya di balik jamuan istimewa itu. Tetapi, untuk sementara Suro Bodong tidak mau banyak pikiran.
Ia diberi kamar yang cukup mewah, lebih mewah dari kamar-kamar lainnya yang pernah ia huni. Jagung bakar kesukaannya juga dihidangkan pagi, siang dan sore dalam jumlah cukup. Sultan Jurujagad sering mengadakan pembicaraan empat mata dengan Suro Bodong, bertukar pengalaman dan saling mengisi pengetahuan, baik filsafat hidup maupun ilmu kanuragan.
Tetapi, bagaimanapun juga Suro masih merasa kesal dengan Eyang Panembahan. Ia merasa dijebak dengan maksud yang belum jelas diketahui. Secara gampang, memang Suro dijebak untuk menjadi menantu Sultan, tetapi maksud yang sebenarnya belum diketahui Suro.
Sehingga pada hari kedua sejak Suro tinggal di dalam Komplek Kesultanan, ia sempat beradu muka dengan Eyang Panembahan Purbadipa. Saat itu, ia berada di taman depan kamarnya. Suro langsung saja menegur dengan seenaknya:
"Hei, kapan kita bertarung? Kau sudah punya waktu?!"
Eyang Panembahan menampakkan sikap sabarnya dengan menyunggingkan senyum yang ramah.
"Apa kau yakin kalau kau akan menang melawan aku?" tanya Eyang Panembahan Purbadipa.
"Menang atau kalah bagiku tidak penting. Yang penting aku bisa melampiaskan kejengkelanku! Aku sakit hati kau jebak begini, tahu? Sakit hati sekali!"
Senyum orang tua itu berubah jadi tawa pelan yang mengekeh. Suro bersungut-sungut, masih bertolak pinggang. Dengan tenang Eyang Panembahan menempuk pundak Suro dan berkata, "Mari duduk di sini.... Mungkin kau bisa lampiaskan kemarahanmu...."
Bahu Suro mengibas, ia tak mau diajak beramah-ramah. Ia masih berkata ketus. "Kalau tidak berkelahi, aku belum lega memburumu!"
Tanpa peduli ucapan Suro, Eyang Panembahan duduk di bangku batu marmer yang indah, di tepi kolam. Banyak teratai yang bermekaran di situ. Juga air mancur yang memancar ke atas membuat taman itu menjadi kelihatan asri dalam keindahan yang alami.
"Aku sengaja menjebakmu," kata Eyang Panembahan yang berjenggot panjang dan putih, juga berambut panjang dan putih. Ia bicara tanpa memandang Suro, melainkan menatap bunga-bunga teratai yang mengambang di kolam jemih itu.
"Kalau aku menjebakmu begini, itu sebabnya aku tahu kekuatanmu."
Suro jadi sedikit tertarik. Ia mendekat, tapi masih berdiri dengan lagak kedongkolannya.
"Darimana kau tahu kekuatanku?!" tanyanya.
"Aku merasakan udara hangat ketika aku berdiri di dekatmu," jawab Eyang masih tanpa memandang Suro. Agaknya Suro Bodong bertambah heran, lalu kian mendekat.
"Maksudmu, udara dari nafasku?!"
Kali ini Eyang Panembahan memandang Suro dengan matanya yang menyipit namun kelihatan memancarkan ketajaman.
"Udara prana!"
"Prana...?!"
"Ya. Satu kekuatan batiniah yang ada pada diri manusia. Kau telah mampu menghimpun prana, dan mengolahnya menjadi berbagai macam kegunaan. Prana itu kalau diolah dan digunakan, cukup dahsyat!"
"Tinggi juga ilmu orang ini," pikir Suro Bodong. Sebab dia sendiri tidak tahu apa itu prana. Ia baru kali ini mendengar ada orang bisa merasakan udara hangat yang mengelilingi sekitar tubuhnya. Menarik juga cerita itu, dan Suro menjadi semakin ingin tahu. Ia duduk di bangku batu marmer samping Eyang Panembahan.
"Prana itu seperti apa?"
Eyang Panembahan tersenyum, bahkan tertawa dalam gumam.
"Prana itu... tidak bisa dilihat bentuknya. Prana itu suatu kekuatan gabungan, ada unsur inti bumi, ada unsur inti matahari, bulan, bintang, hujan dan lain sebagainya. Suatu kesatuan alam membentuk suatu zat. Zat itu ada dalam tubuhmu. Mengempal, namun membara jika digerakkan oleh suatu kekuatan batin."
"Mungkin karena aku sering kehujanan? Begitu?”
"Satu di antaranya itu. Tetapi itu tidak cukup untuk mengumpulkan prana dari berbagai keadaan alam."
"Tapi... tapi aku kan tidak pernah pergi ke bulan?"
Eyang Panembahan tertawa pelan. Wajah Suro Bodong tidak seketus tadi, namun berubah jadi bego.
"Cahaya bulan, mempunyai suatu kekuatan tersendiri. Mungkin jarang orang merasakannya, tetapi orang sering terlena karena cahaya rembulan itu. Apabila semua zat alam itu menembus lapisan merah, entah botol, entah beling, entah kaca, atau... kertas merah, maka ia akan berubah menjadi satu zat yang dapat dimanfaatkan oleh kita. Air yang terkena campuran zat itu, akan bisa dipakai untuk menyembuhkan suatu penyakit. Ayam, yang mendapat sorot beling merah dari campuran sinar bulan dan lain-lain, akan menghasilkan telur yang banyak, ketimbang ayam biasa yang selalu dikurung dalam tempat terlindung."
Suro Bodong manggut-manggut. Sakit hatinya bagaikan hilang, dilupakan dalam tempo singkat. Ia lebih tertarik pada ilmu dan pengetahuan Eyang Panembahan Purbadipa itu.
"Kau heran?" tanya Eyang Panembahan.
"Ya," jawab Suro dalam keraguan. "Tapi aku sepertinya pernah mendengar penuturan seperti ini." Ia berkerut dahi. "Di mana, Siapa yang menuturkannya?"
"Birawa Paca...!"
Dahi Suro semakin berkerut. "Siapa Birawa Paca itu?"
Eyang Panembahan berdiri, dan berjalan mengitari kolam. Matanya memandangi ikan-ikan yang sesekali melompat menampakkan warna kuning emasnya.
"Itulah sebabnya, aku menjebakmu ke mari. Aku tahu, kau dalam kebingungan mencari jati dirimu."
Bagai mendengar teriakan gajah di telinga, Suro Bodong segera berdiri dan memandang Eyang Panembahan dengan hati berdebar-debar. Ia setengah berseru karena semangatnya:
"Darimana kau tahu keadaanku?!"
Eyang Panembahan memandang lembut pada Suro, dan berkata:
"Aku mempunyai indra ketujuh."
"Indra ketujuh?! Umumnya orang mempunyai keistimewaan dengan indra keenam. Kenapa kau bilang punya indra ketujuh?"
"Indra perasa yang mampu merasakan keadaan masa lalu, dan mencurahkannya dalam satu gambaran."
Suro buru-buru mendekati Eyang Panembahan. Ia semakin penasaran, dan semakin heran.
"Aku kurang jelas dengan indra ketujuh itu."
Eyang berjalan, Suro ikut berjalan dalam kebegoannya. Eyang berhenti, di tepi kolam yang airnya tidak bergolak. Ia seperti memperhatikan sesuatu di balik kebeningan air yang tenang itu. Kemudian ia berkata kepada Suro:
"Lihatlah bayangan di dalam air itu...."
Suro Bodong memperhatikan genangan air bening. Mulanya ia bingung, apa yang harus dilihatnya. Tidak ada apa-apa. Tetapi beberapa saat kemudian, matanya makin melebar, dan melebar lagi. Ia melihat sebuah bayangan di dalam air. Bagai sebuah lukisan yang menggenang. Lukisan seorang anak yang tengah belajar silat dalam sebuah goa. Batu-batu goa kelihatan jelas bertonjolan, dan sang anak kecil itu melompat-lompat di pucuk-pucuk batu yang tajam. Tak jauh dari anak itu, ada seorang lelaki berjenggot putih, panjangnya sebatas perut. Rambutnya juga panjang, bahkan sampai menyentuh betisnya. Lelaki itu mempunyai telinga panjang, caplang. Hidungnya besar, dan kuku-kuku di jarinya cukup panjang. Lelaki itu bertubuh besar, tinggi, mirip raksasa.
Benak Suro Bodong bertanya-tanya, siapa lelaki bertubuh tinggi itu? Ia sepertinya pernah melihat, pernah bertemu, tapi entah di mana dan kapan. Ia juga ingat sinar merah di dalam goa itu. Ia sepertinya pernah melihat goa bersinar merah membara, tapi tidak berhawa panas. Dalam bayangan air itu juga terlihat jelas merahnya suasana di dalam goa, dan batu-batu hitam meruncing yang tengah dipakai latihan oleh seorang bocah kira-kira berumur 7 tahun.
"Aku... aku sepertinya pernah melihat orang berjenggot panjang dan bertelinga caplang itu...." kata Suro Bodong.
"Dialah Birawa Paca...!" jawab Eyang Panembahan.
"Birawa...? Birawa...? Bi-ra-wa...?" Suro Bodong mengeja untuk mengembalikan ingatannya. Namun sampai sekian lama, dia tidak melihat adanya kemungkinan untuk teringat pada nama itu.
"Aku tidak tahu, siapa Birawa Paca itu," katanya.
"Dialah ayahmu...!"
"Hahh...?!"
Suro Bodong terpekik keras. Matanya membelalak lebar bagai ingin meloncat ke luar dari kelopaknya. Ia nyaris tidak percaya dengan ucapan Eyang Panembahan tadi. Selama ini ia sendiri tidak tahu siapa orang tuanya dan di mana asal-usulnya. Tetapi Eyang Panembahan begitu gampang menyebutkan siapa orang tuanya. Suro masih sangsi kendati ia sendiri bertanya-tanya: mungkinkah nama yang pernah didengar dan wajah yang pernah dilihat itu adalah milik ayah kandungnya?
Mata Suro Bodong yang membelalak itu kembali memandang lukisan dalam genangan air. Ia menyimak betul wajah lelaki berhidung besar, berkuku panjang dan berjubah putih. Bagian tengah kepalanya botak, tetapi rambut sekitarnya panjang sampai sebatas betis, warnanya putih keperak-perakan. Lalu, seorang anak kecil melompat ke arah lelaki yang disebut bernama Birawa tadi. Lelaki itu menangkap anak tersebut, dan memeluk dengan pelukan kasih sayang.
"Siapa anak kecil itu? Siapa dia, Eyang?"
"Kau sendiri...." jawab Eyang Panembahan tetap menyunggingkan senyum.
Mulut Suro Bodong sudah tidak mampu lagi memekik kaget. Ia sangat tegang. Keringat dinginnya mengucur melalui kening dan pelipis. Ia tak lagi sempat berkedip dalam memandang gambaran dipermukaan air kolam itu. Ada sesuatu yang dirasakan menyesak di dadanya. Ada sesuatu yang dirasakan mengiris hatinya. Perih, namun dicobanya untuk bertahan, sekalipun dengan begitu matanya menjadi merah menahan gejolak yang meledak-ledak di dalam dada.
Benarkah itu bayangan wajahnya semasa kecil? Benarkah itu adalah ayah kandungnya? Benarkah itu adalah tempat tinggalnya sewaktu kecil? Lalu... siapakah dia sebenarnya? Mengapa ia jadi seperti saat ini? Mengapa ia jadi hidup tanpa arah dan tujuan yang pasti?
Ketika bayangan di dalam air itu meredup lalu hilang, Suro Bodong duduk di tepian kolam, seakan masih ingin memperjelas pandangannya. Ia masih ingin melihat seorang lelaki yang memeluk anaknya dalam tawa ceria. Tapi, kini yang ada hanya kebisuan. Hening. Sepi di bumi dan sepi di permukaan air itu. Hanya kebeningan air yang dapat dinikmati, sementara jiwanya begitu dicekam suatu keharuan. Hal itu membuat Suro Bodong belum mampu bicara kecuali hanya termenung sendu beberapa saat lamanya.
"Kau belum ingat siapa dirimu sebenarnya?" bisik Eyang Panembahan dengan lembut. Ia ikut duduk di tepi kolam ketika Suro menggelengkan kepala dalam renungannya.
"Kau adalah anak dari Birawa Paca," tutur Eyang, pelan. "Ayahmu bukan manusia biasa. Karena ilmunya yang tinggi, dia seolah-olah seperti roh halus, walau sebenarnya ia adalah manusia. Tetapi alamnya sudah membaur dengan alam roh yang jarang bisa dicapai manusia biasa. Birawa Paca seorang berilmu tinggi, jangan kan terkena pukulannya, terkena pandangan matanya saja manusia bisa hancur lebur. Sebab itu, ia tinggal di dasar bumi, dan menjadi penunggu perut gunung raksasa di lautan lepas, yaitu gunung Krakatau!"
Suro Bodong menyimak setiap ucapan itu tanpa memberi komentar sedikit pun. Hatinya masih teriris pilu, sebab setua ini ia seakan baru sekarang mengetahui siapa dirinya dan darimana asal-usulnya. Ia membiarkan Eyang bicara panjang lebar tentang dirinya. Inilah saat yang ditunggu dan dicari-cari selama ini.
"Birawa kawin dengan seorang putri dari negeri seberang, yaitu: Tibet. Putri itu bernama Shilanta. Ia anak seorang pendeta, yang melepaskan kependetaannya karena tak tahan terhadap tuntutan batinnya. Ia menikah dan melahirkan seorang putri yang bernama Shilanta, yaitu ibumu sendiri!"
Tak sepatah kata pun meluncur dari mulut Suro Bodong. Matanya menjadi semakin merah dan berkilau-kilauan. Ia nyaris tak tahan membendung kedukaannya, karena haru atas kembalinya satu ingatan yang selama ini pudar. Ia sangat tak sabar menunggu kisah Eyang Panembahan yang sesekali berhenti, bagai menciptakan debaran-debaran jantung semakin ingin meledak saja.
Kakek yang mempunyai indra ketujuh itu berkata lagi dengan suaranya yang pelan dan penuh kesabaran:
"Ketika para utusan dari Tibet menyeberang ke Sriwijaya untuk urusan persaudaraan, Shilanta mengikutinya. Ia tergabung dalam rombongan para utusan dari Tibet, karena ia mempunyai pengetahuan keagamaan cukup dalam dan tinggi. Nah, pada saat itu... Sriwijaya sendiri sedang mengalami kemelut dengan armada laut kerajaan Tanah Jawa. Ada pertempuran tidak resmi yang sesekali terjadi di lautan atas. Kapal utusan dari Tibet menjadi sasaran, lalu dihancurkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, entah dari Sriwijaya atau dari Mataram. Ujung-ujungnya diketahui, penyerang itu berasal dari India Selatan, yaitu tentara-tentara raja Colamandala yang ditugaskan menundukkan Sriwijaya."
Sejenak cerita itu dihentikan, karena Eyang Panembahan menunggu reaksi dari Suro Bodong. Ternyata tidak ada reaksi kecuali menyimak dan mendengarkan dengan tekun. Maka cerita itu pun dilanjutkan kembali:
"Ibumu, Shilanta, terapung-apung di samudra lepas, karena kapalnya ditenggelamkan oleh tentara Colamandala. Dalam keadaan seperti itu, Birawa muncul sebagai sang penyelamat. Padahal tugasnya semula adalah memata-matai Sriwijaya. Tetapi melihat kecantikan Shilanta, ia melupakan tugasnya, kemudian menyembunyikan Shilanta dalam goa di dasar laut. Shilanta merasa berhutang budi, tetapi justru hal itulah yang membuat Shilanta jatuh cinta kepada seorang lelaki. Mereka bersepakat hidup bersama. Banyak ilmu Shilanta yang diajarkan kepada Birawa, dan banyak ilmu Birawa yang diajarkan kepada Shilanta...."
Eyang menyempatkan berpaling memandang Suro yang melompong terpukau oleh kisah itu. Lalu lanjutnya:
"Maka jadilah keduanya sebagai orang sakti yang tak boleh melihat darah. Jika mereka melihat darah, maka darah itu akan hancur sekaligus raga yang mempunyai darah itu. Jadi, untuk menghindari pertumpahan darah dan pembunuhan orang tak berdosa, mereka bersepakat untuk tinggal di dasar laut. Kesaktiannya sangat luar biasa, sampai-sampai ia dapat mengendalikan magma dan lahar gunung berapi untuk meletus atau tidak. Maka jadilah mereka penguasa gunung Krakatau di dasar laut. Di sana, di
dalam perut gunung itu, kau dilahirkan dengan nama... Wisnu Brama."
"Wisnu Brama...?" Suro mengulang dengan lirih.
"Ya. Itulah nama aslimu sejak lahir. Dan kau mulai dilatih ilmu silat serta tenaga dalam sejak usia 5 tahun. Karena tak ada lagi pekerjaan lain bagimu di dalam perut gunung berapi itu kecuali berlatih dan berlatih terus, sampai akhirnya kau menjadi orang yang hampir mewarisi seluruh ilmu ayah dan ibumu."
"Wisnu Brama...." Suro masih seperti menghapalkan nama itu. Sedangkan Eyang Panembahan tersenyum-senyum. Memandang Suro Bodong dengan arif.
"Kau tahu ilmu apa yang kau pakai untuk melawan Pendekar Tapak Setan?" pancing Eyang Panembahan Purbadipa.
Suro Bodong menggeleng. "Namanya aku tak tahu, tapi cara menggunakan ilmu itu aku masih ingat..."
"Namanya ilmu ‘Giricandra’...."
"Ooo...." Suro manggut-manggut. "’Giricandra’...?"
"Giri itu gunung. Candra itu sinar. Jadi maksudnya ilmu yang kau pakai kemarin adalah ilmu kilatan cahaya gunung, alias semburan api lahar yang amat dahsyat...! Kau sebenarnya masih mempunyai banyak ilmu yang lebih unggul dari Giricandra, yaitu perpaduan dari ayahmu dan ibumu. Tetapi, mungkin kau telah lupa."
Suro manggut-manggut lagi dengan mulut melongo. Eyang menepuk pundak Suro dan berkata, "Kalau kau mau, aku bisa mengingatkan ilmu-ilmu itu melalui indra ketujuhku."
"Aku mau...! Aku mau...!"
Eyang menggeleng. "Aku takut kau tantang seperti tadi!"
Suro Bodong buru-buru bersujud di depan Eyang Panembahan Purbadipa. Ia sangat menyesali sikapnya selama ini. Ia tidak tahu apa maksud Eyang Panembahan, sehingga ia jadi seperti orang liar yang tak mengenal tata susila kepada orang seperti Eyang Panembahan.
"Kenapa kau bersujud padaku, Suro Bodong?!"
"Maafkan aku...." ucap Suro Bodong lirih, bagai tersendat oleh keharuan. "Aku selama ini tidak mau mengerti siapa kamu, Eyang. Aku buta. Batinku tertutup oleh kebingungan jati diriku. Tetapi sekarang, ternyata kaulah yang bisa mengembalikan hidupku, Eyang. Kaulah seharusnya orang yang patut kuhormati dari sekian banyak orang. Tanpa kamu, aku tidak bisa mengerti, siapa Suro Bodong sebenarnya. Aku merasa berdosa kalau aku kemarin dan tadi menantangmu. Sebenarnya kalau kau mau, dengan sekali sentil saja aku bisa hancur berkeping-keping...."
"Wisnu Brama... bangkitlah," kata Eyang. "Kau tidak bersalah. Kau tercipta dalam adat yang miskin. Hanya Birawa dan Shilanta yang bergaul denganmu, sehingga kau tidak cukup pengetahuan tata kramamu. Aku memakluminya. Apalagi lewat indra ketujuhku ini aku bisa melihat betapa sengsaranya kau ketika bertarung melawan musuh yang berasal dari alam lain: Ratu Iblis Sejagad. Kepalamu waktu itu hampir hancur mempertahankan gunung Krakatau. Kau mengemban tugas dari ayahmu untuk mengusir Ratu Iblis itu, dan akhirnya kau mengalami gangguan pada ingatanmu. Kau menjadi lupa siapa dirimu dan menjadi lupa bagaimana seharusnya hidup itu. Kau terbuang di suatu tempat tanpa tahu di mana arah rumahmu. Namun kau tidak tahu bahwa ayahmu cukup bangga, karena kau dapat mengalahkan Ratu Iblis Sejagad, sehingga sampai sekarang ayah dan ibumu masih dapat tinggal di dasar bumi dengan damai."
"O, jadi begitu riwayatku kenapa aku menjadi serba tidak tahu?" Suro Bodong tiba-tiba berdiri dengan bersemangat. Ia tertegun sesaat. Lalu Eyang Panembahan berkata:
"Begitulah kamu. Dan... lupakan tantanganmu itu. Aku memaklumi. Kami semua memaklumi keadaanmu. Kanjeng Sultan dan para punggawa negeri lainnya sudah kuberi penyuluhan tentang keadaanmu. Mereka bisa memakluminya...."
Di kamarnya, Suro Bodong tak habis pikir, mengapa semua ini tidak pernah terduga sama sekali? Ia mulai mengingat-ingat kisah yang dituturkan Eyang Panembahan. Ia mulai menghapalkan nama aslinya: Wisnu Brama.
Nama itu diucapkan berkali-kali sambil ia menerawang, memburu masa lalunya. Ia sama sekali tidak menyangka kalau dirinya sebenarnya menyimpan banyak ilmu yang maha sakti. Ia juga tidak tahu kalau dia adalah anak perut bumi, keturunan penguasa gunung Krakatau yang berada di Selat Pasundan. Birawa Paca dan Shilanta, adalah dua nama yang samar-samar terngiang dalam telinganya. Kini jelas sudah, siapa kedua nama itu, yang tak lain adalah ayah dan ibunya.
Ternyata di balik kejengkelan yang ditimbulkan akibat ulah Eyang Panembahan, masih tersimpan segudang kelegaan yang membuat pikirannya bagai dicuci kembali. Mulanya Suro benci kepada Eyang Panembahan, sekarang berbalik menjadi sangat menyayangi Eyang Panembahan. Ia bersyukur dijebak seperti saat ini. Tanpa dijebak begini, mungkin ia tidak bisa menemukan seberkas cahaya yang menunjukkan jati dirinya. Hanya saja, soal perkawinannya dengan Nyi Mas Sendang Wangi itulah yang sekarang menjadi ganjalan bagi hati Suro Bodong. Ia belum pernah melihat seperti apa ujud barang yang disayembarakan itu. Ia juga tidak tahu, mengapa Sultan Jurujagad yang kelihatannya arif itu mempunyai syarat yang bernada sombong: mempertarungkan calon menantu. Siapa yang terkuat, dia yang dikawinkan dengan putrinya. Padahal Suro Bodong masih tertaut hatinya pada kekasih yang diburu selama ini. Ratna Prawesti. Ia tak mau kawin dengan Nyi Mas Sendang Wangi. Ia tidak mencintai perempuan itu. Ia lebih mencintai Ratna Prawesti.
Sayangnya, Ratna Prawesti belum juga ditemukan selama ini. Padahal ia sudah memburu ke desa Tandang Cinde, yang diduga masyarakatnya mengenal nama itu. Ternyata bukan Ratna Prawesti yang mereka kenal, melainkan Ratna Prawesti, putri seorang ahli nujum yang wajahnya jauh berbeda dengan Ratna Prawesti.
Pintu kamar ada yang mengetuk. Jelas pasti kedua penjaga yang ditempatkan di depan kamar untuk menjaga keamanan kamar itu. Suro Bodong bergegas membukakannya, ternyata dugaannya salah. Kepala Keprajuritan yang mengetuk pintu kamarnya dan berkata:
"Tuan dipanggil Sultan...!"
Suro Bodong menggerutu. Ia baru saja ingin beristirahat siang, tetapi sudah ada gangguan seperti itu. Sekali lagi kepala keprajuritan berkata:
"Tuan dipanggil Sultan untuk menghadap...!"
"Ada urusan apa?" Suro Bodong bertanya dengan nada kesal. Kepala keprajuritan itu menjawab:
"Saya tidak tahu, sebab yang memanggil Tuan bukan saya, tapi Sultan!"
Suro Bodong menggeram. Jengkel sekali. "Katakan, aku mau beristirahat!" Kemudian ia menutup pintu kamarnya. Hampir saja wajah kepala keprajuritan terbentur daun pintu yang ditutupkan dengan kasar. Suro Bodong merebah di atas ranjang empuk beraroma wangi.
Beberapa saat kemudian terdengar lagi ketukan. Suro membiarkan dan berlagak tidur. Tetapi ketukan semakin sering dan bertambah keras. Suro jadi jengkel, lalu buru-buru membukakan pintu dengan bersungut-sungut.
Oh, ternyata patih Danupaksi yang datang. Suro Bodong mengurangi kecemberutannya. "Ada apa?!" tanyanya ketus.
"Kenapa kau dipanggil Sultan tidak mau?!" hardik patih.
"Karena aku bukan Sultan! Aku Suro Bodong, kenapa aku mau dipanggil Sultan? Yang jadi
Sultan itu Jurujagad, bukan aku. Jadi panggillah dia Sultan. Jangan aku yang dipanggil Sultan...."
Ki Patih menghela nafas. Ia mengira Suro Bodong membangkang, ternyata hanya salah pengertian. Padahal maksud Suro Bodong memang membangkang, ia ingin beristirahat merenungkan jati dirinya yang menjadi kegembiraan saat ini. Hanya saja, ia mampu bersilat lidah sehingga tidak ketahuan niat pembangkangannya itu.
"Maksud kami, Suro Bodong dipanggil oleh Kanjeng Sultan!"
"Nah, itu jelas. Berarti aku disuruh menghadap. Begitu, kan?"
"Benar," jawab Ki Patih dengan sabar.
"Baik...! Akan kuhadapi Sultan di mana pun ia berada," kata Suro dengan menggeram.
"Hei, kau menantang Kanjeng Sultan, ya?"
"Patih, kurasa kau tidak baik kalau berpikiran sempit. Nanti pangkatmu sebagai patih dicopot, dan diganti pengurus kuda. Mau...?"
"Kau tadi memang menantang Sultan, kan?"
"Siapa yang menantang Sultan?!"
"Kau bilang akan menghadapi Sultan di mana pun berada!"
"Memang! Sebab aku akan diminta untuk menghadap. Jadi aku akan menghadapi Sultan, sekali pun ia berada di taman! Kan begitu yang wajar? Kalau aku dipanggil menghadap, tapi aku tidak mau menghadap, itu namanya aku membangkang!"
"Jadi... bukan menghadapi dalam arti menantang bertarung...?"
"Makanya, jangan mau punya otak sekecil kacang kedelai! Nanti menjadi otak keledai...!"
Patih Danupaksi menggeram, namun tetap bertahan untuk tidak marah. Ia sudah mendapat banyak keterangan dari Eyang Panembahan tentang Suro Bodong, jadi ia terpaksa memaklumi keadaan tadi.
Suro Bodong pergi menghadap Sultan Jurujagad. Ia tetap berpakaian baju lengan panjang merah tak dikancingkan, dan celana biru tua dengan posisi rambut tak teratur. Ia datang dengan sikap santai, cuek, walaupun ternyata di situ, di Paseban itu, ada seorang tamu berpakaian rapi.
"Suro Bodong... kenalkan, ini ada tamu yang bernama Pangeran Sedayu...!" kata Sultan Jurujagad. Orang yang bernama Pangeran Sedayu memandang Suro Bodong dengan dahi berkerut. Suro Bodong memandang tanpa perasaan. Dingin. Orang itu duduk bersila di depan Sultan, tapi Suro tetap saja berdiri dengan seenaknya.
"Kanjeng...." kata Pangeran Sedayu yang berwajah ganteng. "Inikah orang yang Kanjeng makudkan tadi?"
"Ya. Ini Suro Bodong, calon menantuku jika ia mampu mengalahkan tiga penantang lagi."
Pangeran Sedayu tertawa pelan sambil memperhatikan Suro Bodong. Saat itu, Sultan berkata kepada Suro Bodong
"Suro Bodong, dia bermaksud melamar Nyi Mas Sendang Wangi. Berarti dia harus berhadapan denganmu dulu. Kalau dia bisa mengalahkan kamu dalam suatu pertarungan nanti, maka dia berhak menjadi calon menantuku, menggantikan kamu."
"Aku setuju...!" jawab Suro Bodong. "Aku setuju kalau dia sebagai pemenangnya!"
"Hei, belum-belum kau kelihatan takut, Suro Bodong," kata Pangeran Sedayu. Ia tersenyum sinis.
"Aku bukan ayam jago. Aku tidak mau diadu!" kata Suro Bodong dengan tegas. "Apalagi kalau harus diadu dengan ayam kate seperti dia," ia menuding Pangeran Sedayu. "Aku lebih baik menjadi pihak yang kalah...!"
“Jangan lancing mulutmu, Suro Bodong!" geram Pangeran Sedayu yang langsung berdiri, tanpa memikirkan bahwa ia berada di depan Sultan. Namun Sultan membiarkannya.
"Suro Bodong, sekali lagi kau bicara begitu, kurobek mulutmu sampai tujuh robekan!"
"Jahitnya susah, tolol!" bentak Suro Bodong.
Pangeran Sedayu mendekati Suro Bodong yang saat itu sedang garuk-garuk kumis. Ia berdiri sangat dekat dengan Suro Bodong. Tanpa takut ditampar sedikit pun. Bahkan ia berani menuding-nuding Suro Bodong sampai telunjuknya menyentuh-nyentuh dada Suro Bodong.
"Kalau mau memperistri putri Sultan, ngaca dulu! Wajahmu tidak pantas berdampingan dengan emban, apalagi dengan putri seorang Sultan yang sangat terhormat ini...." Pangeran Sedayu menunjuk Sultan, mengambil hati. Lalu ia berkata lagi, "Kau ini siapa? Kau ini apa? Nyi Mas Sendang Wangi akan menderita batuk-batuk sepanjang malam jika punya suami semacam kamu, tahu? Dia pantasnya bersuami orang seperti aku. Kau tahu itu?!"
"Ambillah dia...! Tapi tolong... angkat kaki kananmu, jangan menginjak jempol kakiku dari tadi...!" Suro tetap tenang, sekali pun beberapa orang ada yang tersenyum, termasuk Sultan sendiri.
"Kalau kau mau Nyi Mas Sendang Wangi, ambillah. Aku mengalah saja...!"
"Tidak bisa!" seru Sultan. "Harus dengan pertarungan!"
4
Tempatnya masih sama, di Bukit Cempaka juga, hanya saja agak ke kiri sedikit dari tempat dulu Suro Bodong bertarung melawan Pendekar Tapak Setan. Sebetulnya Suro Bodong tidak mau. Benar-benar tidak mau bertarung hanya untuk memperebutkan Nyi Mas Sendang Wangi. Ia takut akan terjadi peristiwa yang menyesalkan, seperti tatkala ia bertarung melawan Tapak Setan.
"Rakyat sudah tahu tentang penantang baru: Pangeran Sedayu, dan mereka menyambut gembira. Banyak yang menjagokan kamu, Suro," kata Ki Patih Danupaksi.
Itulah sebabnya Suro Bodong mau tak mau berangkat juga ke Bukit Cempaka pada waktu yang telah ditentukan. Ia takut mengecewakan rakyat Kesultanan Praja. Ia ingat betapa geramnya rakyat ketika dulu ia tidak mau bertanding melawan Pendekar Tapak Setan. Walaupun sebenarnya Suro Bodong merasa mampu melawan rakyat apabila terjadi perang, tetapi rasa-rasanya itu tidak bijaksana. Mereka hanya tahu, bahwa mereka mempunyai pujaan. Dan mereka tidak mau pujaan mereka jatuh tanpa mempertahankan harga dirinya.
Seperti dulu lagi, rakyat banyak yang berjejer di kaki bukit. Mereka menunggu saat pertarungan dimulai. Tetapi sebelum Suro Bodong naik ke bukit arena, terlebih dulu ia pergi ke makam Pendekar Tapak Setan, walaupun pada saat itu Pangeran Sedayu sudah berdiri di tempat pertarungan, menunggu Suro Bodong.
Suro Bodong berdiri di samping makam Pendekar Tapak Setan, di belakangnya ada dua orang prajurit yang dulu pernah hendak memakamkan jenazah pendekar Tapak Setan, namun tidak jadi. Dengan suara bebas, Suro Bodong berkata sambil menundukkan kepala:
"Pendekar Tapak Setan... aku ditantang sama Pangeran Sedayu. Ah, gara-gara kamu waktu itu keras kepala, akhirnya aku jadi banyak musuh. O, ya... sebenarnya aku juga sudah menyerah dan mengalah, tetapi agaknya Pangeran Sedayu tetap ngotot, dan kebetulan peraturan yang berlaku pun tidak bisa berubah. Aku harus bertarung dengannya. Yah... mau tidak mau aku melayaninya, Setan. Kau mau nonton? Ah, tapi tak usahlah. Aku tidak begitu niat melawan dia. Aku ingin pura-pura kalah...."
"Jangan, Tuan. Jangan pura-pura kalah...." sahut prajurit di belakangnya.
Suro Bodong menahan kejengkelan dan berpaling sedikit:
"Aku bicara kepada arwah, bukan kepada kamu, Tolol!" Lalu Suro Bodong menunduk lagi seperti orang berdoa:
"Tapak Setan... kira-kira bagaimana menurutmu kalau aku pura-pura mengalah? Ketahuan apa tidak, ya? Soalnya... terus terang, aku tidak tertarik dengan Nyi Mas Sendang Wangi. Kalau aku menang, nanti aku bisa jadi suaminya. Wah, repot. Aku tidak suka dengan perempuan lain. Apalagi anak Sultan, biasanya kawin sama anak orang kaya, biaya hidupnya sehari-hari cukup mahal! Aku malas pusingpusing mencari biaya hidup buat anak orang kaya itu. Eh, tapi... jangan bilang siapa-siapa, ya? Ini aku bicara hanya padamu, tidak pada orang lain. Kuminta kau bisa merahasiakan pandangan hidupku ini. Nah, sampai di sini saja obrolan kita, walaupun aku tahu kau masih keras kepala untuk tidak mau bicara padaku, tapi aku sudah lega jika sudah bicara padamu. Mudah-mudahan saja aku tidak ketahuan kalau berpura-pura kalah. Doakan saja, ya...?"
Suro Bodong menepuk tanah kuburan itu tiga kali. Sayang yang ketiga ia terpaksa terpekik kaget, karena waktu menepuk ternyata ada duri yang mencuat ke luar. Ia sempat menggerutu: "Brengsek kau... lain kali jangan menaruh duri di sembarang tempat...!" kemudian ia pergi ke arena pertarungan.
Kali ini Ki Patih Danupaksi ikut hadir menyaksikan pertarungan tersebut. Ia berada di rombongan punggawa negeri termasuk Demang Sabrangdalu, Eyang Panembahan, Kepala Keprajuritan, beberapa menteri dan yang lainnya. Mereka semua ingin melihat sampai di mana kehebatan Suro Bodong. Sebab waktu pertarungan dengan Tapak Setan, banyak punggawa negeri yang tidak ikut hadir menyaksikannya, termasuk Patih Danupaksi dan Demang Sebrangdalu.
Tapi kali ini Suro Bodong tidak ingin mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Suro Bodong ingin berlagak kalah, supaya pencalonan dirinya sebagai menantu Sultan dibatalkan. Karena itu, sebelum pertarungan dimulai, ia sempat berbisik kepada Pangeran Sedayu yang bertubuh tinggi, tegap, seperti Pendekar Tapak Setan.
"Kalau kau ingin mendapatkan Nyi Mas Sendang Wangi, pukullah aku secara bertubi-tubi. Aku akan pura-pura kelabakan. Kemudian tendang pinggang kiriku. Aku paling tidak tahan sakit kalau pinggang kiriku kau tendang...! Dan nanti aku akan segera mengangkat tangan tanda menyerah!"
"Kau ingin mengecohku?! Mau main licik, ya?!" bentak Pangeran Sedayu dengan suara keras. Tentu saja Suro Bodong merasa malu karena suara itu didengar oleh banyak orang, apalagi suara tersebut memantulkan gema, sudah tentu orang yang melihat di ujung sana pun akan mendengarnya.
"Brengsek...! Jangan keras-keras kalau bicara," bisik Suro Bodong.
"Tidak," kata Pangeran Sedayu dengan suara semakin keras. "Aku tidak mau kau ajak bersekongkol! Kau akan menipu Kanjeng Sultan, tipulah sendiri! Tapi aku tidak mau bekerja sama untuk melakukan penipuan itu!!"
Merah muka Suro Bodong. Suara itu sangat keras dan sempat membuat Patih Danupaksi berdiri dalam keadaan kaget. Semua orang pasti akan mengira Suro Bodong merencanakan suatu penipuan untuk Sultan Jurujagad. Iih... malunya minta ampun, dia! Giginya menggeletuk dan dadanya panas, seperti mau meledak. Apalagi pada waktu itu ada seorang penonton yang berteriak: "Siapa berani menipu Kanjeng Sultan, akan kami bakar hidup-hidup...!!" Kata-kata itulah yang membuat Suro Bodong menjadi benci kepada Pangeran Sedayu.
"Kau memang bajingan...!!" geram Suro Bodong dengan wajah memerah dan mata melotot.
"Hiaaaat..!!" Pangeran Sedayu tidak banyak bicara, langsung menyerang dengan tendangan kaki kiri. Suro Bodong mengelak ke samping, tapi tangan Pangeran Sedayu yang memegangi keris pusakanya mengayun ke depan menuju dada Suro Bodong.
Ujung keris hanya beberapa inci lagi menyentuh dada Suro Bodong. Dengan cepat Suro Bodong menangkap tangan tersebut. Lalu memutarnya ke samping, kaki Suro bergerak selangkah menghadap ke belakang, lalu dengan sekuat tenaga tubuh Pangeran Sedayu dibantingnya kuat-kuat. Sambil membanting dia berseru:
"Kau memang tidak patut diberi hati...! Makan saja empedu... hiaaat...!!"
Sebenarnya Suro Bodong hanya ingin melampiaskan kedongkolannya atas suara Pangeran Sedayu yang membuatnya malu. Sebenarnya Suro hanya ingin memberi pelajaran ringan kepada Pangeran besar mulut itu. Tetapi, di luar dugaannya, ia telah membanting tepat pada sasaran. Tubuh Pangeran sedayu melayang dan terhempas cepat ke bebatuan. Suro Bodong tidak tahu kalau di situ ada batu runcing sebesar betisnya, dan ujungnya menyerupai ujung sebuah tembok. Di batu itulah tubuh Pangeran Sedayu menancap kuat, hingga batu itu tembus dari punggung sampai ke dada.
"Aaakkhhh... aaakhh...!" Pangeran Sedayu berkelojotan, tak mampu berteriak lagi. Orang-orang menjadi gaduh, masing-masing memekikkan jerit kengerian. Bahkan Ki Patih dan Demang Sebrangdalu berdiri tegak dengan mata melotot dan mulut melongo. Pada saat itu juga, Suro Bodong terbengong-bengong menyaksikan lawannya akhirnya mati dalam keadaan tubuhnya terpanggang batu tajam yang mengerikan. Ia sendiri sampai merinding melihat nasib Pangeran Sedayu.
Suara gaduh dari penonton menggaung seperti pawai lebah. Kasak-kusuk terjadi pula di dalam kelompok punggawa negeri. Tetapi seperti waktu lalu, Suro Bodong duduk di batu dengan lemas dan wajahnya murung. Ia benar-benar shock melihat lawannya menemui ajal dengan singkat sekali.
"Saudara-saudara... dengarkan...!" kata orang yang membawa corong perak kusam. Ia berdiri tak jauh dari mayat Pangeran Sedayu. Ia bicara dengan keras, seperti dulu, sewaktu Suro Bodong berhasil membunuh si Tapak Setan.
"Seperti saudara-saudara ketahui... Pangeran Sedayu, mau tidak mau menancap dalam keadaan seperti itu...! Jelas dia tidak mungkin mau melayani tantangan siapa pun, karena sudah mati. Maka, dalam pertarungan ini, yang unggul adalah Suro Bodong...!!"
"Hidup Suro Bodong...!! Hidup Suro...! Hidup Bodooong...! Bodong-bodong hiduuuup...!!" Mereka berteriak dalam sorak bersahut-sahutan. Ada yang berjingkrak-jingkrak, ada yang melonjak-lonjak dan ada yang terinjak-injak. Semua memuji dan mengagungkan Suro Bodong. Tetapi Suro Bodong masih tetap diam, termenung dengan wajah murung.
Panitia yang membawa corong itu bicara lagi, "Dan dengan ini, maka Suro Bodong masih berhak menjadi calon utama menantu Kanjeng Sultan. Ia harus merobohkan dua penantangnya lagi. Jika dua penantang sudah berhasil dirobohkan, maka... dialah yang berhak menjadi suami tercinta dari putri dalem: Nyi Mas Sendang Wangi...!!"
Sorak penonton bersahut-sahutan. Para punggawa negeri kelihatan tersenyum gembira dalam rasa kagum yang mewarnai wajah-wajah mereka. Eyang Panembahan menyongsong Suro Bodong sewaktu Suro Bodong turun bukit dengan didampingi dua pengawal bersenjata lengkap.
"Gerakanmu begitu cepat dan hebat...!" ujar Eyang Panembahan seraya mengajak bersalaman dengan Suro. Suro Bodong hanya tersenyum getir, ia garuk-garuk kumis sejenak. Seperti biasanya, ia menolak untuk diangkut memakai tandu. Ia tak banyak bicara dalam perjalanan menuju dalem Kesultanan. Ada rasa kecewa dan bingung.
Hatinya berkecamuk sendiri, "Pangeran itu mungkin orang gila...! Diajak kompromi yang menguntungkan dirinya malah memilih mati! Konyol! Dan lagi, hanya dengan bantingan seperti itu saja dia bisa mati. Heran aku...? Ah, dasar dia itu orang tolol. Jatuh saja memilih tempat yang runcing. Kurasa hanya orang tolol yang mau jatuh di tempat batu seruncing itu...! Goblok...!"
Malam itu, Suro Bodong dipanggil Sultan berkaitan dengan kata-kata Pangeran Sedayu sebelum mereka bertarung. Hadir di situ, selain para menteri, juga Ki Patih Danupaksi dan Demang Sebrangdalu yang menjadi saksi mendengarkan kata-kata Pangeran Sedayu. Eyang Panembahan juga ada, tetapi ia hanya diam saja. Tenang.
"Suro Bodong...." kata Sultan. "Apa benar sebelum pertarungan kau membujuk Pangeran Sedayu untuk melakukan penipuan terhadapku? Sebab menurut para saksi yang mendengar seruan Pangeran Sedayu, kau gagal membujuk Pangeran Sedayu untuk bersekongkol menipuku. Benar begitu, Ki Patih?"
Ki Patih Danupaksi, "Benar, Kanjeng! Bahkan ada salah satu rakyat yang berteriak ingin membakar hidup-hidup bagi siapa saja yang bermaksud menipu Kanjeng Sultan."
"Dan Demang Sebrangdalu juga mendengar?"
"Ya, saya mendengar, Kanjeng."
Suro Bodong menyahut, "Aku juga mendengar...!"
"Mendengar apa maksudmu?!" tanya Demang Sebrangdalu.
"Aku mendengar suaraku sendiri!" jawab Suro tegas.
"Jadi benar kau merencanakan penipuan padaku, Suro?!" tanya Sultan Jurujagad setengah heran melihat kepolosan itu.
"Benar!" Suro Bodong tetap menjawab tegas.
Semua orang saling berbisik, dan Sultan menyuruhnya untuk tenang. Kemudian Sultan bertanya lagi, "Apa maksudmu merencanakan penipuan itu? Dan penipuan seperti apa yang akan kau lakukan bersama Pangeran Sedayu itu?"
"Saya usul, Kanjeng...." sahut seorang yang menjabat sebagai menteri Urusan Peradilan.
"Sebentar. Mungkin persoalan ini masih bisa kutangani sendiri, Kakang Luminto Wetan. Biarkan Suro Bodong bicara dulu. Nah, Suro Bodong... bicaralah...!"
"Terima kasih atas waktu dan kesempatan yang diberikan kepada saya...." kata Suro Bodong dengan bersungguh-sungguh. Berdirinya tegap, tangannya saling bertaut di bawah perut. Ia bicara bagai seorang pranata cara yang membawakan kata sambutan di depan undangan. Tetapi yang jelas, ia kelihatan cuek, tak peduli orang menyukai gayanya atau tidak.
"Semua tuduhan itu, kuakui! Bahkan kalau tidak ada tuduhan seperti ini, aku yang akan menuduh betapa teledornya pejabat Kesultanan ini terhadap kerawanan semacam itu. Aku memang merencanakan menipu Sultan. Aku berkata kepada Pangeran Sedayu, bahwa aku akan berlagak kalah. Kusuruh dia memukulku, secara bertubi-tubi, dan nanti aku akan pura-pura kewalahan. Sebagai titik akhir, dia kusuruh menendang bagian tubuhku yang termasuk rawan, di mana kalau aku ditendang di bagian tubuh itu, maka aku akan merasa sangat kesakitan. Lalu aku akan menyerah, kalah..."
"Maaf," kata seorang menteri memotong kata-kata Suro.
"Maksudmu di bagian tubuh mana yang kau suruh menendang Pangeran Sedayu itu? Tolong sebutkan secara jelas: di kaki, atau di kepala, atau di perut, atau di mana?"
"Itu rahasia pribadi. Kau tidak bisa memancingku untuk mengetahui kelemahanku, melalui pertanyaan orang tolol seperti itu. Tidak bisa! Aku lebih pintar dari kamu. Kamu menjadi menteri juga berdasarkan kasihan saja! Kalau kamu mau tahu kelemahanku, tanyakan kepada almarhum Pangeran Sedayu...!"
"Sebaiknya teruskan pangakuanmu, Suro Bodong," tegur Sultan Jurujagad.
"Baik, tapi aku tidak mau kata-kataku dipotong oleh suara jangkrik seperti tadi. Nah, jadi kuteruskan.... Aku membujuk Pangeran Sedayu begitu, supaya orang tahu kalau aku kalah dengannya. Dengan kalahnya aku, maka dialah yang akan menjadi calon menantu Sultan, dan aku mendoakan supaya dia bisa merobohkan ketiga penantang berikutnya. Aku senang kalau Nyi Mas Sendang Wangi berhasil menikah dengannya. Tetapi, rupanya Pangeran Sedayu orang berotak kodok, sehingga dengan menyerukan rencana itu, ia akan dianggap punya kesetiaan terhadap Sultan Praja. Dan hal itu membuat aku naik pitam. Lalu, dengan geram kulemparkan tubuhnya yang nyaris membunuhku dengan keris. Aku paling jijik melihat keris. Tetapi aku tidak sengaja membunuhnya. Berani sumpah, aku tidak pernah menyuruhnya untuk jatuh di atas batu runcing. Itu pilihannya sendiri. Sungguh!"
Ada beberapa orang yang tersenyum geli termasuk Eyang Panembahan, namun mereka tidak berani tertawa. Suro Bodong sendiri tetap tenang, tanpa senyum. Seakan ia mengemukakan semua itu dengan bersungguh-sungguh. Dia tak sadar kalau ada kata-katanya yang bisa dianggap menyimpang dan mengandung kelucuan.
"Suro, kenapa kau lakukan hal itu? Kenapa kau seakan ingin menghindar dari kami?" tanya Sultan Jurujagad.
"Aku... aku tidak mau diadu-adu seperti ayam. Apalagi taruhannya hanya perempuan, aku merasa rendah. Harga diriku jatuh di bawah harga sekilo beras. Dan lagi... aku tidak berminat kawin dengan Nyi Mas Sendang Wangi. Bukan soal aku menghina dia; toh aku belum melihat cantik atau tidaknya Nyai Mas Sendang Wangi itu. Tetapi, terlepas dari hal itu, aku sendiri mempunyai perempuan idaman. Aku punya kekasih, dan punya niat kawin dengannya. Tetapi.. tetapi... dia tidak ada...." Suro Bodong mengangkat bahu sambil membuka telapak tangannya.
"Dia tidak ada...!"
"Tidak ada bagaimana?"
"Pergi!" jawabnya cepat. "Entah pergi ke mana. Aku tidak tahu. Dan selama ini aku berkelana untuk mencarinya. Aku cinta sekali sama dia. Karena itu aku mencarinya. Karena itu aku tidak mau bermesraan dengan perempuan lain. Karena itu aku cemas kalau sampai tiba saatnya aku dikawinkan dengan Nyi Mas Sendang Wangi. Karena itu... yah... karena itulah aku mengajak Pangeran Sedayu untuk menipu."
"Siapa nama kekasihmu itu?" tanya Sultan Jurujagad.
"Ratna Prawesti...! Orangnya cantik dan menggairahkan. Ia putri seorang bupati di kabupaten Jangga. Apa kalian di sini ada yang melihatnya? Atau mungkin mendengar namanya? Kalau mendengar namanya dan tahu di mana ia tinggal, tolong bantu aku...! Mungkin seumur hidup aku mau membantu kalian."
"Ratna...? Ratna Prewesti...?" Sultan Jurujagad menggumam dan berpikir keras, juga yang lainnya, sehingga ruang pertemuan itu penuh dengan gumam menyebut nama Ratna Prawesti. Suro Bodong diam, garuk-garuk kumis. Sengaja ia memberi kesempatan kepada mereka untuk mengingat-ingat nama itu. Ia berdiri di suatu sudut dan bersandar pada tiang dengan salah satu kaki ditekuk, menjejak tiang tersebut. Santai sekali, sementara yang lain berkerut-kerut dahi memikirkan nama itu. Malah ada yang mengobrolkan nama tersebut.
Persoalan tuduhan terhadap Suro Bodong itu dihapuskan oleh Sultan. Masalahnya sudah diketahui, dan tujuannya bukan semata-mata ingin merugikan Kesultanan. Justru sekarang Sultan sendiri sangat prihatin memikirkan nasib Suro Bodong yang berkelana terus-menerus mencari kekasihnya.
Suro Bodong sendiri tidak begitu girang ketika diketahui persoalan soal rencana penipuan itu dihapuskan. Yang ia harapkan bukan itu, melainkan pembatalan calon menantu itu yang ditunggu-tunggu. Tetapi menurut Eyang Panembahan, ketika mereka bicara di depan kamar Suro Bodong:
"Keputusan Kanjeng Sultan adalah wasiat bagi rakyat. Tak dapat dibatalkan lagi. Apa pun yang terjadi nantinya, kau tetap calon menantu. Tinggal menunggu dua pelamar yang akan menjadi dua penantang bagimu. Kalau kau berhasil menggulingkan dua penantang itu, maka kau akan menjadi suami Nyi Mas Sendang Wangi, tetapi kalau kau gagal, kau baru bisa dicoret dari daftar calon menantu Sultan."
"Ah, itu terlalu menyiksa jiwa, Eyang. Aku tidak bisa berpura-pura kalah. Aku takut kalau mengajak lawan bekerja sama, nanti dikira mau menipu pemerintahan di sini! Aku mau lari saja dari sini, ya?"
"Kau akan dikejar sampai kami menemukan kamu dan menghukum kamu. Eh, dengar, ya... rakyat di sini sangat mencintai Sultannya. Mereka akan marah besar kalau Sultannya dikecewakan. Karena itu, hati-hatilah terhadap mereka. Mereka itu fanatik terhadap Sultan. Sangat menjunjung tinggi dan bahkan boleh jadi sangat mendewakan Sultannya."
Suro Bodong bersungut-sungut, "Yaah... tapi kenapa aku yang menerima nasib buruk ini?"
"Nasib buruk bagaimana? Kau akan dikawinkan dengan Nyi Mas Sendang Wangi, lalu didudukkan sebagai Pangeran muda yang mempunyai wilayah sendiri di sebelah Selatan. Itu kan sesuatu yang baik, yang didambakan oleh semua lelaki. Buktinya sudah banyak pelamar yang mencoba memenuhi persyaratan itu."
Desah meluncur dari mulut Suro Bodong. Ia masih bersungut-sungut, menampakkan ketidaksukaannya terhadap rencana itu. Ia berkata dengan menggerutu:
"Lalu bagaimana dengan Ratna Prawesti.... Kasihan dia...!"
Eyang Panembahan tersenyum sejenak, kemudian berkata dengan suara pelan, tetapi kelihatan bersungguh-sungguh:
"Ratna Prawesti itu tidak ada...!"
Suro Bodong cepat berpaling memperhatikan Eyang Panembahan. Saat itu. Eyang Panembahan segera berkata:
"Kau tidak sadar selama ini."
"Tidak sadar bagaimana?"
"Otakmu terganggu sejak pertarungan dengan Ratu Iblis Sejagad. Kau hanya berbayang-bayang raut wajah cantik yang kau beri nama Ratna Prawesti. Tetapi sebenarnya perempuan itu tidak ada!"
"Eyang jangan menyinggung perasaan saya...!" ketus Suro.
"Ini kenyataan! Aku melihat lewat indra ke tujuhku, tak ada perempuan yang bernama Ratna Prawesti. Dan aku kenal dengan bupati Jangga yang bernama Gusti Raden Probo...."
"Itu orang tua Ratna Prawesti!" sahut Suro Bodong cepat.
Tetapi Eyang Panembahan menggeleng. "Gusti Raden Probo tidak mempunyai anak perempuan satu pun. Semua anaknya laki-laki, dan mereka sekarang telah tewas semua dibantai oleh Gerombolan Topeng Setan...!"
"Iya, ya... benar. Tapi...? Tapi Ratna Prawesti...!"
"Kau dibayang-bayangi oleh impianmu, Suro. Ratna Prawesti itu tidak ada. Ia hanya muncul dalam khayalan dan impianmu. Percayalah...! Aku tidak akan menipumu. Karena kalau aku menipu satu kali, maka aku akan punya kebiasaan berbohong kepada siapa pun, dan itu aku tak suka"
Suro Bodong tetap membantah, bahwa Ratna Prawesti itu ada. Ia sering hadir, dan sering berkencan dengan Suro Bodong. Suro menceritakan ciri-ciri yang ada pada Ratna Prawesti:
"Bertubuh lencir, kulitnya kuning langsat, lehernya jenjang. Aku paling suka melihat matanya yang bulat, bening dan sangat meneduhkan had. Bibirnya semerah delima merekah. Kelihatannya bibir itu selalu basah dan menawan. Dan Eyang tahu... kalau dia tersenyum, ada lesung pipit di pipinya, itu yang membuat aku terkagum-kagum dengannya. Ia mempunyai hidung yang bangir, indah. Enak dicubit dalam kegemasan. Dadanya, Eyang... wwoow...! Dadanya padat berisi, sangat menantang darahku! Ia selalu mengenakan binggel, gelang kaki dari perak kecil, bermata batu merah delima, serasi sekali dengan betisnya yang merit mengagumkan...."
"Aku tahu...! Aku tahu, perempuan itu pasti sangat cantik, dan sangat memikat setiap pria..."
"Benar! Benar sekali, Eyang...! Wah, rupanya Eyang juga masih punya selera muda, ya?"
"Bukan soal aku masih berselera muda, tapi pada umumnya khayalan seorang lelaki pasti akan seperti itu. Ia mengidamkan perempuan sesuai dengan seleranya. Repotnya bagi kamu, idaman itu telah menyiksa jiwamu, sehingga kau beranggapan bahwa perempuan itu sungguh-sungguh ada. Aku yakin, kau adalah seorang lelaki yang mempunyai daya khayal cukup kuat. Itu mungkin akibat ayahmu terlalu sering menempamu dengan ilmu’ Saptaraga’...!"
"Ilmu apa itu? Aku baru mendengarnya, Eyang...!"
"Kau memang lupa dengan nama itu, tapi kau pasti bisa melakukannya. Ilmu ‘Saptaraga’ itu adalah memecah diri menjadi tujuh rupa. Jadi kau bisa berubah sampai tujuh kali wajah dan bentuk tubuh...."
"Ooo... iya, ya, ya... aku ingat. Aku menamakan ilmu itu dengan sebutan jurus ‘Luing Ayan’. Kalau aku bersalto di udara satu kali, aku akan berubah menjadi Suro Bodong seperti sekarang ini. Kalau aku bersalto dua kali, akan menjadi ujud lain, dan begitu terus, sampai yang ketujuh. Kalau aku bersalto tujuh kali tanpa menyentuh tanah, maka aku akan menjadi sosok pendekar Panji Bagus. Ya, ya... aku ingat itu. Cuma namanya kuganti Luing Ayan-1, Luing Ayan-2, Luing Ayan-3... dan seterusnya."
"Itu akibat dari tujuh roh yang masuk dalam ragamu, ketika kau lahir dalam keadaan hampir mati. Dan tujuh roh itu, adalah bekas teman dekat ayahmu, yang mati dalam suatu pertempuran. Mereka tetap ingin bersatu dengan ayahmu sehingga mereka masuk dalam ragamu, sebagai titisan dari ketujuh roh itu."
Suro geleng-geleng kepala keheranan. "Eyang benar-benar hebat! Bisa mengetahui apa yang tidak kuketahui."
"Itu karena indra ketujuhku bekerja dengan sempurna."
"Bagaimana untuk memperoleh indra ketujuh itu, Eyang?!"
"Itu mudah. Tapi sulit. Indra ketujuh ada pada dirimu, tapi sulit untuk melatih menggunakannya."
Suro Bodong manggut-manggut. Matanya memandang ke arah taman di seberang kamarnya. Pada saat itu, ia sempat melihat seorang perempuan berjalan dari taman keputren ke ruang utama Kesultanan. Mulut Suro Bodong jadi terbengong melihat perempuan itu lewat di seberang sana, melalui taman berkolam air mancur itu, dengan diiringi beberapa emban dan pelayan lainnya.
Saat itu, tanpa disadari Suro Bodong berdiri cepat dengan mata masih melebar. Ia seperti terkejut melihat apa yang dipandangnya. Eyang Panembahan sedikit heran melihat perubahan sikap Suro dari tenang menjadi tegang.
"Ada apa...?" tanya Eyang Panembahan.
Mulut Suro menggeragap, sulit bicara. Tangannya menunjuk-nunjuk ke arah perempuan yang diiringi para emban itu.
"Ya," Eyang Panembahan mengangguk. "Dia adalah Nyi Mas Sendang Wangi. Kenapa?"
"Bu... bukan...!" Suro menggeragap. "Did... did... dia... dia itulah... Ratna!"
Eyang Panembahan memiringkan kepala dan menyipitkan mata. Ia bingung mendengar katakata Suro Bodong.
"Dia... dia betul. Ratna Prawesti...! Ya, Ratna...!"
Nafas Suro Bodong terengah-engah. Ia hendak menghambur ke arah ruang utama Kesultanan, tetapi Eyang Panembahan segera menarik tangannya.
"Bukan Suro! Dia Nyi Mas Sendang Wangi, calon istrimu nanti jika kau berhasil...."
"Maksudku... seperti itulah Ratna. Seperti Nyi Mas Sendang Wangi. Sungguh! Sumpah...!" Tegang sekali Suro kelihatannya sehingga Eyang Panembahan semakin tertarik dengan masalah itu.
"Maksudmu, Ratna Prawesti seperti Nyi Mas Sendang Wangi? Begitu?"
Suro mengangguk-angguk seperti orang bego. "Aku... aku ingin melihatnya lebih dekat...! Tolong, aku ingin melihatnya, apakah dia Nyi Mas atau Ratna?!"
Eyang Panembahan menggumam dan berpikir sejenak. Kemudian menarik tangan Suro dan melangkah ke ruang utama Kesultanan. Saat itu, Eyang sempat berkata, "Nyi Mas baru boleh keluar dari ruang semadinya hari ini. Jadi, maklum saja kalau kau baru bisa melihatnya sekarang."
Nyi Mas Sendang Wangi menghadap ayahandanya, Sultan Jurujagad. Ketika Suro hendak menghadap, dia diminta menunggu beberapa saat. Setelah Eyang Panembahan menghadap lebih dulu, barulah Suro dipanggil untuk masuk ke ruang utama Kesultanan.
Suro Bodong semakin membelalakkan mata tak berkedip ketika ia memandang Nyi Mas Sendang Wangi dalam jarak enam langkah. Jantungnya berdetak-detak, dan bibirnya gemetar. Dua pertanyaan Sultan tak dihiraukan, sebab dia tidak menyadari kalau dia berada di depan seorang raja. Tetapi Sultan Jurujagad yang arif itu hanya tersenyum geli melihat sikap Suro Bodong seperti anak ingusan melihat intan sebesar kucing.
"Astaga...!" Suro Bodong menggumam dalam desah setelah Eyang Panembahan menepak punggungnya. "Eyang, persis sekali, Eyang. Dia persis dengan Ratna Prawesti kekasihku. Sungguh dan sumpah, Eyang...!"
Sultan Jurujagad tersenyum-senyum, sedangkan Nyi Mas Sendang Wangi hanya berwajah merah. Senyumnya tipis dan sikapnya tenang sekali. Ia mengenakan kain pinjung sebatas dada berwarna hijau bludru, berhias renda-renda emas. Dadanya yang padat tersumbul itu sungguh menambah keindahan sosok tubuh sang idaman. Kulitnya kuning langsat, hidungnya bangir. Persis seperti hidung Ratna Prawesti. Bibirnya juga kelihatan mungil, segar, semerah delima merekah dan selalu basah. Matanya membelalak, bening dan meneduhkan hati yang memandang. Bulu matanya lentik, seperti milik Ratna Prawesti. Rambutnya panjang sebatas pinggang, disisir ke belakang, di kanan kiri rambut diberi penjepit emas, dan ia pun mengenakan semacam mahkota kecil di ujung keningnya yang terbuat dari emas permata. Hanya saja, Nyi Mas mempunyai tubuh lebih sekal, memang tidak selangsing Ratna Prawesti, namun mempunyai keistimewaan sendiri pada bagian pinggulnya yang menggiurkan itu. Nyi Mas tidak mengenakan gelang kaki dari perak bermata merah delima. Tetapi, Nyi Mas Sendang Wangi ini juga mempunyai lesung pipit jika tersenyum lebar. Manis. Apalagi ditambah tahi lalat sebesar biji tomat di ujung dagu kirinya, woow... ia menjadi lebih indah dan lebih cantik lagi. Andai tanpa tahi lalat itu, ia akan serupa betul dengan Ratna Prawesti. Hal inilah yang membuat Suro Bodong berdebar-debar sejak tadi.
5
Seorang prajurit mengantarkan pakaian baru kepada Suro Bodong. Baru kali ini Suro Bodong merasa perlu mengganti pakaiannya. Biasanya kalau tidak robek, dia tidak ingin ganti pakaian. Dan kebetulan permintaannya dikabulkan oleh bagian kepala rumah tangga Kesultanan. Ia dibelikan pakaian baru, tetapi tetap saja warnanya merah dan celana biru tua. Potongannya tetap sama. Hanya saja jenis bahannya jauh berbeda. Kali ini Suro Bodong mengenakan pakaian dari bahan satin yang lebih halus dan menawan.
Ia mandi dengan bersih dan mengatur rambutnya dengan bantuan seorang pelayan. Seharian tadi dia telah mencuci rambutnya dengan bersih dan telah diasapi dengan asap setanggi yang harum baunya. Ikat kepalanya tetap merah, sekalipun dari kain yang masih baru, namun bukan terbuat dari satin. Kumisnya dipotong rapi oleh seorang pelayan yang bertugas melayani dia. Ia kelihatan lebih rapi dan lebih bersih ketimbang biasanya. Cuma sayang, ia masih belum mau mengancingkan bajunya sehingga perutnya dibiarkan terbuka. Bulu-bulu dadanya kelihatan jelas seperti bulu bambu wulung yang hitam.
Hari ini, ia sudah merencanakan pertemuan dengan Nyi Mas Sendang Wangi untuk saling mengenal pribadi. Mereka bertemu di taman setelah melalui izin Sultan. Suro Bodong merasa bagai ingin bertemu dengan Ratna Prawesti. Karena itu, ia harus mengatur penampilannya. Seorang pelayan menegurnya dengan hati-hati ketika Suro meminta jagung bakar. Katanya: "Tak baik bertemu dengan seorang putri harus membawa jagung bakar. Nanti mengecewakan dia, Tuan."
"O, begitu, ya? Baiklah tak usah saja...!" Suro Bodong melangkah ke taman, tapi sebelumnya ia sempat berbisik kepada seorang juru taman, "Pak, apakah aku sebaiknya berjalan dengan munduk-munduk, sedikit bungkuk, atau dengan tegap?"
"Biasanya, untuk menghadap seorang putri, Tuan harus bisa memperlihatkan ketegarannya. Jadi harus berjalan dengan tegap. Dadanya sedikit maju, biar kelihatan gagah."
Suro Bodong mengikuti saran tersebut. Eyang Panembahan hanya memandang dari kejauhan dengan senyum tipis. Suro Bodong tidak peduli dengan beberapa mata yang diam-diam memperhatikannya. Ia berjalan dengan dada dibusungkan. Namun baru beberapa langkah, juru taman segera menegurnya dengan hati-hati:
"Ssst... Tuan, jangan terlalu membusung, malah seperti orang sakit encok...!"
Kemudian Suro Bodong mengurangi gaya busungnya. Kini ia berjalan tegap dan juru taman tersenyum. Ketika Suro Bodong melirik, juru taman mengacungkan jempol seraya tersenyum manggut-manggut. Namun di luar dugaan, kaki Suro Bodong menendang pot bunga dan ia terpelanting. Juru taman dan beberapa orang terpekik, termasuk Nyi Mas. Namun kemudian mereka tertawa lega, karena Suro Bodong tak jadi tersungkur ke tanah, walaupun ia menjaga keseimbangan dengan gaya membuka satu jurus tendangan maut. Ia kembali bersikap biasa, merapikan bajunya sebentar dan berjalan menemui Nyi Mas Sendang Wangi.
"Aku khawatir Kakang Suro akan terpelanting jatuh tadi," kata Nyi Mas Sendang Wangi. Tetapi mulut Suro Bodong bagai mengulum perekat, sehingga tidak bisa bicara. Ia hanya cengar-cengir sambil garuk-garuk kumis. Ia sangat gemetar, karena perempuan yang dihadapinya ini lain dari yang lain. Perempuan itu memiliki kesamaan dengan Ratna Prawesti, sehingga ia menjadi grogi karena seakan sudah menemukan apa yang dicari selama ini. Sebagian hatinya menganggap ia bertemu dengan Ratna Prawesti, sebagian hatinya lagi beranggapan bahwa yang dihadapinya itu adalah orang lain yang baru dikenalnya.
"Duduklah, Kang Mas...." kata Nyi Mas Sendang Wangi seraya ia duduk pada kursi taman yang terbuat dari batu marmer putih, juga dengan mejanya yang putih marmer halus.
Suro Bodong serba salah, kikuk. Ia kebingungan. Sendang Wangi berkata lagi, "Duduklah, jangan sungkan-sungkan. Ayah telah mengizinkan kita bertemu, bukan?"
"He, eh...!" jawab Suro mengangguk dan masih kikuk. Ia mau duduk di samping Sendang Wangi, tapi tak jadi. Ia lebih enak duduk di depannya saja. Tapi itu pun tak jadi, ia grogi kalau dipandanginya nanti. Maka ia duduk di samping kiri wanita cantik itu, sekali lagi ia batalkan, sampai akhirnya ia bertanya sendiri:
"Aku harus duduk di mana, ya?"
Sendang Wangi menertawakan dengan tawa yang mengikik geli, sementara orang-orang yang memperhatikan adegan itu dari kejauhan juga menutup mulut mereka agar tak terlepas tawanya.
Suro Bodong akhirnya duduk di depan Sendang Wangi.
"Kang Mas Suro suka anggur? Maksudku buah anggur?"
"Buah anggur? Hemm... ya, suka!" jawab Suro Bodong sekalipun ia belum pernah melihat seperti apa buah anggur yang ada di depannya itu.
"Ambillah buah anggur untuk menyegar rasa," kata Sendang Wangi. Suro Bodong segera berdiri dan hendak pergi menemui juru masak untuk mengambilkan buah anggur. Tetapi Sendang Wangi segera bertanya, "Mau ke mana, Kang, Mas?"
"Mau... mau ke sana...." ia menunjuk dapur. "Mau... mau mengambil buah anggur...."
"Ini buah anggurnya!" Sendang Wangi menuding keranjang buah termasuk ada buah anggur yang berwarna hitam bening. Suro Bodong tersipu malu. Namun ia beralasan,
"Maksudku mau mengambil buah anggur yang masih baru. Aku lihat di dapur ada buah anggur yang masih baru."
"Ah, ini juga buah anggur baru."
"O, ya... itu juga baru, ya?" kemudian Suro Bodong kembali duduk di depan Sendang Wangi sekalipun ia ditertawakan oleh perempuan cantik itu.
"Celaka... kenapa aku jadi gemetaran sekali?" katanya di dalam hati. "Padahal aku ingin ngomong banyak dengannya, tapi... sial! Mulutku seperti makan getah nangka! Sulit dibuka!"
Sendang Wangi mengambil sebutir buah anggur yang masih bertangkai. Kemudian ia menyodorkan ke mulut Suro Bodong. Gerakannya begitu lembut dan membuat Suro Bodong memandang penuh kebengongan.
"Terimalah anggurku yang sederhana ini...." kata Sendang Wangi berbahasa isyarat. Sebenarnya itulah cara seorang putri menyajikan cinta kepada sang kekasih.
Tetapi, Suro Bodong tidak mengenal cara seperti itu. Ketika mulutnya disodori buah anggur, ia segera menampelnya seraya berkata:
"Aku bukan bayi lagi yang makan perlu disuapi!"
Sendang Wangi terkejut dan menjadi kecewa. Ia berdiri memandang Suro Bodong dengan geram kemarahan. Sedangkan Suro Bodong berdiri juga memandang geram karena merasa dirinya dianggap seperti anak kecil yang makan anggur saja hams disuapi.
"Aku tahu kau anak Sultan, tapi aku tidak suka kalau kau menganggapku kecil! Aku mampu menjadi dewasa, tahu?! Aku sudah biasa makan tiga bungkus nasi pecel tanpa disuapi, apalagi hanya sebutir buah anggur seperti ini!"
"Kau bodoh! Dungu...!"
"Sekali lagi bicara, kutampar kau!"
"Tamparlah...! Ayo; tamparlah...!!"
"Kau tidak cocok jadi istriku! Istriku adalah perempuan yang lebih suka minta dicium, daripada minta ditampar!"
"Aku juga...! Aku..." Sendang Wangi segera berlari sambil menangis, ia menuju ke dalem keputren bersama emban. Sedangkan Suro Bodong yang berang hanya menghempaskan nafas sambil pergi meninggalkan tempat itu. Juru taman tak berani menegurnya. Eyang Panembahan juga membiarkan Suro berjalan melaluinya dan masuk ke kamarnya, membanting pintu. Saat itu, seorang prajurit yang berjaga di samping pintu terlonjak kaget mendengar pintu dibanting keras.
"Setan...!!" teriak Suro Bodong di kamar. Prajurit itu segera membuka pintu dan melongokkan
kepala:
"Tuan memanggil saya...?!"
Suro Bodong semakin geram. Dia mencaci maki sendiri, disangka memanggil orang itu. "Apa kau setan?!"
"Bukan. Seingat saya bukan, Tuan."
"Aku berseru: Setan! Bukan memanggilmu!"
"Ooo... maaf. Nama saya Sokan, saya mendengarnya tadi Tuan menyebut Sokan, jadi...."
"Pergi sana! Lekas...!!" teriak Suro jengkel sekali.
Hari-hari dilalui dengan kemurungan. Suro Bodong tidak mau diajak bicara soal Nyi Mas Sendang Wangi. Ia berkata di depan Sultan:
"Aku tidak cocok dengannya! Dia kasar...!"
"Kalian perlu saling menyesuaikan diri. Hanya itu yang kalian butuhkan," kata Sultan baik kepada Suro Bodong maupun kepada putrinya sendiri.
Ketika di kamar, Suro Bodong juga mendapat nasihat serupa dari Eyang Panembahan.
"Itulah perlu kalian diberi waktu untuk saling mengenali pribadi masing-masing."
"Aku sudah kenal pribadinya! Keras! Meremehkan aku! Dan aku tidak mau beristrikan dia! Aku malas bertengkar dengan perempuan!"
"Kau salah paham terhadap sikapnya, Suro!"
'Terserah," jawab Suro. "Mau salah paham atau salah kaprah, tapi aku tidak suka. Aku mau pergi! Pergi mencari Ratna Prawestiku!"
Sejenak Eyang Panembahan menghela nafas dan geleng-geleng kepala. Ia merasa bukan saatnya untuk melunakkan hati Suro Bodong. Ada saatnya sendiri untuk itu.
Tetapi, agaknya hati Suro sudah tidak mau diajak kompromi. Ia harus keluar dari dalem Kesultanan dan meninggalkan segala masalah di situ. Ia lebih baik kembali berkelana mencari Rama Prawesti.
Sayang, sore itu ada dua tamu yang menghadap Sultan Jurujagad. Mereka adalah kakak beradik, yang usianya tak terpaut banyak. Waktu itu, Suro Bodong sedang dipanggil Sultan untuk diberi wejangan lain. Suro sudah jemu mendengar berbagai nasihat, maka ketika ada dua orang tamu, dia merasa lega. Itu pertanda ia akan bebas wejangan dari Sultan maupun dari Eyang Panembahan.
Kedua orang itu maju ke depan setelah diizinkan oleh Sultan Jurujagad. Mereka berpakaian serba rapi, yang satu berpakaian rompi kuning dan celana kain merah. Mengaku bernama Wreda, sedang yang satu berpakaian rompi biru dan celana biru juga, mengaku bernama Bayutama.
"Apa keperluanmu ke mari, Ki Sanak..?" tanya Sultan dengan sikap ramahnya.
Bayutama menjawab, "Kami ingin melamar Nyi Mas Sendang Wangi, Kanjeng."
"Untuk siapa?"
"Untuk kami berdua..."
Mata Sultan membelalak, demikian juga yang lain. Mereka saling pandang. Eyang Panembahan berkata kepada kedua tamu itu:
"Itu tidak mungkin. Nyi Mas Sendang Wangi hanya satu orang, sedangkan kalian dua orang. Bagaimana mungkin?"
"Kenapa tidak? Kami sudah sepakat untuk memakainya bersama...!" jawab Wreda dengan lantang dan tampak sombong.
"Ini suatu penghinaan, Kanjeng," kata patih Danupaksi.
"Siapa bilang?" sanggah Wreda. "Bukankah tidak ada peraturan untuk dua orang melamar bersama?"
"Memang tidak ada," jawab Ki Patih. "Tetapi secara umum seorang lelaki melamar untuk seorang wanita. Bukan dua lelaki untuk satu wanita. Kau pikir siapa Nyi Mas itu? Perempuan tak bersusila? Oh, salah! Kalau kalian menduga begitu salah besar, Ki Sanak!"
"Itu menurut Anda, Ki Patih. Tetapi menurut kami, Nyi Mas akan bangga mempunyai dua suami yang siap di sampingnya setiap saat," kata Wreda. Dan Bayutama menyambung:
"Dan kami berdua siap menghadapi manusia dungu yang bernama Suro Bodong. Menurut kabar, dialah yang kini menjadi calon menantu Sultan Jurujagad. Keluarkan dia, dan kami akan menghajarnya sekarang juga...!"
Suro Bodong berkata dengan tenang, "Sebaiknya kalian berdua keluar dulu ke alun-alun, nanti biar Suro Bodong menyusul kalian ke sana."
"Setuju!" kata Wreda. Ia bicara kepada Bayutama, "Setuju saja, ya Kang? Yang penting kita buktikan bahwa kesatuan ilmu kita dapat melumpuhkan orang sehebat apa pun!"
Bayutama berkata kepada Sultan, "Ya. Kami mohon parnit, Kanjeng Sultan. Kami tunggu Suro Bodong di alun-alun sekarang juga...!!"
Sultan tidak bisa bicara, tertegun mendengar Nyi Mas akan dijadikan istri oleh dua lelaki, dan akan dicumbu bersama-sama. Malu sekali wajah Sultan jika hal itu benar-benar terjadi.
"Suro Bodong...." kata Sultan setelah beberapa saat. "Kau akan menghadapi mereka sekarang juga?"
"Tidak. Aku hanya ingin mengenalkan diri dan memberi sedikit pelajaran agar mereka tahu adat!"
"Bawalah pusaka Tombak Kyai Pancasona milikku. Kau kuizinkan menggunakannya untuk kedua orang itu!"
Suro Bodong melangkah ke luar seraya berkata, "Untuk menghajar orang seperti mereka, tidak perlu memakai tombak...!"
"Suro Bodong, tunggu...! Mereka membawa senjata yang bisa membahayakan keselamatanmu!" seru Ki Patih, tetapi Suro Bodong tetap melangkah tanpa berpaling.
Mulanya tak banyak orang berkumpul di alun-alun. Tapi setelah seorang yang bertugas mengumumkan acara seperti itu berseru dengan corong perak kusam, maka rakyat pun mulai berdatangan ke pinggir alun-alun yang ada di depan dalem Kesultanan.
Sultan Jurujagad hadir di tepian alun-alun, didampingi para punggawa negeri lainnya. Sekalipun mereka dan Suro Bodong berada di tengah alun-alun, namun penonton dapat melihat dengan jelas, karena alun-alun itu sendiri tidak begitu lebar.
Suro Bodong berdiri di depan dua orang kakak beradik itu. Wreda yang pertama kali bertanya:
"Mana orang yang bernama Suro Bodong?!"
"Aku sendiri...!" jawab Suro tenang. Ia garuk-garuk kumis sebentar.
"O, kukira yang bernama Suro Bodong itu orangnya cukup tampan. Ternyata...."
"Ternyata memang tampan, bukan?" sahut Suro Bodong. "Hanya orang yang matanya rusak yang tidak melihat aku sebagai orang tampan."
Kedua lawannya menyeringai sinis, mentertawakan dalam nada menghina. Suro Bodong masih tenang, kakinya terentang, tegap dan tegar.
"Baik, kalau begitu kau harus berhadapan dengan kami. Hati-hatilah kau, Suro Bodong...!"
"Sebaiknya kalian saling mengingatkan begitu. Karena hari ini, aku sedang marah. Aku jengkel. Dan aku ingin membunuh orang! Siapa saja. Syukur kalau bisa... kalian!"
"Serang dia...!!" teriak Bayutama seraya melompat dan menendang ke depan. Suro Bodong meliukkan badan ke belakang. Jika tidak maka dagunya akan terangkat ke atas dalam satu tendangan.
Wreda menyerang dari arah kiri. Tangannya menggenggam dan dihantamkan ke pelipis Suro Bodong. Suro menangkis dengan kibasan tangan kiri ke belakang. Kaki kirinya cepat menyodok ke perut Wreda dengan posisi badan merunduk ke samping kanan.
Tetapi tiba-tiba Bayutama menendang wajah Suro dengan keras,
"Hiaaat...!!"
Suro Bodong terpelanting dan berguling-guling. Bayutama menyusul dengan beberapa gulingan dan berhenti tepat di kaki Suro Bodong, ia mencabut pedangnya, kemudian menghantamkan pedang itu di kaki Suro Bodong. Dengan cepat Suro Bodong menarik kakinya, lalu menghentakkan ke depan lagi dengan kecepatan tinggi. Tendangan yang mengagetkan tepat mengenai hidung Bayutama.
"Aaoow...! Bangsat, kau...!!" Bayutama menjerit kesakitan sambil berguling menjauh. Suro Bodong mendapat kesempatan berdiri. Namun tiba-tiba ia disambut serangan Wreda yang telah mencabut pedangnya juga.
Pedang ditebaskan dengan cepat dan berkali-kali ke arah kepala dan perut. Suro Bodong menghindar dengan merunduk dan meliukkan badan. Agaknya ia mulai keteter oleh gerakan pedang Wreda.
Sementara itu, Bayutama segera mengepungnya dari belakang. Ia membabatkan pedangnya dengan cepat, jurus pedang itu sama dengan jurus pedang Wreda. Suro Bodong nyaris robek punggungnya kalau saja ia tidak segera menjatuhkan diri ke tanah dan berguling sambil menendang kaki Wreda.
Wreda terjatuh, dan Bayutama masih mengejar Suro Bodong dengan tendangannya. Suro sempat menyengkat kaki Bayutama. Sengkatan itu begitu kuat sehingga Bayutama terpelanting jatuh ke arah belakang. Buru-buru Suro Bodong berdiri dan mengambil posisi. Nafasnya terengah-engah dan ia mengaturnya sejenak. Pada saat itu Wreda telah bangkit dan menolong Bayutama untuk berdiri. Suro mundur beberapa langkah, mengatur jarak. Ia pasang kuda-kuda dengan merendahkan kedua kaki dan satu tangan mengepal di atas kepala, sedangkan tangan satunya terlipat di depan dada.
Ada sesuatu yang dibisikkan kepada Bayutama oleh Wreda. Bayutama kelihatan mengangguk. Kemudian mereka menggerakkan pedang mereka ke kiri dan ke kanan berkali-kali. Dan setelah itu, pedang mereka beradu, membentuk tanda silang di atas kepala mereka. Perpaduan tersebut mengeluarkan sinar merah kebiru-biruan yang memancar sebesar lidi.
Suro Bodong buru-buru melompat ke kanan, berguling dan melompat lagi.
Saat itu, beberapa rumput terbakar karena terkena sinar merah itu. Penonton mulai tegang dan berdebar-debar. Ada pula yang terbengong-bengong kagum melihat kedua pedang itu mampu mengeluarkan sinar yang indah warnanya, namun dahysat kekuatannya. Sementara itu, Bayutama dan Wreda tertawa-tawa. Mereka hanya menggerakkan pedang mereka supaya sinarnya terarah pada Suro Bodong. Dan hal itu membuat Suro Bodong melompat ke sana ke mari seperti monyet terkena api ekornya
"Tak akan mampu kau bertahan menghadapi ilmu Pedang Naga Kembar ini, Bodong...! He, he, he...!" Wreda kelihatan girang sekali mempermainkan Suro Bodong.
Suro Bodong lari menjauh. Namun daya pancar sinar itu masih mampu juga menjangkaunya. Pada saat ia berguling di tanah, ia sempat mendengar suara yang berseru untuknya:
"Bertahanlah terus...!"
Suro mendengar suara itu begitu kecil. Ia hapal, itu suara Nyi Mas Sendang Wangi. Ketika ia bangkit, berdiri, ia sempat melihat Nyi Mas Sendang Wangi berdiri di samping ayahnya dengan wajah penuh kecemasan. Suro segera tergugah kemarahannya. Ingat akan rencana dua lawannya itu yang akan memperistri Nyi Mas secara berduaan. Terbayang pula di benak Suro betapa menjijikkan pada malam pertama mereka nanti
Maka dengan melompat ke sana ke mari, Suro Bodong meraba tangan kirinya. Ia seperti mencabut sesuatu dari tangan kirinya itu, dan tahu-tahu ia telah menggenggam sebilah pedang bercahaya ungu. Itulah Pedang Urat Petir pusakanya. Semua orang terbengong dan saling menggumam kagum. Kemudian mereka bertepuk tangan, bagai menemui kelegaan. Sultan, Patih Danupaksi, Demang dan yang lainnya sama-sama membelalakkan mata. Mereka tahu persis, Suro tidak membawa senjata dari awal jumpa mereka dengan Suro, tapi mengapa tiba-tiba ada pedang di tangannya? Berwarna ungu!
Pertama-tama yang dilakukan Suro Bodong adalah menangkis arah sinar merah itu supaya tidak membakar setiap rumput yang terkena sinar tersebut. Pedang Urat Petir menjadi perisai. Sinar merah menghantam pedang Suro Bodong. Sinar itu memantul kembali ke pemiliknya.
"Awas, Bayu...!!" teriak Wreda sambil berguling ke samping. Tetapi Bayu tak sempat menghindari sinarnya sendiri dan dadanya terkena sinar itu.
"Aaaahhh...!!" ia menjerit dengan lengkingan yang menyayat. Pakaiannya terbakar, dan dadanya menjadi hangus. Ia jatuh telentang dengan gerakan kejang-kejang.
Suro Bodong diam, berdiri tegak, menyaksikan kesedihan Wreda atas diri Bayutama yang dalam keadaan sekarat itu.
"Bayutama, banguuunn...!!" teriaknya seraya Wreda menghentakkan kaki ke tanah tiga kali.
Tiba-tiba penonton berseru,
"Wooww...?!" Mereka melihat sendiri Bayutama bangkit dalam keadaan segar bugar, kendati dadanya hangus. Ia bahkan melompat sambil bersalto dan menyerang Suro Bodong dengan pedangnya. Suro Bodong dengan mudah menangkis pedangnya dengan pedang Urat Petirnya. Percikan api terjadi pada saat pedang itu beradu. Namun dengan cepat tangan kiri Suro Bodong berhasil memukul kepala Bayutama, sementara itu Wreda hendak menusukkan pedangnya ke punggung Suro Bodong. Tangan Suro Bodong berkelebat ke belakang. Pedang itu sepertinya disampirkan di punggung. "Trriing...!" Tusukan pedang lawan mengenai bagian dari pedang Urat Petir yang bersinar ungu itu. Padahal Suro sibuk berpaling dalam menangkis tusukan pedang Wreda. Ia sibuk mengibaskan pukulan tangan kiri Bayutama dengan tangan kirinya sendiri.
Di luar dugaan, Suro Bodong berputar, menendang tubuh Bayutama, namun tangannya yang memegang pedang menebas ke depan, mengenai perut Wreda.
"Aaah...! Bayu,aku kenaaa... aauhh...!" Wreda roboh dengan memegangi perut yang terluka, tetapi Bayutama segera menghentakkan kaki ke tanah tiga kali seraya berseru memanggil Wreda. Pada saat itu penonton bergumam lagi, "Wow...?" Karena pada saat itu, Wreda bangkit kembali dalam keadaan segar bugar, sekalipun perutnya robek, namun tidak mengeluarkan darah.
Suro Bodong segera berlari kencang dan melompat tinggi, lalu ia bersalto di udara sebanyak tujuh kali. Maka mata semua penonton terbelalak seketika, termasuk Sultan dan putrinya.
Suro Bodong telah berubah rupa menjadi seorang pendekar tampan yang memiliki badan kekar, berotot dan tegap dalam ketinggiannya. Wajahnya sangat menawan, dengan matanya kebiru-biruan mengandung kebeningan yang indah. Penonton jadi gaduh membicarakan perubahan ujud itu. Mereka tidak tahu kalau Suro Bodong telah menggunakan Jurus Luing Ayan-7, atau yang disebut Eyang Panembahan sebagai ilmu Saptaraga.
Dengan sosok pendekar muda yang berpakaian rompi emas serta celana emas itu, Suro Bodong dapat bergerak lebih lincah lagi. Ia membabat berkali-kali lawannya yang lumayan tangguh itu. Tetapi setiap mati satu, yang satu menghentakkan kaki ke tanah tiga kali, maka yang mati itu akan bangkit lagi dalam keadaan segar bukar. Begitu seterusnya sampai pertarungan itu berlangsung cukup lama.
Suro Bodong yang telah berubah menjadi Panji Bagus itu mulai bertekad untuk membunuh kedua lawannya. Sebab, jika tidak segera dibunuh, maka mereka akan menjadi duri dalam suasana damai di seluruh Kesultanan Praja. Maka, segera Suro Bodong dalam ujud pendekar Panji Bagus itu melemparkan pedangnya ke udara sampai berputar tujuh kali. Pedang itu begitu turun dan sampai pada putaran yang ketujuh segera ditendang gagangnya. Begitu ditendang, pedang itu pecah sendiri menjadi tujuh bagian, lalu ketujuh bagian itu memencar ke arah dua lawannya. Wreda sempat menangkis salah satu pecahan pedang, tetapi ia gagal menangkis pecahan pedang yang melesat ke pelipisnya. Pecahan pedang itu menghantam tembus pelipis Wreda. Sementara dua pecahan pedang yang lainnya berhasil mengenai leher dan mata Bayutama.
"Aaahhh...!! Aaauuuhh...!" Keduanya saling menjerit kesakitan. Mereka berguling-guling beberapa saat, sedangkan pecahan pedang itu dapat berkumpul menjadi satu lagi dan melesat kembali ke tangan pendekar tampan itu.
Semua orang bertepuk tangan melihat kejadian aneh dan sangat mengagumkan itu. Namun agaknya Bayutama masih mampu berusaha untuk bangkit, dan Wreda pun menguatkan diri untuk berdiri. Keduanya ingin menghentakkan kaki ke tanah supaya keduanya dapat hidup kembali dengan segar bugar. Tetapi pendekar muda yang tampan itu segera melompat dan bersalto satu kali. Ia telah menggunakan jurus Luing Ayan-1, dan hal itu membuat dirinya berubah lagi menjadi Suro Bodong. Tetapi pada saat itu kedua kakinya berhasil menjejak kedua tubuh lawan dengan keras, hingga kepala Bayu yang lehernya telah robek itu nyaris putus total.
Dengan gerakan cepat, Suro Bodong membabatkan pedang Urat Petir itu ke leher Bayutama, lalu berkelebat ke leher Wreda. Kedua kepala itu pun nyaris bersamaan jatuh menggelinding di rerumputan. Dengan putusnya kepala mereka, maka berhenti sudah segala gerakan Suro Bodong. Ia buru-buru memasukkan pedangnya ke kulit lengan kiri. Pedang itu dapat masuk tanpa meninggalkan bekas dan bentuk pada kulit lengan. Itulah kehebatan pedang Urat Petir yang mampu disimpan di dalam daging lengan kiri Suro Bodong.
Satu-satunya orang yang maju mendekati Suro pertama adalah... Nyi Mas Sendang Wangi. Kalau saja ia tidak malu, dan Suro Bodong tidak kikuk, pasti mereka telah saling berpelukan. Namun, karena rasa malu ditonton banyak orang akhirnya mereka hanya berpegangan tangan dalam tatap mata yang saling pandang di sela senyum lesung pipit Nyi Mas Sendang Wangi.
Sultan sendiri kali ini yang bkara kepada rakyat di pinggir alun-alun melalui corong perak kusam:
"Dengan ini, Suro Bodong telah berhasil mengalahkan empat penantang yang bermaksud melamar putriku. Dan... mulai saat ini, kuterima lamaran Suro Bodong sebagai calon suami Nyi Mas Sendang Wangi...."
"Hidup Suro Bodong...!!" seru mereka. "Dan, mulai saat ini pula... orang yang kami cari-cari telah kami temukan, yaitu Suro Bodong. Dialah yang akan dinobatkan sebagai Senopati Kesultanan Praja...!"
"Hidup Senopati...! Hidup Senopati Bodong...!"
"Lho, apa-apaan ini...?!" Suro Bodong kebingungan. Nyi Mas Sendang Wangi menjelaskan:
"Itulah sebabnya ayah mengadakan syarat pertarungan bagi calon suamiku, sebab dialah yang akan dinobatkan sebagai Senopati untuk menghadapi serangan dari utusan Tiongkok, yang dapat menyerang sewaktu-waktu. Dan... akulah yang akan mendampingimu di medan laga nanti. Akulah wakil Senopati Kesultanan Praja ini...."
"Celaka, rupanya ini rencana Sultan yang sebenarnya! Hei, tapi kau janji akan mendampingiku, kan?" Nyi Mas mengangguk dengan senyum lesung pipit yang menggetarkan hati Suro Bodong. Maka Suro Bodong pun memeluknya. Cuek.
SELESAI